PASAL : Adapun berkenaan dengan pendapat kalian yang menyatakan, bahwa hukum mendahulukan orang lain atas jalan pahala hukumnya makruh
Hal ini termasuk dalam ranah tindakan mendahulukan orang lain pada tindakan takarub—jadi apa lagi dengan tindakan mendahulukan orang lain atas pahala yang menjadi tujuan amal. Saya telah menanggapi pendapat ini dengan beberapa jawaban sebagai berikut:
Jawaban pertama: Kondisi kehidupan seseorang merupakan suatu kondisi yang di dalamnya tidak dapat dijamin adanya keselamatan sampai akhir hayat. itulah sebabnya ada orang hidup yang melakukan kemurtadan, padahal hal itu. sama saja dengan mendahulukan orang lain untuk bertakarub (kepada Allah) yang mungkin tidak layak menerimanya; sementara orang ini menjadi aman karena kematian.
Apabila ada yang mengatakan bahwa orang yang diberi hadiah juga mungkin saja tidak mati dalam Islam secara batiniah, sehingga tidaklah berguna hadiah yang disampaikan kepadanya; sebenarnya pertanyaan seperti ini merupakan pertanyaan yang benar-benar batil karena hadiah yang diberikan kepada orang lain, seperti yang dilakukan berupa shalat atas jenazahnya, permohonan ampunan baginya dan doa untuknya; jika orang mati itu memang layak menerimanya (maka dia akan mendapatkan manfaat dari semua itu) tetapi jika tidak, yang mendapatkan manfaatnya yaitu orang yang melakukan amalan-amalan itu sendiri.
Jawaban kedua: Tindakan mendahulukan orang lain dalam ranah takarub, menunjukkan minimnya keinginan orang yang bersangkutan untuk meraih takarub itu sendiri dan kecenderungan untuk menunda pengamalannya. Apabila tindakan mendahulukan orang lain dalam ranah ini dibolehkan, hal itu pasti akan menyebabkan malasnya semua orang untuk melakukan takarub dan kecenderungan untuk menunda-nundanya. Hal ini berbeda dengan pemberian hadiah pahala suatu tindakan takarub. Orang yang melakukan takarub itu memang sangat ingin melakukan takarub demi memperoleh pahala darinya, agar kemudian dia mendapatkan manfaat darinya atau dia memberi manfaat dari pahala itu kepada saudaranya sesama muslim. Tentu saja di antara kedua hal ini terdapat perbedaan yang jelas.
Jawaban ketiga: Allah swt. selalu menyukai kesegeraan dalam khidmat hamba kepada-Nya, bahkan para hamba diminta-Nya untuk berlomba dalam hal itu. Sebab itu merupakan bentuk ubudiah tertinggi, sebagaimana lazimnya para raja selalu menyukai kesegeraan dan berlomba-lombanya rakyatnya untuk patuh dan berkhidmat kepada mereka. Oleh Karena itu, tindakan mendahulukan orang lain dalam hal ini tentu telah memupus maksud dari ubudiah.
Allah swt. telah memerintahkan hamba-Nya untuk bertakarub kepada-Nya, baik sebagai suatu kewajiban maupun sebagai bentuk kecintaan. Itulah sebabnya, jika kemudian hamba-Nya mendahulukan orang lain untuk melakukan takarub itu, maka berarti dia telah mengabaikan apa yang Allah perintahkan kepadanya, untuk kemudian dilakukan Oleh orang lain.
Hal ini tentu berbeda dengan kondisi ketika si hamba melakukanya apa yang diperintahkan Allah kepadanya sebagai bentuk ketaatan dan takarub pada-Nya, lalu dia mengirimkan pahala apa yang dilakukannya itu kepada saudaranya sesama muslim.
Allah swt. berfirman,
“Berlomba-lombalah kalian kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. al-Hadid [57]: 21)
Allah swt. juga berfirman, “…Maka berlomba-lombalah kalian (dalam berbuat) kebaikan…” (QS. al-Baqarah [2]: 148) Padahal telah diketahui bahwa tindakan mendahulukan orang lain dalam kebaikan pasti akan memupus perlombaan dan kesegeraan dalam pelaksanaannya.
Dulu, para sahabat selalu berlomba-lomba antara satu dengan lainnya dalam ranah takarub tanpa ada satu pun di antara mereka yang mendahulukan orang lain dalam hal ini. ‘Umar ra. pernah berkata, “Demi Allah, Abu Bakar tidak pernah mendahuluiku dalam suatu kebaikan, kecuali dia memintaku berlomba mengejar kebaikan itu.” Sampai-sampai ‘Umar ra. pernah berkata, “Demi Allah aku tidak mampu berlomba denganmu menuju kebaikan sampai kapan pun.”
Allah swt. berfirman,
“Laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. al-Muthaffifin [83]: 26)
Kata na-fa-sa, munafasah dan nifas digunakan ketika seseorang ingin menyampaikan “perlombaan” (mubarah). Itulah sebabnya.
sesuatu yang mahal harganya selalu disebut “nafis” karena semua orang selalu berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Orang Arab juga biasa menyebut “anfas mali” (harta saya yang paling berharga) untuk menyebut sesuatu yang paling disukai. Semua kata ini merupakan antonim dari kata itsar (mendahulukan orang lain) dan ketidaksukaan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan