Oleh Syekh Muhammad Ibrahim ‘Gazur-i-Illahi’ (Sufi Syatariyyah)
1. Taqdir (Ketentuan) dari benda atau objek-objek ada hubungan dengan tangan a‘yan mereka; karena, ilmu Allah tentang objek-objek bergantung pada hakikat objek-objek itu sendiri. Salam pengertian ini, tidak memiliki kekuatan untuk mengubah hakikat-hakikat yang mana adalah bakat-bakatnya atau kemampuan-Nya sendiri.
Hakikat-hakikat itu terpendam, dan Allah memberikan manifestasi-manifestasi kepada mereka; lakuan-Nya tidak menghasilkan athar (kesan)-nya sendiri.
Ilmu atau pengetahua dalam proses mengetahui bergantung pada yang ‘diketahui’, sedangkan yang diketahui tidak bergantung pada pengetahuan.
Tukang pewarna kain hanya mencelup kain tetapi menjadikan celup itu.
Dengan demikian a‘yan dalam takdir adalah para penguasa dan Allah yang diperintah.
Allah memerintah sesuai dengan persyaratan a‘yan, dan dengan demikian menjadi Pencipta A’yan.
A‘yan-i-kharija (a‘yan atau objek-objek zahir) bergantung pada hakikat-hakikat mereka dalam ilmu dan hakikat-hakikat itu sendiri bergantung pada Shuyunat (keupayaan atau potensi) mereka.
Shuyunat tidak bergantung pada Zat dalam manifestasi (penzahiran), tetapi Zat bergantung pada Syuyunat dalam proses manifestasinya.
Manifestasi hanya tampilan dan bukan mengeluarkan dari ketiadaan, sebagaimana yang dikatakan oleh Mutakallimin (ahli ilmu kalam).
Zat adalah qadim (tanpa awal) dan shuyanat serta sifat-sifatnya juga qadim.
Manifestasi hanyalah mengeluarkan dari batin menuju zahir (dari tidak nampak kepadsa nampak); tidak ada mengeluarkan dari kosong dalam prosesnya.
A‘yan tidak dapat menampilkan diri mereka sendiri; Sang Penzahir atau pewujud tidak dapat mewujudkan diri mereka sendiri; dan pewujud ini adalah Allah;
Syeikh Gulshan-i-Raz berkata:
Allah adalah yang mengetahui, a‘yan dan objek adalah ‘yang diketahui’, Yang diketahui’ adalah penguasa, dan yang ‘mengetahui’ yang diperintah.
Qadha bergantung pada Qadar; dan Qadar pada shuyunat; dan Zat dalam manifestasinya bergantung pada shuyunat.
Qadha adalah perintah zahir dan qadar adalah keperluan batin dalam ilmu.
Shuyunat masuk dalam ilmu sebagaimana mereka berada di Zat.
Taqdir adalah ukuran dalam ilmu (pengetahuan).
Segala sesuatu diukur dan ditimbang dalam ilmu ini adalah yang asli.
Ukuran ini bergantung pada shuyunat, yang masuk ke dalam ilmu sebagaimana ia berada dalam Zat.
Ilmu hanyalah mengetahui ukuran asli, ini yang zahir ke luar.
Yang terzahir keluar hanyalah alat atau agen dan bukan pelaku.
Taqdir berada di tangan a'yan dan bukan di tangan Allah.
Sang Pencinta berada di tangan yang dicintai.
Hag cinta menzahirkan menurut tuntutan a'yan-Nya (bakat-Nya), dan membentuk rupa-rupa mereka dalam ilmu-Nya dan mengzahirkan keluar; dan menyembah aspek keindahan-Nya sendiri; dan proses ini berlangsung dan akan berlangsung selamanya.
Dia menjadi cermin-Nya sendiri dan menampilkan diri-Nya, dan mengamati diri-Nya dan menikmati pengamatannya; dan tidak ada ‘ghayr’ (yang lain).
2. Iradat (Kehendak) adaalah dalam Allah, dan manusia tidak memiliki kehendaknya sendiri.
Kekuasaan bergantung pada wujud. Oleh karena itu, tidak ada tidak memiliki kekuasaan.
Tuhan menciptakan anda dengan kehendak-Nya, dan kehendak itu nyata dalam diri anda.
Anda belum menjadi ‘yang dijadikan’ dengan kehendak anda. Anda katakan anda telah melakukannya dengan kehendak anda.
Anda tidak sadar bahwa anda tidak berkuasa dan qanda bukanlah seorang agen.
Kaum Mu‘tazilah (Menggunakan akal) mengatakan bahwa mereka adalah pencipta lakuan mereka sendiri.
Allah telah berfirman:
“Wallahu khalaqakum wu ma taqmalun.”
‘Allah telah mejadikan kamu dan perbuatan kamu.” [Surah Saffat : 96]
Baik penganut kehendak bebas maupun penganut keharusan sama-sama salah.
Allah adalah pelaku, ‘ghayr’ tidak bebas mahupun di bawah ketentuan.
3. Qadr terdiri dari ‘bakat-bakat’ diri-Nya (yaitu,) a’yan dan Qadha adalah perintah-Nya kepada ‘bakat-bakat’ atau a‘yan untuk menyatakan diri mereka pada waktu dan tempat tertentu.
A‘yan menyatakan diri mereka dengan cara mereka sendiri, dan sesuai dengan bakat mereka sendiri, dan bukan sebaliknya.
Telinga tidak dapat melakukan kerja mata dan kacang almond tidak berasa seperti anggur; Buah durian tidak berasa rambutan.
Qadha tertakluk pada ilmu Allah yang kekal dan ilmu yang kekal itu tertakluk kepada A’yan (bakat)
a‘yan dalam keadaan terpendam (sebelum masuk dalam ilmu) ada dalam Zat.
Segala sesuatu meminta (berdoa) dizahirkan dengan lidah ‘bakat-bakat’-nya dan Allah mengabulkannya.
“Berdoalah kepada-Ku, Aku akan mengabulkanmu” [Surah Al Mukmin : 60].
A‘yan tidak diciptakan oleh ciptaan oleh Sang Pencipta.
Nama ‘Mudhil’ (yang menyesatkan) tidak mendatangkan keburukan akhlak dan Rohani; dan nama ‘Mahdi’ (yang menuntun ke jalan yang benar) membawa ketinggian akhlak dan rohani.
‘Bakat-bakat’ itu asli dan asal muasal asma dan sifat; ialah adalah hakikat-hakikat Zat, dan tidak dapat diubah.
Tuhan memberikan penzahiran kepada mereka dan ini adalah Masyiyat-Nya (kurnia) Nya). Ini adalah keadilan pada awalnya.
A‘yan mengambil bentuknya sebagaimana dalam ilmu. Ilmu (pengetahuan), iradat (kehendak), dan kudrat (kekuatan) Allah tidak mengganggu manifestasi mereka.
Sebaliknya, a‘yan dalam ilmu (dan bukan dalam terpendam, terbuni) adalah para penguasa dan Allah yang diperintah;
Allah adalah ‘yang mengetahui’ dan a‘yan ‘yang diketahui’.
Seorang petani menanam tanamanya menurut keadaan benda-benda yang ditanam itu. Menanam pokok getah lain caranya dan tempatnya dari menanam padi. Begitu juga jenis tanam-tanaman yan lain.
Jika ia tidak tahu membezakan antara getah dan padi, maka itu menunjukkan ia jahil. Ilmunya memberi mereka pernyataan menurut kualiti-kualiti mereka, dan mereka wujud menurut apa yang ada pada mereka.
Firman Allah SWT :
“Tidak ada perubahan dalam perkataan-perkataan Allah” [Surah Al An’am : 34]
4. Sebagian orang adlah penganut Qadariah (kehendak bebas) sebagian lagi adalah penganut Jabariah (keharusan) dan sebagian lagi berada di antara keduanya.
Yang benar adalah Zat Allah dengan sifat-sifatnya telah mezahirkan Dirinya sendiri dengan Dirinya sendiri, dan bukan ‘yang lain’ yang tidak wujud.
“La illaha illa Hua.’ (Tidak ada Tuhan selain Dia.)
Jika ‘yang lain’ ini ada, maka itu adalah keharusan.
Orang salik melihat semua agama adalah satu.
“Sesungguhnya aku beragama dengan agama Rab-ku.”
Pandangan salik diangkat di atas ‘yang lain,’
“Sesungguhnya, kamu (Wahai, Nabi) tidak dapat memberi petunjuk dengan benar kepada siapa yang kamu sukai tetapi Allah dapat memberi petunjuk dengan benar kepada siapa yang Dia sukai.” [Surah Qasas : 56.]
“Kamu tidak dapat memberi petunjuk dengan benar kepada siapa yang disesatkan Allah, dan kamu tidak dapat menyesatkan siapa yang diberi petunjuk oleh Allah ke jalan yang benar.” Hadits-i-Qudsi :
“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah, maka merekalah orang-orang yang rugi.” [Surah Al-A’raf: 178].
Ketika salik sampai pada haq atau kebenaran, hubungan itu pun sirna; dan didapati Allah sebagai Hadi (Yang memberi petujuk) tanpa campur tangan perantaraan (orang tengah).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan