Catatan Popular

Ahad, 4 Mei 2025

KITAB TERSOHOR ”ANA AL HAQ” : (15) MUZIK [SAMA’A]

 Oleh Syekh Muhammad Ibrahim ‘Gazur-i-Illahi’ (Sufi Syatariyyah)

1. Ketika ditanya mengapa ia tidak menari (dalam keadaan Dzauq), Junayd al Baghdad mengutip ayat Al-Quran berikut:

“Dan kamu melihat gunung-gunung, kamu mengira ia tetap kokoh, meskipun mereka berlalu seperti berlalunya awan.” [ Surah an Naml : 88]

Tarian para ahli (dalam jalan kesufian) tidak memiliki gerakan irama lahiriah; ia hanya memiliki gerakan batiniah.

Inti dari Wahdat menjadi banyaknya kathrat dalam tarian melingkarnya; hanya mata yang ‘terbuka’ yang dapat melihatnya. 

Tarian ini juga merupakan gerakan Zat dari batin menuju zahir dalam proses ‘Kun Fa-yakun. (Jadilah, maka jadilah ia) 

Qutub setiap zaman mengenali dirinya dengan zarah atom-atom dunia ini dalam Proses ‘kebangkitan kembali misaln-misalan’ (tajaddud-i-amthal). 

Sebagian awliya masuk ke dalam keadaan Qurb-i-Nawafil pada saat sama‘a (mendengar musik), di mana mereka berbicara atas nama Allah dan mendengar atas nama Allah. 

Mereka menjadi yang hakikat; dan Allah menjadi instrumen mereka, 

“Akulah pembicara, akulah pendengar, dan siapakah ‘yang lain’ di dunia?” 

 (Buih menyadari identitinya dengan samudra); 

Sebagian masuk ke dalam keadaan Qurb-i-Farayad di mana mereka menyadari Allah, Berbicara dengan lidah penyanyi, dan mendengar dengan telinga mereka sendiri, yakni, Allah menjadi hakikat dan hamba menjadi instrumen (samudra menyadari Keesaannya dengan buih). 

Penyanyi menjadi ‘pohon’ (‘semak yang terbakar’) Sinai, dan pendengar menjadi Nabi Musa, sehingga semua anggotanya menjadi telinganya dan mendengar pembicaraan, dan ia pun hilang.

Sebagian Auliya masuk ke dalam keadaan ‘ayn ba ‘ayn, di mana keadaan ini Wahdat menguasai mereka, dan mereka menjadi Ibnul-Waqt, dan mendapati penyanyi dan nyanyian menjadi hakikat mereka sendiri.

Penyanyi. Nyanyian,Gerak tari serta instrumen mereka tetap berada di luar Wahdaniyat (Keesaan). 

Namun, yang lebih tinggi adalah tahap Abul-Waqt, yang turun ke tahap Farq (diferensiasi) yang lebih rendah setelah menyadari Jam‘-ul-Jam‘ (asimilasi). 

Ia menguasai sama‘a, dan sama‘a tidak menguasainya.


2. Dzauq adalah gerakan irama yang muncul saat mendengarkan muzik. Nabi melarang ini dalam kondisi normal. 

Nabi bersabda : 

“(Wahai Muawiyah), bukanlah seorang pencari Allah, siapa yang tidak merasa dzauq ketika mendengar sebutan Sang Kekasih.” 

Junayd al Baghdadi berkata bahwa seseorang yang memasuki dzauq dalam sama’a mengingatkannya pada seruan Allah kepada Ruh pada hari Mithaq (perjanjian). 

Dzauq itu seperti permintaan ikan akan air atau serbuan kelkatu menuju lampu yang menyala. 

Terkadang orang mati dalam Dzauq, dan karenanya hal itu dilarang (haram). 


3. Seorang pemula dalam jalan sufi, membutuhkan muzik dari musisi untuk membawanya ke dalam dzauq ; bagi seorang yang ahli mahir, kicauan burung dan aliran angin sudah cukup sebagai muzik. 

Yang satu tunduk pada imajinasi, ia senang dengan kata-kata, dan ini adalah tabir; yang lain berada dalam pengamatan (pencerahan allah), dan muzik memudar di hadapannya dan tabir imajinasi terangkat.

Ketika majnun melihat Layla, ia lupa diri; 

Ketika Layla berbicara, Majnun sadar dirinya, yaitu, turun dari keadaan Dzauq.

Sama‘a (muzik) mengembalikan orang-orang yang tenggelam dalam tajalli, ke keadaan normal mereka. 

Bagi pemula, sama‘a adalah penggalak untuk dia naik ke atas (Dalam derjat kesufian).


4. Jalan para nabi berbeda dari jalan ‘asma’. Jalan asma dinyatakan dalam Al-Quran demikian:—

“Apa pun yang merayap (di bumi) memiliki ubun-ubun di tangan ‘rab’ (penguasanya); dan rab itu berada di jalan yang benar.” [Sura Hud : 56]

Dengan tetap berada di jalan asma, salik harus melangkah di jalan para nabi. 

Namun, ia dapat dimaafkan, jika ia melangkaui dalam keadaan dzauq.


Tiada ulasan: