Catatan Popular

Ahad, 4 Mei 2025

KITAB TERSOHOR ”ANA AL HAQ” : (12) SULUK [KURSUS LATIHAN] (BAHAGIAN 3)

Oleh Syekh Muhammad Ibrahim ‘Gazur-i-Illahi’ (Sufi Syatariyyah)

39. Syirik muncul dari kathrat (keberagaman), Zat yang Esa mengenakan banyak pakaian yang beraneka ragam. 

Maka, melihat yang satu sebagai banyak adalah syirik. 

Dia membuat dunia dengan berbagai keindahanNya, lalu mengenakan tabir, lalu mengangkat penjuru sudut di sana-sini. 

Namun, tabir itu dimaksudkan untuk perhiasanNya sendiri, dan untuk memperlihatkan keindahanNya sendiri, bukan untuk menyembunyikan wajahNya, tabir adalah Sesuatu lain dari pemakainya, Ia adalah tabir fikiran, yang jika tabir disingkirkan terjadilah wisal  (penyerapan Allah dalam Diri-Nya).


40, Pada saat shalat, seseorang harus mengosongkan dirinya dari dirinya sendiri, agar banyak yang diciptakan oleh perkongsian para penyembah, dihindari; dan penyembahan itu sendiri lenyap. 

Ghawth, telah berkata, “Allah adalah penyembah dan yang disembah.”

Dalam shalat, anda menjadi penyembah diri anda sendiri, dan tidak membuat berhala untuk disembah. 

Jika Anda menganggap diri anda sebagai ‘yang lain’ dari Allah dan Allah sebagai ‘yang lain’ dari diri anda sendiri, maka anda meletakkan asas syirik.

‘Yang lain’ dimulai ketika ada ‘yang kedua’. Ketika tidak ada ‘yang kedua’, yang satu tetap ada; 

‘yang lain’ dari Allah tidak pernah ada sejak awal waktu; dan mengapa ada menyebut diri anda sebagai ‘yang lain’. 


Nabi (saw) telah berkata:

“Ana ahmadun bila mim.” (Saya Ahmad tanpa huruf mim) 

Maka Ahmad menjadi Ahad, yaitu, tanpa kesadaran adanya dirinya sendiri. 

Ketika Anda mencapai ini tahap ini, setiap helai bulu roma di tubuhmu akan berteriak Ana’l-Haq (Aku adalah Tuhan).


Lagi pula, jika penyembahan bukan dari Allah, maka diperlukan arah kiblat dalam shalat.

““Fa-aynama tuwallu fasamma wajhulla.”’ 

“Ke mana pun engkau meghadap, di situlah wajah Allah. “ [Surah al Baqarah : 115] 

Jika seorang penyembah menghala kepada dirinya sendiri, di situlah ada wajah Allah. 

Seorang penyembah harus mengosongkan dirinya dari dirinya sendiri dan mencari Allah dalam dirinya sendiri, dan menghadap dirinya ke satu arah. 

“Aku telah hadapkan wajahku kepada Allah, yang menciptakan langit dan bumi” [Surah al An’am : 79]

Hadaplah kepada dirimu sendiri, ia tidak ada ‘ghayr’.


41. Kufur secara harfiah berarti menutupi biji benih dengan tanah; secara teknis itu adalah menutupi Haq (Kebenaran). 

Jadi, orang yang tertutup Haqq pada pandanganya adalah seorang Kafir. 

Di mata batinnya, tidak ada yang diamati kecuali batil (‘yang lain’) yang terlihat. Ini adalah kufur. Kufur yang sebenarnya adalah menutupi ‘Ke-akuan’ Allah dalam Hawiyyat (Ke-Dia-an) Tuhan. 


Dalam kekufuran ini, bekerja yang bertentangan dengan ketetapan syariat tidak akan merugikan. Untuk mengambil minuman anggur, ketika sepotong tersangkut di tenggorokan, itu akan baik. Orang-orang salik melakukan ini berdasarkan perintah Pirnya, sebagaimana dikatakan Hafiz:

“Celupkan sajadahmu dengan anggur, jika Pir-mu memerintahkannya, “Orang-orang salik tidak akan menyadari upacara-upacara yang berkaitan dengan jalan,”

Kekufuran ini sebenarnya adalah fanafillah (binasa dalam Allah) yang, dengan kata lain, adalah disebut ketidaktahuan (bey-khudi), kemiskinan (faqr) dst. 

Seorang sufi atau darwis memasuki tempat khalwat (kharqah) Junayd, dan berkata: “Alhamdulillah (puji pujian bagi Allah). 

Junayd berkata: “Ucapkanlah sebagaimana Allah berkata: ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’ (puji bagi Allah, Allah semesta alam)”. 

Sang darwis menjawab, ‘‘Di manakah alam semesta yang harus aku sebut bersama dengan Allah”

Sang darwis berada dalam keadaan fana, di mana ia menemukan Ma-siwa-llah (‘selain Allah), sebagai ‘adum, dan Junayd dalam keadaan baqa, di keadaan itu beliau memandang bayangan Zat di cermin-cermin ‘adum.


42. Dalam Fana, kesadaran sâlik lenyap dan bukan wujudnya, sifatnya, dan perbuatannya. 

Yang dimaksud dengan kesadaran adalah pengetahuan tentang objek atau benda sebagaimana adanya, dan penegasan tentang keberbedaan mereka. 

Dalam pengetahuannya, objek tidak memiliki wujud sendiri dan tidak ada ‘yang lain.’ 

Jika keadaan ini berlangsung lama, maka disebut Jazbah (Dzauq) dan Junun-i-ilahi (gila kepada Allah). 

Seseorang yang memiliki ini selama satu minit dia menjadi wali; dan jika untuk waktu yang lebih lama, menjadi qutub atau ghauth.


43. Kemaraan hamba menuju Allah adalah sesungguhnya  mara Alllah menuju hamba, jika Allah tidak menghendakinya, hamba ini tidak dapat mara menuju-Nya. 

Suluk sesungguhnya adalah jazbah (keadaan dzauq), orang yang sâlik tidak akan menghadap kepada Allah, selama Allah tidak masuk ke dalam fikirannya. 

Seseorang mengasingkan dan khalwat adalah menghilangkan semua idea tentang ‘yang lain’ dari dalam mental fikirannya sendiri.


44. Ketika seseorang sadar dalam tidur, yaitu, tidak tidur secara mental, sementara matanya terpejam (nayan-i-ayni nayam-i-qalbi), dan melakukan dzikir dan fikir dalam keadaan itu, ia terjaga dan tidur, hidup dan mati menjadi sama baginya. 


45. Pada saat makan, anggaplah bahwa si pemberi adalah nama ketuhanan Mun‘im (pemurah) dan tangan mu adalah nama ketuhanan Razzaq (pemberi) dan perut mu ialah kiyani ism (nama makhluk) - Marzug (orang yang diberi); bila hal minum, anggaplah air sebagai nama ism ketuhanan - Hayy (pemberi kehidupan)  berupa air yang menghidupkan akal dan tubuh.


46. Hal-hal baik di dunia adalah tabir hijab dari Allah, selama kamu tidak melihat Tuhan di dalamnya. 

Sebagian orang yang taat meninggalkan hal-hal baik sepenuhnya. 

Ada kisah Nabi pernah membuang salah satu sandalnya, karena telah mengalihkan perhatiannya dalam shalat; 

Sebagian abid menerima hal-hal ini selagi perlu kelangsungan hidup. 

Abu Bayazid berhenti minum air dingin selama satu setengah tahun, tetapi orang yang ‘ariff mengamati di cermin hal-hal baik wajah Sang Pemberi Sendiri, dan menerimanya; tetapi membuangnya ketika ketaatan ini menghilang. 

Nabi (saw) bersabda: 

“Aku mencintai tiga hal dari dunia mu, yaitu bau wangian,  wanita, dan kesejukan mata ku saat shalat.” (HR. An Nasa’i  dan Ahmad)

Kenikmatan akan hal-hal baik akan hilang, ketika kamu menghargai pemberi itu di dalamnya.


47. Makhluk Allah yang paling mulia dan paling tinggi derjatnya ialah manusia ia menghinakan dirinya di hadapan ciptaan yang lebih rendah seperti pohon, dan lain-lainya.

“Dia telah menundukkan (pula) untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya [Surah Al Jasiyah : 13)

Hinanya manusia muncul dari nafsu keinginan, nafsu akan harta benda dan pangkat. 

Bahkan menyembah Allah muncul dari nafsu keinginan kepada surga. Apabila manusia ada nafsu untuk mendapatkan Allah, nafsu inilah bayangan dari tajallinya cinta. 

Ketika manusia itu uruj (naik menuju Allah), dia memutuskan dirinya dari segala nafsu dan bersatu dengan Sang Kekasih sejati.


48. Syekh-i-Akbar Ibn Arabi dalam bukunya Fas-i-Haruni berkata: 

“Seorang ‘ariff adalah orang yang melihat Allah dalam segala hal.”

Seorang ‘ariff tidak hanya melihat Allah dalam benda (objek), tetapi melihat-Nya sebagai Hakikat benda-benda. 

Karena itu, ia tidak mengingkari batinnya sendiri dalam hal ini (yaitu, sebagai hakikat Allah). Jika ia melakukan ini, itu karena segi lahiriah, yang ditetapkan oleh syar‘iat sebagai kebijakan dan untuk tujuan menjadikannya mahjub (terhijab) dari Haq. 

Nabi Musa marah kepada Nabi Harun karena alasan ini. 

Syar‘at adalah ‘jalan lurus’ (siratu’l-mustaqim) para nabi.

Di jalan ini ada batasan-batasan, yang ditetapkan Allah. 

Sebagian manusia menerima beban batasan-batasan ini, yang merupakan kesulitan-kesulitan yang harus ditanggung demi kepentingan mereka sendiri, dan mereka yang tidak menerimanya, menjadi kafir dan dimurkai Rabbu’l-arbab (Rab bagi segala rabs) yakni nama utama dalam Tahap ‘Rubibiyat’ yang menghimpun dan menguasai semua nama lainnya, Kemarahan para nabi terhadap pengikutnya adalah karena alasan ini (yakni, tidak mengikut jalan yang lurus). 

Seorang ariff (orang yang mengenal Allah) melihat Allah dalam semua manifestasi alam berdasarkan tajalliyat asma dan sifat. 

Seorang Ariff yang sempurna adalah melihat batasan-batasan ini, dan bersabar kerana kesulitan itu. 

“Dan barangsiapa yang melampaui batas-batas (hukum) Allah, maka ia telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri.” [Surah At Talaq :1].  

Ia memerhati asma (nama-nama) dalam semua manifestasi mereka, serta tetap berada di jalan para nabi dan tidak menjadi ‘mahjub’ (terhijab) dalam keberagaman. 

Inilah tahap Jam-ul-jam (di mana jalan para nabi dan juga jalan para asma berpadu)

“Kami telah membuat dua lautan mengalir bebas, (sehingga) keduanya bertemu. Di antara keduanya ada batas yang tidak dapat laluinya.” [Surah Ar Rahman : 19-20]

Dua lautan berpadu dalam ‘ariff.


49. Yang Esa (satu) terlihat dalam Yang Banyak. memerhati Allah oleh Allah. “Basrahu bi Basrihi”, Pencinta itu sendiri adalah yang dicintai dalam pandangan; ketika Dia kehilangan sifat-sifat-Nya dalam yang dicintai, Dia Nampak keduaaan.


50. Ruh Manusia adalah cermin ‘Jamal’ (keindahan) Allah. Seorang pria berpakaian bagus tidak begitu peduli dengan pakaian dan perhiasannya, yang terbayang dalam cermin itu kerana apabila debu-debu hinggap di cermin itu, dia sapu cermin itu.


51. Ruh manusia dan hakikat Kemanusiaan mengenal Allah tetapi dalam bentuk mujarrad (abstrak). 

Penampakan mereka dalam tubuh manusia memberinya makrifat.

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” [Surah ad Zariyat : 56]

Mereka yang melupakan janji mereka, ‘Alastu bi rabba kum qalu bala shahidna.” (‘Bukankah Aku Rabbi kalian, mereka berkata, ‘Ya, kami menjadi saksi’, Allah pun melupakan mereka. 

Mereka yang mengingat ini, beriman kepada para nabi.


52. Syaikh ‘Abdullah Bilyani berkata: Kesufian (yaitu, darwis), tidak semata-mata shalat, puasa, dan berjaga di malam hari, yang semuanya merupakan masalah pengabdian; tetapi juga merasa puas dengan sesuatu, segala sesuatu berada di bawah kendali yang ditetapkan oleh Allah dan bukan oleh ‘ghayr’ (‘yang lain’). 

Seorang sufi atau darwis harus tunduk kepada ketentuan Allah.


53. Jika kesombongan dan ‘keegoisan’ salik tidak lenyap dari hatinya, maka tidak akan ada fana baginya, karena hal tersebut merupakan sifat-sifat ‘ke-aku-an’ salik. 

Lebih mudah meroboh gunung daripada meroboh kesombongan dari hati seseorang. 

Oleh karena itu, ‘ke-aku-an’ itu sendiri harus dilenyapkan.


54. “Maha Suci Dia yang di tangannya terdapat kerajaan segala sesuatu.” [Surah Yasin : 83.]

“Maha Suci Allah yang di tangan-Nya kerajaan, dan Dia memiliki  [Surah Mulk : 1]

Segala sesuatu berasal dari Allah, kebaikan berkaitan ‘Jabar’ kejahatan berkaitan dengan ‘Qadar’

Syaikh ‘Abdul Qadir Jilani berkata : “Iman berada di antara Qadar dan Jabar.” 

“Apa pun yang kamu peroleh dari kebaikan, itu dari Allah, dan apa pun yang kamu peroleh dari kejahatan, itu dari dirimu sendiri.” [Surah an Nisa : 79]

Sikap seperti itu benar-benar merupakan tanda Taqwa (kesalehan). 

Ketika Adam ditanya mengapa dia tidak patuh, dia berkata: 

“Ya Tuhan, kami telah tidak adil terhadap diri kami.” [Surah A'raf, : 28. ]


Perbuatan hamba adalah ciptaan Allah. Gerak anak kunci adalah gerak tangan; meskipun karena beza waktu, keduanya tampak berbeda, Kedua gerak itu adalah gerak tangan Allah, 

“Tangan Allah berada di atas tangan mereka.” [Surat Fath, : 10]


55. Junayd al Baghdadi berkata, “Ma'rifat adalah pengamatan persepsi tentang adanya kejahilan anda di hadapan ilmu Allah.”

Jahil adalah hakikat zat anda dibandingkan dengan ilmu Allah. 

Anggaplah ilmu anda sebagai ilmu Allah. Ilmu anda benar-benar ilmu Allah yang lahiriah, nyata, dan terbatas, yang dalam aspek batinnya adalah hakiki nyata dan tidak terbatas.


Matsnawi berkata:

“Ilmu Allah lenyap dalam ilmu siifi.”


56. Fana adalah lenyapnya pandangan pada ‘ghayr’ (yang lain); Baqa adalah ilmu Allah, yang diperoleh seseorang setelah lenyapnya ilmu ‘ghayr’. 

Seseorang mencapai titik ini di ujung suluknya, di mana ia memperoleh Wilayat (Kewalian).


57. Hadits-i-Qudsi : “Allah menciptakan manusia menurut bayangNya atau gambar-Nya sendiri.” 

Zat Allah meliputi seluruh tahapan Ghayb, Syahadat, Ruh, Amthal; demikian juga hakikat Manusia (Haqiqat-i-Insani) meliputi hal yang sama, 

Bezanya ialah yang dari Allah itu adalah hakikat dan yang dari insan manusia itu hanya tiruan.

 “Man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu'' 

Nah, barangsiapa kenal Tuhannya sebagai meliputi semua tahap ini, kenallah dirinya sebagai meliputi yang sama.

'Araftu Rabbi bi Rabbi." (Aku mengenal Allah melalui Allah.) 

Anggaplah Zat, sifat dan af'al anda sebagai Zat, sifat dan af'al Allah dan jadilah Satu. 

Inilah jalannya Tariqat Syatariyah, bukan jalannya kaum abrar dan akhyar yang lain, yang menganut latihan dan mujahadah, dan berkata, “anggaplah diri kalian sebagai jalan fana, dan Allah sebagai jalan baqa; 

Diri kalian sebagai ‘Ubudiyyat (pengabdian), dan Allah sebagai Rubabiyyat (Ketuhanan).” 

Ini adalah pemahaman secara pertentangan, dan bukan tujuan hadits itu.


58. Nafsu (Hasrat) adalah syirik tersembunyi (syirik-i-khafi), dan ia merajalela di semua anggota tubuh dan meresapi setiap seratnya.


“Mereka telah beriman kepada Allah, tetapi kebanyakan dari mereka adalah syirik (musyrik)” [Surah Yusuf : 106]

‘Ke-AKU-an’ orang musyrik adalah daripada setan. Hingga KeAKUannya itu hilang dari dirinya, maka ‘keDIAan”Allah tidak akan terzahir pada dia.


Tiada ulasan: