PASAL : Adapun berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa apabila pemberian hadiah kepada orang mati dibolehkan.
Sehingga berarti dibolehkan pula pemberian hadiah kepada orang hidup; maka jawaban atas pernyataan itu dapat disampaikan melalui dua sisi sebagai berikut:
Pertama: Sebagian ahli fikih pengikut Imam Ahmad dan lainnya memilih pendapat ini. Qadhi menyatakan bahwa pernyataan Ahmad tidak berkonsekuensi pada terjadinya takhsis pada orang mati karena dia menyatakan, “Dia melakukan kebaikan lalu menyerahkan setengahnya kepada ayah dan ibunya” tanpa membedakan semua itu.
Abul Wafa’ bin ‘Aqil membantah ucapan Ahmad itu dengan menyatakan bahwa di dalamnya terdapat pengertian yang jauh dari kebenaran, bahkan merupakan bentuk sikap main-main terhadap syariat, penyimpangan dari amanat Allah dan penantangan terhadap Allah swt. dengan pahala amal yang dialihkan kepada orang lain. Setelah kematian, Allah swt. telah membuatkan untuk manusia suatu jalan yang menghantarkan manfaat kepada orang mati seperti istigfar permohonan ampun dan shalat terhadap mayat.
Setelah itu disampaikan sebuah pertanyaan kepada dirinya, yaitu: Apabila ditanyakan bahwa bukankah tindakan melunasi utang dan memikul beban yang dilakukan di saat masih hidup sama seperti ketika tindakan-tindakan seperti itu dilakukan setelah mati? Tanggungan orang hidup sama dengan tanggungan orang mati; yaitu bahwa keduanya dapat menghilangkan tuntutan darinya. Apabila pelunasan utang setelah kematian terjadi dan ketika orang yang bersangkutan masih hidup sama-sama “sampai” (maksudnya, sampai kepada pemilik piutang), berarti kalian harus menetapkan bahwa pahala yang dihadiahkan juga sampai baik di saat masih hidup maupun di saat sudah meninggal.
Pernyataan ini lalu dijawab dengan dinyatakan bahwa apabila pernyataan ini benar, berarti dosa-dosa yang dimiliki seseorang yang masih hidup dapat dihapuskan dengan tobat yang dilakukan oleh orang lain yang bertobat atas nama si pemilik dosa itu, sebagaimana seseorang juga dapat terhindar dari dosa-dosa di akhirat berkat amal perbuatan dan istigfar yang dilakukan orang lain.
Saya katakan di sini bahwa hal seperti itu tidak pasti akan terjadi seperti itu. Alih-alih hal itu dikembalikan kepada manfaat yang didapatkan orang hidup berkat doa orang lain untuknya, istigfar orang lain untuknya, sedekah atas namanya, dan pelunasan utang-utangnya. ini benar adanya. Rasulullah saw. telah mengizinkan penunaian ibadah haji atas nama orang yang masih hidup tetapi cacat dan lemah, padahal mereka masih hidup.
Sahabat-sahabatnya yang lain menanggapi bahwa kondisi Orang yang masih hidup tidak dapat membuat kita yakin bahwa orang hidup yang bersangkutan pasti selamat hingga akhir hayatnya. Dikarenakan ada kekhawatiran orang yang menerima suatu hadiah ternyata murtad, sehingga menjadi tidak berguna apa yang dihadiahkan kepadanya.
Ibnu ‘Aqil menyatakan bahwa ini merupakan bentuk dalih yang batil dengan adanya hadiah orang yang masih hidup ini karena dia tidak dapat dijamin akan murtad lalu mati, sehingga seluruh amalnya menjadi gugur yang termasuk di antaranya adalah pahala dari apa yang dia hadiahkan kepada orang yang sudah mati.
Saya nyatakan bahwa ini tidak pasti bagi mereka karena maksud dari nas dan ijmak membatalkannya dan menolaknya. Juga sesungguhnya Rasulullah saw. mengizinkan haji dan puasa atas nama orang mati, Semua orang juga sudah berijmak akan terbebasnya tanggungan orang yang berutang dari utangnya apabila ada orang hidup yang melunasi utang tersebut, dengan segala kemungkinan yang sudah disebutkan tadi.
Jawaban atas pernyataan di atas, yaitu dengan mengatakan bahwa apa yang dihadiahkan berupa amal kebajikan kepada orang mati, sudah menjadi miliknya sehingga tidak akan menjadi batal disebabkan kemurtadan orang yang melakukannya setelah sesuatu itu (yaitu hadiah pahala—Penj.) keluar dari kepemilikannya, sebagaimana halnya semua tindakannya yang dia lakukan sebelum murtad semisal tindakan pemerdekaan budak atau kafarat.
Bahkan apabila seseorang melakukan haji atas nama seseorang yang cacat, kemudian orang itu murtad. Setelah itu, maka bagi si orang cacat itu tidak perlu ada orang lain lagi yang melaksanakan haji lagi (selain haji yang sudah dilaksanakan oleh orang yang kemudian murtad) atas namanya, Bahkan hal seperti itu tidak dapat dijamin pada yang kedua atau yang ketiga.
Perbedaan antara orang hidup dan orang mati adalah bahwa orang hidup tidak membutuhkan hal-hal yang dibutuhkan oleh orang yang sudah mati. Hal itu karena memungkinkan baginya untuk melakukan amalan yang bersangkutan atau yang sepadan dengannya, sehingga dia dapat meraih pahala sendiri dengan usahanya sendirian, berbeda dengan orang yang sudah mati.
Selain itu, pendapat seperti itu akan menyebabkan terjadinya sikap mengandalkan orang lain oleh orang-orang tertentu yang masih hidup. Hal ini merupakan bentuk kerusakan yang besar. Apabila kemudian orang-orang kaya yang memiliki banyak harta memiliki pemahaman seperti itu dan mereka meyakininya, mereka pasti akan menyewa orang untuk melakukan ibadah atas nama mereka. Kalau sudah demikian, maka berarti ketaatan kepada Allah dapat dipertukarkan dan hal itu akan menyebabkan gugurnya segala bentuk ibadah dan berbagai amalan sunah. Bahkan berbagai ibadah yang semula diniatkan sebagai bentuk takarub kepada Allah akan berubah menjadi bentuk takarub kepada manusia, sehingga nilai keikhlasan pun dilanggar dan akhirnya tidak ada satu pun di antara keduanya yang mendapatkan pahala.
Kami melarang tindakan mengambil upah atas setiap pelaksanaan takarub atau ibadah. Bahkan kami nyatakan bahwa ibadah apa pun yang dilakukan dengan upah pahalanya menjadi gugur. Termasuk ibadah dalam bentuk pemberian putusan, fatwa, pengajaran, shalat, baca al-Quran, dan sebagainya. Allah tidak akan memberi pahala pada semua ibadah seperti itu, kecuali hanya bagi orang yang ikhlas dan menyerahkan amal ibadah mereka semata-mata hanya untuk keridhaan Allah swt. Apabila seseorang melakukan ibadah semata-mata hanya untuk mendapatkan upah, maka padahal tidak akan didapat baik oleh si pelaku maupun oleh si pemberi upah.
Amatlah tidak selaras dengan nilai-nilai kebaikan syariat jika seseorang menjadikan amal ibadah yang seharusnya dilakukan ikhlas hanya demi Allah, lalu diubah menjadi pekerjaan yang tujuannya hanya upah dan imbalan duniawi. Kemudian hal itu dibedakan dengan pelunasan utang yang merupakan hak manusia (haqq adamiy) yang dapat diwakilkan antara satu dengan lainnya. Itulah sebabnya hal itu hukumnya boleh baik ketika orang yang bersangkutan masih hidup maupun setelah Mati
Tiada ulasan:
Catat Ulasan