Catatan Popular

Rabu, 26 Februari 2025

Kitab Ar Ruh Ibn Qayyim Al Jauziyah : Pertanyaan Kesepuluh

Pertanyaan Kesepuluh: Hal-Hal Apakah yang Dapat Menyelamatkan dari Siksa Kubur?


JAWABAN ATAS pertanyaan itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu yang bersifat global dan jawaban yang bersifat rinci.

 

Jawaban global atas pertanyaan ini adalah sebagai berikut:

 

Hal pertama yang dapat menyelamatkan manusia dari siksa kubur adalah dengan menghindari semua perkara yang dapat menyebabkan dijatuhkannya siksa kubur.

 

Salah satu di antara amalan paling bermanfaat yang dapat meng. hindarkan manusia dari siksa kubur yaitu, hendaklah seorang hamba duduk sebentar dengan menyebut nama Allah sebelum tidur guna melakukan muhasabah atas diri sendiri dengan menghitung kembali segala kerugian dan keuntungan yang telah didapat dalam satu hari yang baru saja berlalu. Setelah itu, hendaklah dia memperbarui tobatnya dengan tobat yang tulus di hadapan Allah, lalu tidur dalam pertobatan itu sembari bertekad untuk tidak mengulangi dosa yang telah dilakukannya apabila nanti dia bangun dari tidurnya.

 

Hendaklah seorang hamba melakukan amalan itu setiap malam. Apabila dia mati pada malam itu juga, dia mati dalam tobat. Apabila dia terbangun dari tidurnya, dia akan bangun dalam kondisi siap untuk beramal dengan kegembiraan atas ditundanya ajalnya, sampai dia memohon perjumpaan dengan Tuhannya dan berusaha mengetahui apa saja yang telah luput darinya.

 

Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba selain tobat seperti ini. Terlebih apabila tobat itu diiringi dengan zikir mengingat Allah swt. serta mengamalkan berbagai sunah yang bersumber dari Rasulullah saw. di saat tidur, demikian terus sampai dia tertidur. Siapa pun yang Allah inginkan kebaikan baginya, maka Allah pasti akan memberi taufik baginya untuk menuju kebaikan itu. Tidak ada kekuatan kecuali hanya pada Allah swt.

 

Adapun sebagai jawaban rinci atas pernyataan tersebut di atas, akan kami sampaikan beberapa hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah saw. dan berisi mengenai hal-hal yang dapat menyelamatkan kita dari siksa kubur.

 

Di antaranya adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam ash-Shahih. Dari Salman, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Menjaga perbatasan satu hari satu malam lebih baik daripada puasa satu bulan lengkap dengan bangun malamnya. Apabila dia mati maka dia akan diberi pahala sesuai amal yang dilakukannya dan akan diberi pahala rezekinya dan akan aman dari penimpa petaka (siksa kubur).” (HR. Muslim)

 

Dalam Jaami’ at-Tirmidzi terdapat hadis-hadis dari Fadhalah bin Ubaid, dari Rasulullah saw., beliau bersabda, “Setiap orang mati dikhatamkan atas amalnya, kecuali orang yang mati saat menjaga perbatasan di jalan Allah. Amalnya akan terus ditumbuhkan sampai Hari Kiamat dan dia akan aman dari fitnah kubur.” (HR. Tirmidzi)

 

Tirmidzi menyatakan bahwa hadis-hadis ini statusnya hasan sahih.

 

Dalam Sunan an-Nasa‘i terdapat hadis, dari Rasyid bin Sa’d, dari salah seorang sahabat Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, mengapa orang-orang mukmin ditimpa petaka di dalam kuburan mereka kecuali orang yang mati syahid?”

 

Rasulullah saw. menjawab, “Telah cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya sebagai petaka.”(HR. an-Nasa’i)

 

Diriwayatkan dari Miqdam bin Ma’dikarib, dia berkata. Rasulullah saw. bersabda, “Orang mati syahid di sisi Allah memiliki enam perkara: Diampuni baginya (dosanya) pada cucuran pertama darahnya, diperlihatkan kepadanya tempatnya di surga, diselamatkan dari siksa kubur, diamankan dari Kengerian Besar, diletakkan di kepalanya Mahkota Kemuliaan dengan permata yaqut yang lebih baik daripada dunia seisinya, dikawinkan dengan tujuh puluh dua istri dari kalangan bidadari, diberi hak memberi syafaat kepada tujuh puluh kerabatnya.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)

 

Tirmidzi menyatakan bahwa hadis-hadis ini statusnya hasan sahih.

 

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra., dia berkata, “Suatu ketika Salah seorang sahabat Rasulullah saw. mendirikan kemah di atas sebuah kuburan tanpa dia menyadari bahwa tempat itu adalah kuburan. Ternyata di situ ada seseorang yang membaca Surah al-Mulk sampai selesai. Dia pun mendatangi Rasulullah saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku mendirikan kemah di atas kuburan tanpa aku menyadari bahwa tempat itu adalah kuburan. Ternyata di situ ada orang yang membaca Surah al-Mulk sampai selesai.” Rasulullah saw. menyahut, “ia (surah al-Mulk) adalah penghalang. Ia adalah pelindung yang dapat melindungi dari siksa kubur.” Tirmidzi menyatakan bahwa hadis-hadis ini statusnya hasan gharib.

 

Telah diriwayatkan kepada kami dalam Musnad ‘Abd bin Humaid, dari Ibrahim bin Hakam, dari ayahnya, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas ra., dia berkata kepada seseorang, “Maukah engkau kusampaikan Hadis-hadis kepadamu yang engkau akan bergembira karenanya?”

 

Lelaki itu menjawab, “Tentu saja!”

 

Ibnu ‘Abbas ra. berkata: Bacalah tabarakalladzi biyadihil mulk (Surah al-Mulk). Hafalkan surah itu dan ajarkan kepada keluargamu, anak-anakmu, anak-anak kecil di ramahmu dan para tetanggamu karena sesungguhnya surah itu adalah penyelamat dan pendebat yang akan mendebat di Hari Kiamat di sisi Tuhannya bagi pembacanya; sebagaimana surah itu juga akan memintakan kepada Tuhannya untuk pembacanya agar Dia berkenan menyelamatkan pembacanya dari siksa neraka, apabila surah itu ada di dalam diri pembacanya. Dengan surah itu Allah akan menyelamatkan pemiliknya’™ dari siksa kubur. Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh aku sangat menyukai apabila surah itu (maksudnya, Surah al-Mulk—Penj.) bersemayam di dalam hati setiap orang dari kalangan umatku.”

 

Abu “Umar bin “Abdul Barr menyatakan, “Telah diriwayatkan secara sahih dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, ‘Sesungguhnya surah dengan tiga puluh ayat dapat memberi syafaat kepada pemiliknya sampai dia diberi pengampunan; yaitu tabarakalladzi biyadihil mulk (Surah al-Mulk).”

 

Dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan sebuah hadis dari Abu Hurairah ra. yang berstatus marfuk, “Barang siapa yang mati dalam keadaan sakit, dia mati sebagai syahid. Dia akan dilindungi dari petaka kubur dan dia akan diberi rezeki dari surga.”

 

Disebutkan dalam Sunan an-Nasa‘i dari Jami’ bin Syidad, dia berkata: Aku telah mendengar Abdullah bin Yasar berkata, “Ketika aku sedang duduk bersama Sulaiman bin Shurad dan Khalid bin ‘Urfuthah, mereka menyampaikan bahwa ada seorang lelaki yang mati disebabkan sakit perutnya. Ketika mereka berdua ingin menyaksikan jenazah orang itu, salah seorang dari mereka berkata kepada orang yang satu lagi, ‘Bukankah Rasulullah saw. telah bersabda bahwa barang siapa yang dimatikan oleh perutnya, niscaya dia tidak akan disiksa di dahan kuburnya?’

 

Abu Dawud ath-Thayalisi berkata dalam al-Musnad yang disusunnya: Syu’bah menuturkan kepada kami, Ahmad bin Jami’ bin Syaddad perkata, “Ayahku menuturkan kepadaku…” Lalu dia menuturkan hadis-hadis seperti tersebut di atas dan dia menambahkan, “Temannya menjawab, “Ya!”

 

Dalam at-Tirmidzi dikatakan sebuah hadis dari Rabi’ah bin Saif, dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorang muslim pun yang mati pada hari Jumat atau pada malam Jumat kecuali Allah akan melindunginya dari petaka kubur.” Tirmidzi menyatakan bahwa hadis-hadis ini statusnya hasan gharib. Sanad hadis-hadis ini tidak bersambung. Penyebabnya adalah karena Rabi’ah bin Saif hanya meriwayatkan hadis-hadis dari Abu ‘Abdurrahman al-Hubuli, dari ‘Abdullah bin Amr. Tidak pernah diketahui bahwa Rabi‘ah bin Said menyimak hadis-hadis dari ‘Abdullah bin “Amr.

 

Tirmidzi dan Hakim’ telah meriwayatkan hadis-hadis ini dari Rabi‘ah bin Saif, dari ‘lyadh bin “Uqbah al-Fihri, dari “Abdullah bin ‘Amr. Hadis-hadis serupa telah diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al-Hafiz dari Muhammad bin Munkadir, dari Jabir dengan status marfuk dan dengan lafal yang berbunyi, “Barang siapa yang mati pada malam Jumat atau hari Jumat pasti akan diselamatkan dari siksa kubur dan dia akan datang di Hari Kiamat dengan gelar para syuhada.” Akan tetapi, hadis-hadis ini diriwayatkan sendirian oleh ‘Umar bin Musa al-Wajihi. Dia merupakan seorang penduduk Madinah dan statusnya daif.

 

Berkenaan dengan sabda Rasulullah saw. yang berbunyi, “Telah cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya sebagai petaka,” maksudnya (wallahu a‘lam) yaitu: Orang tersebut telah diuji kadar kemunafikan dan keimanannya dengan kilatan pedang di atas kepalanya yang dig tidak lari ketika menghadapi itu. Kalau orang tersebut memang seorang munafik, tentu dia tidak akan mampu bersabar menghadapi kilatan pedang di atas kepalanya. Sikapnya itu telah menunjukkan bahwa keimanannyalah yang mendorongnya untuk mengorbankan diri dem; Allah dan berserah kepada-Nya. Dari dalam hati orang itu, bergolak kemarahan demi membela Allah dan Rasul-Nya, serta demi membela agama dan meninggikan kalimat-Nya. Semua itu menunjukkan kebe. naran isi hatinya. Dia berani maju berperang, sehingga dengan semua itu tidak tidak perlu lagi menghadapi ujian di dalam kuburnya.

 

Abu ‘Abdullah al-Qurthubi menyatakan, “Apabila seorang syahid tidak akan ditimpa petaka (dalam kubur), seorang yang jujur (shiddiq) tentu lebih besar pahalanya dan lebih pantas untuk tidak ditimpa petaka kubur karena kaum shiddiqin lebih dulu disebutkan oleh Allah dalam ayat yang menyebut golongan syuhada.’”

 

Kalau hadis-hadis sahih telah menyatakan bahwa penjaga perbatasan (murdbith) yang statusnya lebih rendah daripada syahid tidak akan ditimpa petaka dalam kubur, maka apatah lagi kiranya dengan orang yang kedudukannya lebih tinggi dari orang syahid?

 

Hadis-hadis sahih telah menyampaikan berulang kali pernyataan ini dan juga menjelaskan bahwa golongan shiddiq tetap ditanya di dalam kuburnya sebagaimana semua orang selain mereka ditanya di dalam kubur. Tak kurang dari ‘Umar bin Khathab ra. yang merupakan pemuka kalangan shiddiqiin, dia bertanya kepada Rasulullah saw. ketika beliau mengabarkan kepadanya tentang pertanyaan malaikat di dalam kubur, “Apakah aku akan seperti keadaanku ini?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya.” Lalu dia menuturkan hadis.

 

Adapun berkenaan dengan para nabi, orang-orang berbeda pendapat mengenai apakah para nabi juga ditanya di dalam kubur mereka. Mereka memiliki dua pendapat yang keduanya menjadi dua sisi pada mazhab Ahmad dan lainnya. Keistimewaan yang secara khusus dimiliki oleh golongan syahid tidak serta-merta juga ikut dimiliki oleh golongan shiddiq, walaupun golongan shiddiq lebih tinggi dibandingkan golongan syahid karena keistimewaan yang dimiliki para syuhada mungkin saja tidak dimiliki orang mereka yang lebih afdal daripada mereka, walaupun mereka lebih tinggi derajatnya dibandingkan mereka (para syuhada).

 

Adapun berkenaan dengan hadis-hadis Ibnu Majah yang berbunyi,

 

“Barang siapa yang mati dalam keadaan sakit, maka dia mati sebagai syahid. Dia akan dilindungi dari petaka kubur.”

 

Akan tetapi, di antara rangkaian perawi hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah ini terdapat beberapa individu yang berstatus gharib dan munkar. Seperti hadis-hadis ini ada hadis-hadis lain yang berstatus maukuf dan tidak dapat dinyatakan berasal dari Rasulullah saw. Kalaupun hadis-hadis tersebut sahih, maka ia tetap terikat (muqayyad) dengan hadis-hadis lain, yaitu hadis-hadis yang menyebutkan kematian akibat sakit perut. Adalah sahih statusnya bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang sakit perut (lalu mati) adalah syahid.” Jadi, hadis-hadis yang bersifat mutlak (muthlaq) ini hendaklah kemudian dibawa kepada hadis-hadis yang bersifat terikat (muqayyad) tadi. Wallahu a’lam.

 

Berkenaan dengan hal-hal yang dapat menyelamatkan hamba dari siksa kubur, ada sebuah hadis yang di dalamnya disebutkan pula mengenai kesembuhan yang diriwayatkan oleh Musa al-Madini yang kemudian dinukil dalam kitabnya dalam at-Targhib wa at-Tarhib yang dia jadikan sebagai penjelasannya. Dia meriwayatkan hadis-hadis itu dari Faraj bin Fadhalah, “Hilal Abu Jabalah menuturkan kepada kami, dari Sa‘id bin Musayyab, dari ‘Abdurrahman bin Samurah, dia berkata, ‘Rasulullah keluar menemui kami ketika kami berada di shuffah (serambi masjid) di Madinah. Beliau berdiri di dekat kami lalu berkata,

 

“Sesungguhnya semalam aku bermimpi melihat sesuatu yang menakjubkan. Kulihat seorang lelaki dari kalangan umatku didatangi oleh Malaikat Maut untuk mencabut nyawanya. Tetapi datanglah baktinya kepada kedua orang tuanya kepadanya, lalu baktinya itu mengusir Malaikat Maut darinya.

 

Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang telah dihamparkan siksa kubur untuk dirinya. Tetapi wudhunya mendatanginya dan menyelamatkannya dari siksa kubur itu. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang ditakut-takuti oleh setan-setan. Tetapi zikirnya mengingat Allah mendatanginya lalu zikir itu mengusir setan-setan itu darinya. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang ditakut-takuti oleh para malaikat penyiksa. Tetapi shalatnya mendatanginya lalu shalatnya itu menyelamatkannya dari tangan para malaikat itu.

 

Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang kehausan, setiap kali dia mendekati telaga, dia selalu dihalau dan diusir. Tetapi puasanya di bulan Ramadhan mendatanginya lalu puasa itu memberinya minum hingga hilang dahaganya. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku ketika kulihat para nabi sedang duduk dalam halaqah-halaqah, setiap kali lelaki itu mendekati salah satu halaqah dia langsung diusir. Tetapi datanglah kepadanya mandi junub yang dilakukannya dulu, mandi junub itu menggamit tangannya, lalu mendudukkan lelaki itu di sampingku.

 

Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang di depannya terbentang kegelapan, di belakangnya terbentang kegelapan, di kanannya terbentang kegelapan, di kirinya terbentang kegelapan dan di atasnya terbentang kegelapan sehingga dia benar-benar kebingungan di tempatnya itu. Tetapi datanglah kepadanya haji dan umrah yang dilakukannya, lalu keduanya mengeluarkannya dari kepungan kegelapan itu lalu keduanya memasukkannya ke dalam cahaya. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang ketakutan karena ada kobaran api di depannya. Tetapi sedekahnya mendatanginya dan sedekah itu menjadi tirai pelindung yang melindunginya dari api dan menjadi naungan di kepalanya.

 

Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang berbicara kepada orang-orang mukimin, tetapi orang-orang mukmin itu tidak saudi berbicara kepadanya. Tetapi datanglah kepadanya silaturahmi yang dulu dilakukannya, tali silaturahmi kita berkata, “Wahai orang-orang muslim! Sungguh orang ini adalah orang yang suka bersilaturahmi, maka ajaklah dia berbincang-bincang.” Maka orang-orang mukmin itu pun mengajaknya berbincang. Mereka menyalaminya dan dia menyalami mereka. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang ditakuti-takuti oleh para malaikat Zabaniyah. Tetapi datanglah kepadanya amar makruf nahi mungkar yang dilakukannya. Lalu amar makruf nahi mungkar itu menyelamatkannya dari para malaikat itu dan memasukkannya ke tengah para malaikat rahmat.

 

Aku juga melihat seorang lelaki dart kalangan umatku yang berlutut karena ada hijab yang menghalangi antara dia dengan Allah swt. Tetapi lalu datanglah kepadanya akhlaknya yang batik. Akhlak baiknya itu lalu menggamit lengannya dan mempertemukannya dengan Allah swt. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang menerima catatan amalnya dari sebelah kiri. Tetapi kemudian takutnya kepada Allah mendatanginya, lalu takutnya kepada Allah itu mengambil catatan amal lelaki itu dan memindahkannya ke sebelah kanan.

 

Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang enteng timbangan amal baiknya. Tetapi lalu datanglah kepadanya cucu-cucunya yang membuat timbangan amalnya menjadi berat. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang sedang berdiri di bibir Jahanam. Tetapi pengharapannya kepada Allah swt. mendatanginya, lalu pengharapannya kepada Allah itu menyelamatkannya dari bibir Jahanam itu dan dia pun meninggalkan tempat itu. .

 

Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang sudah terperosok ke dalam neraka. Tetapi air matanya yang menetes ketika dia takut kepada Allah mendatanginya, lalu air matanya itu menyelamatkannya dari tempat itu. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang berdiri di atas titian Shirath dengan tubuh yang terguncang seperti terguncangnya bulu halus yang diterpa angin ribut. Tetapi kemudian sangka baiknya kepada Allah mendatanginya, lalu menenangkanya dari guncangan itu dan dia pun berhasil lewat.

 

Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang gemetar di atas titian Shirath. Terkadang dia terjatuh terkadang dia bergantung. Tetapi selawatnya kepadaku datang kepadanya lalu selawatnya itu memantapkannya di atas kedua kakinya dan menyelamatkannya. Aku juga melihat seorang lelaki dari kalangan umatku yang telah sampai di gerbang surga, tetapi semua gerbang surga tertutup baginya. Tetapi kemudian datanglah syahadatnya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah kepadanya dan syahadatnya itu lalu membukakan baginya gerbang-gerbang surga dan memasukkannya ke dalam surga.”

 

Al-Hafizh Abu Musa berkata bahwa hadis-hadis ini statusnya hasan Jiddan. Hadis-hadis ini dia riwayatkan dari Sa’id bin Musayyab ‘Umar bin Dzarr dan “Ali bin Zaid bin Jud’an.

 

Berkenaan dengan hadis-hadis seperti tersebut di atas inilah ada pendapat yang menyatakan bahwa mimpi para nabi adalah wahyu dan mimpi itu adalah seperti pengertian lahiriahnya. Ini tidak seperti sebuah riwayat dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Aku bermimpi melihat pedangku patah, maka kutakwilkan itu begini begitu; dan kulihat seekor sapi yang disembelih.” Dan juga sabda beliau, “Aku bermimpi melihat seakan-akan kita berada di rumah ‘Uqbah bin Rafi’.”

 

Mimpi Rasulullah saw. yang panjang ini juga telah diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Samurah dalam ash-Sahih dan juga dari “Ali dan Abu Umamah. Riwayat-riwayat yang disampaikan oleh ketiga orang itu saling berdekatan (bermiripan) antara satu sama lain dan kesemuanya menyebutkan tentang berbagai macam hukuman yang ditimpakan terhadap sekelompok orang yang ditimpa siksa di Alam Barzakh. Adapun dalam riwayat ini, disebutkan tentang hukuman yang kemudian diiringi dengan berbagai amal yang menyelamatkan orang yang bersangkutan dari hukuman.

 

Perawi hadis-hadis ini dari Ibnul Musayyab adalah Hilal Abu Jabalah yang merupakan seorang penduduk Madinah yang tidak dikenal dengan hadis-hadis selain hadis-hadis ini. Ibnu Abu Hatim menyebutkannya dari ayahnya seperti ini juga. Hakim Abu Ahmad dan Hakim Abu ‘Abdullah menyebut ‘Abu Jabal” tanpa huruf ha’.’” Mereka menuturkan riwayat ini dari Muslim.

 

Perawi riwayal ini darinya adalah Faraj bin Fadhalah yang statusnya “sedang” (wasath) dalam periwayatan; status hadis-hadis darinya tidak “kuat” (qawiy) tetapi juga tidak “ditinggalkan” (matrik). Perawi siwayat ini darinya’’ yaitu Bisyr bin Walid. Dia merupakan seorang fakih yang terkenal dengan nama Abu Khathib. Mazhabnya baik dan thariqah-nya pun bagus.

 

Saya pernah mendengar Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah) begitu memperhatikan kandungan hadis-hadis ini. Dia lalu berkata, “Hadis-hadis ini merupakan dasar-dasar sunah yang menjadi saksi baginya. Hadis-hadis ini adalah salah satu hadis-hadis yang paling bagus.” Wallahut taufiq.

 


Kitab Ar Ruh Ibn Qayyim Al Jauziyah : Pertanyaan Kesembilan

Pertanyaan. Kesembilan: Apakah Hal-Hal yang Menyebabkan Disiksanya Para Penghuni Kubur?


JAWABAN ATAS pertanyaan itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu yang bersifat global dan jawaban yang bersifat rinci.

 

Jawaban global atas pertanyaan ini adalah sebagai berikut.

 

Para penghuni alam kubur akan disiksa akibat ketidaktahuan me. reka akan Allah swt., tindakan mereka mengabaikan perintah-Nya dan karena perbuatan maksiat yang mereka lakukan terhadap Allah swt.

 

Allah swt. tidak akan mengazab ruh yang mengenal Dia, mencin. tai Dia, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Sebagaimana Allah swt. juga tidak akan menyiksa badan yang ruh taat tersebut pernah bersemayam di dalamnya karena sesungguhnya siksa kubur dan siksa akhirat merupakan bentuk kemurkaan dan kemarahan Allah swt. terhadap hamba-hamba-Nya. Siapa pun yang buat Allah marah dan murka kepadanya di dunia ini, lalu orang itu tidak bertobat sampai akhirnya dia mati dalam kemurkaan Allah itu, maka dia akan ditimpa siksa di Alam Barzakh sesuai dengan kadar kemarahan dan kemurkaan Allah terhadap dirinya; baik dia memiliki sedikit kesalahan maupun banyak, baik dia adalah orang yang percaya maupun pendusta.

 

Adapun jawaban rinci atas pertanyaan di atas adalah sebagai berikut:

 

Rasulullah saw. telah mengabarkan tentang dua orang yang beliau lihat tengah disiksa di dalam kubur. Masing-masing mereka, orang pertama merupakan sosok yang gemar mengadu domba di tengah masyarakat. Sementara yang kedua merupakan orang yang tidak membersihkan bekas kencingnya secara sempurna. Jadi, orang yang satu suka mengabaikan bersuci yang hukumnya wajib, sementara orang yang satu lagi menjadi biang keladi atas tercetusnya permusuhan di tengah masyarakat dengan ucapannya, walaupun apa yang diucapkan itu benar adanya.

 

Dari orang pertama ini, kita mendapatkan peringatan bahwa orang yang gemar mengobarkan permusuhan di tengah masyarakat dengan kebohongan, kecurangan, dan manipulasi, pasti akan ditimpa azab yang jauh lebih berat. Sebagaimana pula halnya dari orang kedua yang diazab karena bekas kencingnya juga kita dapat mengambil peringatan bahwa siapa pun yang meninggalkan shalat yang suci dari kencing menjadi salah satu syarat kesalahannya, tentu akan ditimpa siksa yang jauh lebih berat. Dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Syu’bah dikatakan, “Adapun yang satu lagi adalah orang yang gemar memakan daging manusia”; yang maksudnya adalah pelaku gibah, sekaligus menjadi biang adu domba.

 

Sebelumnya telah disampaikan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud yang membicarakan tentang orang yang dipukul menggunakan cambuk dan kuburnya dipenuhi api akibat orang itu melakukan satu kali shalat tanpa bersuci, serta dia melintas di dekat orang yang dizalimi, tetapi dia tidak menolong orang tersebut.

 

Sebelumnya juga telah disampaikan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Samurah dan dimuat dalam Sahih Bukhari yang membicarakan tentang azab yang menimpa orang yang berdusta satu kali tetapi kedustaan itu mencapai seluruh penjuru. Begitu pula siksaan yang menimpa orang yang membaca al-Quran, tetapi dia meninggalkannya dalam tidur di malam hari serta tidak mengamalkannya di siang hari. Begitu pula tentang siksaan yang menimpa para perempuan pezina dan para lelaki pezina. Begitu pula siksaan terhadap pemakan riba, seperti yang telah disaksikan oleh Rasulullah saw. di Alam Barzakh.

 

Sebelumnya juga telah disampaikan hadis-hadis dari Abu Hurairah ra. yang di dalamnya disebutkan tentang dihancurkannya kepala sekelompok orang menggunakan bongkahan batu disebabkan beratnya kepala mereka untuk melaksanakan shalat: Ada pula orang-orang yang menjerit di antara pohon berduri’ dan zaqqum disebabkan tindakan mereka yang tidak membayar zakat harta mereka. Selain itu, orang-orang yang memakan daging busuk disebabkan perbuatan zina yang mereka lakukan. Terakhir, juga orang-orang yang bibir-bibir mereka dipotong menggunakan pemotong besi karena fitnah yang mereka sebarkan lewat kata-kata dan ucapan.

 

Sebelumnya juga telah disampaikan hadis-hadis dari Abu Sa’iq tentang hukuman yang menimpa para pelaku berbagai kejahatan,. di antara mereka ada orang-orang yang perut mereka dibuat sebesar rumah dan mereka mengikuti para pengikut Fir’aun. Mereka dari para pemakan riba. Di antara mereka ada pula orang-orang yang mulut mereka dibuka paksa, lalu dimasukkan bara api ke dalamnya hingga kemudian tembus keluar dari dubur mereka. Mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim. Di antara mereka juga ada orang-orang yang digantung dengan payudara mereka. Mereka adalah para pezina. Di antara mereka ada orang-orang yang dipotong bagian lambung mereka lalu mereka memakan daging mereka sendiri. Mereka adalah para pelaku ghibah. Di antara mereka ada pula orang-orang yang memiliki kuku-kuku tembaga lalu mereka mencakari wajah dan dada mereka sendiri. Mereka adalah orang-orang yang gemar merusak nama baik orang lain.

 

Rasulullah saw. telah mengabarkan tentang seorang pemilik jubah yang dia dapatkan secara curang dari harta rampasan perang, bahwa orang itu akan dinyalakan api di dalam kuburnya. Padahal orang itu memiliki hak pada harta rampasan perang itu. Jadi bagaimanakah kiranya pedihnya siksa bagi orang yang menzalimi orang lain atas sesuatu yang dia sama sekali tidak memiliki hak padanya?

 

Singkatnya, siksa kubur akan ditimpakan kepada seorang hamba akibat kemaksiatan yang dia lakukan dengan hati, mata, telinga, mulut, lisan, perut, kemaluan, tangan, kaki, dan anggota-anggota badan lainnya. Contohnya (maksudnya, contoh orang-orang yang akan ditimpa siksa kubur—Penj.) yaitu orang pendusta, pengadu domba, penggunjing pelaku ghibah, pembuat kesaksian palsu, penuduh zina terhadap wanita baik-baik, pencetus fitnah, penyeru ke arah bidah, pembual yang menyampaikan sesuatu atas nama Allah dan Rasulullah tanpa ilmu ,dan orang yang banyak mulut.

 

Begitu pula orang pemakan riba, pemakan harta anak yatim, pemakan suap serta sogokan, pemakan harta saudaranya sesama muslim tanpa hak, pemakan harta orang Kafir yang terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin, peminum khamr (arak), pemakan cuilan pohon yang terkutuk, pezina, pelaku sodomi, pencuri, pengkhianat, pembelot, penipu, pembuat makar, pengambil riba, pemberi riba, penulis riba, saksi riba, muhallil, muhallal lah, pembuat muslihat untuk menghancurkan kewajiban yang Allah tetapkan dan dilakukannya hal-hal yang Dia haramkan, orang yang menyakiti kaum muslimin, dan orang yang gemar mengorek-ngorek aib kaum muslimin.

 

Begitu pula hakim yang menetapkan hukum bukan dengan apa yang Allah turunkan; mufti yang menetapkan fatwa yang menyimpang dari syariat Allah; orang yang menolong dalam dosa dan permusuhan, pembunuh orang yang Allah haramkan; penentang keesaan Allah, orang yang mengabaikan serta menentang hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah; dan orang yang lebih mengutamakan hasil pikirannya daripada sunah Rasulullah saw.

 

Begitu pula perempuan yang meratap karena kematian beserta orang yang suka mendengarkan ratapan itu; para penyanyi yang menyanyikan lagu-lagu yang Allah haramkan; orang yang suka mendengarkan lagu-lagu yang Allah haramkan; orang-orang yang mendirikan masjid di kuburan; orang yang suka menyalakan lentera dan lampu di kuburan; orang yang curang dengan meminta disempurnakannya timbangan ketika mengambil, tetapi mengurangi timbangan ketika menyerahkan; orang-orang yang sewenang-wenang, orang-orang sombong, para pelaku riya’, para pengumpat, para pemaki, para pencaci generasi salaf, para pelaku perdukunan, para ahli nujum, para peramal; orang-orang yang bertanya kepada peramal; dan orang-orang yang memercayai para peramal.

 

Begitu pula orang-orang yang menyokong para pelaku kezaliman yang telah menjual akhirat mereka dengan dunia mereka dan orang yang jika diingatkan akan Allah, dia tidak takut dan menolak menghentikan keburukan yang sedang dilakukannya. Namun, jika diingatkan akan manusia lain, dia takut dan langsung menghentikan keburukan yang sedang dilakukannya.

 

Begitu pula orang yang telah disampaikan petunjuk hidayah kepadanya berupa firman Allah dan sabda Rasulullah, tetapi dia mengabaikan petunjuk hidayah itu tanpa mau memedulikannya. Tetapi apabila disampaikan kepadanya ucapan seseorang yang dia sukai, walaupun orang itu mungkin benar dan mungkin salah, dia langsung berpegang kuat-kuat pada ucapan orang itu tanpa menentangnya; orang yang dibacakan al-Quran kepadanya tetapi bacaan itu tidak berpengaruh apa pun kepadanya atau bahkan dia merasa berat dengan isi al Quran itu, tetapi apabila yang disampaikan kepadanya adalah racauan setan, pezina, dan kemunafikan, dia langsung merasa nyaman, suka, dan di dalam hatinya muncul kegembiraan, bahkan dia suka kalau orang yang Menyampaikan Nya tidak berhenti.

 

Begitu pula orang yang bersumpah atas nama Allah lalu dia berdusta. Padahal ketika dia bersumpah dengan menyebutkan senjata, kepala gurunya, kuburan gurunya, pakaian bagus atau atas nama kehidupan seorang makhluk yang dicintai dan ditakziminya, dia tidak mau berbohong walaupun diancam dan dihukum.

 

Begitu pula orang yang berbangga-bangga dengan kemaksiatan dan menyebarkan keburukan kepada saudara-saudara, serta karib kerabatnya, yaitu orang yang melakukan kemaksiatan secara terang-terangan, orang yang Anda tidak merasa aman darinya atas harta atau kehormatan Anda, dan orang yang busuk ucapannya sehingga dijauhi orang-orang karena mereka takut pada kejahatan serta kekejiannya.

 

Begitu pula orang yang selalu menunda shalat sampai ke akhir waktu; orang yang shalatnya seperti burung mematuk-matuk tanpa mengingat Allah kecuali sedikit; orang yang tidak menunaikan zakat hartanya secara suka rela; orang yang tidak berhaji meski sebenarnya mampu melaksanakan ibadah haji; orang yang tidak menunaikan hak-hak yang menjadi tanggungannya meski sebenarnya ia mampu menunaikannya; dan orang yang tidak bersikap warak dalam ucapan, makanan, dan langkah kakinya.

 

Begitu pula orang yang tidak peduli pada asal-usul hartanya. Berasal dari sumber yang halal kah ataukah dari sumber yang haram; orang yang memutuskan tali silaturahmi; orang yang tidak menyayangi orang-orang miskin; orang yang membenci orang-orang melarat, anak yatim, dan binatang; orang yang gemar menghardik anak yatim; orang yang tidak menganjurkan pemberian makanan kepada orang miskin; para pelaku riya’; orang yang selalu enggan membantu dengan barang-barang yang berguna; orang yang sibuk mengurus aib orang lain hingga alpa memerhatikan aibnya sendiri; dan orang yang sibuk mengurus dosa-dosa orang lain sehingga lalai memerhatikan dosanya sendiri.

 

Semua jenis orang yang telah disebutkan di atas itu dan siapa pun yang berkelakuan seperti mereka pasti kelak akan menerima siksa di dalam kubur mereka. Hal ini disebabkan oleh segala kejahatan yang mereka lakukan, sesuai dengan kadar banyak atau sedikitnya serta sesuai dengan kadar kecil atau besarnya kejahatan yang mereka lakukan.

 

Ketika diketahui bahwa ternyata sebagian besar manusia melakukan berbagai perbuatan buruk seperti tersebut di atas, maka tentu sebagian besar penghuni kubur akan mendapatkan siksa dan hanya sedikit dari mereka yang selamat. Tampak luarnya kuburan hanya tanah, tetapi isi dalamnya adalah penyesalan dan siksa. Tampak luarnya kuburan hanyalah tanah dan batu yang diukir dan dibangun, sementara di dalamnya berisi kesusahan dan petaka. Kuburan berisi penyesalan yang mendidih, seperti mendidihnya periuk dengan segala isinya, yang memang layak ditimpakan kepada isi kuburan itu, sementara isi kuburan itu telah terpisah dari segala syahwat dan angan-angannya.

 

Demi Allah, kuburan telah memberikan nasihatnya. Kuburan tidak lagi menyisakan sepotong kata pun dalam nasihatnya. Kuburan berseru:

 

“Wahai orang-orang yang membangun dunia, sungguh kalian telah membangun sebuah tempat yang segera akan musnah dari kalian, sementara kalian justru menghancurkan tempat yang kalian akan segera berpindah ke tempat itu. Kalian membangun rumah-rumah yang segala manfaatnya hanyalah untuk orang lain, sementara kalian justru menghancurkan rumah-rumah yang kalian tidak memiliki tempat tinggal selain itu. Dunia ini adalah tempat untuk menyempurnakan amal, menimbun perbuatan baik dan tempat bercocok tanam. Dunia ini adalah tempat untuk mengambil pelajaran, apakah kalian akan menuju salah satu taman di antara taman-taman surga ataukah kelak kalian akan menuju salah satu liang di antara liang-liang neraka!”

 


Kitab Ar Ruh Ibn Qayyim Al Jauziyah : Pertanyaan Kedelapan

Pertanyaan Kedelapan: Apakah Hikmah Tidak Disebutkannya Siksa Kubur di dalam al-Quran Meski Hal Itu Sangat Perlu untuk Diketahui dan Diimani agar Manusia Dapat Mawas Diri dan Berhati-hati?


JAWABAN ATAS pertanyaan itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu yang bersifat umum dan jawaban yang bersifat rinci.

 

Jawaban umum atas pertanyaan ini adalah sebagai berikut:

 

Allah swt. telah menurunkan dua macam wahyu kepada rasul-Nya dan Dia telah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk mengimani dan mengamalkan kedua jenis wahyu tersebut. Kedua jenis wahyu itu adalah: 1) al-Kitab dan 2) Hikmah. Hal ini disampaikan oleh Allah swt. dalam firman-Nya,

 

 

“Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu…” (QS. an-Nisa’ [4]: 113)

 

Allah swt. berfirman,

 

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah.” (QS. al-Jumu’ah [62]: 2)

 

Allah swt. berfirman,

 

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah…” (QS. al-Ahzab [33]: 34)

 

Menurut kesepakatan generasi salaf, yang dimaksud “al-kitab” dalam ayat ini adalah “al-Quran”, sementara yang dimaksud “al-hikmah” dalam ayat ini adalah “sunah” berikut segala yang Rasulullah saw. sampaikan yang bersumber dari Allah swt. Semua itu hukumnya wajib untuk dipercayai dan diimani, sebagaimana yang Allah swt. kabarkan melalui lisan Rasulullah saw. Ini merupakan sebuah perkara pokok (ushul) yang disepakati oleh seluruh pemeluk Agama Islam tanpa ada yang mengingkarinya kecuali mereka yang tidak termasuk golongan mereka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya aku diberi al-Kitab dan sesuatu yang serupa dengannya bersamanya.”

 

Adapun jawaban rinci atas pertanyaan ini adalah sebagai berikut:

 

Kenikmatan dan siksa di Alam Barzakh telah disebutkan di dalam al-Quran pada lebih dari satu tempat. Salah satu di antaranya adalah firman Allah swt., “… Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sementara para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawa kalian”. Di hari ini kalian dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kalian selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kalian selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (QS. al-An’am [6]: 93)

 

Ucapan ini ditujukan secara tegas kepada mereka (orang-orang zalim) ketika maut datang. Para malaikat mengabarkan—dan tentu saja mereka semua jujur adanya—bahwa mereka pada saat itu akan “dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan’’. Kalau memang semua itu ditunda dari mereka sampai dunia ini musnah (maksudnya, setelah kiamat terjadi—Penj.), tentu akan menjadi tidak benar kalau dikatakan kepada mereka “Di hari ini kalian dibalas.”

 

Ayat lainnya adalah firman Allah swt.,

 

“Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (QS. Ghafir [40]: 45-46)

 

Dalam ayat ini Allah swt. menyebutkan adanya siksa di kedua alam (yaitu Alam Barzakh dan Alam Akhirat—-Penj.) dengan penyebutan yang sangat jelas sehingga kalimat yang difirmankannya itu tidak memiliki kemungkinan pengertian lain.

 

Ayat lainnya adalah firman Allah swt.,

 

“Maka biarkanlah mereka hingga mereka menemui hari (yang dijanjikan kepada) mereka yang pada hari itu mereka dibinasakan, (yaitu) hari ketika tidak berguna bagi mereka sedikitpun tipu daya mereka dan mereka tidak ditolong. Dan sesungguhnya untuk orang-orang yang zalim ada azab selain itu. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. ath-Thur [52]: 45-47)

 

Ayat ini mengandung kemungkinan pengertian bahwa yang dimaksud di sini yaitu siksa terhadap orang-orang zalim dengan kematian yang menimpa mereka dan berbagai petaka lainnya di dunia; dan mungkin pula yang dimaksud oleh ayat ini adalah siksa terhadap mereka di Alam Barzakh. Pengertian yang terakhir inilah yang lebih eksplisit karena kebanyakan dari orang-orang zalim itu ternyata mati sebelum mereka sempat disiksa di dunia.

 

Ada pula yang menyatakan secara lebih gamblang bahwa siapa pun yang mati dari kalangan orang-orang zalim, mereka pasti akan disiksa di Alam Barzakh, sementara mereka yang masih tetap hidup di dunia akan disiksa dengan terbunuhnya mereka atau ditimpa berbagai bentuk mala petaka. Semua ini merupakan bentuk ancaman akan datangnya azab terhadap orang-orang zalim itu baik di dunia maupun di Alam Barzakh.

 

Ayat lainnya adalah firman Allah swt.,

 

“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. as-Sajdah [32]: 21)

 

Ayat ini digunakan sebagai hujah oleh sekelompok orang di antaranya, yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas ra. untuk membantah adanya siksa kubur. Walaupun bukti yang mereka sampaikan itu dengan menggunakan ayat ini mengandung “sesuatu” karena siksa yang disebutkan di sini memang siksa di dunia yang dengan siksa itu Allah swt. ingin mendorong agar orang-orang zalim itu kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan kekufuran. Tentu saja, pengertian semacam ini tidak akan luput dari pengetahuan Ibnu Abbas sang Hibr al-Ummah yang juga berjuluk Turjuman Al-Quran.

 

Hanya saja, dengan pengertian mendalam yang dimilikinya tentang al-Quran dan detil pemahamannya terhadap Kitab Suci ini, rupanya Ibnu “Abbas ra. memahami bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah siksa kubur karena Allah swt. yang mengabarkan bahwa Dia memiliki dua macam siksaan yang akan ditimpakan kepada orang-orang zalim, yaitu azab yang dekat (al-’adzab al-adna) dan azab yang lebih besar (al-’adzab al-akbar). Allah mengabarkan bahwa Dia akan menimpakan kepada mereka “sebagian azab yang dekat” agar “mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar)’’. Apa yang Allah swt. sampaikan ini menunjukkan bahwa memang benar masih ada azab yang dekat (al-’adzab al-adna) yang tersisa bagi orang-orang zalim, mereka kelak akan disiksa karena apa yang tersisa itu setelah datangnya azab di du. nia. Itulah sebabnya Allah swt. menggunakan kalimat yang berbunyi, ““Sebagian azab yang dekat” (min al-’adzab al-adna) dan Dia tidak mengatakan, “Kami akan menimpakan kepada mereka azab yang dekat’’, Silakan masalah ini Anda renungkan.

 

Semua ini menjadi selaras dengan sabda Rasulullah saw., “…lalu dibukakan untuknya sebuah gerbang menuju neraka, maka kemudian datanglah sebagian panas yang membakar dari neraka itu (ya‘tihi min hurriha wa sumumiha) kepadanya.” Dan Rasulullah saw. tidak menggunakan kalimat “Maka kemudian datanglah panas yang membakar dari neraka itu” (ya‘tihi harruha wa samamuha). Tentu saja itu karena sebenarnya yang memapar orang kafir itu adalah “sebagian” dari panasnya neraka dan masih ada tersisa baginya panas yang jauh lebih hebat lagi. Itulah sebabnya musuh-musuh Allah yang telah Dia timpakan di dunia dengan “sebagian dari azab dunia’’, tentu masih ada azab lain yang tersisa bagi mereka yang jauh lebih besar dari azab yang sudah menimpa mereka di dunia itu.

 

Ayat lainnya adalah firman Allah swt.,“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kalian ketika itu melihat dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kalian. Tetapi kalian tidak melihat, maka mengapa jika kalian tidak dikuasai (oleh Allah)? Kalian tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kalian adalah orang-orang yang benar?, adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketentraman dan rezeki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan. Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan air yang mendidih dan dibakar di dalam neraka. Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahabesar.” (QS. al-Waqi’ah [56]: 83-96)

 

Dalam rangkaian ayat-ayat ini Allah swt. menuturkan tentang kondisi ruh ketika maut datang. Di awal Surah al-Waqi’ah Allah swt. menyampaikan tentang kondisi ruh di saat Hari Pembalasan Besar terjadi. Allah swt. sengaja mendahulukan penjelasan tentang hal ini (di awal surah) sebagai bentuk tindakan mendahulukan apa yang menjadi tujuan (taqdim al-ghayah) karena masalah itulah yang jauh lebih penting dan lebih utama untuk disampaikan. Allah membagi mereka ketika maut datang menjadi tiga bagian, sebagaimana Dia juga membagi mereka menjadi tiga bagian kelak di akhirat.

 

Ayat lainnya adalah firman Allah swt.

 

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr [89]: 27-30)

 

Generasi salaf berbeda pendapat tentang kapankah sebenarnya kata-kata yang termuat dalam ayat-ayat tersebut di atas itu disampaikan. Segolongan dari mereka menyatakan bahwa kata-kata itu disampaikan ketika kematian tiba. Pengertian eksplisit dari ayat-ayat di atas memang mendukung pendapat golongan ini. Kalimat tersebut jelas merupakan bentuk ucapan yang ditujukan kepada jiwa (nafs) yang telah terpisah dari badan dan keluar darinya. Rasulullah saw. menafsirkan ini dengan sabda beliau dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Barra’ dan lainnya, “…lalu dikatakanlah kepadanya, ‘Keluarlah engkau dengan ridha dan diridhai…’”. penjelasan tentang masalah ini akan disampaikan nanti pada pertanyaan mendatang yang mengandung penjelasan tentang menetapnya ruh di Alam Barzakh. Insyaallah ta’ala.

 

Firman Allah swt. yang berbunyi “Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku.” Selaras dengan sabda Rasulullah saw. “Wahai Allah ar-rafiq al-a’la”. Jika Anda merenungkan hadis-hadis yang berbicara tentang siksa dan nikmat kubur, Anda pasti akan mendapati hadis-hadis itu merinci dan menafsirkan berbagai hal yang ditunjukkan oleh al-Quran. Wabillahit taufiq.

 


Kitab Ar Ruh Ibn Qayyim Al Jauziyah : Pertanyaan Ketujuh

Pertanyaan Ketujuh: Bagaimana Jawaban Kita bagi Orang-orang Ateis dan Zindik yang Mengingkari Adanya Siksa Kubur, Lapangnya Kubur, Sempitnya Kubur, Keadaannya sebagai Salah Satu Lubang di Antara Lubang-Lubang Neraka atau Salah Satu Taman di Antara Taman-Taman Surga, serta Keadaan Orang Mati yang Tidak Dapat Duduk di Dalamnya?


MEREKA BERKATA: Apabila kami menggali kuburan, ternyata kamj tidak menemukan di dalamnya malaikat yang buta dan tuli sedang memukuli orang-orang mati menggunakan palu besi, sebagaimana kami juga tidak menemukan di dalamnya ular-ular ataupun api yang menyala. Apabila kami mencari tahu tentang keadaan orang mati yang dikubur, kami dapati orang mati itu tetap dengan keadaannya tanpa ada perubahan padanya. Apabila kami letakkan air raksa di matanya dan kami letakkan biji sawi di dadanya, kami akan temukan orang mati itu dengan keadaan seperti itu.

 

Jadi, bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa kuburan orang mati dilapangkan sejauh mata memandang atau disempitkan hingga mengimpitnya, padahal kami dapati orang mati itu tetap seperti keadaannya semula, sebagaimana kami dapati ukuran kuburannya persis seperti ukuran kuburan yang kami gali untuknya, tanpa bertambah ataupun berkurang? Bagaimana mungkin lahad yang sempit itu dapat memuat orang mati itu, para malaikat dan berbagai sosok yang muncul untuk menghibur ataupun menakuti orang mati itu?

 

Sementara itu, saudara-saudara mereka dari kalangan ahli bidah dan kesesatan berkata, “Semua hadis-hadis yang menyelisihi tuntunan akal dan indera menunjukkan kesalahan para perawinya.”

 

Mereka berkata: Kami telah melihat orang yang disalib di sebatang kayu selama beberapa waktu, ternyata tidak pernah ditanya oleh malaikat. Dia tidak menjawab, tidak bergerak, dan tidak ada api yang dinyalakan untuk membakarnya. Sebagaimana halnya semua orang yang mati dimangsa binatang buas dan dimakan burung-burung, semua bagian tubuhnya harus terpencar di perut binatang-binatang buas yang memangsanya serta masuk ke dalam perut burung-burung yang memakannya. Atau orang yang mati dimakan ular, maka tubuhnya masuk ke perut ular yang memakannya.

 

Bagaimana mungkin semua bagian tubuh yang sudah terpencar-pencar itu dapat ditanya? Bagaimana pula dapat digambarkan terjadinya pertanyaan oleh kedua malaikat bagi orang yang mengalami kematian dengan Cara seperti itu? Bagaimana pula kuburan yang seperti itu dapat menjadi taman di antara taman-taman surga atau menjadi salah satu liang di antara liang-liang neraka? Bagaimana mungkin kuburan itu dapat mengimpit penghuninya hingga tulang-tulang rusuk bertumpang tindih?

 

Berikut ini kami akan paparkan beberapa poin penting yang dapat menjadi jawaban atas semua pertanyaan tersebut di atas.

 

Poin pertama: Harus diketahui bahwa semua rasul utusan Allah shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim tidak pernah mengabarkan sesuatu yang dianggap mustahil oleh akal dan dianggap pasti mustahil. Alih-alih, semua kabar yang disampaikan oleh para rasul itu dapat dibagi menjadi dua:

 

* Pertama: Hal-hal yang disaksikan kebenarannya oleh akal dan fitrah.

 

* Kedua: Hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal semata, semisal perkara-perkara gaib yang dikabarkan oleh para rasul menyangkut berbagai hal yang terjadi di Alam Barzakh dan Hari Akhir atau berbagai hal yang berhubungan dengan pahala dan hukuman.

 

Selain itu, kabar yang disampaikan para rasul itu sangat rasional dan sangat mungkin dicerna oleh akal. Setiap kabar yang diduga bahwa akal akan menyatakannya mustahil, tidak pernah lepas dari salah satu di antara dua kondisi: a) Kabar itu merupakan sebuah kebohongan atau b) Akal manusia yang rusak sehingga menimbulkan khayalan semu yang oleh orang yang mengalaminya dikira sebagai sesuatu yang masuk akal. Allah swt. berfirman,

 

“Dan orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Saba’ [34]: 6)

 

Allah swt. berfirman,

 

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. ar-Ra’d [13]: 19)

 

Allah swt. berfirman,

 

“Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepada mereka bergembira dengan apa (kitab) yang diturunkan kepadamu dan di antara golongan-golongan (Yahudi dan Nasrani) yang bersekutu, ada yang mengingkari sebagiannya.” (QS. ar-Ra’d [13]: 36)

 

Padahal jiwa manusia tidak mungkin merasa gembira dengan sesuatu yang mustahil. Allah swt. berfirman,

 

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” (QS. Yunus [10]: 57-58)

 

Padahal sesuatu yang mustahil tidak dapat menyembuhkan, tidak dapat menghasilkan hidayah ataupun rahmat dan tidak dapat membuat gembira.

 

Ini adalah sesuatu hal yang dialami oleh orang yang kebaikannya belum menetap dalam hatinya serta belum kokoh fondasi keislamannya, yaitu orang yang keadaan terbaik dirinya hanyalah kebingungan dan keraguan.

 

PASAL

 

Poin kedua: Haruslah dipahami semua yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw. tanpa sikap berlebihan dan tidak pula mengurang-ngurangi. Sabda beliau tidak boleh dibebani dan tidak boleh pula disimpangkan pengertiannya. Sabda beliau tidak boleh dikurangi tujuan dan maksudnya sebagai petunjuk hidayah dan penjelasan.

 

Pengabaian semua hal ini, serta penyimpangan darinya pasti akan menghasilkan kesesatan dan penyimpangan dari kebenaran yang tidak diketahui, kecuali hanya oleh Allah swt. Bahkan lebih dari itu, buruknya pemahaman terhadap Allah dan Rasulullah merupakan pangkal segala bidah dan kesesatan yang tumbuh di dalam Islam. Bahkan hal itu menjadi pangkal segala kesalahan baik di bagian ushul (pokok) maupun furu’ (cabang) apabila hal itu diperparah dengan maksud buruk. Pada bagian tertentu, buruknya pemahaman dari pihak yang diikuti akan berkelindan yang memiliki tujuan baik, dengan buruknya tujuan pihak yang mengikuti. Sungguh ini adalah mala petaka yang menimpa agama dan para pengikutnya! Walléahul musta‘an.

 

Bukankah tidak ada yang memerosokkan golongan Qadariyyah. Murji’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyyah dan Rafidhah serta semua kelompok ahli bidah, kecuali buruknya pemahaman mereka tentang Allah dan Rasulullah sehingga agama yang ada di tangan banyak orang yang memiliki pemahaman yang buruk itu. Sementara pemahaman yang diikuti oleh para sahabat dan semua orang yang mengikuti mereka tentang Allah dan Rasulullah, justru dijauhi dan tidak pernah dipedulikan, tanpa orang-orang itu pernah mau memerhatikannya!

 

Oleh karena begitu banyaknya contoh kaidah ini, maka kami kesampingkan semua itu. Contoh-contoh tersebut apabila kami jabarkan semuanya, penjelasannya pasti akan lebih dari puluhan ribu halaman, Sampai-sampai jika Anda merunut kitab itu dari awal sampai akhirnya, maka anda tidak akan menemukan bahwa penulisnya tidak memahamj tentang Allah dan Rasulullah sebagaimana yang semestinya, meskipun hanya pada satu judul saja!

 

Hal ini hanya diketahui oleh orang yang mengetahui apa yang ada pada umat manusia lalu mencocokkannya dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah. Ketika ada orang yang sudah mencocokkan sesuatu perkara dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah sesuai dengan keyakinannya, tetapi dia kesampingkan itu dan tetap memilih untuk bertaklid kepada “orang lain” yang dia berbaik sangka kepada orang itu, maka sikap orang seperti itu tidak perlu kita bahas di sini sedikit pun. Biarkanlah orang itu dengan pilihannya sendiri. Biarkan dia menanggung sendiri penyimpangannya. Pujilah Allah yang telah menyelamatkan Anda dari cobaan-Nya.

 

PASAL

 

Poin ketiga: Allah telah menciptakan tempat tinggal dalam tiga bagian: a) Tempat tinggal di dunia (dar ad-dunya), b) Tempat tinggal di Alam Barzakh (dar al-Barzakh), dan c) Tempat tinggal di akhirat (dar al-qarar).

 

Allah telah menetapkan berbagai hukum yang berlaku secara khusus pada masing-masing tempat tinggal itu. Allah membentuk manusia dari badan dan ruh. Dia menetapkan hukum-hukum yang berlaku di dunia hanya berlaku terhadap badan, sementara ruh hanya mengikuti badan. Itulah sebabnya, Allah swt. menetapkan hukum-hukum syariatnya untuk dilakukan secara lahiriah dengan lidah dan anggota tubuh, walaupun ruh memendam sesuatu yang bertentangan dengan apa yang tampak.

 

Sementara itu, Allah swt. menetapkan berbagai hukum yang berlaku di Alam Barzakh hanya berlaku terhadap ruh, sementara badan hanya mengikuti ruh. Itulah sebabnya, sebagaimana ruh mengikuti badan ketika tunduk pada hukum-hukum dunia. Ruh akan dapat merasakan sakit ketika badan dan ruh akan merasa nikmat ketika badan merasa nyaman. Oleh karena itu, badan itulah yang bersentuhan dengan berbagai sebab kenikmatan dan siksa. Sementara di Alam Barzakh badan yang mengikuti ruh dalam kenikmatan dan siksa karena pada saat itu ruhlah yang bersentuhan dengan siksa dan nikmat.

 

Di dunia sini, badan bersifat lahiriah sementara ruh bersifat batiniah sehingga badan menjadi semacam kuburan bagi ruh. Sedangkan di akhirat sana, ruh bersifat lahiriah sementara badan bersifat batiniah di dalam kuburannya, sementara semua hukum Alam Barzakh berlaku pada ruh. Kepada badanlah semua nikmat atau azab akan dialirkan oleh ruh (di Alam Barzakh), sebagaimana hukum-hukum dunia berlaku pada badan (di alam dunia), ketika badan mengalirkan nikmat dan siksa kepada ruh.

 

Kuasailah dengan baik bagian ini dan ketahuilah bagian ini sebagaimana yang seharusnya, niscaya akan hilang dari diri Anda segala bentuk kemuskilan yang menerpa anda baik dari dalam, maupun dari luar.

 

Dengan kelembutan, rahmat dan hidayah-Nya, Allah telah memperlihatkan kepada kita sebagian dari apa yang disebutkan di atas itu dalam bentuk contoh-contoh di dunia berupa kondisi orang yang sedang tidur. Orang yang sedang tidur merasakan nikmat dan siksa dalam tidurnya yang sebenarnya mengenai ruhnya, sementara badannya hanya mengikuti apa yang dirasakan oleh ruh.

 

Terkadang, pengaruh yang muncul itu sedemikian kuat sehingga memberi dampak fisik. Ketika seseorang yang sedang tidur mengalami mimpi dirinya dipukul, ternyata keesokan paginya orang itu mendapati adanya bekas pukulan di tubuhnya. Ada pula orang yang bermimpi makan atau minum, lalu dia terjaga dan ternyata dia mendapati adanya bekas makanan atau minuman yang dimakan atau diminumnya dalam mimpi itu di dalam mulutnya seiring dengan hilangnya rasa lapar dan dahaga.

 

Yang lebih mengherankan lagi, yaitu ketika anda melihat orang yang sedang tidur berdiri di tengah tidurnya lalu dia melakukan gerakan memukul, merengkuh, dan menangkis seakan-akan dia sedang terjaga. padahal dia sedang tertidur dan tidak merasakan apa pun. Semua itu terjadi karena ketika suatu “hukum” berlaku pada ruh, maka ruh akan “meminta bantuan” badan yang ada di luar. Apabila ia masuk ke dalamnya, ia pasti akan terjaga dan dapat merasakan.

 

Apabila ruh dapat merasakan sakit dan nikmat yang kemudian semua itu terjadi pada badan dengan jalan mengikuti ruh, seperti itulah pula yang terjadi di Alam Barzakh, bahkan lebih hebat dari itu karena kemandirian ruh di alam sana lebih sempurna dan lebih kuat, Kemandirian tersebut berkaitan dengan badan yang sama sekali tidak akan pernah terputus. Ketika tiba hari penghimpunan, jasad dan kebangkitan manusia dari kubur-kubur mereka, maka hukum, nikmat dan siksa akan menerpa ruh dan badan secara lahiriah.

 

Ketika anda telah memberikan sikap yang benar terhadap masalah ini, pasti akan menjadi jelas bagi Anda bahwa semua yang dikabarkan oleh Rasulullah saw. menyangkut siksa kubur, nikmat kubur, kesempitan kubur, kelapangan kubur, impitan kubur, kondisinya sebagai salah satu liang neraka dan kondisinya sebagai salah satu taman surga, semuanya memang sesuai dengan akal dan sekaligus merupakan sebuah kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya. Selain itu, menjadi jelas pula bahwa ketidakpahaman orang-orang terhadap semua itu terjadi disebabkan buruknya pemahaman dan sedikitnya pengetahuan mereka, Sebuah syair mengatakan:

 

Betapa banyak pencela ucapan baik

 

Petakanya datang dari pemahaman buruk

 

Yang lebih menakjubkan lagi dari semua yang telah dipaparkan di atas yaitu ketika anda menemukan dua orang yang tidur di atas satu ranjang. Lalu ruh salah satu di antara mereka berdua merasakan kenikmatan, kemudian bangun dan mendapati bekas nikmat itu pada badannya; sementara ruh orang yang satu lagi merasakan siksa, kemudian bangun dan mendapati bekas siksa itu pada badannya, tanpa ada satu pun di antara mereka yang mengetahui apa yang mereka alami antara satu sama lain. Tentu saja Alam Barzakh jauh lebih menakjubkan dari kejadian seperti itu.

 

PASAL

 

Poin keempat: Allah swt. telah menjadikan perkara akhirat dan segala hal yang berhubungan dengannya sebagai sesuatu yang bersifat gaib. Allah menghijabnya dari pengetahuan manusia di dunia ini. Hal itu terjadi sebagai bentuk kesempurnaan kebijaksanaan-Nya dan juga agar kaum mukminin menjadi istimewa dibanding dengan semua orang yang selain mereka, yang berkaitan dengan kegaiban tersebut.

 

Yang pertama dari semua itu, yaitu bahwa para malaikat turun kepada orang yang sedang mengalami sakratulmaut. Mereka duduk dekat dari orang tersebut, sementara orang tersebut dapat melihat mereka dengan mata kepalanya. Mereka berbincang di dekat orang itu sembari membawa kain-kain kafan dan hanuth baik dari surga atau dari neraka. Selain itu, para malaikat itu bahkan mengamini doa orang-orang yang hadir di tempat orang mati itu, baik berupa kebaikan maupun berupa keburukan. Terkadang mereka mengucapkan salam kepada orang yang sedang sekarat dan terkadang orang itu menjawab salam para malaikat itu dengan ucapannya, terkadang dengan isyarat dan terkadang hanya dengan hati ketika dia tidak lagi dapat berkata-kata dan tidak mampu memberi isyarat.

 

Pernah didengar dari orang-orang yang mengalami sakratulmaut mereka berkata, “Selamat datang wajah-wajah ini!” Seorang tua mengabari saya tentang seseorang yang sekarat dan saya tidak tahu apakah orang tua itu melihat sendiri atau mendengar kabar tentang itu, bahwa dia mendengar orang yang mengalami sakratulmaut itu berkata, “Alaikassalam! Di sini duduklah! Alaikassalam! Di sini duduklah!”

 

Ada pula kisah Khair an-Nassai yang terkenal. Dia berkata menjelang kematiannya, “Bersabarlah ‘afakallah, sesungguhnya apa yang diperintahkan kepadamu tidak akan berlalu dan apa yang diperintahkan kepadaku akan berlalu.” Setelah itu dia meminta air dan kemudian berwudhu lalu shalat. Dia berkata, “Laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” Dan dia pun meninggal dunia.

 

Ibnu Abu Dunya menuturkan bahwa ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjelang kematiannya, dia berkata, “Dudukkanlah aku!” Orang-orang pun mendudukkannya, lalu dia berkata, “Aku adalah orang yang engkau perintahkan Jalu aku kurang dalam pelaksanaannya. Engkau larang aku, lalu aku melanggarnya!” Dia mengucapkan kalimat itu tiga kali, kemudian dia melanjutkan, “…tetapi tidak ada Tuhan selain Allah.” Setelah itu dia mengangkat kepalanya dan menajamkan pandangannya sehingga orang-orang berkata, “Sungguh engkau melihat tajam sekali wahai Amirul Mukminin!” “Umar bin “Abdul Aziz menyahut, “Sesungguhnya aku melihat sosok-sosok yang datang dan mereka bukan manusia bukan pula jin.” Setelah itu Umar pun meninggal dunia.

 

Maslamah bin Abdul Malik berkata: Ketika ‘Umar bin “Abdul Aziz mengalami sakaratulmaut, kami ada bersamanya di sebuah kubah. Dia lalu memberi isyarat kepada kami agar kami keluar. Kami pun keluar, lalu kami duduk di sekitar kubah itu. Hanya Washif yang tetap bersamanya. Kami dengar dia merapalkan ayat, “Negeri akhirat itu, Kamj jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” Kalian bukanlah manusia dan bukan jin!

 

Setelah itu, Washif keluar lalu memberi isyarat kepada kami agar kami semua masuk. Kami pun masuk dan ternyata “Umar bin “Abdul ‘Aziz telah meninggal dunia.

 

Fadhalah bin Dinar berkata, “Suatu ketika aku mendatangi Muhammad bin Wasi’ ketika dia sedang mengalami sakratulmaut. Kala itu dia berkata, ‘Selamat datang wahai para malaikat Tuhanku! Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan, kecuali hanya pada Allah.’ Setelah itu, aku mencium aroma harum yang tidak pernah sekalipun kucium aroma sesemerbak itu. Muhammad bin Wasi’ lalu memandang ke atas dan dia pun meninggal dunia.

 

Sementara itu, berbagai atsar yang menuturkan peristiwa-peristiwa semacam ini amatlah banyak tidak berbatas dan semuanya lebih tegas lagi. Tetapi dari semua itu tampaknya cukuplah untuk disampaikan ayat-ayat berikut ini:

 

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kalian ketika itu melihat dan Kamilebih dekat kepadanya daripada kalian. Tetapi kalian tidak melihat.” (QS. al-Waqi’ah [56]: 83-85)

 

Maksudnya: “Kami lebih dekat kepada orang yang mengalami sakratulmaut dengan para malaikat dan para utusan Kami. Tetapi kalian tidak dapat melihat mereka.” Inilah yang terjadi pertama-tama, tetapi tidak dapat terlihat dan tidak dapat disaksikan oleh kita, walaupun ada di tempat itu.

 

Setelah itu malaikat akan mengulurkan tangannya kepada ruh orang yang bersangkutan, menggenggamnya lalu mengajaknya berbicara. Sementara orang-orang yang hadir di tempat orang tersebut tidak ada yang melihat malaikat itu serta tidak dapat mendengarnya. Kemudian ruh orang itu keluar dan keluarlah bersamanya cahaya terang seperti sinar matahari dengan aroma yang lebih harum daripada kesturi. Sementara itu semua orang yang hadir di tempat itu tidak ada yang melihat semua dan tidak dapat pula mencium aroma semerbak tersebut. Lalu ruh tersebut akan naik di antara dua barisan malaikat yang tidak terlihat oleh mereka yang hadir. Setelah itu, ruh tersebut akan datang dan melihat badannya dimandikan, dikafani, dan diusung ke kuburan. Ia berkata, “Bawalah aku! Bawalah aku!” atau berucap, “Hendak ke manakah kalian membawaku?” Tetapi orang-orang tidak mendengar ucapannya itu.

 

Apabila badan orang tersebut sudah dimasukkan ke dalam lahad lalu tanah ditimbun ratakan di atas badan tersebut, tanah yang menimbunnya itu tidak akan dapat menghalangi para malaikat untuk mencapainya. Bahkan apabila mayat seseorang dimasukkan ke dalam sebongkah batu yang dilubangi lalu ditutup menggunakan segel timah, maka hal itu tidak akan dapat menghalangi para malaikat untuk mencapainya karena semua materi kasar itu tidak dapat menghalangi tembusnya ruh padanya. Bahkan jin pun tidak dapat menghalanginya. Alih-alih, Allah swt. telah menjadikan bebatuan dan tanah bagi para malaikat sama seperti udara bagi burung.

 

Adapun meluas dan melapangnya kuburan dipahami hanya untuk ruh. Sementara badan hanya mengikutinya, sehingga badan tetap berada di dalam lahad yang ukurannya lebih sempit daripada satu hasta, sementara telah dilapangkan baginya kuburannya itu sejauh mata memandang karena ia mengikuti ruhnya.

 

Berkenaan dengan impitan kuburan yang membuat tulang-tulang rusuk orang-orang mati bertumpang-tindih, hal itu tidak ditolak baik oleh perasaan, akal, maupun fitrah. Apabila takdir membuat seseorang membongkar kuburan seseorang, lalu ternyata orang itu mendapati tulang-tulang rusuk si mayat tetap utuh seperti sedia kala dan tidak ber. tumpang-tindih, hal itu tidak dapat mematahkan kemungkinan bahwa tulang-tulang rusuk itu sebenarnya telah kembali kepada kondisinya semua setelah kuburannya mengimpit karena orang-orang zindik dan ateis memang selalu mendustakan Rasulullah saw.

 

Seseorang yang tepercaya pernah mengabarkan bahwa suatu kali dirinya menggali tiga buah kuburan. Setelah itu, dia berbaring untuk beristirahat hingga tertidur. Sesaat kemudian, dia mengalami mimpi melihat dua malaikat turun lalu mereka berdua berdiri di atas salah satu di antara kuburan-kuburan itu. Salah satu malaikat berkata kepada malaikat yang satu lagi, “Tulislah satu farsakh’ dikali satu farsakh!” Lalu malaikat itu berdiri di kuburan kedua dan berkata, “Tulislah satu mil dikali satu mil!” Lalu malaikat itu berdiri di kuburan ketiga dan berkata, “Tulislah satu fitr dikali satu fitr!”’

 

Setelah itu aku terjaga dari tidurku dan tak lama kemudian dibawalah kepadaku mayat seorang lelaki asing yang meninggal dunia yang kemudian dikuburkan di kuburan pertama. Kemudian dibawa kembalj kepadaku mayat kedua dan dikuburkan di kuburan kedua. Kemudian dibawa lagi kepadaku mayat seorang perempuan kaya raya yang merupakan salah seorang pejabat negara dan jasadnya diiring oleh banyak orang. Perempuan itu pun dikuburkan di kuburan ketiga yang kudengar malaikat berkata di situ “Tulislah satu fitr dikali satu fitr!”

 

PASAL

 

Poin kelima: Api yang ada di dalam kuburan dan pepohonan hijau yang ada di dalam kuburan bukanlah bagian dari api yang ada di dunia dan bukan bagian dari tanaman yang ada di dunia. Api dan pepohonan hijau tersebut akan dapat dilihat oleh siapa pun yang dapat melihat api di dunia dan pepohonan hijau di dunia. Alih-alih, api itu merupakan termasuk api yang berasal dari akhirat, sebagaimana pepohonan hijau itu pun termasuk yang berasal dari akhirat.

 

Api dalam kubur itu lebih hebat daripada api dunia, tetapi ia tidak dapat dirasakan oleh para penghuni dunia. Allah swt. memanaskan di atas tanah dan bebatuan yang ada di atas dan di bawahnya, sehingga api tersebut jauh lebih panas daripada bara yang ada di dunia. Tetapi apabila api itu disentuh oleh penghuni dunia, mereka tidak akan dapat merasakannya.

 

Bahkan yang lebih menakjubkan dari itu, ketika ada dua orang yang dikuburkan berdampingan satu sama lain, lalu orang pertama ternyata kuburannya menjadi liang di antara liang-liang neraka. Panasnya api yang dirasakannya tidak akan dirasakan oleh mayat kedua yang dikupurkan di sampingnya, jika si mayat kedua ternyata kuburannya jadikan oleh Allah sebagai salah satu taman di antara taman-taman surga. Sebagaimana halnya harum dan kenikmatan yang dirasakan si mayat kedua itu pun tidak akan dapat sampai kepada mayat pertama.

 

Tentu saja kemahakuasaan Allah swt. jauh lebih luas dan lebih menakjubkan dari semua itu. Dia telah memperlihatkan kepada kita sebagian dari tanda-tanda kemahakuasaan-Nya di dunia ini, yang semuanya jauh lebih menakjubkan dari apa yang telah disampaikan di atas. Akan tetapi, jiwa-jiwa manusia memang telah terbiasa dengan pendustaan atas segala sesuatu yang tidak diketahui oleh ilmu pengetahuan, kecuali hanya orang-orang yang dianugerahi oleh Allah berupa taufik dan berada di bawah perlindungan-Nya.

 

Bagi mayat orang kafir akan dihamparkan dua lempengan dari api, keduanya berkobar di atas kuburannya sebagaimana berkobarnya api tungku. Apabila Allah swt. berkenan menunjukkan hal itu kepada sebagian di antara hamba-hamba-Nya, Dia akan menunjukkannya, lalu tidak menampakkannya kepada semua hamba-Nya yang lain. Alasannya yaitu apabila hal semacam itu Dia tunjukkan kepada semua hamba-Nya tanpa kecuali, akan hilanglah hikmah pembebanan serta keimanan kepada segala yang gaib dan manusia akan tidak akan sanggup saling menguburkan. Hal ini disampaikan dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. dalam dua kitab Sahih, “Kalau bukan karena kalian saling menguburkan, aku pasti akan berdoa kepada Allah agar Dia memperdengarkan kepada kalian sebagian dari siksa kubur yang kudengar.”

 

Itulah sebabnya, ketika hikmah seperti itu tidak dimiliki oleh binatang-binatang, maka mereka pun dapat mendengar dan mengetahui siksa kubur, sebagaimana siksa kubur yang telah menakuti bagal tunggangan Rasulullah saw. yang nyaris menjungkalkan beliau ketika ia lewat di dekat mayat yang sedang disiksa di dalam kuburnya.

 

Sahabat kami Abu “Abdullah Muhammad bin Ruzaiz al-Haran; menuturkan kepada saya, bahwa suatu ketika dia keluar dari rumahnya beberapa lama selepas ashar menuju sebuah kebun. Dia menuturkan “Ketika matahari sudah akan tenggelam, aku berada di tengah pekuburan dan tiba-tiba kulihat pada salah satu kuburan di pekuburan itu sebongkah bara api menyala-nyala laksana tungku perapian perajin kaca dan kulihat sesosok mayat tergeletak di tengah bara api itu. Aku pun menggosok-gosok mataku seraya bergumam, “Apakah aku sedang tidur ataukah tengah terjaga?”

 

Abu “Abdullah melanjutkan, “Setelah itu, aku menoleh melihat pagar kota dan aku pun berkata, ‘Demi Allah aku tidak sedang tidur! Aku bergegas pergi menemui keluargaku dengan keadaan penuh ketakutan. Mereka memberiku makanan, tetapi aku tidak sanggup memakannya. Beberapa saat kemudian aku tiba di tengah keramaian kota lalu kutanyakan tentang siapakah orang yang dikuburkan di kuburan yang kulihat menyala itu. Ternyata pada hari itu, di situ baru saja dikuburkan seorang petugas pemungut pajak.”

 

Penglihatan seperti yang dialami oleh Abu “Abdullah al-Harani itu yang mampu melihat api di kuburan si petugas pajak itu sama seperti penglihatan yang dimiliki para malaikat dan jin yang kadang-kadang dapat terjadi pada siapa pun yang Allah kehendaki untuk Dia perlihatkan hal semacam itu.

 

Dalam Kitab al-Qubar Ibnu Abu Dunya menuturkan sebuah riwayat dari asy-Sya’bi bahwa suatu ketika seseorang berkata kepada Rasulullah saw., “Aku lewat di dekat Badar dan di situ kulihat seorang lelaki keluar dari dalam tanah, tetapi lelaki itu dipukul oleh lelaki lain menggunakan sebongkah godam sehingga ia kembali terbenam ke dalam tanah. Lelaki itu kembali berusaha keluar dari tanah, tetapi ia kembali digoda oleh lelaki yang satu lagi. Rasulullah pun bersabda, ‘Itu adalah Abu Jahal bin Hisyam yang disiksa seperti itu sampai Hari Kiamat.’”

 

Disebutkan dalam Hadis-hadis dari Hammad bin Salamah, dari ‘Amr bin Dinar, dari Salim bin ‘Abdullah, dari ayahnya, dia berkata: Ketika kami melakukan perjalanan di antara Mekkah dan Madinah pada sebuah rombongan, aku membawa barang-barang bawaan, aku lewat di dekat sebuah kuburan. Ternyata, di kuburan itu ada sesosok lelaki yang keluar dari dalam kuburnya yang mengobarkan api. Sementara di leher lelaki itu tampak rantai yang dia tarik-tarik. Lelaki itu berkata, “Wahai ‘Abdullah (hamba Allah), guyurlah aku dengan air! Wahai ‘Abdullah (hamba Allah), guyurlah aku dengan air!” Demi Allah, aku tidak tahu apakah lelaki itu memang mengetahui namaku ataukah dia mengucap “Abdullah” itu seperti lazimmnya orang-orang memanggil.”

 

Dia melanjutkan, ‘“Tetapi kemudian keluar sosok lain yang berkata, ‘Wahai “Abdullah (hamba Allah), jangan guyur dengan air! Wahai ‘Abdullah (hamba Allah), jangan guyur dengan air!’ Kemudian sosok tersebut menarik rantai yang membelenggu leher orang pertama sehingga orang itu kembali masuk ke dalam tanah.”

 

Ibnu Abu Dunya berkata: Ayahku menuturkan kepadaku, Musa bin Dawud menuturkan kepada kami, Hammad bin Salamah menuturkan kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dia berkata, “Suatu ketika seorang pengendara melintas di antara Mekkah dan Madinah, lalu dia lewat di dekat sebuah pekuburan. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang keluar dari dalam kuburnya yang mengobarkan api, dengan tubuhnya terbelenggu besi. Lelaki itu berseru, ‘Wahai ‘Abdullah (hamba Allah), guyurlah aku dengan air! Wahai ‘Abdullah (hamba Allah), guyurlah aku dengan air!’”

 

Dia melanjutkan, “Tetapi mendadak keluar sosok lain yang berkata, ‘Wahai ‘Abdullah (hamba Allah), jangan guyur dengan air! Wahai ‘Abdullah (hamba Allah), jangan guyur dengan air!’ Si pengendara itu pun jatuh pingsan dan dia dibawa pergi oleh hewan tunggangannya sampai ke ‘Arj.” Pada saat itu, seluruh rambutnya telah memutih. ‘Utsman yang dikabari tentang kejadian itu akhirnya mengeluarkan larangan bagi siapa pun untuk melakukan perjalanan seorang diri.

 

Telah dituturkan pula sebuah hadis dari Sufyan, Dawud bin Syabur menuturkan kepada kami, dari Abu Qaza’ah, dia berkata, “Suatu ketika kami lewat di dekat sebuah sumber air yang terletak di antara tempat tinggal kami dan Kota Basrah. Di situ kami dengar ringkikan keledai. Kami pun bertanya kepada orang-orang, “Apakah ringkikan itu?” Mereka menjawab, “Itu bermula dari seorang lelaki yang dulu hidup bersama kami. Suatu ketika ibunya mengucapkan sesuatu kepadanya, tetapi dia menimpali ucapan itu dengan memaki ibunya, “Meringkiklah engkau dengan ringkikanmu!” Ketika orang itu mati, suara ringkikan seperti keledai itu terus terdengar dari kuburannya setiap malam.

 

Disebutkan pula sebuah riwayat dari ‘Amr bin Dinar, dia berkata. Dulu ada seorang lelaki dari kalangan penduduk Madinah yang memiliki seorang saudara perempuan yang tinggal di sudut kota Madinah. Suatu ketika perempuan itu mengeluh dan lelaki itu pun mendatanginya Tetapi perempuan itu lalu meninggal dunia dan lelaki itu menguburkannya. Setelah lelaki itu beranjak pulang, tiba-tiba teringat bahwa dia telah meninggalkan sesuatu di dalam kuburan perempuan itu. Lelaki itu lalu meminta bantuan salah seorang temannya.

 

Lelaki itu menuturkan, “Kami membongkar kuburannya dan kami temukan barang yang kami cari.” Lelaki itu berkata kepada temannya, “Minggirlah agar aku dapat melihat bagaimana keadaan saudara perempuanku!” Lelaki itu lalu mengangkat tanah yang menutup lahaq saudara perempuannya, tetapi tiba-tiba kobaran api menyembur darj liang lahad itu, sehingga dia buru-buru menutupnya lagi dan kemudian meratakan kuburan saudara perempuannya.

 

Lelaki itu kembali kepada ibunya lalu bertanya, “Bagaimanakah dulu saudara perempuanku itu?” Si ibu yang heran balik bertanya, “Mengapa engkau bertanya tentang saudara perempuanmu, padahal dia sudah mati?” Tetapi lelaki itu bersikeras dan berkata, “Engkau harus memberi tahu aku.” Si Ibu menyahut, “Dulu dia selalu menunda-nunda shalat, bahkan menurut dugaanku dia sering melakukan shalat tanpa wudhu. Selain itu, dia suka mendatangi pintu-pintu rumah para tetangga, dia lekatkan telinganya di pintu rumah-rumah itu, lalu dia beberkan semua tentang mereka.”

 

Disebutkan pula sebuah riwayat dari Hushain al-Asadi, dia berkata: Aku mendengar Martsad bin Hausyab, dia berkata, “Suatu ketika aku duduk bersama Yusuf bin ‘Umar, sementara di sampingnya ada seorang lelaki yang sebelah wajahnya seperti lembaran besi. Yusuf berkata kepada lelaki itu, ‘Ceritakanlah kepada Martsad apa yang pernah kau lihat!’

 

Pemuda itu pun berkata, “Dulu aku adalah sosok pemuda yang melakukan berbagai macam kejahatan. Ketika wabah pes menyerang, aku berkata kepada diriku sendiri untuk pergi ke daerah pinggiran, lalu aku ingin menggali sebuah kuburan. Pada malam harinya di antara waktu Maghrib dan Isya’ aku sudah selesai menggali satu liang kubur, lalu aku bersandar di atas gundukan tanah kuburan sebelah.”

 

“Sesaat kemudian, sesosok jenazah dibawa ke kuburan itu lalu dimakamkan di situ. Setelah jenazah tersebut dimasukkan ke dalam le had, para pengantar pun meratakan kuburan itu. Setelah para pengantar jenazah itu pulang, tiba-tiba datanglah dua sosok terbang dari arah barat seperti dua ekor unta yang salah satunya kemudian jatuh di bagian kepala jenazah itu, sementara yang lain di bagian kakinya. Mereka berdua Jalu membongkar kuburan itu. Salah satu dari mereka kemudian masuk ke dalam liang kuburan, sementara yang lain berada di bibir liang kubur. Sementara itu, aku bergegas mendekat lalu ikut duduk di sisi kuburan itu. Pada saat itu, aku adalah sosok lelaki yang tidak berisi apa-apa.”

 

Pemuda itu melanjutkan, “Kudengar sosok terbang itu berkata kepada orang mati itu, ‘Bukankah engkau yang dulu suka mengunjungi para saudara iparmu dengan mengenakan dua lapis pakaian untuk menyombong dan berjalan dengan congkak?’

 

Orang mati itu menjawab, ‘Aku lebih lemah dari itu!’

 

“Sosok terbang yang bertanya itu tiba-tiba memukul orang mati itu dengan satu pukulan yang membuat kuburan itu dipenuhi air dan minyak. Dia lalu mengulangi pertanyaannya, tetapi si orang mati kembali mengulangi jawabannya. Sosok itu pun memukul lagi sampai akhirnya dia memukul orang mati itu tiga kali dan di setiap pukulan itu si orang mati tetap memberikan jawaban yang sama. Sementara kuburan itu sudah penuh oleh air dan minyak.”

 

“Sosok itu lalu mengangkat kepalanya dan melihat ke arahku seraya berkata, ‘Lihatlah di manakah dia duduk setelah Allah membuatnya putus asa!’ Tiba-tiba sosok itu memukul sisi wajahku hingga aku pun terjungkal. Kulewati malam itu sampai pagi datang. Di pagi itu, kulihat kuburan yang semalam dipenuhi air dan minyak itu, namun anehnya saat itu kuburan tersebut terlihat utuh seperti sebelumnya.”

 

Air dan minyak yang dilihat dengan mata kepala pemuda itu sebenarnya adalah api yang membakar mayat tersebut. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah saw. ketika beliau menuturkan tentang Dajjal, bahwa kelak Dajjal akan datang dengan membawa air dan api. Padahal api yang dibawa Daijal itu adalah air dingin, sementara air yang dibawanya adalah api yang membakar.

 

Ibnu Abu Dunya menuturkan bahwa suatu ketika seseorang berkata Abu Ishaq al-Fazari tentang pembongkar kuburan,” “Apakah terbuka tobat bagi pembongkar kuburan?”

 

Abu Ishaq menjawab, “Ya. Apabila memang niatnya betul dan Allah mengetahui kejujuran darinya.”

 

Orang itu berkata lagi kepada Abu Ishaq, “Dulu aku pernah mombongkar kuburan dan kudapati orang-orang yang wajah mereka tidak menghadap kiblat.”

 

Mendengar itu, rupanya al-Fazari tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang masalah tersebut. Dia pun mengirim surat kepada al-Auza’; yang berisi berita tentang pertanyaan orang itu. Al-Auza’i kemudian membalas surat al-Fazari dengan surat yang berbunyi, “Tobat pembongkar kuburan itu diterima apabila niatnya betul dan Allah mengetahui kejujuran dalam hatinya. Adapun mengenai pernyataannya bahwa dig mendapati orang-orang yang wajah mereka tidak menghadap kiblat, itu adalah orang-orang yang mati dalam keadaan meninggalkan sunah.”

 

Ibnu Abu Dunya berkata: Abdul Mukmin bin ‘Abdullah bin “Isa al-Qaisi menuturkan kepadaku bahwa suatu kali dia pernah bertanya kepada seorang pembongkar kuburan yang sudah bertobat, “Apakah hal paling aneh yang pernah engkau lihat?”

 

Mantan pembongkar kuburan itu menjawab, “Suatu ketika aku pernah membongkar kuburan seseorang dan ternyata di sekujur tubuh orang yang dikubur itu ditancapi paku-paku dengan sebatang paku paling besar menancap di kepalanya, lalu sebatang paku besar lagi menancap di kakinya.”

 

Abdul Mukmin juga pernah bertanya kepada pembongkar kuburan yang lain, “Apakah hal paling aneh yang pernah engkau lihat?”

 

Pembongkar kuburan itu menjawab, “Aku pernah melihat tengkorak orang mati yang dicor dengan timah.”

 

Dia berkata kepada si mantan pembongkar kuburan, “Apakah yang menyebabkan engkau bertobat?”’

 

Mantan pembongkar kuburan itu menjawab, “Karena semua mayat yang kubongkar kuburannya selalu kulihat mereka dipalingkan wajahnya dari kiblat.”

 

Sahabat kami yang bernama Abu ‘Abdullah Muhammad bin Muntab as-Salemi—yang merupakan salah satu hamba Allah yang terbaik karena kejujurannya—menuturkan kepadaku: Suatu ketika seseorang datang ke pasar para pandai besi di Baghdad untuk menjual beberapa buah paku kecil dengan masing-masing paku memiliki dua kepala. Seorang pandai besi mengambil paku-paku itu, lalu dipanaskan. Namun, anehnya paku-paku itu tidak berubah bentuk termasuk setelah dipukul dalam keadaan panas, sampai akhirnya si pandai besi menyerah untuk memukulnya. Pandai besi itu pun bertanya kepada lelaki yang menjual paku-paku itu kepadanya, “Dari manakah engkau mendapatkan paku-paku ini?”

 

Orang itu menjawab, “Aku menemukannya.”

 

Tetapi pandai besi itu tidak memercayai jawaban tersebut dan terus pertanya kepada orang itu mengenai asal-usul paku-paku itu. Sampai akhirnya orang itu menjawab dengan bercerita bahwa dia mendapati sebuah kuburan yang sudah terbuka dan di dalamnya terdapat tujang-tulang mayat yang ditancapi paku-paku.

 

Dia berkata, “Aku pun menarik paku-paku itu untuk mencabutnya, tetapi aku tidak dapat melakukan itu. Akhirnya kuambil sebongkah patu lalu kuhancurkan tulang-tulang mayat itu lalu kukumpulkan paku-paku ini.”

 

Dia (Abu ‘Abdullah) berkata, “Aku pernah melihat paku-paku itu.”

 

Saya (penulis) bertanya kepadanya, ‘“Bagaimanakah bentuk paku-paku itu?”

 

Dia menjawab, “Paku-paku itu berukuran kecil dengan dua kepala.”®

 

Ibnu Abu Dunya berkata, “Ayahku menuturkan kepadaku, dari Abul Harisy, dari ibunya, ibunya itu berkata, ‘Ketika Abu Ja’far menggali parit Kufah, orang-orang pun memindahkan kuburan penduduk kota itu. Di antara mayat-mayat yang akan dipindahkan kuburannya itu, kami menemukan mayat seorang pemuda yang sedang menggigit tangannya sendiri.’”

 

Simak bin Harb menuturkan: Suatu ketika Abu Darda’ melintas di dekat sebuah pekuburan dan tiba-tiba saja dia berkata, “Betapa tenangnya permukaanmu, padahal di dalammu penuh petaka!”

 

Tsabit al-Bunani berkata: Ketika aku berjalan melewati pekuburan, tiba-tiba terdengar suara di belakangku yang berkata, “Wahai Tsabit, janganlah engkau tertipu oleh tenangnya kuburan ini karena betapa banyak orang yang kesusahan di dalamnya!” Aku pun sontak menoleh ke belakang, tetapi tidak kulihat siapa-siapa.

 

Suatu ketika Hasan lewat di sebuah pemakaman, lalu dia berkata, “Duhai padahal di situ banyak pasukan yang tidak pernah membiarkan mayat-mayat itu diam! Betapa banyak yang kesusahan di antara mereka itu!”

 

Ibnu Abu Dunya menuturkan bahwa “Umar bin “Abdul ° Aziz berkata kepada Maslamah bin Abdul Malik, “Wahai Maslamah, siapakah yang menguburkan ayahmu?”

 

Dia menjawab, “Budak milikku, si Fulan.”

 

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz bertanya lagi, “Siapakah yang mengubur, kan Walid?”

 

Dia menjawab, “Budak milikku, si Fulan.”

 

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Kalau begitu aku akan menyam. paikan kepadamu sesuatu yang disampaikan oleh budak itu kepadaku, Ketika dia menguburkan ayahmu dan Walid meletakkan mereka di dalam kuburan mereka, dia ingin melepaskan ikatan mereka. Tetapi dia dapati wajah mereka berdua telah dipalingkan ke arah tengkuk mereka, Oleh sebab itu, wahai Maslamah apabila nanti aku mati, tolong kau lihat wajahku. Apakah aku akan mengalami apa yang dialami oleh mereka itu ataukah aku akan diselamatkan dari hal semacam itu?”

 

Maslamah berkata, “Ketika ‘Umar bin “Abdul ‘Aziz meninggal dunia, aku pun meletakkan jenazahnya di dalam kuburannya. Kemudian kulihat wajahnya dan ternyata wajah itu tetap pada posisinya.”

 

Ibnu Abu Dunya menuturkan sebuah riwayat dari seorang salaf, dia berkata: Ketika anak perempuanku meninggal, kukuburkan ia di dalam kuburan. Beberapa lama kemudian ketika kudatangi kuburannya untuk membetulkan batu bata di kuburan itu, kulihat wajah anak perempuanku itu sudah dipalingkan dari arah kiblat. Aku pun bersedih karena hal itu dengan kesedihan yang luar biasa. Pada malam harinya, aku bermimpi melihat anak perempuanku itu. Dia berkata, “Wahai ayahku, apakah engkau gundah karena apa yang engkau lihat? Padahal sesungguhnya semua orang yang ada di sekelilingku telah dipalingkan wajah mereka dari kiblat.” Sepertinya dia ingin menyampaikan bahwa mereka adalah orang-orang yang mati dalam keadaan masih terus melakukan dosa-dosa besar.

 

‘Amr bin Maimun berkata: Aku pernah mendengar ‘Umar bin “’Abdul ‘Aziz berkata, “Aku termasuk orang yang ikut memasukkan jenazah Walid bin Abdul Malik ke dalam kuburnya. Saat itu kulihat kedua lututnya telah disatukan dengan lehernya. Anaknya pun berkata, ‘Ayahku hidup, demi Tuhannya Ka’bah!’ Aku pun berkata, ‘Ayahmu disegerakan, demi Tuhannya Ka’bah!’ Rupanya Umar mengambil pelajaran dari peristiwa itu sepeninggal Walid.”

 

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata kepada Yazid bin Muhallab ketika dia mengangkat Yazid sebagai gubernur di Irak, “Wahai Yazid, bertakwalah engkau kepada Allah! Sesungguhnya ketika aku memasukkan Walid ke dalam lahadnya, ternyata dia menjejakkan kakinya ke tanah di dalam kain kafannya.”’

 

Yazid bin Harun berkata: Hisyam bin Hassan menuturkan kepada kami, dari Washil maula Abu ‘Uyainah, dari ‘Amr bin Harim, dari ‘Abdul Hamid bin Mahmud, dia berkata, ‘“Ketika aku duduk bersama Ibnu ‘Abbas, dia didatangi sekelompok orang yang kemudian berkata kepadanya, ‘Kami berangkat untuk melaksanakan haji bersama seorang sahabat kami. Tetapi ketika kami sampai di Dzu Shifah sahabat kami itu meninggal dunia. Kami pun mengurus jenazahnya lalu kami yang hendak melanjutkan perjalanan bergegas menggali kubur untuknya lengkap dengan lahad. Akan tetapi, setelah kami selesai menggali lahadnya, tiba-tiba kami melihat ular-ular hitam memenuhi lahad tersebut. Kami pun menggali liang lahad baru. Namun, lagi-lagi ada ular-ular yang memenuhi lahad itu. Kami pun menggali lagi liang lahad baru, tetapi tetap terjadi yang seperti itu.’”

 

Ibnu ‘Abbas lalu berkata, ‘Itu adalah belenggu yang akan membelenggunya. Maka berangkatlah kalian dan kuburkan dia di sebagiannya. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, apabila kalian menggali seluruh bumi, pasti kalian akan mendapati yang seperti itu juga.’ Kami akhirnya berangkat setelah meletakkan jenazah sahabat kami itu di sebagian dari lubang kuburan. Setelah kami pulang, kami serahkan beberapa barang milik sahabat kami yang mati itu kepada keluarganya. Kami bertanya kepada istrinya, ‘Apakah yang dulu dikerjakan oleh suamimu?’ Dia menjawab, ‘Dulu dia adalah seorang penjual makanan. Dia biasa mengambil dari makanan dagangannya itu makanan yang dia berikan kepada keluarganya, lalu dia tukar apa yang dia ambil itu dengan kotoran yang dia masukkan ke makanan dagangannya.’”

 

Ibnu Abu Dunya berkata: Muhammad bin Husein menuturkan kepadaku, dia berkata, ‘Abu Ishaq si pemilik kawanan domba menuturkan kepadaku, dia berkata, ‘Suatu ketika aku dipanggil untuk memandikan sesosok mayat. Ketika kusingkap kain penutup mayat itu dari wajahnya, mendadak kulihat seekor ular melilit lehernya. Aku pun buru-buru keluar sebelum memandikannya. Orang-orang berkata bahwa semasa hidupnya orang yang mati itu sering memaki pada sahabat Rasulullah radhiyallahu ‘anhum.’”

 

Ibnu Abu Dunya menuturkan, dari Said bin Khalid) bin Yazid al-Anshari, dari salah seorang penduduk Basrah yang menggali kuburan. Dia berkata, “Suatu hari aku menggali sebuah kuburan, lalu kuletakkan kepalaku di dekat kuburan itu sampai akhirnya aku tertidur. Dalam tidurku itu, aku bermimpi didatangi dua sosok perempuan. Salah sat, di antara mereka berdua berkata, ‘Wahai hamba Allah, aku memohon kepadamu dengan nama Allah agar engkau pindahkan wanita ini aga, kami tidak berdampingan dengannya.’”

 

Aku pun terbangun dalam ketakutan. Ternyata pada saat itu ada jenazah seorang perempuan yang diusung ke situ. Aku pun berkatg kepada orang-orang yang mengusung jenazah itu, “Kuburan jenazah itu ada di sebelah belakang!’’ Aku berkata seperti itu agar orang-orang itu berpindah dari kuburan di dekatku. Ketika malam tiba, aku kembalj bermimpi melihat dua orang perempuan yang kulihat dalam mimpiky yang sebelumnya. Salah seorang dari mereka lalu berkata, “Jazakallah khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan)! Sungguh engkau telah menyingkirkan sebuah keburukan yang panjang dari kami.” Aku bertanya, “Mengapa sahabatmu itu tidak berbicara denganku seper. ti engkau berbicara denganku?” Perempuan itu menjawab, “Perempuan ini meninggal tanpa wasiat. Orang yang meninggal tanpa meninggalkan wasiat hanya berhak untuk diam sampai Hari Kiamat.”

 

Semua riwayat ini, sebagaimana begitu banyak lagi yang lainnya yang tidak dapat dipaparkan semuanya di dalam buku ini, menjelaskan tentang siksa dan nikmat kubur yang Allah swt. perlihatkan kepada sebagian di antara hamba-hamba-Nya secara kasatmata.

 

Adapun penglihatan di dalam tidur (mimpi), apabila kami sampaikan di sini juga akan menghabiskan berjilid-jilid buku. Bagi siapa pun yang ingin mengetahui lebih banyak tentang hal ini silakan membaca kitab al-Manamat karya Ibnu Abu Dunya dan kitab al-Bustan karya Qairawani atau kitab-kitab lain yang membahas tentang masalah ini. Sementara orang-orang ateis dan zindik tidak memiliki sikap apa-apa selain hanya mendustakan segala hal yang tidak dapat mereka jangkau dengan ilmu mereka.

 

PASAL

 

Poin keenam: Allah swt. selalu menciptakan berbagai hal di dunia ini yang jauh lebih menakjubkan dari semua yang telah disebutkan tadi. Jibril turun menemui Rasulullah saw. dengan menjelma sebagai sesosok lelaki, kemudian berkata-kata dengan beliau dengan ucapan yang dapat beliau dengar, padahal di saat yang sama sahabat yang berada di samping Rasulullah saw. tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar Jibril. Demikian pula halnya yang terjadi pada semua Nabi selain Rasulullah saw. Terkadang wahyu datang kepada beliau dalam bentuk seperti dentang lonceng yang tidak dapat didengar oleh semua mereka yang hadir.

 

Para jin selalu berbicara dan berkata-kata dengan suara yang keras di tengah-tengah kita semua, sementara kita tidak dapat mendengar mereka. Para malaikat memukul orang-orang kafir menggunakan cambuk, sebagaimana mereka memukul leher orang-orang kafir itu sehingga mereka berteriak-teriak karenanya; sementara orang-orang muslim yang ada bersama mereka tidak dapat melihat para malaikat itu dan tidak pula dapat mendengar suara mereka.

 

Allah swt. memang telah menghijab semua keturunan Adam dari begitu banyak hal yang Dia ciptakan di bumi. Jibril as. sering membacakan untuk Rasulullah saw. serta mengajarkan al-Quran kepada beliau, sementara mereka yang ikut hadir bersama beliau tidak dapat mendengar suara Jibril itu.

 

Bagaimana mungkin orang yang mengenal Allah swt. dapat mengingkari, tetapi kemudian mengakui kuasa-Nya; bahwa Dia mampu menciptakan berbagai kejadian yang sebagian makhluk-Nya perhatiannya telah disimpangkan oleh Allah kepada hal lain, sebagai bentuk hikmat dan rahmat dari-Nya untuk mereka karena mereka memang tidak sanggup untuk melihat dan mendengarnya? Padahal hamba Allah sangat lemah penglihatan dan pendengarannya untuk dapat tetap tegar ketika menyaksikan siksa kubur.

 

Sebagian besar dari orang-orang yang Allah persaksikan mereka pada hal-hal seperti itu (siksa kubur—Penj.) mengalami pingsan tidak sadarkan diri, sehingga untuk beberapa lama mereka tidak dapat beroleh manfaat dari kehidupan. Bahkan sebagian dari mereka—karena menyaksikan siksa kubur—ada yang tersingkap tirai kalbunya sehingga langsung meninggal seketika.

 

Oleh karena itu, maka bagaimana mungkin dapat diingkari segala hikmah ilahiyah atas diulurkannya tirai penutup yang menabiri semua mukalaf dengan kesaksian siksa kubur itu, yang kalau tirai penutup itu dibuka maka mereka akan dapat melihat dan menyaksikan semua itu dengan mata kepala mereka?

 

Selain itu, kalau bahkan hamba Allah (manusia—Penj.) saja mam, pu menghilangkan air raksa dan khardal (biji sawi) dari mata Orang mati dan dadanya, kemudian mengembalikannya dengan cepat; jadi bagaimana mungkin malaikat tidak mampu melakukan hal seperti itu Dan bagaimana mungkin hal seperti itu tidak dapat dilakukan oleh Dza, yang Mahakuasa atas segala sesuatu? Dan bagaimana mungkin kema, hakuasaan-Nya tidak mampu membuat semua itu tetap di mata dan di dadanya, tanpa pernah jatuh darinya? Tidaklah perbandingan perkarag Alam Barzakh atas semua yang disaksikan oleh manusia di dunia ke. cuali hanya bentuk kebodohan dan kesesatan atau menjadi pendustaan terhadap Dzat yang Mahajujur di antara semua yang jujur dan menjadi peremehan terhadap Tuhan alam semesta, padahal itu adalah puncak kebodohan dan kezaliman?

 

Apabila salah seorang di antara kita saja mampu meluaskan sebuah kuburan sepanjang sepuluh hasta, seratus hasta, atau lebih dari itu-dalam ukuran panjang, lebar atau kedalamannya—lalu orang itu merahasiakan apa yang dilakukannya itu dari orang banyak, tetapi dig hanya menunjukkan itu kepada orang-orang tertentu; maka bagaimana mungkin Allah Tuhan semesta alam itu tidak mampu untuk meluaskan kuburan terhadap siapa pun yang dikehendaki-Nya, lalu Dia menutup hal itu dari mata semua keturunan Adam sehingga mereka melihat kuburan yang bersangkutan itu tetap sempit? Sebagaimana ketika kuburan seseorang dijadikan sangat luas, beraroma sangat harum, dan bercahaya sangat terang oleh Allah, mereka tidak dapat melihat semua itu.

 

Rahasia dari masalah ini yaitu, bahwa peluasan, penyempitan, penerangan, penghijauan, dan api pada kuburan itu sebenarnya bukan berasal dari sesuatu yang menjadi bagian dari alam ini (alam dunia—Penj.). Allah swt. selalu menunjukkan kepada semua keturunan Adam di dunia ini segala sesuatu yang ada di dalamnya dan berasal darinya. Adapun segala hal yang termasuk bagian dari urusan akhirat, Allah swt. selalu mengulurkan tirai penutup terhadap hal-hal seperti itu. Tujuannya adalah agar pengakuan dan keimanan terhadap hal-hal seperti itu menjadi jalan bagi kebahagiaan mereka. Padahal apabila tiral penutup itu disingkapkan dari mereka, niscaya semua itu akan dapat dilihat disaksikan dengan mata kepala.

 

Kalaupun mayat orang yang sudah mati tergeletak begitu saja (maksudnya, tidak dikuburkan—Penj.), maka hal itu tidak dapat menghalangi datangnya kedua malaikat untuk menyampaikan pernyataan kubur kepada orang mati itu, tanpa disadari oleh mereka yang hadir di tempat si mayat tersebut. Orang mati itu dapat menjawab pertanyaan kedua malaikat tersebut tanpa mereka yang hadir di situ dapat mendengar jawabannya. Bahkan kedua malaikat itu dapat memukuli orang mati itu, tanpa hal itu dapat disaksikan oleh mereka yang hadir.

 

Ketika salah seorang dari kita tidur di samping temannya, lalu dia disiksa dalam tidurnya, dipukuli dan disakiti, semua orang yang terjaga tentu sama sekali tidak mengetahui apa pun dari hal itu. Walaupun terkadang bekas pukulan dan nyeri dapat benar-benar muncul di tubuh orang yang bersangkutan itu.

 

Di antara bentuk kebodohan yang paling parah, yaitu tindakan menganggap bahwa malaikat tidak akan mampu menembus tanah dan batu. Allah swt. menjadikan benda-benda seperti itu bagi malaikat sama seperti udara bagi burung. Tidaklah halangan tanah dan batu pada jasad kasar dapat menghalangi ruh yang bersifat halus. Jadi, bukankah hal seperti itu® tidak muncul, kecuali hanya karena perbandingan yang saJah? Dengan sikap seperti inilah para rasul shalawatullah wa salaamuhu ‘alaihim didustakan.

 

PASAL

 

Poin ketujuh: Ruh tidak mungkin terhalang untuk dikembalikan kepada seseorang yang mati lalu disalib, mati tenggelam atau orang yang tewas terbakar, tanpa kita dapat merasakan hal itu karena pengembalian ruh ke jasad itu adalah dalam bentuk lain yang tidak dapat dijelaskan.

 

Ketika seseorang jatuh pingsan, mendadak diam, dan orang yang kaku badannya dalam keadaan mereka hidup dan ruh mereka masih melekat bersama mereka, kita tentu tidak akan merasakan hidupnya mereka. Kalau begitu, maka orang yang bagian-bagian tubuhnya telah tercerai, pasti kondisi itu tidak akan menghalangi Allah yang Mahakuasa atas segala sesuatu untuk menjadikan ruh terhubung dengan bagian-bagian tersebut dengan segala kedekatan dan kejauhannya (jaraknya) sehingga bagian-bagian tubuh itu akan dapat merasakan sakit dan kenikmatan. 

 

Allah swt. telah menjadikan adanya rasa dan kemampuan Persesi; pada benda-benda mati, sehingga mereka semua dapat bertasbih memuji Tuhan mereka, sebagaimana halnya batu dapat jatuh karena taku kepada Allah, gunung-gunung pepohonan dapat bersujud kepada-Nya seperti yang juga dilakukan bebatuan kerikil, air, dan tanaman.

 

Allah swt. berfirman,

 

“Dan tak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kalian sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (QS. al-Isra’ [17]: 44)

 

Kalau memang yang dimaksud tasbih benda-benda mati itu hanya sekadar bahwa mereka menjadi petunjuk akan adanya sang Pencipta, tentu Allah tidak akan menyebut kalimat “…tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka”. Sesungguhnya setiap makhluk berakal pasti memahami petunjuk yang disampaikan oleh benda-benda mati itu kepada Dzat yang menciptakan mereka.

 

Allah swt. berfirman,

 

“Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Dawud) di waktu petang dan pagi.” (QS. Shad [38]: 18)

 

Kalau memang “tasbih” berarti “petunjuk akan adanya Pencipta’”, tentu tidak mungkin “petunjuk” itu hanya ada “di waktu petang dan pagi”.

 

Begitu pula halnya firman Allah swt.

 

“,..Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang (awwibi) bersamanya (Dawud).” (QS. Saba’ [34]: 10)

 

Kalau memang “tasbih” berarti “petunjuk akan adanya Pencipta”, tentu tidak mungkin gunung dan burung yang disebutkan dalam ayat jtu disebut “bertasbih berulang-ulang bersama Dawud.”

 

Selain itu, sungguh telah mendustakan Allah orang yang menyatakan bahwa yang dimaksud “awwibi” dalam ayat ini adalah “pantulan gema”’ (shada) karena gema akan muncul bagi apa pun yang bersuara. Allah swt. berfirman,

 

“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?” (QS. al-Hajj [22]: 18)

 

Tentu saja, petunjuk akan adanya sang Pencipta tidak secara khusus hanya melekat pada “sebagian besar daripada manusia.”

 

Allah swt. berfirman, “Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah bertasbih kepada-Nya segala yang di langit dan di bumi dan (juga) burung yang mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbithnya.” (QS. an-Nur [24]: 41)

 

Penyebutan “sembahyang” (shalah) dan tasbih (tasbih) di sini memang bermakna hakiki (bukan majasi) sebagaimana yang telah Allah ajarkan kepada semua yang disebutkan dalam ayat ini; walaupun hal itu diingkari oleh orang-orang dungu yang mendustakannya.

 

Allah swt. telah memberi tahu tentang bebatuan, bahwa di antara batu-batu yang ada di alam semesta, ada batu-batu tertentu yang bergerak dan jatuh dari tempatnya karena takut kepada Allah.

 

Allah swt. juga telah memberi tahu tentang bumi dan langit, bahwa kedua makhluk Allah itu “memasang telinga untuk Allah” (ya ‘dzanani lah)—dan mereka berhak seperti itu, yang maksudnya adalah “mendengar firman Allah”. Allah swt. memang telah berbicara kepada mereka berdua lalu mereka berdua benar-benar mendengar firman Allah swt. itu, bahkan mereka menjawab firman Allah dengan jawaban yang baik.

 

Allah swt. berfirman kepada langit dan bumi,

 

“Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati.” (QS. Fushshilat [41]: 11)

 

Para sahabat Rasulullah saw. diriwayatkan pernah mendengar tag. bih makanan yang sedang dimakan. Mereka juga diriwayatkan Pernah mendengar rintihan pokok kurma kering di Masjid Nabawi.

 

Apabila semua benda mati tersebut di atas memang memiliki rasa dan perasaan, tentu saja makhluk-makhluk yang memiliki ruh dan daya hidup di dalam diri mereka jauh lebih layak memiliki rasa dan perasaan,

 

Allah swt. telah menunjukkan kepada hamba-hamba-Nya di du. nia ini kejadian pengembalian daya hidup secara utuh ke badan yang sebelumnya sudah terpisah dari ruh sehingga badan-badan itu dapat kembali berbicara, berjalan, makan, minum, kawin dan beranak; yaitu yang terjadi pada orang-orang yang disebutkan dalam ayat,

 

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: ‘Matilah kalian!’ Kemudian Allah menghidupkan mereka.” (QS. al-Baqarah [2]: 243)

 

Dan juga seperti yang terjadi pada “Orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, ‘Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?’ Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya, ‘Berapa lama kamu tinggal di sini?’ Ia menjawab, ‘Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari.’ Allah berfirman, ‘Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.’ Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata, ‘Saya yakin bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.’” (QS. al-Baqarah [2]: 259)

 

Dan juga seperti korban pembunuhan dari kalangan Bani Israel,” dan seperti orang-orang yang berkata kepada Nabi Musa as.,

 

“Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas!” (QS. al-Baqarah [2]: 55)

 

Lalu mematikan mereka lalu Dia bangkitkan mereka kembali setelah kematian mereka itu. Atau seperti yang dialami para pemuda Ashhabul Kahfi dan seperti cerita Nabi Ibrahim as. dengan empat ekor burung.™

 

Apabila Allah swt. sanggup mengembalikan kehidupan ke tubuh mereka yang sudah mendingin karena kematian, jadi bagaimana mungkin Allah swt. dengan kekuasaan-Nya yang dahsyat dianggap tidak mampu mengembalikan kehidupan ke tubuh para makhluk yang sudah mati dalam bentuk kehidupan yang dengan kehidupan itu Dia akan menetapkan putusan padanya atas apa yang Dia perintahnya, Dia akan membuat makhluk yang bersangkutan berbicara, disiksa atau diberi nikmat dengan segala amalnya?

 

Bukankah keingkaran terhadap kesanggupan Allah swt. itu tidak lain hanyalah kedustaan, kekeraskepalaan dan keingkaran? Wabillahit taufiq.

 

Pasal

 

Poin kedelapan: Haruslah diketahui bahwa siksa dan nikmat kubur, merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut siksa dan nikmat yang terjadi di Alam Barzakh, yaitu alam yang berada di antara Alam Dunia dan Alam Akhirat. Allah swt. berfirman, “Dan di hadapan me. reka ada dinding (Barzakh) sampai hari mereka dibangkitkan,” (QS. al-Mu’minun [23]: 100).

 

Di Alam Barzakh inilah para penghuninya akan berada di antara dunia dan akhirat.

 

Adapun penamaan siksa kubur dan nikmat kubur dengan penyebutan istilah “taman surga” (raudhah) atau “liang neraka” (hufrah nar) dimaksudkan untuk menyebutkan apa yang terjadi pada kebanyakan manusia. Sementara bagi manusia tertentu yang mati lalu disalib, tewas terbakar, tenggelam, dimakan binatang buas, dimangsa burung; mereka semua tetap mengalami siksa Alam Barzakh dan juga dapat merasakan nikmat di alam tersebut sesuai dengan putusan yang dijatuhkan padanya berdasarkan amal perbuatannya, walau seperti apa pun beragam macamnya kenikmatan dan siksa yang terjadi padanya.

 

Orang-orang zaman dulu mengira bahwa apabila jasad seseorang dibakar menggunakan api sehingga berubah menjadi abu, lalu sebagian abu itu disebarkan di laut dan sebagian lagi di darat ketika angin sedang kencang, maka orang tersebut akan dapat selamat dari siksa kubur, Sehingga orang yang meyakini hal itu, kemudian berwasiat kepada anak-anaknya agar kalau dia mati, hendaklah jasadnya dibakar dan kemudian abunya disebar. Padahal Allah swt. sangat berkuasa untuk memerintahkan kepada laut agar mengumpulkan apa pun yang ada padanya, sebagaimana Dia sangat sanggup memerintahkan daratan untuk mengumpulkan segala yang ada padanya.

 

Setelah itu Allah swt. berkata, “Bangkitlah!”, maka orang yang abunya ditebarkan di mana-mana itu akan kembali bangkit untuk kemudian Allah bertanya kepadanya, “Apakah yang membuatmu melakukan semua itu?” Orang itu akan menjawab, “Karena aku takut kepadamu wahai Tuhan! Engkaulah yang lebih tahu.” Dan tidaklah semua itu akan dapat meluputkan orang itu dari rahmat Allah.

 

Singkatnya, siksa dan nikmat kubur tidak akan dapat luput dari semua bagian tubuh orang yang telah diperlakukan seperti yang disebutkan di atas (dibakar lalu abunya ditebarkan—Penj.); Apabila ada orang yang mati lalu tubuhnya disangkutkan di pucuk-pucuk pohon saat angin berembus kencang, pastilah tubuh itu akan tetap mengalami siksa kubur sesuai dengan apa yang harus diterimanya.

 

Begitu pula apabila ada mayat seorang lelaki saleh yang dimasukkan ke dalam kobaran api, maka pasti jasadnya itu tetap akan dapat mengenyam nikmat Alam Barzakh dengan segala kenyamanan yang memang menjadi jatah dan bagian yang diterimanya. Api yang membakar tubuhnya itu pasti akan Allah swt. ubah menjadi sejuk menyelamatkan, sebagaimana Dia berkuasa untuk mengubah udara menjadi api yang sangat panas.

 

Semua elemen yang ada di alam semesta berikut segala materi yang ada di dalamnya selalu tunduk kepada Tuhan mereka yang telah menciptakan mereka. Dia sangat berkuasa untuk memperlakukan mereka semua sekehendak-Nya. Mereka tidak mungkin dapat membangkang terhadap apa pun yang Dia kehendaki. Alih-alih mereka justru selalu tunduk pada keinginan-Nya, tunduk patuh kepada kemahakuasaan-Nya. Siapa pun yang mengingkari semua ini, maka dia telah ingkar terhadap Tuhan alam semesta dan sekaligus telah kufur serta menyangkal ketuhanan-Nya.

 

Pasal

 

Poin kesembilan: Kematian merupakan bentuk pengembalian (ma’ad) dan bentuk kebangkitan yang pertama (ba’ts awwal). Allah swt. telah menciptakan bagi setiap anak Adam dua pengembalian dan dua kebangkitan. Pada keduanya manusia akan diberi balasan atas semua keburukan yang mereka lakukan, sebagaimana pada keduanya pula manusia-manusia baik akan mendapatkan balasan kebaikan.

 

Kebangkitan pertama terjadi ketika ruh berpisah dari badan, untuk kemudian ia melakukan perjalanan menuju Negeri Pembalasan Pertama (dar al-jaza al-awwal)

 

Kebangkitan kedua terjadi pada hari ketika Allah swt. mengembalikan semua ruh ke tubuh mereka masing-masing, untuk kemudian Dia membangkitkan mereka semua dari kubur mereka masing-masing dan melanjutkan perjalanan menuju surga atau menuju neraka. Inilah kebangkitan kedua (al-hasyr ats-tsani). Inilah yang disebutkan dalam hadis-hadis sahih “…dan beriman pada kebangkitan terakhir.” Kebangkitan pertama tidak diingkari oleh siapa pun, walaupun ada banyak orang yang mengingkari adanya pembalasan berupa nikmat atau siksa di dalamnya.

 

Allah swt. telah menyebutkan dua jenis “kiamat” ini—yaitu Kiamat Kecil (al-qiyamah ash-shughra) dan Kiamat Besar (al-qiyamah al-kubra) dalam Surah al-Mu’minun, Surah al-Waqi’ah, Surah al-Qiyamah, Surah al-Muthaffifin, Surah al-Fajr dan beberapa surah lainnya. Hikmah kebijaksanaan Allah swt. telah menjadikan-Nya membuat keduanya sebagai dua tempat pembalasan bagi orang baik dan bagi orang jahat. Hanya saja, penggenapan balasan yang sempurna hanya terjadi pada Hari Pengembalian Kedua (al-ma’ad ats-tsani) di Dar al-Qarar. Demikianlah yang Allah nyatakan dalam firman-Nya,

 

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada Hari Kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian.” (QS. Ali Imran [3]: 185)

 

Keadilan Allah swt. dan juga nama-nama baik (al-asma al-husna) yang Dia miliki serta kesempurnaan kemahakudusan-Nya telah mewajibkan pada-Nya untuk memberi nikmat kepada para wali-Nya pada ruh-ruh mereka, sebagaimana itu juga mewajibkan pada-Nya untuk menyiksa jasad musuh-musuh-Nya termasuk ruh-ruh mereka. Oleh sebab itulah, jasad dan ruh hamba yang taat kepada-Nya pasti akan merasakan kenikmatan dan kelezatan yang memang layak baginya, sebagaimana halnya jasad dan ruh orang durjana yang bermaksiat terhadap-Nya juga pasti akan merasakan sakit serta hukuman yang memang pantas dijatuhkan padanya. Semua itu menjadi konsekuensi bagi keadilan, hikmah kebijaksanaan dan kesempurnaan Allah yang Mahakudus.

 

Ketika alam dunia ini menjadi tempat pembebanan dan ujian (dar taklif wa imtihan) dan bukan sebagai tempat pembalasan (dar jaza), maka tentu saja semua balasan itu tidak akan tampak di dunia ini. Alam Barzakh-lah yang menjadi tempat pembalasan (dar jaza) yang pertama. Di Alam Barzakh itulah akan tampak semua yang memang layak muncul di tempat itu, di mana hikmah kebijaksanaan Allah berkonsekuensi atas kemunculan semua itu. Ketika nanti Hari Kiamat Besar (al-qiyamah al-kubra) terjadi, barulah semua manusia yang taat dan semua manusia yang pemaksiat akan digenapi bagi mereka semua segala apa yang mereka memang berhak menerimanya, baik itu berupa kenikmatan jasad dan ruh, maupun berupa siksa terhadap jasad dan ruh mereka.

 

Siksa di Alam Barzakh—sebagaimana pula halnya kenikmatan di dalamnya—merupakan semacam siksa akhirat atau nikmat akhirat yang awal karena sebenarnya siksa dan nikmat itu berasal darinya (maksudnya, dari siksa dan nikmat di akhirat—Penj.). Semua yang dirasakan oleh para penghuni Alam Barzakh itu dapat sampai kepada mereka karena semua itu memang berasal dari akhirat, sebagaimana dalil yang disampaikan oleh al-Quran dan sunah yang secara gamblang menyampaikan hal itu.

 

Contohnya adalah sabda Rasulullah saw. yang berbunyi, “…lalu dibukakan untuknya sebuah gerbang menuju surga, maka kemudian datanglah kenyamanan dan kenikmatan surga itu kepadanya.” Sebagaimana beliau juga bersabda tentang orang durjana, “…lalu dibukakan untuknya sebuah gerbang menuju neraka, maka kemudian datanglah panas yang membakar dari neraka itu kepadanya.”

 

Telah diketahui secara pasti bahwa jasad mengambil bagiannya dari gerbang yang dibukakan itu, sebagaimana ruh juga pasti mengambil bagiannya. Ketika Hari Kiamat terjadi, si orang mati yang bersangkutan akan memasuki gerbang yang dibukakan baginya di Alam Barzakh itu untuk menuju tempatnya yang harus dimasukinya.

 

Di dunia ini, kedua gerbang yang disebutkan dalam hadis-hadis tersebut itulah yang menjadi jalan sampainya pengaruh halus (atsar khafiy) yang kemudian terhijab oleh berbagai kesibukan dan kealpaan indrawi, tetapi ia dapat dirasakan oleh kebanyakan orang, walaupun mereka tidak mengetahui sebabnya dan tidak pandai mengungkapkannya karena wujud sesuatu tidak selalu diiringi dengan perasaan yang jelas dan pengungkapannya.

 

Ketika seseorang meninggal dunia, maka pengaruh halus dari kedua gerbang itu akan mencapai orang tersebut secara lebih sempurna. Dan ketika nanti orang itu dibangkitkan, akan benar-benar sempurnalah pengaruh halus itu sampai kepada dirinya. Hikmah kebijaksanaan Allah swt. telah mengatur semua itu dengan pengaturan yang terbaik sesuai proporsinya di ketiga alam yang ada (yaitu alam dunia, Alam Barzakh dan Alam Akhirat—Penj.).