Catatan Popular

Ahad, 4 Mei 2025

KITAB TERSOHOR ”ANA AL HAQ” : (16) KENAIKAN (URUJ)

Oleh Syekh Muhammad Ibrahim ‘Gazur-i-Illahi’ (Sufi Syatariyyah)


1. “Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, maka ia akan buta di akhirat dan lebih tersesat dari jalannya.” [Surah Bani Israil : 72]

Barangsiapa yang belum menjalankan tajalliyat (Pembukaan pengalaman kerohanian) di dunia ini, maka ia tidak mungkin menjalankannya di akhirat nanti. Dunia ini adalah ladang untuk akhirat, 


2. ‘Aziz Musaffi berkata bahwa hakikat surga adalah apa yang menguntungkan kita; dan hakikat neraka adalah apa yang tidak menguntungkan; yang satu adalah kebahagiaan dan yang lainnya adalah kecelakaan. 

Ada beberapa pintu menuju surga dan neraka. Semua tindakan dan perkataan yang terpuji adalah pintu menuju surga, dan semua tindakan yang tidak terpuji adalah pintu menuju neraka; karena kebahagiaan diperoleh dalam satu kes, dan ketidakbahagiaan dalam kes yang lain. 

Ini adalah sumber-sumber ‘kebangkitan kembali perumpamaan-perumpamaan’ di akhirat nanti. 

Hal-hal baik seperti tawakal dan ketakwaan terbentuk; dan hal-hal jahat seperti kekufuran dan dosa juga terbentuk.


3. “Masuk ke dalam kekufuran sejati dan keluar dari Islam metaforis.” 

Islam metaforis adalah syirik-i-khafi. Berhala yang paling agung yang disembah adalah ‘ke-aku-an’ anda, yang dianggap sebagai wujud anda.

Nafs adalah berhala yang paling besar, dan kewujudannya adalah syirik zat. 

Kekufuran sejati adalah pembubaran ‘ke-aku-an’ dalam ‘ke-aku-an’ Tuhan, ‘Kufur’ secara harfiah berarti ‘menutupi’. Sebagaimana petani menutupi benih dengan tanah, maka ia adalah seorang kafir. 

Proses kekufuran ini disebut ‘Fad-filiah’, meskipun dalam syara’ merupakan proses bekerja melawan ketetapan dan hukum. 


4, Ada dua kelompok sufi  iaitu Malamati dan Salamati. 

Yang pertama secara lahiriah adalah orang-orang kufur, tetapi di dalam hati, mereka adalah Muslimin dan taat beribadah. 

Sementara kekufuran secara harfiah berarti menyembunyikan benih di bawah tanah; di sini berarti fana atau penghapusan jati diri salik, di bawah bayang-bayang keberadaan Tuhan yang menutupi segalanya. 

Manakala Salamati dikuasai oleh ketaatan lahiriah, Hazrat Ghawth berkata: 

‘‘ Orang-orang berdosa terlibat dalam dosa mereka dan orang-orang yang taat dibayang-bayangi oleh ketaatan mereka, para pencinta Allah terbebas dari keduanya.”” 

Oleh karena itu Abu ‘Ali Sina menulis kepada Aba Sa‘id Abul-Khair:

“Keluar dari Islam metaforis dan masuk ke dalam kekufuran sejati.” 

Jika Anda menginginkan Kebenaran, tinggalkan adat istiadat. Bahkan jika Anda makan sepuluh pounds anggur, anda tidak akan pernah mabuk. 

Ketika daging buahnya matang, kulitnya tidak ada gunanya. 


5. Syaikh Yahya Munir menulis bahwa cara-cara awliya tidak seragam. 

Yang satu makan dengan lahap, dan tidur nyenyak; yang lain kelaparan dan berjaga malam. 

Yang satu bergaul dengan orang-orang, dan yang lain menyendiri. 

Yang satu berpakaian compang-camping, dan yang lain berpakaian sutra dan linen halus; 

dan yang satu diam dan yang lain ikut berbicara; 

yang satu menyembunyikan keadaannya, yang lain mengungkapkannya. 

Yang satu melayani semua orang, baik yang taat maupun yang berzina; dan yang lain tidak menjawab salam yang terakhir. 

Yang satu menerima hadiah tanpa meminta; yang lain tidak menerimanya.


6. Dalam fana (binasa), pengetahuan tentang Fana tetap ada, dan seseorang mencapai di dalamnya Baqa (keabadian) bersamanya. 

Dalam Fana-ul-Fana (binasa dari binasa), pengetahuan tentang Fana itu sendiri menghilang dan seseorang mencapai di dalamnya Baqa tanpa pengetahuan ini. 

Dalam kes pertama, ia tidak hancur dalam Zat-nya sendiri, dan dalam kes kedua, Haqq tetap abadi dengan pengetahuan tentang dirinya sendiri,  Baqa (keabadian) dan Fana tentang 'ghair'-Nya; (yang lain).

'Adum (ketiadaan) tidak memiliki pengetahuan tentang 'ketiadaan'-nya, 


7. Sebagian orang lebih mengutamakan ilmu daripada amal, dan sebagian lagi mengabaikan proses ini. 

Yang benar adalah bahwa amal adalah ilmu dalam berbentuk. 

Lampaui keduanya dan raihlah ‘hal’ (keadaan dzauq), yang merupakan puncak dari keduanya. 

Para orang-orang Allah tidak menyibukkan diri mereka dengan hal lain selain pemikiran Tauhid, ilmu, amal dan Hal datang secara berurutan. 

Amal yang benar muncul dari ilmu yang benar di bawah bimbingan seorang guru.


8. Dalam Fana, salik menemukan semua ta‘iyyunat (keterbatasan) sebagai tajalliyat (sinaran) Allah dan dirinya sendiri dari mereka; dan ketika mencapai tahap baqa ia menemukannya taiyyunat sebagai miliknya sendiri.

Jadi dalam fana, ilmu salik menghilang dalam ilmu Allah dan dalam yang terakhir, ilmu Allah menghilang dalam ilmu si salik. 

Sekarang ia tahu bahwa ia adalah ‘yang diketahui’ sendiri dengan ilmunya sendiri, dan bukan oleh pengetahuan ‘ghayr’ karena ‘ghayr’ dengan ilmunya telah menghilang. 

Pengetahuan dan keberadaan Haqq telah menghilang dalam pengetahuan dan keberadaan Diri. 

Di sini ia menemukan dirinya sebagai Kebenaran, dan sisanya (dunia) sebagai keberadaan oleh pengetahuannya sendiri. 

Salik dalam dualitinya menganggap dirinya ada oleh keberadaan Tuhan; ketika ghayriat (‘keberbedaan’) menghilang, ia menemukan dirinya ada dengan keberadaannya sendiri 

Kemudian ia mengetahui dirinya sebagai seorang yang mengetahui dengan ilmu tentang Allah, kini ia menjadi seorang yang mengetahui dengan ilmunya sendiri, 

Maulana Ma‘nawi berkata: 

“Ilmu Allah menghilang dalam ilmu sufi, Bagaimana orang awam bisa percaya pada hal ini,”

Hilangnya ilmu sufi dalam ilmu Allah mengharuskan fana dan lenyapnya ilmu Allah dalam ilmu sufi mengharuskan baqa.

Ketika ilmu sufi lenyap dalam ilmu Allah, maka Ilmu sufi menjadi ilmu Allah itu sendiri. 

Maka dalam kenaikan (‘uruj) sufi menemukan dirinya sebagai Haqq, karena di sini sufi dan ilmunya sama-sama fana atau musnah. 

Ketika ilmu Allah lenyap dalam ilmu sufi, maka itu baqa. 

Ilmunya menjadi ilmu sufi itu sendiri. 

Di sana, ketika buih itu sendiri menjadi hakikat laut, maka ia tidak lagi menjadi buih. 

Ketika laut menjadi hakikat buih, maka buih itu menjadi laut itu sendiri dan menemukan hakikat itu sendiri. 

Sekali lagi, sufi berada di bawah keterbatasan ilmu dan wujud; ketika ia melarutkan dirinya, maka ilmunya menjadi tak terbatas. Inilah Fana. 

Ketika ilmu Allah berada di bawah keterbatasan ilmu sufi, maka ilmunya menjadi ilmu yang terbatas. Inilah Baqa,—laut yang menghilang dalam buih.

Ini adalah tahap penurunan (nuzul). 

Mathnawi berkata:

“Ada matahari di setiap zarrah atom, 

Seekor singa yang indah di bawah kulit seekor domba.”


Pada tahap pertama, seorang sufi menemukan laut yang tak terbatas dalam batasan keberadaan; yang tak terbatas dalam batasan dirinya ; matahari di dalam atom. 

Ketika ia menemukan ilmu dan keberadaan mutlak yang terbatas dalam dirinya, ia berkata:

"Ilmu Allah telah menghilang dalam ilmu sufi.”

Fana adalah binasanya sufi dan terdirinya Haqq; 

Baqa adalah kebalikannya. 

Karena ‘keberbedaan’ di sini menghilang; dan, dalam kondisi ini seluruh dunia ditemukan terdiri dari Tajalliyat-nya sendiri semua sebagai manifestasi dari nama-nama dan sifat=sifatnya. 

Hukum-hukum syari‘at dan tariqat ditiadakan dalam tahap ini. 

Fana adalah binasa diri yang tidak nyata (rumah ‘aku’ kosong, seperti yang mereka katakan) dan Baqa adalah timbulnya diri yang nyata dalam satu dan semua. 

Dzikir Zat adalah dzikir ana (aku), maka mereka mengatakan ‘Aku adalah Hag’ (Ana’l-Haqq). Dalam kondisi ini ‘keberbedaan’ menghilang. 

Hu (Dia) adalah kata ganti orang ketiga; tidak ada keharusan untuk ini, ketika orang tersebut hadir. 

Ketika Allah berbicara sendiri, Dia mengatakan ‘Aku adalah Kebenaran’’Ana‘l- Haqq, “‘akulah yang Maha Suci” (Subhani).

Allah itu kekal dalam Zat sufi, dan ilmu tentang Allah itu kekal dalam ilmu sufi. 

Ketika sang sufi turun ke tahap yang dijadikan, ia berkata: Hu-al-Haqq (Dia adalah Allah) mengacu pada tahap yang pernah dilaluinya sebelumnya. 

Zikir hamba adalah ‘Dia adalah Allah”, dan memberikan kepada-Nya sifat-sifat-Nya dan wazifa atau zikir khusus berarti memberikan sifat-sifat kepada Diri-Nya sendiri.

Ketika Syah ‘Alam mengulang-ulang nama Allah, ia menjadi ‘yang dinamai’ itu sendiri, misalnya Jalali (atau agung) atau jamali (cantik).

Ketika ia mengucapkan nama Al-Jabbar atau Al-Qahar, ia akan muncul dalam bentuk seekor singa atau seekor gajah, dan para pengikutnya akan lari darinya; 

ketika ia mengucapkan nama Al-Jamil, ia akan muncul seperti pemuda yang tampan. 


9. “Langit tanpa tiang adalah mukjizat sang ‘ariff” 

Dari sini, fahamilah apa itu ‘Ariff. 

Wujud-i-Mutlak (keberadaan mutlak) adalah Zat murni dari Ariff; jabarut adalah alam sifatnya, malakut adalah alam perbuatannya; dan Nasutr adalah alam athar (akibatnya). 

Sebenarnya, ‘keseluruhan’ adalah Ariff itu sendiri. 

“Alhamdu lilahi Rabbil ‘alamin” (segala puji bagi Tuhan semesta alam) yang disebutkan di atas. 

Seluruh ciptaan dari Aql-i-kul hingga ke bumi memohon perlindungan-Nya. 

Jalan lurus (sirati’l-mustaqim) asma (nama-nama) dan para nabi ada bersamanya. Yang mengetahui (‘ariff) dan yang diketahui (ma‘riif) adalah sama.


10. Api cinta menjadi cahaya makrifat dalam jangka panjang; dan ketika hal itu terjadi, ia kehilangan kehangatannya dan mengembalikan kedamaian fikiran, kemudahan, dan kenikmatan. 

Matsnawi berkata: 

Pada tahap itu pencarian keempat , jangan tinggal di situ kecuali berbicara dengan Allah. Rasa tenang ahli makrifat adalah lebih tinggi derjatnya dari cinta”

Panas cinta membakar satu kali, dan panas makrifat membakar beberapa kali: 

Ahli makrifat menjadi fana dan kemudia menjadi baqa setiap gerakan; 

kenikmatan kekasih bergantung pada keberadaannya sendiri dan kenikmatan ahli makrifat yang fana bergantu pada Haqq. 

Ia menjadi halwa (manisan) itu sendiri; dan pembedaan kenikmatan tidak ada dalam dirinya. 


Jami berkata: 

“Setiap orang hanya mati satu kali, dan orang miskin Jami mati beberapa kali.” 

Cinta adalah tajalli milik Jalal dan makrifat adalah tajalli jamal. 

Dalam yang mula, sang kekasih menjadi binasa dan menjadi fana; dan dalam yang lain, sang makrifat menjadi tetap dan baqa. 

Dalam yang mula, itu adalah: 

“Engkau tidak dapat melihat-Ku,” [Surah Al Araaf : 143] dan dalam yang lain, 

‘Lihatlah Tuhanmu” [Surah Al Furqan : 45 ]

dan 

“Segala puji bagi-Nya, yang membawa hamba-Nya pada suatu malam dari masjid haram ke masjid Aqsa.” [Surah bani Israil :1] 

Dalam satu kes, sang kekasih naik atas kemauannya sendiri, dan dalam yang lain, sang makrifat dipelawa oleh Allah

Tuhan berbicara kepada Nabi Musa dari ‘semak yang menyala’, karena Musa sedang mencari api. 

Jika dia menampakkan diri dalam bentuk lain, Musa pasti sudah berpaling. 

Bagi manusia berpaling kepada hal yang telah menjadi niat tujuan hatinya. 

Bagi sebagian orang, Allah menampakkan diri dalam bentuk ‘pemuda tanpa janggut’; 

Bagi Syaikh Bahauddin Naqsbandi, Dia menampakkan diri dalam bentuk Syaikh Nizimuddin Awliya; 


Bagi Fatima, putri Nabi dalam bentuk Nabi Muhammad (saw). 


Tajaliyat yang terbit di benak fikiran ‘orang-orang yang berhati’ tidak memiliki bentuk. 


11. (Segala puji bagi Dia yang telah melakukan perjalanan hamba-Nya di malam hari—mi‘raj). 

Di sini intinya adalah bahwa hamba itu tidak pergi, tetapi disuruh pergi. 

Bentuk nominatif dari kata kerja adalah ‘Dia’. 

Dalam kes Nabi Musa, itu adalah (Musa datang pada waktu yang Kami tentukan); dan 

dia menjawab: "Lan tara ni." (Kamu tidak dapat melihat-Ku.) 

[Surah Al Araf : 143]

Adapun orang yang dipanggil, jawabannya adalah, 'Alam yalamu bi annalaha yara." (Apakah dia tidak tahu bahwa sesungguhnya Allah melihat.) [surah al alaq : 14]

'Kalimat di malam hari' juga menunjukkan bahwa mata Nabi ditutup dari 'yang lain' (yakni dunia), ketika dia dibawa ke hadirat Allah, sehingga yang melihat dan yang terlihat menjadi Haq. 

“Mata (Nabi) tidak berpaling, tidak pula melampaui batas.” {Surah an Najm : 17)

Sebelumnya, Nabi adalah yang melihat dan Tuhan yang terlihat; dia adalah pendengar, dan Tuhan yang berbicara. 

Sekarang keadaan telah berbalik. 

Kemudian perintahnya adalah: “Qiff ya Muhammad alana Rabbika yusalla.” (Berhentilah, wahai Muhammad, Tuhan sedang mengucapkan namaz kepadamu.) “

Sebelumnya, kamu mengucapkan pujian kepada Tuhan: sekarang Dia mengucapkan pujianmu (yaitu, “Dia mengucapkan pujian kepada Nafs-Nya yang pertama.) Sebelumnya, kamu adalah yang memuji, sekarang, kamu adalah yang dipuji (Muhammad).”

Doa ada dua macam : Sederhana dan Tersusun. 

Setiap objek di dunia ini berada dalam doa sederhana. 

‘“Yusabbihu lahu ma fis samawati wal ard.” [‘Apa pun yang ada di langit dan di bumi memuji-Nya menyatakan keagungan-Nya.’’) [surat al hasr : 24}

Doa tersusun adalah doa para ahli ibadah dan ‘ariff.


12. Keterbatasan bukanlah ‘ghayr’ Allah, karena keterbatasan tidak memiliki wajib wujud. 

Oleh karena itu ketika sālik mencapai fana, ia mencapai wujud selain Wajibul wujud Zat yaitu, ia mencapai wujud sifat.

Oleh karena itu, Mir Hasan Sa‘adat berkata dalam Tanzihatu’l-Arwah bahwa dengan usaha, ‘yang terbatas’) menjadi wali dan bukan Allah.

Jadi, ‘Ana’l-Haqq’ Mansur al Hallaj dan ‘Subhani’ (‘Aku Suci’) bagi Bayazid Bustami hanyalah keterbatasan belaka. 

Ini adalah manifestasi dari sifat kalam, yang melaluinya Dia berbicara: “‘Lisanahul ladhi yutakallimu biha.” (Lidah-Nya yang Dia gunakan untuk berbicara.)

Suara dari pohon Sinai: ‘‘Inni anallahu la ilaha illa ana.’ (Aku adalah Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain Aku) termasuk dalam kategori yang sama. 

Mereka ini, yaitu, Mansur, Bayazid dan ‘Pohon-pohon menjadi pengejawantahan firman Tuhan; mereka hanyalah alat Allah dan bukan Allah itu sendiri. 

Dalam Fana, kesadaran salik menghilang; kesadaran berarti ilmu tentang berbagai hal dan penegasan ghayr; 

Objek-objek menjadi ada dengan sendirinya di hadapannya. 

Jika keadaan ini berlangsung selamanya, ia menjadi seorang majzub atau orang yang gila dalam Allah,


13, Ali berkata: ‘Aku memiliki ilmu dalam fikiranku sehingga jika aku mengungkapkannya, kamu akan gemetar seperti tali panjang yang diturunkan ke dalam sumur yang dalam.’ 

Ibn ‘Abbas berkata: “Jika aku memberikan komentar ayat:
‘Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah menciptakan tujuh langit yang sama?’ kamu akan melempariku dengan batu sampai mati.’


14. Tajalli ada dua macam: Tajalli Allah (Rahmani), dan Tajalli Jiwa (Rohani). 
Beberapa sālik telah tersesat di jalan yang terakhir, setelah menerima kenikmatan dan kepuasan darinya, ketika hal itu menyadarkan mereka. 

Karena tajalli ini pun menyatakan ''Ana'l Haqq'', (Akulah Kebenaran), mendapati seluruh ciptaan bersujud di hadapan singgasananya; tetapi ia bersifat sementara, yakni, tidak memiliki kipas sejati di dalamnya; dan ketika ia menghilang, kualiti hewani muncul kembali, dan nafs menegaskan kembali kekuatannya atas manusia dengan kekuatan yang lebih besar. 

Dalam Tajalli-i-Rahmani, gunung nafs hancur berkeping-keping seperti halnya Sinai, ketika Tuhan muncul di atasnya.

Dalam Tajalli Jiwa, keraguan sering menyerang hati, dan kenikmatan ilmu Ilahi tidaklah lengkap. 
Kesombongan menemukan tempat di hati; dan ‘ke-aku-an’ seseorang semakin ditegaskan; dan seseorang melepaskan belenggu syari‘at. 

Dalam Tajalli Ilahi, semua ini terbakar habis.

“Ketika tajalli jatuh di gunung dataran,

Ia hancur berkeping-keping seperti wol yang disisir.

Ketika jatuh di gunung wujud,

Wujud itu lenyap seperti debu di jalan.”

Dalam hal ini, wujud salik berubah menjadi tidak wujud dan ia tidak pernah wujud lagi, seperti gunung Sinai, yang tidak pernah kembali ke bentuk sebelumnya. 
Oleh karena itu, ketika Musa yang masih berada berdoa untuk melihat Allah, ia diarahkan untuk melihat gunung yang hancur berkeping-keping. Seperti gunung, Musa tidak dapat menahan tajalli ini, yang masih berada; dan karena itu ia jatuh pingsan,
Dalam Tajalli Rahmani, salik menemukan ‘ke-aku-an’-nya binasa, dan tidak pernah mendapatkannya. 
Dalam hal ini, keinginan untuk melihat Allah menjadi semakin kuat. 

Tajalli Ilahi terdiri dari tiga jenis, yaitu, tajalli perbuatan, tajalli sifat, dan tajalli Zat. 
Tajali Zat sangat langka; di dalamnya tidak ada apa pun kecuali ketiadaan dan musnahnya, serta hilangnya diri. 

Oleh karena itu, kita akan membahas tajalli perbuatan (af‘al) dan atribut (sifat). 
Dalam tajalli sifat aktif, salik melihat dalam fikirannya, dirinya dan objek sebagai cermin dari sifat aktif Allah. Dia menemukan Allah sebagai mendengar, melihat dan berbicara melalui telinganya, melalui matanya dan melalui lidahnya; dan dengan demikian melenyapkan Zat benda-benda lain dalam Zat Allah.

Banyak atau Multiplicity menghilang darinya. 
Dengan demikian, dia melihat satu Zat dan satu keberadaan dengan matanya, dan bukan hanya melalui ilmu dan imajinasi, dan kehilangan pandangan tentang diri dan objek. 

Ini menjadi ilmu tentang Allah, oleh karena itu dia berkata: 

‘‘Inni anallahu la ilaha illa ana.’ (Aku adalah Allah dan tidak ada Allah selain Aku) 

Maulana Ma‘nawi telah mengungkapkannya demikian:

“Ilmu tentang Allah menghilang dalam ilmu sufi,
Bagaimana orang awam bisa memahami ini?”

Ketika sufi menjadi Haqq, ‘yang lain’ menghilang; hilanglah ‘DIA’ dari sufi itu dan timbulah ‘AKU’. Orang yang dirasuki dewa akan mengatakan dirinya dewa meskipun dia bukan dewa.
Hal tidak ada gunanya di sini. 

Bayazid Bistami berkata: 
“Setiap orang memiliki Hal yang merupakan hasil imajinasi; tetapi seorang ‘ariff adalah orang kashf, jika ia tidak dibatasi oleh imajinasi.”

Seorang sufi dari mazhab Syatariyah tidak mempraktikkan suluk, dan tidak berada dalam jazbah (Dzauq), ia melihat dirinya sendiri dalam semua keadaan. 
Bayazid tidak menginginkan Kenabian; ia menemukan dirinya sebagai ketuhanan.

‘‘Sufi melihat hal yang sama pada seekor unta,
Seperti pada keindahan Cina dan Chagil.”

Dosa dan tidak berdosa menjadi satu baginya.

Nabi bersabda:

“Semua Keindahan adalah bagian dari keindahan Allah.”
‘Allah itu indah, dan Dia mencintai keindahan.”

Dia adalah Keindahan Mutlak.
Sebuah hadis mengatakan: “Ketika kamu melihat wanita cantik, ingatlah bidadari surga; dan rujuk dirimu dari dunia ini ke akhirat dan dari akhirat, rujuk dirimu kepada Allah, dan Dialah Keindahan Mutlak.”

Di melihat Lahu dalam Nasut tanpa menunggang Burraq,


15. Dalam Uruj, salik menemukan kebendaan hingga Al-‘Arsh (Singgasana); dari sana kebendaan mengambil warna mithal karena kehalusan, berubah menjadi Nur. 
Dan kemudian di alam Ruh, dia memakai warna Ruh.
Ketika salik mencapai tahap atyan, ia menemukan dirinya sebagai ‘ayn, yaitu, suatu bentuk dalam ilmu, dan kemudian akhirnya mencapai Hagqiqat-i-Insani. 
Ketika tajalli Zat muncul, semua tahap ini terbakar dan musnah dan semuanya menjadi Mutlak. 
Kemudian ia turun melalui semua tahap ini ke tingkat debu, ketika ia menjadi Khalifah atau khalifah Allah yang sempurna. 
Ini disebut Sayir-i-Kabir. 
Dalam Sayir-i-Saghir, rahmat Allah tiba-tiba turun kepada salik, Ketika Ruh, fikiran, nafs dan tubuh semuanya menerima warna Haq - tubuh menjadi mithal, dan mithal menjadi Ruh dan sebagainya.


16. Fana adalah lenyapnya keterbatasan Wujud. Seorang sufi yang sempurna menemukan wujudnya dan Zatnya lenyap.

Ia menyadari ‘Kullu shayin halikun illa wajhahu.” (Segala sesuatu binasa kecuali wajah-Nya.)
Ketika ia turun dari keadaan ini, ia turun dengan sifat-sifat Allah di Baqā.
Orang-orang seperti itu disebut nabi di zaman dahulu; dan disebut Qutub, Aqtab, dan Ghawth di zaman sekarang; dan mereka menjadikan Muhammad (saw) sebagai pusat mereka.


17. Faqir adalah orang yang Fāna (dimusnahkan) di dalam Allah; dan karenanya seluruh dunia adalah miliknya. 

Pada suatu hari, seorang Qutub sedang dalam perjalanan; ia mengambil seekor anak kuda dari sebuah ladang dan mulai menungganginya.

Sayyid Muhammad Gaysudaraz, yang menemaninya dalam perjalanan itu menegurnya kerana perbuatan yang salah. Faqir itu berkata : “Tidakkah kamu melihat aku tidak mengambil harta ghyar (yang lain)”

Begitu juga Junaid al Bghadadi, Nuri, Ruwaim megambil barang di gerai bazar di Baghdad tanpa meminta kebenaran dahlu. Kerana mereka fana dalam Allah.


18. Mi‘raj: “Hual khuruj an kulli shayin siwallah’ (yaitu, mengosongkan diri dari semua ma-siwa-llah (selain Tuhan), 

Ada dua jenis: Kecil dan Besar. Yang pertama adalah keluar dari diri sendiri melalui suluk dan mujahada, memutusan nafs; dan ini adalah cara orang yang beribadah
Mi‘raj Besar terdiri dari nafi (penolakan) dan ithbat (penegasan)—menafikan ‘ghayr’ (yang lain) dan mengisbatkan Haqq, sehingga seseorang menjadi binasa mati sebelum mati dalam diri sendiri, dan kekal dalam Haqq.

Di bawah bimbingan Guru, seseorang menukarkan liqanya (aspek keberadaan) menjadi liqa Allah (liqa adalah aspek wujud); dan tidak ada kebutuhan Fana diri untuk dia seperti dalam kes orang-orang Syatariyah.

Pertanyaan yang diajukan: Ketika tidak ada 'ghayr', apa yang yang dinafikan? Nafi di sini hanyalah pernyataan tentang suatu fakta; karena yang tidak wujud pada akhirnya adalah yang tidak wujud.


19. Ittihad (penyatuan Allah dengan makhluk) bukanlah penyatuan satu hal dengan yang lain. 
Karena segala sesuatu tampak dengan kewujudan Allah, maka ada ittihad dari segala sesuatu dengan Allah.

Inilah makna Ma'iyyat (bergandingan, meliputi, hamper danlain-lain). 
Ini seperti penyatuan kata-kata berhuruf dengan tinta dan tinta dengan kata-kata berhuruf. 
Para Sufi menggunakan misalan ini apabila terjumpa perkataan ittihad, qurbat, ma'iyyat muncul dalam Al-Qur'an. 
Kata-kata 'makhluk' dan 'sifat' memiliki penjelasan yang sama.


20, Menurut Syaikh Junaydullah, melihat Allah diperoleh melalui hijab (jilbab) yang tipis; dan tabir tipis ini adalah ilmu yang dimiliki seseorang tentang penglihatan itu. 
Jika hijab ini terangkat, pengamat dan yang diamati menjadi Haq. Ini disebut Fana-i-ilmi.



21. ‘Katakanlah, Ya Allah, tambahkanlah kepadaku ilmu” (Qul Rabbi zidni ilmon).! 
Setiap tajalli semakin banyak memberikan cahaya kepada siapa pun yang ditujunya, hingga akhir zaman.



22. Ketika hamba mencapai fana, ia mencapai Maqam-i-Mahmud (maqam terpuji), di mana ia dianugerahi dengan sifat-sifat Allah, dan menjadi Penguasa Segalanya, dan Khalifah Allah. 
“Sesungguhnya Kami telah menjadikanmu seorang khalifah di bumi.” [Surah al Baqarah : 30]
Dengan demikian, Qutub dan Ghawth adalah penguasa sejak dari keterbatasan pertama hingga ke debu: 
‘Namun,’ kata Al-Ghazzali, “jangan membuat dua kali tuntutan”.
Seorang hamba menunggang kuda, kuda itu tidak menjadi miliknya. 
Mereka yang mengatakan Ana’ Haqq (Akulah Kebenaran) bagaikan pohon (‘semak yang terbakar’) di Gunung Sinai, yang mengatakan:

‘Meskipun Al-Quran berasal dari bibir Nabi, 
siapa pun yang mengatakan ‘Allah tidak berbicara’ adalah kafir.”
Siapa pun yang mengatakan: ‘‘La ilaha illa ana”(Tidak ada Tuhan selain ‘Aku’) meniadakan hakikat ‘ghayr’ (‘yang lain’), dan menetapkan hakikat pada Allah.

Arafa Rabbi bi Rabbi.

Aku mengenal Tuhan ku melalui Tuhan ku. ‘Ariff juga adalah ‘ghayr’.
Anal-Haqq adalah pembukkan rahsia Mutlaq, Siapakah ada di samping Allah yang b oleh berkata Ana al haq” —(Gulshan-i-Raz)


23. Syaikh Muhiyuddin Ibn Arabi dalam Risalatu’l-Anwar berkata: 
“Sebagian Mashayakh percaya pada melihat Allah di dunia ini; dan sebagian percaya melihat Allah itu di akhirat. 

Syaikh percaya pada yang pertama.


24, ‘‘Al-ilmu hijab al-akbar.” (Ilmu adalah hijab besar.) Inilah ilmu yang diperoleh melalui pengamatan, yang mengarah pada Keheranan.! 
Ilmu yang diperoleh dari Dzauq mengarah pada penteraman hati yang timbul dari keheranan ini. 
Yang mula itu seperti ilmu, melalui pengamatan madu dan yang lainnya, ilmu melalui rasa manisan madu. 


25. Ketika sālik yang dimulai dari Nasut (alam badan atau benda) terus ke  Malakut (alam lakuan) dan Jabarut (alam sifat), dan kemudian melalui Asmā (nama-nama Ilahi) dan A‘yan (hskikst benda) dan menuju Zāt, mak Zat-i-tajalli Allah (pencerahan pribadi) Allah menyingsing padanya; dan hamparan kemutlakan yang luas, di mana semua indikasi dihapuskan, terbuka di hadapannya. Inilah Fana. 
Kemudian mendapatkan kembali kesadaran dalam keadaan Baqa-billah, ia turun dari Tahap ini melalui tingkatan-tingkatan terbalik dan sampai pada kesadaran akan sifat (Jabarut) dari ketidaksadaran Zat (Lahut), dan menemukan dirinya dalam Wahdat (Hakikat Muhammad) di mana ia menyadari hakikat manusia (Adam) yaitu Wahidiyyat; dan menemukan kewujudan dan pengetahuan turunannya yang memenuhi syarat dengan sifat-sifat Ilahi (Wahi) dan kemanusiaan (kiyani), dan dirinya sebagai penzahir dari perwujudan dari yang sama. 

Orang seperti itu disebut Ghawth dan Qutub pada zamannya dan khalifah Muhammad. 
Inilah Mi‘raj-i Muhammad (sayir-kabir) atau perjalanan yang lebih besar. Dalam perjalanan yang lebih kecil (sayir-i-saghir), tajalli personal muncul padanya dalam Wahidiyyat yang merupakan hakikat Kemanusiaan; dan ia menemukan Zatnya memenuhi syarat dengan sifat Ilahi dan Manusiawi dan dirinya sebagai penzahiran dan perwujudan dari Ulihiyyat hingga titik terendah. 
Ia kemudian disebut fard (individu). 

Kadang-kadang dari fana ini, ia kembali ke Baqa dan menemukan dirinya sebagai instrumen manifestasi sifat Allah atau Allah sebagai instrumen tindakannya. 
Dengan demikian, ia melihat hakikatnya sebagai hakikat kolektif semua objek, atau melihat Allah sebagai hakikat-hakikat kolektifnya. 
Ia melihat aktivitas objek sebagai sifatnya, dan mengeluarkan Ana’l-Haqq (Kebenaran); atau melihatnya sebagai aktiviti Allah dan menyerukan Hua’l-Haqq (Dia adalah kebenaran). 
Di ibaratkan dia berdiri di pabrik atau kilang tuannya seperti seorang pekerja, atau memiliki kekuatan penuh dari tuannya dan dia menjadi tuannya.


26. Kata “Wilayat” berasal dari ‘‘Wila’’ yang berarti kedekatan, persahabatan. 
Ada dua jenis: umum dan khusus. Wilayat umum adalah hak istimewa semua orang beriman (mukmin).

Allah telah berfirman:

“Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman, Dia membawa mereka keluar dari kegelapan menuju Cahaya atau terang.” [Surah al Baqarah : 257]

Wilayat khusus islah untuk para salik yang telah memfanakan diri mereka dalam Allah
Fana-ul-abd fil-Haqq. 

Fana adalah akhir Sayir ilallah (perjalanan mwnuju Allah) dan Baqa adalah awal dari Sayir-fillah (perjalanan dalam Allah),

Penghalang dalam Sayir-ilallah (perjalanan) yang disebutkan pertama adalah gangguan salik dari persyaratan bakat mineral, nabati, hewani, dan malaikat, yang tertanam dalam dirinya, dan yang telah menguasai dirinya dengan kuat dan memberinya kenyamanan. 
Setelah pemurnian dari ini, ia melenyapkan diri; dan tidak pernah kembali kepada mereka seperti halnya dengan majzub tertentu. 

Ia memakai warna yang berbeda dan keluar dari semua perbatasan, lalu menjadi mutlak.
Ketika seseorang telah menyelesaikan perjalanan pertama ini, ia memasuki perjalanan kedua (sayir- fillah). 

Setelah memfanakan diri, ia menjadi baqa dalam Allah.
Ia tidak menyadari Zat-nya sebagai dirinya, tetapi menyadari Zat-nya sebagai penzahir, perwujudan, dan dizahirkan.


27. Ada berbagai jenis Fana: fana dalam lakuan; fana dalam sifat; dan fana dalam Zat. Seseorang itu boleh fana dalam lakuan tetapi tidak dalam dua lainnya; demikian pula halnya dengan baqa.


28. Kesentosaan yang sejati adalah kebebasan dari syirik, yang merupakan penyebab kita dipanggang dalam api Neraka. 

Tiada ulasan: