Oleh Syekh Muhammad Ibrahim ‘Gazur-i-Illahi’ (Sufi Syatariyyah)
1. Tidak banyak gunanya melakukan zikir dan latihan sendirian dan dengan diri sendiri; fikiran tidak tertumpu kecuali di bawah pengaruh seorang Pir atau guru yang perhatian murid atau salik menjadi efektif, Pengaruh Pir atau guru menjadi sangat efektif dalam kes mereka yang memiliki bakat.
Pir atau guru, yang telah Mengajarkan Tahap fana, dapat memungkinkan murid untuk melakukan hal yang sama.
Seikat kapas tetap selamanya di bawah sinar matahari tanpa terbakar; tapi jika menggunakan kaca hablur pembesar, kapas itu langsung terbakar,
Pir yang sempurna buta ghairullah , sejauh ia tidak melihat ma-siwa-llah (selain Tuhan), dan murid juga buta, sejauh ia hanya melihat ma-siwa-ilah (melihat lain dari Allah).
Jika Pir atau guru buta terhadap Haqq, ia tidak dapat membimbing orang buta.
Pir yang telah menyelesaikan Syir-il-Allah (perjalanan menuju Tuhan) memasuki Syir-fil-Allah (perjalanan di dalam Tuhan); tetapi ia memulai kembali perjalanannya (Syir-il-Allah) bersama murid, dan membimbing muridnya selangkah demi selangkah dalam perjalanan itu hingga sampai ke hujung jalan dengan kekuatan ruhaninya. Dia membuat murid itu’mematian dirinya’ dan ‘hidup dalam Allah’.
Pada hakikatnya, hanya seorang guru sahaja yang melakukan ini, semenjak Adam sampai sekarang dan beliau itu Muhammad SAW.
Beliau adalah khalifah yang sempurna dalam berbagai bentuk badan dari Adam hingga Muhammad Imam Mahdi, penutup segala aulia.
Namun, ini bukan melalui Tanasukh, tetapi Jalan Buruz. Ini seperti cahaya dari satu lampu.
Hanya satu cahaya yang bersinar di semua lampu, kenabian yang sempurna memanifestasikan dirinya dalam satu tubuh dan mendapat nama Muhammad
2: Muraqaba-i-Mujawir (meditasi yang medekatkan);
Duduklah menghadap kiblat dan dengarkan bisikan hati atau batin. Anggaplah setiap khatrat yang turun ke hati mu sebagai Perintah Tuhan dan laksanakan dalam tindakan, jika itu dalam kemampuanmu, jika tidak, laksanakan dalam fikiran mu.
Muraqaba-i-Mim-Mim: Mim pertama mengacu pada Mutlaq (mutlak), dan yang kedua mengacu pada Muqaiyyad (yang terbatas).
Anggaplah bahwa Haq, Yang Mutlak, (Mim yang pertama) tampak dalam bentuk 'yang terbatas' (Mim kedua) melalui ‘penurunan’ dan juga yang terbatas ini benar-benar mutlak melalui ‘kenaikan’.
3. Ahl-i-Mukashafah (orang-orang kashf) memahami Wahdat melalui kashf dan bukan melalui dalil -dalil.
Tutup matamu, dan Wahdat menjadi nampak, buka matamu dan lihatlah keragaman dalam Kesatuan. Wahdat berasal dari sisi Zat dan Kathrat berasal dari sisi sifat.
Dia adalah Yang Pertama, sejauh menyangkut Zat, dan Dia adalah Yang Terakhir sejauh menyangkut sifat.
Dalam menjadi Yang Pertama, Zat bersifat batin dan dalam menjadi Yang Terakhir, sifat bersifat zahir.
“Dia adalah Yang Pertama dan Yang Terakhir, Yang Tampak dan Yang Tersembunyi. (Surah Al Hadid : 3)
4, Tutuplah mata dan telingamu, tubuhmu dan dunia menghilang darimu, tetapi ‘ke-aku-an-mu’ tetap ada dalam pengetahuan mu.
Tetapkan dirimu padanya, sehingga ia tidak menghilang.
Hindarilah diri mu dari manusia.
Latihan dan Praktik ini (shaghal) akan memusatkan fikiran mu, dan mengamankan bagi dirimu yang hilang.
5. Ketetapan syariat didasarkan pada hakikat segala sesuatu dan hakikat segala sesuatu didasarkan pada sifat-sifat Zat. Ketika seseorang melampaui hakikat ini, ia mencapai Hakikat, dan kebenaran hakikat segala sesuatu pun muncul dalam dirinya.
Nabi berdoa:
(Ya Tuhan, tunjukkanlah kepadaku hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya).
Bepergianlah dari hakikat menuju hakikat dan dari hakikat menuju yang benar (Haq atau Kebenaran.) Inilah ‘perjalanan bersama Tuhan’ (Syir-ma-llah) dan kemudian anda masuk ke dalam ‘perjalanan di dalam Tuhan’ (Syir-fil-llah) yang tidak memiliki hujungnya.
6. Hati dibentuk berdasarkan pola yang berbeda, karenanya berbagai efek mengalir darinya.
Hakikat insan @ Kemanusiaan adalah sama, itu adalah Hakikat Ketuhanan.
Kekuatan Berbicara adalah sama juga, ia menghasilkan nada yang berbeda pada berbagai alat muzik, sesuai dengan perkakasan alat muzik tersebut, misalnya seruling, trumpet , dan lain-lain.
7. Bayangkan diri anda sebagai orang yang berbicara melalui semua tubuh.
Perbedaan dalam suara dan ucapan disebabkan oleh perbedaan dalam tubuh.
Anda adalah pembicara di mana-mana, Sekarang singkirkan tubuh-tubuh itu, dan anda berbicara hanya dengan Ucapan yang tidak dapat diucapkan; dan itulah hakikat ucapan Anda, yang merupakan Kalam-i-Zati dalam Tahap Jam-ul-jam; huruf atau kata-kata dan suara tidak ada atau menghilang,
Kalam (ucapan) ada dua jenis:
Satu adalah Kalam-i-Zat yang berada dalam tahap jam, dan yang lainnya adalah kalam-i-tafsili, yang berada dalam tahap farq; yang satu tidak bersuara dan yang lainnya dengan suara dan huruf atau kata-kata.
Firman Tuhan (Al-Quran) turun dari tahap jam-ul-jam di mana tidak ada suara. Yang satu adalah tahap makna (ma'ni) dan yang lainnya, tahap bentuk (surat).
Isi tidak memiliki kulit, dan ketika isi ingin memanifestasikan dirinya, ia memperilhatkan kulit.
Maka ‘kalam-i-Zat tidak dapat memanifestasikan dirinya tanpa ‘kalam-i-tafsili’.
Sekarang anda memahami bahwa anda tidak memiliki ‘ghayr? (yang lain). ‘Keberbedaan’ ini muncul dari berbagai macam tubuh dengan kesannya atau efeknya (athar),
8. Suatu ketika Pir atau guru ku berkata: “Ku Berada di kamarku, melantunkan salah satu nama Haq. Aku berharap setiap anggota tubuhku melantunkan nama itu, dan mendapati bahwa setiap anggota tubuh melantunkan namaku sendiri, aku melaporkan hal ini kepada Pir-ku, yang berkata bahwa ini lebih baik daripada apa yang ku harapkan.”
Tuhan berfirman:
‘Karena itu ingatlah Aku, Aku akan mengingat mu.” [Surah Al baqarah : 152]
“Zikir Pelantunan menghilang dan penzikir menjadi Cahaya. Dari kepala hingga kaki, ia menjadi yang dizikiri atau dilantunkan,”
Demikian pula dinding kamarmu mungkin menzikirkan atau melantunkan nama, Di sini engkau mencapai tahap-tahap Qurb-i-Farayad dan Qurb i-Nawafil.
Ini adalah Dhikr-i-sifat. Dalam kes Dhikr-i-Zat, ia mendengar kata ‘aku’, ‘Aku’ dari hatinya yang merupakan tahap ‘Ana’l-Haqq.’
Perlu dicatat bahwa jika Zakir (penzikir) mendengarnya sendiri, itu mungkin merupakan kes diri sendiri @ sugesti otomatik atau hipnotis diri, tetapi jika orang lain mendengar seperti dalam kes Mansur Hallaj, itu tidak bisa lagi menjadi seperti itu; suara atau bunyi atau bahkan tulisan di dinding mengadungi makna mistik yang lebih dalam.
9. Sebagian ‘ariff mempraktikkan Zikir-i-sifat, karena Zikir-i-Zat selalu berada di baliknya.
Zikr-i-sifat adalah tangga menuju Zikr-i-Zat, yang di dalamnya tidak ada apa pun kecuali ‘Aku’.
Selama salik belum mencapai pencerahan Zat, ia berkata: ‘Dialah Haqq,’ ‘Segala puji bagi-Nya’; tetapi ketika ia mencapai tahap pencerahan Zat itu, ia berkata: ‘Akulah Haqq.’
Oleh karena itu, Maulana Ma‘nawi berkata: ;
“‘Ilmu Allah lenyap dalam ilmu sufi.
Bagaimana orang awam bisa memahami ini.”
Di sini sufi menjadi tertegas, dan ‘ghayr’ (‘yang lain’)-nya dinafikan, yaitu, ilmu Tuhan, sebagaimana adanya, meniadakan Ketuhanan ariff.
Ketika Tuhan adalah Diri-Nya sendiri, tidak ada ‘ghayr’ (yang lain).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan