Catatan Popular

Isnin, 30 Disember 2024

WASIAT 10: IHWAL MEMBIASAKAN DIRI MELAKUKAN SEGALA SESUATU YANG DIWAJIBKAN ALLAH

Kitab Al-Washaya li Ibn al-‘Arabi

Hendaklah engkau tetap melakukan apa yang diwajibkan Allah kepadamu dalam bentuk yang Dia perintahkan untuk engkau tegakkan. Jika engkau menyempurnakan kewajibanmu, dan engkau wajib menyempurnakannya, maka saat itu – luangkanlah diantara dua kewajiban itu untuk melakukan berbagai sunnah (al-Nawafil).

Jangan sesekali engkau meremehkan dan menganggap kecil amal perbuatanmu.

Sebab Allah tidak meremehkannya ketika Dia menciptakkannya.

Dia tidak membebankan sesuatu di atas pundakmu tanpa memberikan penjagaan dan pertolongan Nya hingga membebanimu dengan keberadaanmu dalam tingkatan yang paling agung di sisi Nya. Kerana engkau adalah tempat wujud buat apa yang dibebankan kepadamu.

Oleh kerananya, pembebanan (taklif) itu hanya berkaitan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf, yakni mereka yang dikenakan kewajiban. Maka taklif itu pun berkaitan dengan mukallaf dalam perbuatannya, dan bukan dalam hal dirinya.

Ketahuilah bahawa jika engkau terus menerus memnunaikan berbagai kewajiban, maka engkau pun dekat kepada Allah dengan kedekatan yang lebih dicintai Nya. Jika engkau memiliki sifat ini, maka engkau pun menjadi telinga dan mata Al-Haqq.

Dia mendengar dan meilihat hanya dengan dirimu. Maka tangan Al-Haqq pun menjadi tangan mu: “ Orang – orang yang berjanji setia kepadamu sesungguhnya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka (QS Al-Fath, 48:10).

Tangan mereka, yakni tangan Allah, ada di atas mereka. Itulah tangan-tangan yang mengucapkan janji setia atau baiat. Pelakunya adalah Allah. Kerana itu, tangan mereka adalah tangan Allah.

Dengan tangan itu pula Allah membaiat. Merekalah yang dibaiat. Semua sebab itu adalah tangan Al-Haqq yang memiliki kekuasaan yang menciptakan berbagai akibat. Inilah kecintaan paling agung yang diungkapkan oleh teks (An-Nashsh) mulia, sebagaimana di dalamnya- diungkapkan juga berbagai sunnah.

Mengerjakan berbagai sunnah secara terus menerus akan melahirkan kecintaan Ilahi yang terpelihara.

Sebab Al Haqq mendengar dan melihat hamba Nya, sebagaimana pula keadaan sebaliknya, dalam kecintaan menunaikan berbagai kewajiban (Al-Fara’idh). Kewajiban adalah ibadah paksaan, dan memang begitu prinsipnya.

Sementara itu bahagian (Al-Far’) iaitu tambahan (An-Nafl) adalah ibadah pilihan.

Didalam berbagai sunnah, al-Haqq mendengar dan meilihatmu. Ia dinamakan an-nafl’ kerana merupakan tambahan, persis seperti halnya engkau-pada dasarnya (bi al-ashalah) – adalah tambahan dalam eksistensi, sehingga (pada mulanya) yang ada hanyalah Allah dan engkau tiada. Kemudian engkau menjadi ada.

Maka , eksistensi yang baru pun bertambah. Engkau adalah tambahan dalam eksistensi Al-Haqq. Kerananya, engkau harus mengerjakan apa yang disebut an-nafl, sebab itulah asal-usulmu.

Dan engkau harus mengerjakan apa yang dinamakan al-fardh, sebab itu adalah asal-usul wujud dan berada dalam wujud Al-Haqq.

Dalam menunaikan An-Nafl’, engkau adalah milikmu sendiri. Cinta Nya kepada mu dalam hal bahawa engkau adalah milik Nya lebih agung dan lebih besar ketimbang cinta Nya kepadamu dalam hal bahawa engakau adalah milikmu sendiri.


WASIAT 9: WASIAT IHWAL BERHATI-HATI AGAR TIDAK MEMUSUHI AHLI TAUHID

Kitab Al-Washaya li Ibn al-‘Arabi

Berhati-hatilah engkau agar jangan memusuhi ahli ‘la ilaha illa Allah’ kerana ia memiliki pertolongan Allah.

Mereka adalah para wali Allah.

Jika mereka melakukan kesalahan dan mendatangkan ke bumi ini kesalahan yang tidak menyebabkan mereka menyekutukan Allah sedikit pun, maka Allah menemui mereka dengan membawa ampunan.

Barang siapa yang telah ditetapkan pertolongan atas dirinya, makaia tidak boleh diperangi. Barangsiapa memusuhi Allah, maka Allah pasti mengingat balasannya di dunia dan di akhirat.

Dan setiap orang yang tidak Allah beritahukan permusuhannya kepada-Nya, janganlah kau jadikan musuh.

Setidaknya, jika engkau tidak mengenalinya, maka biarlah urusannya. Jika terbukti bahawa ia musuh Allah, yang sudah pasti orang musyrik, maka berlepas dirilah darinya, sebagaimana dilakukan Nabi Ibrahim a.s. kepada bapanya.

Allah SWT berfirman: “Tatkala jelas bagi Ibrahim bahawa bapanya adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya (QS Al-Tawbah, 9:114).”

Timbanganmu ini adalah dengan firman Allah SWT:

“ Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang – orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak mereka (QS Al-Mujadilah, 58:22),

sebagaimana dilakukan Ibrahim a.s.: “Atau, anak-anak, saudara atau keluarga mereka (QS Al Mujadilah, 58:22).”

Ketika engkau tidak mengetahui hal itu, sebisa mungkin janganlah memusuhi hamba-hamba Allah, dan jangan pula memusuhi hamba-hamba Allah, dan jangan pula memusuhinya kerana apa yang diucapkan.

Engkau hanya boleh membenci perbuatannya, bukan dirinya. Sementara itu, yang dibenci dari musuh Allah adalah dirinya.

Bezakanlah antara orang yang engkau benci dirinya, yakni musuh Allah, dan orang yang engkau benci perbuatannya, yaitu orang Mukmin, atau yang tidak engkau ketahui kesudahan orang bukan Muslim pada waktu itu.

Berhati-hatilah terhadap firman Allah di dalam hadis sahih: “Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka pasti Aku memaklumkan perang kepadanya.”

Jika ia tidak mengetahui perihal dirinya dan lantas memusuhinya, maka bererti ia tidak memenuhi hak Allah dalam penciptaannya.

Sebab, ia tidak mengetahui ilmu Allah tentang dirinya dan Allah pun tidak menjelaskan kepadanya, sehingga ia pun berlepas diri darinya serta menjadikannya sebagai musuh. Jika ia mengetahui keadaan lahiriah dirinya, sekalipun ia musuh Allah dan engkau tidak mengetahuinya, maka bersahabatlah dengannya untuk menegakkan hak Allah dan janganlah memusuhi di sisi Allah, Nama Illahi yang tampak pun membantahmu.

Kerana itu, janganlah engkau jadikan hujah Allah atas keburukanmu, sebab engkau akan binasa. Allah memiliki hujah yang pasti. Pergaulilah, hamba-hamba Allah dengan penuh kasih saying, persis sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada orang-orang kafir dan Musyrik di antara mereka melalui pengetahuan-Nya ihwal keadaan mereka itu.

Allah SWT tidak memberikan rezeki kepada mereka kecuali kerana pengetahuan-Nya, yang mereka berada di dalamnya.

Mereka tidak ada di dalamnya kerana mereka, melainkan kerana diri Nya, sebagaimana telah kami sebutkan dengan ungkapan yang umum bahawa Allah SWT adalah Pencipta segala sesuatu. Sementara itu, kekufuran dan kemusyrikan mereka tercipta dalam diri mereka.

Dengan ungkapan yang khusus, tidak ada satu hukum pun dalam maujud kecuali dengan apa yang ditetapkan atasnya dalam ketiadaan.


WASIAT 8: WASIAT IHWAL BERPEGANG KEPADA KALIMAT TAUHID

 Kitab Al-Washaya li Ibn al-‘Arabi

Tetaplah engkau berpegang pada kalimat Islam, yaitu ucapanmu: La ilaha illa Allah.

Kalimat itu adalah zikir yang paling utama lantaranmengandung tambahan ilmu. Rasulullah SAW bersabda: “Seutama utama ucapanku dan ucapan para nabi sebelumku adalah kalimat ‘La ilaha illa Allah”.

Kalimat itu menggabungkan penafian (al nafy) dan penetapan (al-itsbat). Pembagiannya pun terbatas. Tidak ada yang mengetahui kandungan kalimat ini kecuali orang yang mengetahui timbangannya danapa yang engkau timbang, sebagaimana di ungkapkan dalam sebuah hadis yang kami sebutkan dalam menunjukkan hal itu.

Ketahuilah bahawa kalimat itu adalah kalimat tawhid. Tidak ada sesuatu pun yang menyamainya, maka tawhid bukanlah satu dan pasti dua, dan seterusnya. Yang dapat ditimbang adalah yang sama dan sebanding, dan juga yang sama, meski tidak sebanding.

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa syirk – lawan dari tawhid – tidak ada pada diri seorang hamba yang memiliki tawhid.

Sebab, ada dua jenis manusia, entah ia seorang Musyrik atau Muwahhid (ahli tawhid).

Tawhid hanya bisa menimbang syirk, dan keduanya tidak berkumpul didalam satu sisi timbangan. Kalimat itu tidak dapat masuk dalam timbangan , sebagaimana diungkapkan di dalam sebuah hadis.

Bagi orang yang memahami dan mengujinya, hadis ini hadis sahih dan berasal dari Allah.

Allah berfirman: “Sekiranya tujuh langit dan tujuh bumi yang di ciptakan oleh zat selain selain diri Ku diletakkan pada sisi timbangan yang satu dan ‘La ilaha illa Allah diletakkan pada sisi timbangan lain, maka la ilaha illa Allah akan mengalahkannya, yakni lebih berat darinya”.

Dia hanya menyebutkan langit dan bumi, karana timbangan tidak memiliki tempat kecuali di bawah lingkup orbit planet planet yang tetap beredar di sidrah al-muntaha, yang menjadi tempat berakhirnya segenap amal perbuatan hamba hamba Allah.

Amal amalperbuatan ini diletakkan dalam timbangan. Timbangan itu tidak melampaui tempat yang tidak mungkin dilewati segenap amal perbuatan itu sendiri.

Kemudian Dia berfirman : “ Dan diciptakan oleh zat selain diri Ku.”

Padahal tidak ada satu zat pun yang menciptakannya selain Allah.

Maka, yang dikabarkan itu cukup dilakukan dengan isyarat.

Dalam ungkapan umum di kalangan para ulama ar-rasum, zat yang dimaksudkan ialah yang disekutukan dengan yang lain, yang dikukuhkan oleh orang Musyrik. Kalau Allah memiliki sekutu dalam penciptaan, niscaya la illaha illa Allah pasti mengalahkannya dalam hal timbangan, kerana la illaha illa allah kuat dari segala sesuatu.

Hal itu itu disebabkan orang Musyrik mengutamakan Allah atas apa yang dijadikan sekutu Nya. Maka Allah berfirman tentang mereka: Mereka berkata, ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah lebih dekat lagi” (QS Az Zumar, 39:3)

Apabila diangkat timbangan wujud, dan bukan timbangan tawhid, maka la ilaha illa Allah masuk ke dalam timbangannya.

Sedikit demi sedikit tawhid orang orang Musyrik pun masuk ke dalam tawhid keagungan, maka la ilaha illa Allah menyucikan dan mengalahkannya.

Kerana jika penciptanya bukan selain Allah, maka kalimat itu, yakni la ilaha illa Allah, tidak akan dapat mengalahkan timbangannya.

Ringkasnya, Dia adalah Allah. Maka, ke mana ia akan cenderung? Ia hanya akan cenderung pada salah satu dari dua sisi timbangan.

Adapun bagi pemilik catatan (sijjil), maka sisi timbangan itu tidak akan miring kecuali dengan kartu catatan (al-bithaqah), kerana yang memegang sisi timbanagn itu adalah timbangan itu sendiri disebabkan oelh la ilaha illa Allah di lafalkan oleh orang yang mengucapkannya, dan malaikat pun menuliskannya . itulah la ilaha illa Allah yang ditulis dan di ciptakan di dalam ucapan (nuthq). Kalau kalimat itu diletakkan pada setiap orang, maka ia tidak masuk neraka karana melafalkannya.

Allah hanya ingin agar yang mendiami tempat pemberhentian (ahl al mawqif) mengetahui keutamaanya atas pemilik catatan (shahib al-sijjilat). Tetapi ia tidak akan melihat dan mendapatkannya kecuali setelah masuknya orang orang yang Allah kehendaki dari penganut tawhid ke dalam neraka. Jika seorang penganut tawhid tidak diam di tempat pemberhentian maka Allah menakdirkannya masuk neraka. Setelah itu ia dikeluarkan dengan syafaat atau pertolongan Ilahi ketika didatangkan pemilik catatan. Ini kerana Allah adalah pemilik permulaan dan penutup.


WASIAT 7: WASIAT IHWAL MELAZIMKAN DIRI DENGAN PERBUATAN BAIK

 Kitab Al-Washaya li Ibn al-‘Arabi 

Biasakan dirimu berniat melakukan perbuatan baik, walaupun engkau tidak mengerjakannya. 

Apabila dirimu berniat melakukan kejahatan, maka bersungguh sungguhlah meninggalkannya.

Jika tidak, maka qadar yang lalu dan qadha yang akan datang akan bakal menguasaimu.

Jika Allah tidak menakdirkanmu melakukan kejahatan yang engkau niatkan, maka Dia menuliskan untukmu satu kebaikan.

Hal itu ditegaskan Rasulullah saw dari Tuhannya, bahwa Dia berfirman: “ Apabila hamba Ku berniat melakukan kebaikan maka Aku tuliskan baginya satu kebaikan jika ia tidak melakukannya.”

Setiap waktu yang berlalu atas dirinya dalam keadaan berniat melakukan kebaikan ini, walaupun ia tidak mengerjakannya, Allah selalu menuliskan baginya satu kebaikan. Waktu waktu itu mencapai jumlah tertentu.

Karena baginya, satu kebaikan untuk setiap kali ia berniat, kerana Dia berfirman: “selama dia tidak mengerjakannya”.

Selanjutnya Allah swt berfirman : “Jika ia mengerjakannya, Allah akan menuliskan sepuluh kali kebaikan itu.”

Di sini, jika engkau ketahui, kebaikan itu kira kira sepersepuluh (1/10) dari dari air yang tercurah dari langit.

Jika kebaikan itu merupakan kebaikan yang berkekalan dan bahagian yang terus menerus, yang mendapat ganjaran kekal, maka ganjaran tersebut terus diperbaharui hingga Hari Kiamat sebagai sedekah jariah seperti wakaf, ilmu yang disebarkan kepada masyarakat, perilaku yang baik, dan sebagainya.

Kemudian Allah menyempurnakan nikmat Nya kepada hamba hamba Nya.

Maka Dia berfirman: “ Jika ia berniat melakukan kejahatan , maka Aku akan mengampuninya selama ia tidak menegerjakannya.”

Selanjutnya Allah SWT berfirman: “Jika ia mengerjakannya (kejahatan), maka Aku akan menuliskan baginya satu kejahatan.”


WASIAT 6: WASIAT IHWAL MENGHADIRKAN KEDEKATAN DENGAN SEGENAP KEMAMPUAN

 Kitab Al-Washaya li Ibn al-‘Arabi

Tetaplah untuk senantiasa menghadirkan segenap kedekatan (al-qurb) dengan mencurahkan segala kemampuan, dalam setiap waktu dan keadaan, di atas yang di sampaikan Al-Haqq kepada mu dalam waktu itu dan keadaan itu.

Jika engkau seorang Mukmin, maka kemaksiatan yang dilakukan orang lain tidak akan menyentuhmu sedikit pun, tanpa ada campuran ketaatan.

Engkau pun menyakininya bahwa hal itu adalah kemaksiatan.

Jika engkau tambahkan permohonan ampun (istighfar) dan taubat kepada campuran ini (yakni ketaatan dan kemaksiatan), maka yang demikian itu adalah ketaatan paling baik dan kedekatan paling mulia. Maka, bagian ketaatan yang bercampur kejahatan menjadi kuat.

Dan keimanan adalah kedekatan paling kuat dan paling agung di sisi Allah.

Asas yang menjadi landasannya adalah seluruh kedekatan.

Termasuk dalam keimanan adalah penilaianmu tentang Allah berdasarkan apa yang diberlakukan Nya atas diri Nya sendiri.

Dalam sebuah riwayat sahih, Allah SWT berfirman: “Jika ia menghampiri Ku sejengkal, Aku menghampirinya sehasta.

Jika ia menghampiri KU sehasta, aku menghampirinya sedepa. Dan jika ia mendatangi Ku dengan berjalan kaki, Aku mendatanginya dengan berlari”

Sebab penggandaan ini adalah dari Allah yang tidak lebih sedikit dan tidak lebih lemah dari apa yang sanggup dilakukan seorang hamba. Dalam melakukan setiap  pekerjaan, sang hamba mestilah mengerjakannya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.

Ia diperintahkan untuk menimbang segenap amal perbuatannya dengan timbangan syariat.

Dalam hal itu, ia mesti bersabar. Jika ia tergesa-gesa, maka tergesa gesalahnya itu dilakukan hanya dalam menimbang-nimbang segenap amal perbuatannya itu, dan bukan dalam perbuatan itu sendiri.

Dengan melakukan penimbangan, maka muamalahnya menjadi sah.

Kedekatan kepada Allah tidak memerlukan timbangan yang engkau gunakan untuk menimbang segenap amal perbuatan mu itu.

Dengan amal perbuatan itu engkau pun mencari kedekatan kepada Allah. Yang memiliki sifat ini mestilah kedekatan Nya kepada mu lebih kuat dan lebih banyak daripada kedekatanmu kepada Nya. Maka Dia menyifati ndiri Nya bahawa Dia dekat kepada mu dalam kedekatanmu kepada Nya, karena kelemahan kedekatanmu kepada Nya disebabkan engkau berada dalam rupa yang diciptakan.

Awal kekhalifahan bagimu adalah kekhalifahanmu atas dirimu. Karenanya, engkau adalah khalifah Nya di atas bumi badan mu dan juga kepemimpinanmu atas anggota anggota badan mu dan kekuatan mu yang tampak dan yang tersembunyi.

Kedekatan Ilahi kepada seluruh makhluk bukanlah kedekatan yang demikian. Allah berfirman:….dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya (QS Qaf, 50:16)


162 Masalah Sufistik (Masalah 40)

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: 

“Tentang seseorang yang susah ketika ia mengingat dosa dosanya, sampai ia ingin segera mati agar dosa dosanya tidak makin bertambah atau ia ingin ditunda saat kematiannya agar ia dapat memperbanyak amal kebajikannya dan dapat menambah taubatnya agar dosa dosanya yang terdahulu dapat di ampuni oleh Allah Ta’ala. Di antara keduanya, manakah yang lebih utama keadaannya?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa dua keadaan tersebut cukup baik dan sangat bagus. Siapapun yg mempunyai salah satu dari perasaan semacam itu, maka ia termasuk orang yg beruntung.

Sehubungan dengan pertanyaan Anda diatas, kami ingat suatu kisah bahwa ada tiga orang shaleh di masa lalu, ketika ketiganya berkumpul, maka salah satu di antara mereka berkata, “Aku Ingin segera mati, karena aku takut kalau agamaku terkena cobaan.”

Sedangkan yg kedua berkata, “Aku ingin hidup lebih lama agar aku dapat bertaubat dan menambah pahala amal² kebajikanku.” Dan yg ketiga berkata, “Aku tidak ingin segera mati dan tidak ingin hidup lama, aku hanya ingin apa yg dikehendaki oleh Allah Ta’ala bagiku.”

Maka ucapan orang yg ketiga lebih mengagumkan dari kedua temannya terdahulu. Sebenarnya, ketiga orang itu cukup baik dan mulia keadaannya. Akan tetapi, orang yg ketiga lebih unggul karena ia lebih pasrah kepada kehendak Allah Ta’ala dan itulah cara terbaik bagi setiap mukmin agar ia tidak bingung memilih pilihannya.


162 Masalah Sufistik (Masalah 39)

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: 

“Tentang seseorang yg merasa telah mendapat sebagian dari hasil amal amal kebajikannya. Di antaranya adalah merasakan lezatnya ketika ia bermunajat kehadirat Allah Ta’ala dan ia ingin menambah frekuensi amal amal kebajikannya. Apakah hal itu merupakan cacat bagi amal² kebajikannya?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ya, memang hal itu merupakan cacat bagi amal² kebajikannya. Karena itu, seseorang harus selalu waspada dan mendeteksi hal² yg tidak ia inginkan, agar ia tidak merasa angkuh dengan berbagai karunia Allah Ta’ala yg ia terima.

Sebaliknya, ia juga harus banyak terima kasih atas berbagai nikmat yg ia terima, serta semakin memperbanyak amalan ibadah dan dzikirnya kehadirat Allah Ta’ala agar ia selamat.


162 Masalah Sufistik (Masalah 38)

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: 

“Tentang seseorang yang merasa di dalam hatinya ada penyakit, tetapi ia tidak tahu penyebabnya. Bagaimanakah pendapat Anda dalam hal ini?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah, jika penyakitnya telah diketahui, maka menurut para ‘arifin billah, pasti penyebabnya akan segera dapat diketahui pula.

Akan tetapi jika seseorang tidak mengetahui penyakit hatinya, maka obatilah penyakit hatinya dengan obat yg umum dan bermanfaat yg dapat menghilangkan segala macam penyakit hati.

Misalnya dengan cara banyak membaca al-Qur’an serta meresapi kandungan artinya, banyak berdzikir dengan penuh konsentrasi, banyak mengingat kematian serta apa² saja yg akan terjadi setelahnya, banyak duduk dengan orang² shaleh, dan lain sebagainya.

Ataupun dengan cara mengkaji atau membaca kitab² yg bermanfaat, di antaranya adalah membaca kitab² karya tulis al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra. atau para ulama salafunasshalihin lainnya. Itulah salah satu contoh obat yg paling mujarab untuk mengobati hati yg sedang sakit.”


162 Masalah Sufistik (Masalah 37)

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: 

“Tentang seseorang yg fana’ dalam dzikirnya.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa seseorang yg telah tenggelam di dalam lautan dzikirnya, maka ia akan fana’. Ia tidak akan merasa ada, bahkan ia tidak merasa jikalau alam semesta ini ada.

Ia hanya merasa yg ada hanyalah Allah Ta’ala, karena ia hanya menyaksikan Dzat Allah Ta’ala Yang Maha Esa. Dan kefana’an semacam ini merupakan kefana’an paling puncak dan jumlah pelakunya hanya sedikit serta kelangsungannya juga jarang.”


162 Masalah Sufistik (Masalah 36)

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: 

“Tentang seseorang yang mendapat kenikmatan dalam dzikirnya dengan lisan dan hati, kemudian dalam dzikirnya dengan hatinya tanpa lisannya. Kemudian dalam dzikirnya tanpa hatinya, meskipun makna dzikirnya tetap hidup, sehingga ia selalu merindukan keadaan seperti itu, yaitu ketika dzikirnya tetap berjalan, meskipun tidak lewat lisan dan hatinya.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa keadaan seseorang semacam itu cukuplah langka.

Adapun jika ada seseorang yg telah mencapai tingkatan itu, maka ia akan mencapai tingkatan berikutnya, yaitu tingkatan fana’. la tidak akan merasa ada dan alam sekitarnya pun akan dirasa tidak ada. Yg ia rasa ada hanyalah Allah Ta’ala Yang Maha Mulia.

Tingkatan ini merupakan tingkatan yg paling puncak, yaitu tingkatan ihsan, dan tingkatan ini telah melewati batas tingkatan Islam dan iman. Adapun seseorang yg telah mencapai tingkatan ini adalah seseorang yang paling beruntung.”


162 Masalah Sufistik (Masalah 35)

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: 

“Tentang seseorang yg senantiasa berdzikir, akan tetapi ia tidak mendapat kenikmatan berdzikir sebagaimana halnya yang didapatkan oleh mereka yg senantiasa berdzikir dengan penuh konsentrasi. Apakah penyebabnya hal ini?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa penyebab utamanya adalah karena hatinya tidak bagus dan tidak bersih dari budi pekerti serta perasaan yg buruk ketika ia berdzikir dan ia juga tidak berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah Ta’ala serta tidak menekuni petunjuk² syaikh mursyidnya, baik yg lahir maupun yg batin ketika ia berdzikir.

Siapapun yg tidak mampu melakukan hal² yg kami utarakan di atas, sebaiknya ia terus-menerus berdzikir dan memperbanyaknya lewat lisannya, serta berusaha sekuat mungkin untuk mengkonsentrasikan hatinya kepada Allah Ta’ala dan berharap penuh mendapatkan rahmat Allah Ta’ala.

Sampai pada suatu saat, pasti Allah Ta’ala akan memberinya kenikmatan ketika ia berdzikir, sebagaimana yg diperoleh wali² Allah Ta’ala yag suka berdzikir. Akan tetapi jika ia tidak mendapat kenikmatan berdzikir, maka janganlah heran, karena segala persyaratannya yg kami sebutkan diatas tidak dipenuhinya.


162 Masalah Sufistik (Masalah 34)

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: 

“Hadits Rasulullah Saw. yang menyatakan bahwa ada sebuah lembah di Neraka Jahannam yang mana Neraka Jahannam itu sendiri mohon perlindungan Allah Ta’ala dari lembah tersebuta sebanyak tujuh puluh kali dalam setiap harinya dan lembah itu disediakan bagi para qari’ yang riya’. Bagaimanakah pendapat Anda dalam hal ini?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa yg dimaksud orang² yg berbuat riya’ dalam hadits di atas adalah riya’ yg dilakukan oleh seseorang yg munafik, ia suka memperlihatkan iman dan amal² kebajikannya kepada orang lain, padahal di dalam hatinya tidak ada iman sedikitpun.

Dan ia melakukan demikian agar dihormati dan tidak dilecehkan oleh orang² yg beriman. Kelak orang semacam ini akan ditempatkan di Neraka Jahannam untuk selama-lamanya.”

Adapun maksud dari ucapan Neraka Jahannam yg mohon perlindungan Allah Ta’ala dari lembah tersebut sebanyak tujuh puluh kali dalam setiap harinya, adalah menunjukkan betapa kerasnya siksa yg ada di dalamnya dan betapa besarnya dosa riya’ yg dilakukan oleh orang² munafik.

Adapun para qari’ yg riya’ padahal mereka masih mempunyai iman seperti yg disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad Saw. di atas, ada kemungkinan mereka dimasukkan ke dalam lembah di Neraka Jahannam itu dan ia akan kekal di dalamnya jika ia ditetapkan mati dalam keadaan akhir yg buruk, sebagaimana halnya orang munafik.

Atau ada kemungkinan ia akan dimasukkan ke dalam lembah di neraka itu, namun ia akan dikeluarkan kembali setelah ia mendapat rahmat dari Allah Ta’ala. Sebab menurut sebuah hadits, seseorang tidak akan kekal di dalam neraka kalau di hatinya masih ada iman walau sekecil atom. Sedangkan riya’ termasuk syirik kecil, karena itulah dosa bagi pelakunya cukuplah besar.


162 Masalah Sufistik (Masalah 33)

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: 

“Apakah yg lebih utama, berdzikir secara rahasia ataukah berdzikir dengan suara yg keras?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa para ulama al-‘arifin pernah membicarakan masalah ini.

Kesimpulannya, berdzikir dengan suara rendah atau secara rahasia lebih utama bagi orang² yg takut berbuat riya’ jika mengeraskan suara dzikirnya atau takut mengganggu orang lain ketika ia sedang melakukan shalat atau ketika ia sedang tidur.

Akan tetapi jikalau ia tidak takut riya’ atau tidak takut mengganggu orang lain, maka berdzikir dengan mengeraskan suaranya nilainya lebih utama. Sebab, manfaatnya bagi orang lain lebih banyak dan lebih berpengaruh pada hati orang lain yg hatinya lalai.

Namun bagi yg hatinya tidak dapat meresapi dzikir seseorang dan pelaku dzikirnya tidak konsentrasi, maka berdzikir dengan suara rendah lebih bagus daripada mengeraskan suaranya. Hal itu didasari oleh sebuah hadits Rasulullah Saw.:

“Sebaik-baik dzikir adalah dengan suara rendah.”

Dalam hal ini, al-Qur’an juga memerintahkan kita untuk merendahkan suara ketika berdzikir. Hal ini sebagaimana yg terdapat dalam firman Allah Ta’ala:

“Dan sebutlah nama Tuhanmu di dalam dirimu.”

Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa bagi kedua cara berdzikir mempunyai keutamaan masing² menurut keadaannya masing². Oleh karena itu, para pelaku dzikir hendaknya memperhatikan baik² masalah ini. Wallaahu a’lam


162 Masalah Sufistik (Masalah 32)

Syaikh Abdullah bin Ahmad az-Zubaidi ra. bertanya: 

“Bagaimana hukumnya seorang yg melakukan amal amal kebajikan karena semata-mata ingin mendapatkan balasan pahala?”

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya mengharapkan pahala dari amal² kebajikan yg dilakukan oleh seseorang adalah perbuatan yg terpuji dan hal itu dilakukan juga oleh salafunas shalihin yg terdahulu. Sebab, manusia diciptakan dalam keadaan lemah dan miskin. Karena itu setiap orang membutuhkan mendapat karunia Allah Ta’ala, apalagi dari amal² kebajikan yg telah ia lakukan.”

Sebenarnya jawaban diatas dapat dimengerti, adapun untuk membicarakannya lebih jelas diperlukan waktu yg cukup lama. Akan tetapi perlu kami terangkan sedikit tentangnya sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa para pelaku amal² kebajikan ada tiga kelompok.

Di antaranya ada yg melakukan amal² kebalikan karena takut disiksa apabila tidak melakukannya. Kelompok ini disebut al-khaaifun, atau kelompok yg takut dari siksa Allah Ta’ala.

Adapula yg disebut kelompok ar-raajun. Mereka adalah orang² yg melakukan amal² kebajikan karena berharap pahala dari Allah Ta’ala. Adapula yg disebut kelompok al-aarifun. Mereka adalah orang² yg melakukan amal² kebajikan karena menjalankan perintah Allah Ta’ala.

Akan tetapi, kelompok al-aarifun juga mempunyai rasa takut mendapat siksa dan berharap mendapat pahala. Demikan pula kelompok al-khaaifun juga mempunyai perasaan yg sama dengan kelompok al-aarifun. Akan tetapi, seseorang akan dinilai menurut kecondongan perasaannya masing².

Ahli tasawuf menilai cukup rendah atas seseorang yg melakukan amalan kebajikan karena berharap mendapat pahala atau karena takut siksa. Penilaian mereka mengisyaratkan bahwa yg melakukan amal² kebajikan hanya semata-mata menjalankan perintah Allah Ta’ala, maka nilainya lebih utama dari seseorang yg melakukan amal² kebajikan karena mengharap pahala dan takut siksa.

Akan tetapi kedudukan sebagian orang adakalanya lebih tinggi dari kedudukan yg lain. Yg dapat menentukan kedudukan seseorang di sisi Allah Ta’ala hanya Allah Ta’ala semata, bukan yg lain.

Sebagai seorang hamba, ia hanya diwajibkan menjalani perintah²Nya, ia boleh berharap pahala dan takut siksa dan ia pun boleh tidak mempunyai kedua perasaan tersebut, karena hanya menjalankan perintah yg hanya diwajibkan baginya. Tetapi ketiga kelompok tersebut diharuskan menjalani seperti yg diperintahkan kepadanya.

Sebagian ahli ma’rifat menilai rendah seseorang yg melakukan amal kebajikan karena mengharap pahala dan takut siksa. Andaikata tidak ada keduanya, pasti mereka tidak akan melakukan amal kebajikan sedikitpun, bahkan di hatinya tidak ada rasa hormat sedikitpun kepada Allah Ta’ala, yg menyebabkan ia mau menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Penilaian semacam itu masih misteri kebenarannya, kalau tidak kita katakan penilaian semacam itu adalah salah. Menurutku, melakukan amal² kebajikan karena menjalankan perintah dan berharap pahala dan takut siksa merupakan perbuatan yg baik dan cukup terpuji. Bahkan para wali Allah Ta’ala melakukan amal² kebajikan dengan didasari tiga perasaan tersebut.

Hendaknya setiap orang mengetahui kewajibannya dan melaksanakannya dengan baik. Janganlah ia seperti pegawai yg buruk perangainya, ia tidak akan bekerja jika ia tidak diberi upah dan janganlah pula ia seperti budak sahaya yg buruk perangainya, ia tidak akan berlaku baik jika ia tidak takut dipukul.

Sebaiknya ia melakukan perintah Allah Ta’ala dan menjauhi Iarangan-Nya dengan sebaik-baiknya, karena hanya Allah Ta’ala lah Tuhan yg berhak memerintah dan melarang. Adapun mengharap pahala daripada-Nya ataupun takut akan siksa-Nya, boleh saja ia lakukan. Karena cara seperti itu cukup bagus serta adil. Dan cara seperti itu juga dilakukan oleh orang² shaleh dan kaum ulama terdahulu.


162 Masalah Sufistik (Masalah 31)

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya: 

“Jika seorang anak kecil berbuat riya’,” apakah pahala amal kebajikannya akan gugur? Serta bagaimanakah hukumnya?”

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah seorang anak kecil yg masih di bawah umur, segala perbuatannya tidak akan dicatat oleh Allah Ta’ala sebelum ia mencapai usia akil baligh. Namun pahala amal²nya akan gugur jika ia berbuat riya’. Meskipun demikian, ia akan diberi pahala jika amal kebajikannya ikhlas.

Dikatakan bahwa pahala amal² kebajikan yg dilakukan oleh seorang anak kecil akan dicatat dalam catatan pahala kedua orang tuanya dan andaikata ia perbuatan riya’, maka yg dilakukan olehnya akan dibebankan pada ayahnya atau walinya yg tidak pernah mengajarinya ikhlas dalam segala amal kebajikannya dan hal itu bisa saja terjadi.

Karena itu, diwajibkan bagi orang tua untuk mengajari anak²nya melaksanakan amal² yg diwajibkan, seperti berpuasa, shalat, serta melarang mereka melakukan hal² yg dilarang, seperti berbuat zina, minum arak, riya’, dan perbuatan yg dilarang lainnya.


162 Masalah Sufistik (Masalah 30)

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya: 

“Tentang ucapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra.: Hidupkanlah majelis² taat dengan kehadiran seorang yg malu kepada Allah Ta’ala.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Seolah-olah kesulitannya timbul dari arti malu dan riya’. Meskipun ada sebagian orang yg enggan melakukan amal kebajikan karena malu atau karena takut riya’, akan tetapi riya’ berbeda jauh dengan malu.

Sebab, riya’ mengandung arti seseorang berbuat amal kebajikan karena ingin pamer dihadapan orang banyak, sedangkan malu adalah perasaan yg timbul dari hati seorang yg mulia untuk mengerjakan amal kebajikan, karena ia takut diketahui orang banyak dan ia takut mempunyai perasaan riya’. Kejadian semacam ini banyak terjadi di majelis² orang² shaleh.

Dalam sebuah hadis disebutkan:

“Malulah engkau kepada Allah seperti engkau malu kepada seorang yg shaleh.”

Dalam hal ini, al-Imam asy-Syaikh Ibnu Sirin ra. berkata: “Aku lihat sangat jelek duduk di majelis orang² yg tidak mempunyai rasa malu kepada Allah Ta’ala.”

Disebutkan bahwa Sayyidina Anas bin Malik ra. berkata kepada seorang yg berkata kepadanya bahwa ia merasa malu jika keterlambatannya menghadiri Shalat Jum’at diketahui orang lain: “Seorang yg tidak malu kepada Allah Ta’ala, maka ia tidak boleh malu kepada manusia.”

Mungkin ia menisbahkankan ucapan tersebut kepada Rasulullah Saw. Namun aku ragu tentang masalah ini, karena itu aku tidak mau menilai ucapan itu sebagai ucapan Rasulullah Saw., karena aku takut ancaman siksa Allah Ta’ala bagi yg berdusta atas nama Rasulullah Saw.”


162 Masalah Sufistik (Masalah 29)

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya:

“Tentang maksud ucapan al-Imam al-Habib Abubakar bin Abdullah bin Abubakar al-Aydrus ra yg menyebutkan pada awal bait puisinya: Seseorang yg mencintai telah mabuk dalam cintanya, meskipun ia sadar (hingga pada ucapannya): “Allah berbuat apa saja yg mungkin atau yg mustahil sekehendak-Nya.”

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra menjawab: “Yg sulit dimengerti adalah ucapan ‘yg mustahil.’ Sebab, menurut ulama tauhid kata mustahil mempunyai arti tidak dapat dibayangkan dan tidak akan terjadi.

Padahal yg kami mengerti dari ucapan Beliau ra. bahwa andaikata kehendak Allah Ta’ala terkait dengan sesuatu yg mustahil, pasti akan terjadi. Kekuasaan Allah Ta’ala dapat menguasai apa saja yg tidak dapat diatasi oleh siapapun.

Menurutku, arti dari ucapan Beliau ra. diatas adalah Allah Ta’ala akan melakukan apa saja yg dikehendaki-Nya. Karena andaikata Allah Ta’ala menghendaki sesuatu, pasti Allah Ta’ala akan melakukan apa saja yg dikehendaki-Nya.

Akan tetapi Allah Ta’ala tidak akan berkehendak sesuatu yg mustahil. Karena jikalau Allah Ta’ala tidak berkehendak melakukan sesuatu yg mustahil, pasti sesuatu itu tidak akan terjadi. Hal ini sebagaimana yg disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

“Andaikata Allah Ta’ala berkehendak mempunyai seorang anak, pasti Dia akan memilih seorang anak.” [lihat Surah Az-Zumar (39): 4]

Memiliki seorang anak adalah mustahil bagi Allah Ta’ala, sebab Allah Ta’ala tidak pernah menghendakinya. Akan tetapi ada kemungkinan pengucapan itu adalah apa saja yg dinilai mustahil terjadi oleh akal, maka bagi Allah Ta’ala bukanlah sesuatu yg mustahil.

Menurut Bahasa Arab kata mustahil, biasa diucapkan dengan kata muhal. Sedangkan ucapan muhal sering diucapkan dalam percakapan sehari-hari, tetapi ada kemungkinan ucapan itu mempunyai arti lain yg tidak boleh diterjemahkan untuk kaum awam yg sulit menerima pengertiannya.


162 Masalah Sufistik (Masalah 28)

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya: 

“Bagaimanakah pendapat Anda tentang seorang yg berdzikir dan berdoa dengan menyebutkan berbagai nama Allah Ta’ala dalam bahasa selain Bahasa Arab bagi yg tidak mengerti artinya. Bagaimana hukumnya seorang yg berdzikir dengan menyebut kalimat Yaa Hu, Yaa Hu?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Dahulu pernah kami terangkan kepada Anda secara lisan bahwa seorang yg mengucapkan doa² karya para tokoh ulama yg menggabungkan ilmu dan keyakinan.

Di antara mereka adalah al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra., al-Imam asy-Syaikh Suhrawardi ra., al-Imam asy-Syaikh Abul Hasan asy-Syadzali ra., serta beberapa ulama lainnya. Sebab yg membaca doa² karya mereka hanya meniru yg telah ada.

Sedangkan seorang yg membaca doa dari bahasa selain Bahasa Arab dan ia tidak mengetahui artinya, sebaiknya ia segera meninggalkannya, karena ditakutkan kalau ada kata² yg mengandung arti kekafiran atau yg mendekati arti seperti itu.

Adapun seorang yg mengucapkan kalimat: “Yaa Hu, Yaa Hu.” Menurut al-Imam asy-Syaikh Zarruq ra. tidak boleh, kecuali bagi mereka yg telah tenggelam dalam lautan dzikirnya. Tetapi, menurut ulama lainnya tidak mengapa, karena ia hanya mengikuti contoh para ulama terdahulu, bukan menciptakannya tersendiri.


162 Masalah Sufistik (Masalah 27)

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya: 

“Tentang ucapan al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra. yg tertulis di dalam bab Syukur dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin: ‘Sesungguhnya para malaikat yg terdekat lebih banyak bersyukur kepada Allah Ta’ala daripada para Nabi.” Dalam tulisan tersebut, seolah-olah al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra. menilai para malaikat lebih mulia daripada para Nabi. Bagaimana pendapat Anda akan hal ini?”

al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa ucapan seperti itu adalah ucapan sebagian ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dan al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra. juga berpendapat seperti itu, meskipun ada beberapa ulama yg menentang pendapat itu.

Menurutku, pendapat al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra. itu hanya menilai dari segi tertentu, namun aku tidak akan mengomentarinya, sebab masalah mana yg lebih utama, hanya Allah Ta’ala yg mengetahui. Sebaiknya kita serahkan penilaiannya kepada Allah Ta’ala, sebagaimana yg disepakati oleh sebagian besar Ahlussunnah wal Jama’ah, termasuk juga al-Imam Hujjatul Islam al-Ghazali ra. dalam berbagai keterangannya di tempat lain.


162 Masalah Sufistik (Masalah 26)

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya: 

“Bolehkah seseorang menilai buruk seorang murid yang beribadah dengan harapan agar ia mendapatkan karamah dan mukasyafah sebagaimana yg disebutkan dalam Kitab ar-Risaalah al-Muriid?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Menilai buruk bagi seorang murid yg gemar beribadah dengan harapan diberi karamah dan mukasyafah diperbolehkan. Sebab, seorang murid yg melakukan hal itu tidak berbeda dengan seseorang yg beribadah dengan harapan mendapat kekayaan dan keuntungan duniawi.

Sebab karamah atau mukasyafah yg mereka harapkan hanya bersifat sementara dan bukan karamah yg sebenarnya. Lain halnya jika ia berharap mendapatkan karamah yg sebenarnya, seperti bertambahnya keimanan dan keyakinannya, dapat hidup sederhana di dunia, serta banyak berharap ridha Allah Ta’ala dan kebahagiaan di akhirat, maka harapan semacam itu adalah logis dan terpuji.

Karena setiap orang yg beragama dianjurkan hanya berharap ridha Allah Ta’ala dan kebahagiaan di akhirat, bukan berharap mendapat kesenangan duniawi semata.”


162 Masalah Sufistik (Masalah 25)

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya: 

“Bagaimanakah kedudukan seseorang yg menghadirkan hadirat Ilahi dalam shalatnya, namun ia takut kalau perasaan itu dapat merusak shalatnya serta juga ia tidak dapat berlaku sopan kepada Allah Ta’ala ketika perasaan itu datang?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah, jika seseorang takut kalau shalatnya akan terpengaruh oleh perasaannya ketika ia menghadirkan hadirat Ilahi, maka sebaiknya ia menghadirkan hadirat Ilahi menurut kemampuan hatinya, sehingga ia tidak terbebani oleh sesuatu yg tidak mampu ia tanggung.

Yg kedua, hendaknya ia menghadirkan perasaannya bahwa Allah Ta’ala sedang melihatnya dan jangan sampai ia berperasaan bahwa ia sedang melihat Allah Ta’ala. Hal itu bertujuan agar ia selamat dari segala pemikiran yg keliru tentang Dzat Allah Ta’ala, sebab ia belum mengenal Allah Ta’ala dalam tahapan yang utama dan sempurna.”


162 Masalah Sufistik (Masalah 24)

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya: 

“Tentang ucapan sebagian ahli tarekat yang melarang kaum awam membicarakan keadaan dan kedudukan para wali Allah Ta’ala.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Memang larangan semacam itu boleh diterima, khususnya bagi seorang murid yg sedang berjalan menuju Allah Ta’ala dan ia masih dalam tahapan pemula yg belum mendapat anugrah apapun dari kesungguhannya dalam menuju kepada Allah Ta’ala.

Sehingga jikalau ia membicarakan masalah² yg masih misteri baginya, tentunya bisa menyebabkannya riya’, yg adakalanya dapat menurunkan kedudukannya di sisi Allah Ta’ala.

Karena itu, sebaiknya ia tidak menanyakan kepada Guru pembimbingnya atau kepada orang lain, kecuali sebatas masalah² yg sedang ia hadapi atau sebaiknya ia merujuk kembali kepada buku panduannya.


162 Masalah Sufistik (Masalah 23)

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya: 

“Apakah yg dimaksud dengan berjalan menuju kepada Allah Ta’ala?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa yg dimaksud berjalan menuju kepada Allah Ta’ala, menurut hakekat dan maknanya adalah membersihkan jiwa serta anggota tubuh dari budi pekerti dan tindak-tanduk yg tidak baik.

Kemudian menghiasinya dengan budi pekerti yg luhur serta dengan berbagai amal kebajikan. Memang hanya dengan cara seperti itulah seseorang dapat sampai kepada Allah Ta’ala.

Makin banyak ia membersihkan jiwa dan jasadnya dari segala dosa, maka ia akan semakin dekat dengan Allah Ta’ala. Selanjutnya, ia masih harus menempuh jalan lain yg lebih lembut dan lebih tajam. Hanya saja, jalan itu tidak perlu kami jelaskan disini, karena sulit dimengerti oleh kaum awam.


162 Masalah Sufistik (Masalah 22)

 Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya:

“Tentang mengusap seluruh anggota badan setelah membaca doa dan meniupkannya kepada kedua telapak tangan sebelum tidur. Apakah diharuskan mengusap seluruh bagian badan, meskipun sulit melakukannya ataukah boleh semampunya? Karena di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah Saw. mengusap bagian tubuhnya semampunya.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa meskipun Rasulullah Saw. mengusapkan kedua telapak tangannya ke seluruh bagian tubuhnya setelah membaca doa dan meniupnya.

Akan tetapi nampaknya Rasulullah Saw. tidak dapat mengusap seluruh bagian badannya. Karena itu, Rasulullah Saw. hanya mengusap bagian² yg dapat diusap oleh kedua telapak tangannya. Yaitu mulai dari kepalanya, wajahnya, dan bagian depan tubuhnya.


162 Masalah Sufistik (Masalah 21)

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya:

“Tentang waktu yang lebih utama untuk berdzikir. Apakah di waktu pagi ataukah di waktu sore?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya waktu pagi dimulai pada tengah malam atau pada sepertiga terakhir dari waktu malam. Adapun waktu sore adalah dimulai sejak tergelincirnya matahari di siang hari.

Adapun berdzikir pada waktu sore sampai malam hari dan melakukannya pula di awal malam, maka nilainya lebih utama. Demikian pula berdzikir di waktu pagi yg dimulai sebelum terbitnya waktu fajar hingga naiknya matahari, nilainya cukup bagus.”


162 Masalah Sufistik (Masalah 20)

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya:

“Apakah mendahulukan kepentingan orang lain itu termasuk untuk urusan dunia dan akhirat ataukah hanya berkaitan dengan urusan dunia saja?

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya mendahulukan kepentingan orang lain di dalam urusan dunia dan kesenangannya termasuk perbuatan yg bagus.

Kaum salafunasshalihin terdahulu senantiasa melakukan hal itu dan tentang hal itu banyak kisah² yg mengagumkan. Imam al-Ghazali ra. pernah menyebutkan kisah orang² yg lebih mendahulukan kepentingan orang lain dibanding kepentingan pribadinya di dalam Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin dalam bab Dzammul Maali.

Adapun mendahulukan kepentingan orang lain dalam urusan akhirat termasuk juga amal² taqarrub kepada Allah Ta’ala. Namun sebagian salafunasshalihin tidak melakukan hal ini. Sebab mereka berpedoman, untuk urusan akhirat, setiap orang dianjurkan berlomba-lomba dalam memperbanyak amal² kebajikan. Jadi, tidak ada yg boleh mendahulukan orang lain untuk melakukan amal² kebajikan.

Di antara amal² taqarrub ada yg mengandung resiko. Karena itu, sebagian orang ada yg mendahulukan orang lain untuk melakukannya, karena merasa bahwa orang lain lebih mampu dan lebih pantas untuk melakukannya. Misalnya menjadi imam dalam shalat, menjadi pimpinan umat atau menjadi pengajar ilmu pengetahuan.

Tentunya dalam masalah² yg kami sebutkan tadi, tidak semua orang mempunyai kemampuan yg sama. Karena itu, masalah ini tidak boleh diperlombakan, karena semuanya akan berjalan menurut kemampuannya masing². Jika engkau perhatikan baik², dapat kami lihat bahwa mereka yg mendahulukan kepentingan orang lain hanya ingin mendapat ridha Allah Ta’ala dan selamat dari murka-Nya


162 Masalah Sufistik (Masalah 19)

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya:

“Apakah surga berada di langit dan neraka berada di dasar bumi yg paling bawah. Apakah langit dan bumi akan berubah pada hari kiamat? Apakah Allah Ta’ala akan menggantikan langit dan bumi dengan yg lain? Apakah surga bertingkat-tingkat? Berapa jumlahnya? Apa yg mendorong orang² beriman ingin melihat Allah Ta’ala di alam akhirat kelak?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa pengetahuan tentang surga dan neraka telah diterangkan dengan jelas oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara global maupun secara terperinci, dan akal manusia tidak dapat mencernanya dengan baik. Karena itu sebaiknya kita menyakini adanya dengan keimanan.”

Surga menurut al-Qur’an berada di langit dunia dan mempunyai tingkatan². Menurut sebagian riwayat, surga mempunyai seratus tingkatan. Namun menurut riwayat yg lain, surga mempunyai lebih dari enam ribu tingkatan atau sebanyak ayat² yg ada di dalam al-Qur’an.

Selain itu, masih ada delapan surga yg di dalam setiap surga tersebut terdapat surga² yg tiada terhitung jumlahnya dan yg paling tinggi tingkatannya adalah Surga Firdaus dan tepat di atasnya terdapat Arsy Allah Ta’ala.

Adapun penghuni Surga Firdaus adalah para Nabi, Rasul, serta orang² mukmin dan muslim yg shaleh. Perbedaan tingkatan di antara mereka tergantung kepada perbedaan keimanan dan amal² kebajikan mereka. Di antara mereka ada yg menempati tempat tertinggi, bahkan ada pula yg menempati lebih tinggi, tidak ada yg menempati di tingkat bawah, sebab semua tingkatan di surga amat tinggi.

Adapun yg mendorong orang² beriman ingin melihat Allah Ta’ala di dalam surga adalah kekuatan Allah Ta’ala yg diberikan kepada mereka, yaitu pada waktu mereka dihidupkan kembali dari kuburnya, pada waktu itu mereka tidak diberi unsur² kelemahan dan kefana’an.

Adapun keadaan bumi dan langit pada hari kiamat, menurut sumber² yg ada, akan diganti oleh Allah Ta’ala dalam bentuk yg lain. Hal ini sebagaimana yg diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya:

“Pada hari itu, bumi akan diganti dengan bentuk yg lain.”

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman:

“Dan ketika langit telah terbelah.”

Kemudian langit dan bumi dibentuk kembali seperti sediakala, akan tetapi keadaannya berbeda dengan keadaan pada waktu sebelumnya.

Adapun neraka menurut sebuah riwayat, sekarang ini berada di dasar bumi yg paling bawah, yaitu berada di lapisan ketujuh. Adapula yg mengatakan berada di bawah laut. Neraka mempunyai tujuh tingkatan. Yg paling atas adalah Neraka Jahannam. Neraka ini yg disediakan bagi orang² yg bertauhid yg pernah melakukan maksiat.

Dan yg paling bawah adalah Neraka Hawiyah, ia tidak mempunyai dasar. Di hari kiamat kelak, setelah Allah Ta’ala menghakimi umat manusia dan makhluk² yg lain, maka Arsy serta surga diletakkan di sebelah kanan Allah Ta’ala dan api neraka diletakkan di sebelah kiri-Nya, kemudian semua makhluk dipanggil, di antara mereka ada yg dimasukkan ke dalam surga dan adapula yg dimasukkan ke dalam neraka.

Al-Qur’an dan as-Sunnah telah banyak menerangkan adanya surga dan neraka, beserta suka dukanya. Maka bacalah keterangannya dan renungilah baik². Kemudian yakinilah dengan baik, agar engkau mendapat petunjuk. Sebab hanya orang yg berada dalam maqam yaqin yg akan mendapatkan petunjuk Allah Ta’ala.


162 Masalah Sufistik (Masalah 18)

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya:

“Apakah pertanyaan kedua malaikat, Munkar dan Nakir bagi penghuni kubur itu ada? Kalau ada, maka pertanyaannya dengan bahasa apa? Apakah jumlah mereka hanya dua ataukah lebih? Apakah mereka berbentuk menurut keadaan yg mati?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya pertanyaan dua malaikat bagi penghuni kubur adalah benar dan pasti adanya. Tentang adanya pertanyaan dalam kubur tidak perlu diragukan, sebab dalil²nya cukup jelas dan kita hanya diharuskan mempercayai adanya pertanyaan kubur.

Tentang masalah ini, pernah diterangkan secara luas oleh Imam as-Suyuthi ra. dalam kitabnya yg berjudul asy-Syarh ash-Shudur Fii Ahwaali Ahlil Qubur. Jika engkau ingin mengetahuinya lebih terperinci lagi, maka bacalah masalah ini dalam kitab tersebut.


162 Masalah Sufistik (Masalah 17)

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya:

“Apakah seorang yg mengingkari karamah para wali Allah Ta’ala akan membawa orang tersebut menjadi kafir?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Pendapat ulama seperti itu dapat dijadikan dasar, karena pendapat mereka ada dasarnya dalam syari’at.

Di dalam Kitab al-Lathaif al-Minan disebutkan bahwa Syaikh Abu Turab an-Nakhsyabi ra. berkata: “Seorang yg mengingkari karamah para wali Allah Ta’ala menjadi seorang kafir, sebab ia telah mengingkari kekuasaan Allah Ta’ala.”

Adapun yg menganggap karamah sebagai bagian dari mu’jizat, maka anggapan itu boleh diterima, meskipun pada dasarnya karamah berbeda dengan mu’jizat. Sebab, mu’jizat sengaja diberikan kepada seorang Nabi sebagai tanda bahwa ia adalah benar² utusan Allah Ta’ala.

Sedangkan karamah sengaja diberikan kepada seorang wali, sebagai tanda bahwa ia adalah seorang wali yg mengikuti syari’at seorang Nabi dengan benar. Karena itu, tidak salah apabila ada yg menganggap bahwa karamah adalah bagian dari mu’jizat.

Karena seorang wali adalah seseorang yg mengikuti syari’at seorang Nabi dengan sungguh², hingga Allah Ta’ala memberikan kepadanya sebuah karunia yg disebut dengan karamah.


162 Masalah Sufistik (Masalah 15)

Syaikh Abdullah Basa’id al-Amudi ra. bertanya:

“Tentang ucapan Syaikh Sa’id bin Isa al-Amudi ra.: 

‘Seorang tidak pantas menjadi syaikh mursyid sampai setelah ia mengetahui pokok² agama dan cabang²nya. Adapun pokok² agama ada tujuh dan cabang²nya ada tujuh puluh.

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa ucapan Syaikh Sa’id bin Isa al-Amudi ra. sebagaimana yg Anda sebutkan di atas adalah benar. Seseorang tidak pantas menjadi seorang tokoh agama yg berdakwah sampai setelah ia mengerti dan mengetahui pokok² agama dan cabang²nya. Baik secara global maupun secara terperinci, baik dari hasil mempelajarinya dan mendalaminya maupun dari hasil pemberian ataupun ilham dari Allah Ta’ala.

Sebagaimana yg diperoleh oleh Syaikh Sa’id bin Isa al-Amudi ra., seorang yg buta huruf ataupun seperti yg diperoleh oleh Syaikh Ahmad ash-Shayyad, Syeikh Ali al-Ahdal ra., Syaikh Abul Ghaits ra., dan lain²nya.

Adapun pengertian ucapan Syaikh Sa’id bin Isa al-Amudi ra.: “Pokok² agama ada tujuh dan cabang²nya ada tujuh puluh.” Sebenarnya tidak ada satu dalil pun yg menyebutkan jumlahnya sebagaimana yg telah disebutkan oleh Syaikh Sa’id bin Isa al-Amudi ra.

Mungkin pengertian seperti itu merupakan suatu kesimpulan dari ucapan sebagian ulama yg mengatakan hal itu, seperti ucapan seorang ulama: “Seorang tokoh agama diwajibkan melakukan hal² yg wajib dan sunnah. Hal² yg wajib adalah mencintai Allah Ta’ala, sedangkan yg sunnah adalah zuhud atau hidup sederhana di dunia.”

Adapun kesimpulan dari ucapan Syeikh Sa’id bin Isa al-Amudi ra. diatas, seorang tokoh agama harus mengetahui segala permasalahan agama, baik yg pokok maupun cabangnya secara lahir maupun batin. Hal ini sebagaimana yg telah disebutkan dalam sebuah hadits:

“Allah tidak akan memilih seorang yg bodoh sebagai wali-Nya, andaikata Allah Ta’ala berkehendak memilih seseorang untuk menjadi wali-Nya, maka Allah Ta’ala akan memberikannya ilmu.”


162 Masalah Sufistik (Masalah 14)

Syaikh Muhammad bin Ahmad Shal’an ra. bertanya:

“Tentang makna hadits qudsi: “Seorang yg sibuk mengingat-Ku lebih dari memohon kepada-Ku, maka Aku akan memberikan sesuatu yg lebih baik baginya.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “ Maksud dari hadits qudsi tersebut, adalah seseorang yg senantiasa mengingat Allah Ta’ala (dzikrullah) dan pekerjaan semacam itu menjadi rutinitasnya setiap saatnya, sehingga ia tidak sempat berdoa.

Maka menurut Allah Ta’ala, orang itu akan diberi berbagai karunia yg lebih banyak dan lebih baik dari segala permohonan yg diminta oleh mereka yg suka berdoa. Karena ia selalu sibuk mengingat Allah Ta’ala, sehingga ia tidak sempat berdoa.

Perlu diketahui, meskipun hadits qudsi diatas mengisyaratkan bahwa seseorang yg senantiasa mengingat Allah Ta’ala lebih utama dari mereka yg senantiasa berdoa, tetapi ia tidak boleh hanya mengingat Allah Ta’ala tanpa berdoa sedikit pun. Sebab, berdoa termasuk bagian mengingat Allah Ta’ala.

Karena seseorang yg berdoa, hatinya terasa butuh, tunduk, dan khusyuk kepada Allah Ta’ala, lebih dari berbagai rurinitas ibadah lainnya. Tentunya perasaan tersebut merupakan modal ter besar untuk diterimanya ibadah seseorang. Dalam hal ini, Rasulullah Saw. bersabda:

“Doa adalah pokok dari segala ibadah.”


162 Masalah Sufistik (Masalah 13)

Syaikh Muhammad bin Ahmad Shal’an ra. bertanya:

“Apakah maksud doa yg diucapkan oleh Rasulullah Muhammad Saw. untuk Sahabat Abdullah Ibnu Abbas ra.: ‘Ya Allah, berilah ia pengertian dalam agama dan ajarilah ia ilmu takwil.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Adapun maksud dari doa Rasulullah Saw. berilah ia pengertian dalam agama, adalah pengertian tentang ilmu² agama, termasuk juga hikmah² dan rahasia²nya, sehingga ia dapat mempraktekkan setiap ajarannya dengan penuh pengertian dan dengan dasar² yg kuat.

Adapun pengertian doa Rasulullah Saw. dan ajarilah ia ilmu takwil, adalah ilmu yg dibutuhkan untuk menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Memang Sahabat Abdullah Ibnu Abbas ra. termasuk seorang pakar dalam ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah, dan Beliau dikenal dengan nama “Penerjemah al-Qur’an.” Hal ini karena berkah doa Rasulullah Saw. tersebut.

Doa Rasulullah Saw. seperti yg kami sebutkan di atas, biasa dibaca oleh orang² shaleh dengan tambahan “Dan berilah kami petunjuk ke jalan lurus yg menuju kepada ridha Allah Ta’ala dan surga-Nya dengan mudah dan selamat.” Seorang yg berdoa semacam itu, pasti akan dikabulkan oleh Allah Ta’ala dan doa tersebut akan bermanfaat.


162 Masalah Sufistik (Masalah 12)

 Syaikh Muhammad bin Ahmad Shal’an ra. bertanya:

“Apakah seseorang boleh mencintai dzat seseorang ataukah hanya diperbolehkan mencintai sifatnya saja?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Mencintai sifat² yg baik dari seseorang bisa diterima oleh akal dan ia dapat bermanfaat di dunia serta di akhirat kelak. Akan tetapi mencintai sifat² seseorang, maka nilainya lebih tinggi dan lebih bermanfaat.

Adapun mencintai dzat seseorang adalah perbuatan yg tidak pantas, yg pantas adalah mencintai Dzat Allah Ta’ala. Meskipun pengertian mencintai Dzat Allah Ta’ala cukup rumit dan misteri bagi orang awam. Namun setiap orang harus mencintai Dzat Allah Ta’ala lebih dari yg lain.”

Adapun jika ada yg berkata: “Kami tidak membenci dzat sebagian orang dari keluarga Rasulullah Saw. yg sifatnya tidak bagus, tetapi kami hanya tidak menyenangi sifat²nya yg buruk. Sebab pada diri mereka mengalir darah suci Rasulullah Saw.” Ketahuilah masalah ini tidak termasuk dalam pembahasan kita.