Catatan Popular

Rabu, 18 Disember 2013

KITAB AQIDAH IHYA ULUMIDDIN : PETUNJUK DAN TINGKATAN AQIDAH (FASAL 2)


        KARANGAN IMAM AL GHAZALI DALAM IHYA ULUMUDDIN....FASAL 2

FASAL KEDUA :

Tentang cara beransur-ansur memberi petunjuk dan susunan tingkatan ket'tiqadan.

Ketahuilah kiranya, bahwa apa yang telah kami sebutkan itu mengenai penjelasan aqidah, maka sewajarnyalah didahulukan kepada anak-anak pada awal pertumbuhannya. Supaya dihafalnya dengan baik. Kemudian, senantiasalah terbuka pengertiannya nanti sedikit demi sedikit sewaktu dia telah besar.

Jadi, permulaannya dengan menghafal, kemudian memahami, kemudian beri'tiqad, menyakini dan membenarkan. Dan yang demikian, termasuk hal yang berhasil pada anak-anak, dengan tidak memerlukan dalil.


Maka diantara karunia Allah Ta'ala ke dalam hati manusia ialah bahwa terbukanya pada awal kejadiannya. kepada iman tanpa memerlukan kepada alasan dan dalil. Bagaimanakah yang demikian itu dapat dibantah? Seluruh i'tiqad orang awwam, permulaannya adalah ajaran dan taqlid semata-mata. 

Memang i'tiqad yang hasil dengan semata-mata taqlid, tidak luput pada mulanya dari kelemahan, dengan pengertian mungkin hilang bila datang Iawannya. Dari itu harus dikuatkan dan ditetap-teguh-kan dalam jiwa anak-anak dan orang awwam, sehingga meresap dan tidak goyang lagi.

Jalan menguatkan dan menetapkannya, tidaklah dengan mangajar-kan cara berdebat dan berilmu kalam. Tetapi adalah dengan memperbanyak pembacaan Al-Qur'an serta tafsirnya, membaca hadits dan pengertiannya. Dan mengerjakan dengan sungguh-sungguh segala macam ibadah. Dengan demikian, maka i'tiqad itu senantiasa bertambah meresap dengan dalil-dalil Al-Qur'an dan hujjahnya, yang mengetuk anak telinganya. Dan dengan kesaksian hadits dan faedah-faedah yang terkandung di dalamnya.


Dan dengan sinaran nur gemilang dari segala ibadah dan tugas-tugasnya. Dan dengan menjalar kepadanya, dari menyaksikan orang-orang shalih dan duduk-duduk dengan mereka, tanda, pendengaran dan sikap mereka, pada merendahkan diri, takut dan ketetapan hati kepada Allah Ta'ala.

Maka adalah permulaan ajaran keimanan itu, Iaksana penyebaran benih ke dalam dada. Dan sebab-sebab yang tersebut tadi adalah Iaksana penyiraman dan pemeliharaan benih itu. Sehingga tumbuh benih itu, kuat dan tinggi, menjadi sepohon kayu yang baik, kuat, urat tunggangnya di bumi dan cabangnya di langit.

Dan hendaklah pendengaran anak-anak itu dijaga dengan sebaik-baiknya dari berbantah dan berilmu kalam. Sebab kekacauan yang ditimbulkan oleh perdebatan itu, lebih banyak daripada pendidikan yang dihasilkannya. Dan apa yang dirusakkannya, adalah lebih banyak daripada yang diperbaikinya. Bahkan menguatkan keimanan dengan perdebatan itu menyerupai dengan memukul batang kayu dengan palu besi, karena mengharap bertambah kuatnya dengan bertambah banyak bahagian-bahagiannya.


Dan kadang-kadang perbuatan itu membinasakan dan merusakkan batang kayu itu. Dan inilah yang banyak kejadian. Kesaksian membuktikan demikian dengan tegas. Dan ambillah itu menjadi bukti yang dapat dipersaksikan dengan mata. 

Maka ambillah perbandingan antara aqidah orang-orang shalih dan bertaqwa dari kebanyakan manusia dengan aqidah orang-orang ahli ilmu kalam dan perdebatan. Maka akan kita jumpai bahwa i'tiqad orang awwam itu tetap seperti bukityang tinggi, tidak dapat diumbang-ambingkan oleh angin topan dan halilintar. Dan aqidah ahli ilmu kalam yang menjaga aqidahnya dengan bermacam-maeam perdebatan, adalah seumpama seutas benang yang terlepas di udara, ditiupkan angin ke sana-sini. Kecuali orang-orang yang mendengar dalil i'tiqad dari ahli-ahli ilmu kalam, lalu dipegangnya secara taqlid. Sebagaimana dipegangnya i'tiqad itu sendiri secara taqlid, karena tak ada bedanya pada bertaqlid antara mempelajari dalil atau mempelajari i'tiqad itu tanpa dalil. Maka mempelajari.dalil itu adalah satu hal dan mencari dalil dengan pemikiran, adalah hal lain pula yang lebih jauh daripadanya.

Seorang anak kecil, apabila terjadi dalam perkembangan hidupnya di atas aqidah ini, jika dia berkecimpung dalam usaha keduniaan, maka tak terbuka baginya selain dari aqidah tadi. Tetapi ia selamat di akhirat dengan aqidah ahli kebenaran itu. Sebab, agama itu sendiri tidak memberatkan kepada orang-orang Arab yang sederhana pengetahuannya, lebih banyak dari membenarkan dengan keyakinan akan yang jelas-jelas saja dari i'tiqad-i'tiqad itu. 

Adapun pembahasan, pemeriksaan dan pengaturan dalil-dalil yang berat-berat, maka tidaklah sekali-kali mereka itu diberatkan. 

Jika ia bermaksud menjadi orang yang menuju ke jalan akhirat dan mendapat pertolongan taufiq, sehingga ia berbanyak amal, selalu bertaqwa, mencegah diri dari hawa nafsu, selalu melatih diri dan bermujahadah, niscaya terbukalah baginya pintu hidayah, tersingkaplah 

segala hakikat dari aqidah ini dengan nur Ilahi yang dicurahkan dalam hatinya dengan sebab mujahadah itu, untuk pembuktian atas janji Allah 'Azza wa Jalla, dengan firmanNya :

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

(Walladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa wa innallaaha lama'almuhsiniin).Artinya :"Dan mereka yang bermujahadah pada Kami, sesungguhnya Kami tunjukkan jalan Kami kepada mereka. Bahwasanya Allah itu beserta orang yang berbuat baik (S. Al-Ankabut, ayat 69).Itulah mutiara yang amat berharga, yang menjadi tujuan dari keimanan orang-orang shiddiq dan muqarrabin. Dan kepadanyalah diisyaratkan, rahasia kebesaran yang terpendam dalam dada Abu Bakar Shiddiq ra. sehingga dia terpandang lebih mulia dari orang-orang lain.

Terbukanya satu rahasia itu, bahkan semua rahasia-rahasia itu, mempunyai tingkat menurut tingkat mujahadahnya, tingkat keba-thinannya tentang kebersihan dan kesucian dari selain Allah Ta'ala dan tentang memperoleh cahaya dengan nur keyakinan, Dan yang demikian itu, adalah seperti berlebih-kurangnya pengetahuan manusia tentang rahasia ilmu kedokteran, ilmu fiqih dan ilmu-ilmu yang lain. Karena berlainan yang demikian dengan berlainannya ijtihad dan fithrah, tentang kecerdikan dan kepintaran.

Maka sebagaimana tingkat-tingkat itu tidak terhingga, maka begitu pulalah ini.

Masaalah.

Kalau anda tanyakan : mempelajari cara berdebat dan ilmu kalam itu tercela, seperti mempelajari ilmu bintang atau dibolehkan atau disunatkan? 

Maka ketahuilah, bahwa manusia dalam hal ini, mempunyai hal di luar batas dan berlebih-lebihan dalam beberapa segi. Diantaranya ada yang mengatakan bahwa mempelajari berdebat dan ilmu kalam itu bid'ah dan haram. Dan bahwa hamba Allah itu jika dia menjumpai Allah dengan seluruh dosanya selain syirik (mempersekutukan Allah), adalah lebih baik baginya daripada menjumpaiNya dengan ilmu kalam. 

Diantaranya ada yang mengatakan wajib dan fardiu. Adakalanya secara fardiu kifayah atau fardiu 'ain. Dan ilmu kalam itu seutama-utama ilmu dan setinggi-tinggi penghampiran diri kepada Allah. Karena ilmu itu meyakinkan bagi ilmu tauhid dan mempertahan-kan agama Allah Ta'ala. 

Dan kepada pengharaman, ialah sepanjang madzhab Asy-Syafi'i, Malik, Ahmad bin Hanbal, Sufyan dan seluruh salaf dari ahli hadits. Berkata Ibnu Abdil-A'la ra. : "Saya mendengar Asy-Syafi'i ra, pada hari dia berdebat dengan Hafshul-fard seorang ahli ilmu kalam dari golongan Mu'tazilah,mengatakan : "Lebih baik bagi seorang hamba Allah bertemu dengan Allah dengan segala dosa selain dari syirik daripada bertemu dengan Allah dengan sesuatu daripada ilmu kalam ". Dan saya sudah mendengar dari Hafshul-fard tadi, kata-kata yang tak sanggup saya menceriterakannya".


Berkata Ibnu Abdil-A'la pula : "Saya sudah melihat dari ahli ilmu kalam itu, sesuatu yang saya tidak menyangkanya sama sekali. Dan untuk seorang hamba Allah itu, lebih baik mendapat percobaan dengan segala yang dilarang Allah selain dari syirik, daripada me mandang pada ilmu kalam".

Berkata Al-Karabisi ra. : "Bahwa pemah Asy-Syafi'i ra. ditanyakan orang mengenai sesuatu dari ilmti kalam. Maka beliau marah, seraya berkata : "Tanyakanlah tentang ini kepada Hafshul-fard dan kawan-kawannya, orang-orang yang telah dihinakan Tuhan".

Ketika Asy-Syafi'i ra. sakit, lalu datang kepadanya Hufshul-fard seraya bertanya kepadanya : "Siapakah saya ini?".

Maka menjawab Asy-Syafi'i : "Hafshul-fard, tidak dipelihara dan dipimpin engkau oleh Allah sebelum engkau bertobat dari paham yang engkau anut sekarang".

Berkata Asy-Syafi'i lagi : "Jikalau tahulah manusia apa yang di dalam ilmu kalam itu dari bermacam-macam hawa nafsu, maka akan larilah mereka daripadanya seperti larinya dari singa".


Berkata lagi Asy-Syafi'i : "Apabila engkau mendengar seseorang mengatakan : Nama, ialah yang dinamakan atau bukan yang dinamakan (Al-ismu huwal musammaa au ghairul musammaa), maka naik saksilah bahwa orang tersebut termasuk ahli ilmu kalam dan tak ada agama bagi orang itu".

Berkata Az-Za'farani : "Kata Asy-Syafi'i : Hukumanku kepada orang-orang ilmu kalam itu, dipukul dengan pelepah kurma dan dibawa berkeliling pada kabilah-kabilah dan puak-puak. Dan dikatakan, inilah balasan orang yang meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah dan mengambil ilmu kalam".

Berkata Ahmad bin Hanbal : "Orang ilmu kalam itu tidak akan memperoleh kemenangan selama-lamanya. Hampir kita tidak melihat seorangpun yang memperhatikan ilmu kalam itu, melainkan di dalam hatinya terdapat keraguraguan".

Begitu benar Ahmad bin Hanbal mencela ilmu kalam itu, sampai ia tidak mau bercakap-cakap dengan Al-Harits Al-Muhasibi -seorang yang zuhud dan wara'-. Karena Al-Harits mengarang sebuah kitab untuk menentang kaum bid'ah. Berkata Ahmad bin Hanbal kepada Al-Harits itu : "Kasihan saudara! Bukankah saudara menceriterakan mula-mula kebid'ahan mereka itu? Kemudian saudara menolaknya? Bukankah saudara dengan karangan saudara itu, membawa manusia kepada membaca bid'ah dan berpikir kepada yang syubhat? Lalu terbawalah mereka kepada berpendapat dan membahas?".

Berkata Ahmad ra.: "Ulama kalam itu adalah orang-orang zindiq"(1) Berkata Malik ra. : "Tidakkah engkau melihat, bila datang orang yang lebih pandai berdebat daripadanya, adakah ia meninggalkan agamanya tiap-tiap hari, untuk agama baru?". Maksud Malik, bahwa perkataan orang-orang yang bermujadalah itu selalu berlebih-kurang.

Berkata Malik ra. pula : "Tak boleh menjadi saksi ahli bid'ah dan hawa nafsu". Maka berkata sebahagian temannya dalam menafsirkan perkataan Malik tadi, bahwa yang dimaksudkannya dengan ahli hawa nafsu itu, ialah ahli ilmu kalam atas aliran manapun mereka berada.  

Berkata Abu Yusuf : "Barangsiapa mempelajari ilmu kalam, maka ia menjadi zindiq".

Berkata Al-Hasan : "Janganlah engkau bermujadalah dengan ahli hawa nafsu! Janganlah duduk-duduk bersama mereka dan janganlah mendengar apa-apa dari mereka".

Telah sepakat orang-orang terdahulu dari ahli hadits atas ini. Dan tak terhingga banyaknya peringatan-peringatan yang keras yang datang dari mereka. Ahli-ahli hadits itu mengatakan bahwa para shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم tidak diam daripadanya, serta mereka sebetulnya lebih mengetahui hakikat yang sebenarnya dan lebih lancar dengan penyusunan kata-kata dari orang lain. Tidak lain, melainkan karena mereka mengetahui apa yang akan terjadi dari berbagai macam kejahatan.

  

Dari itu Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :

هلك المتنطعون هلك المتنطعون هلك المتنطعون

(Halakal mutanaththi'uuna, halakal muta naththi'uuna, halakal-mutanath thi 'uuna).

Artinya : "Binasalah orang-orang yang berdalam-dalam membahas dan menyelidik! Binasalah orang-orang yang berdalam-dalam membahas dan menyelidik! Binasalah orang-orang yang berdalam-dalam membahas dan menyelidik!". 


Ahli-ahli hadits yang terdahulu itu mengemukakan pula alasan, bahwa kalau benar pembahasan dalam ilmu kalam itu termasuk sebahagian dari agama, tentulah dia menjadi yang terpenting dari apa yang disuruhkan Nabi صلى الله عليه وسلم Dan tentu diajarkan oleh Nabi saw. caranya serta memberi pujian kepada ilmu itu dan kepada ahli-ahli-nya. Sesungguhnya yang diajarkan oleh Nabi saw. kepada mereka, ialah cara beristinja' (bersuci dari air kecil dan air besar). Dan di-sunatkan oleh Nabi saw. kepada mereka mempelajari ilmu faraidl (pembahagian pusaka), dan memberi pujian kepada mereka yang mempelajari ilmu itu. Dan melarang mereka memperkatakan tentang qadar (taqdir) dengan sabdanya : "Tahanlah dirimu dari memperkatakan qadar!". 

Dan atas dasar itu, terus-meneruslah para shahabat berpegang. Maka melebihkan dari guru adalah durhaka dan dhalim. Dan para shahabat itu adalah guru dan ikutan kita. Dan kita adalah pengikut dan murid mereka.

Adapun golongan lain, mengemukakan alasan dengan mengatakan, bahwa yang ditakuti dari ilmu kalam itu, kalau ada, ialah mengenai kata-kata jauhar dan 'aradi Istilah-istilah yang ganjil ini yang tidak diketahui oleh para shahabat ra., maka persoalannya dekat saja. Karena ilmu apapun juga, telah diperbuat padanya istilah-istilah supaya mudah dipahami, seperti hadits, tafsir dan fiqih. Kalau di bentangkan kepada para shahabat itu, kata-kata : lawan, pecah, susunan, pelampauan (Ta'diyah), dan rusak letakan (fasadul wadla'), sampai kepada semua persoalan yang dikemukakan dalam bab qias (dari ilmu logika), tentu tidak dipahami mereka. Maka membuat kata-kata ('ibarah), untuk memberi dalil kepada kata-kata tersebut dengan maksud yang benar, samalah halnya seperti membuat tempat-tempat air dalam bentuk yang baru untuk dipakai pada jalan yang diperbolehkan.


Dan kalau yang ditakuti itu, adalah maksudnya, maka dalam hal ini kami tidak bermaksud selain dari mengenai dalil ada baharu alam dan keesaan Khaliq dan sijat-sifatNya, sebagaimana yang tersebut dalam agama. Maka dari manakah datangnya haram mengenai Allah Ta'ala dengan dalil?

Dan kalau yang ditakuti itu yaitu perpecahan, ta'assub (fanatik golongan), permusuhan, persengketaan dan lainnya yang diakibat-kan oleh ilmu kalam itu, maka memanglah itu diharamkan. Dan wajiblah menjaga diri daripadanya. Sebagaimana sombong, 'ujub, ria, ingin jadi kepala dan lainnya yangdiakibatkan oleh ilmu hadits, tafsir dan fiqih. Itu semuanya diharamkan dan wajib menjaga diri daripadanya. Tetapi tidaklah dilarang ilmunya, karena terbawa ke situ. Bagaimanakah menyebut alasan, mencari alasan dan membahas alasan itu dilarang?


Dan Allah Ta'ala sendiri berfirman :

قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ

(Qul haatuu burhaanakum).

Artinya : "Katakanlah (Muhammad)! Berikanlah keteranganmu!(S. Al-Baqarah, ayat 111),


Dan berfirman Allah Ta'ala :

لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ

(Liyahlika man halaka 'an bayyinatin wa yahyaa man hayya 'an bayyinatin).

Artinya : "Supaya binasa orang yang binasa dengan keterangan yang jelas dan hidup orang yang hidup dengan keterangan yang jelas".(S. Al-Anfal, ayat 42).

Dan berfirman Allah Ta'ala :

هل عندكم من سلطان بهذا

(Qul hal 'indakum min sulthaanin bihaadzaa). 

Artinya :"Katakanlah (Muhammad)! Adakah padamu kekuasaan tentang ini?".Yakni: keterangan dan alasan.

Berfirman Allah Ta'ala :

قُلْ فَلِلَّهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ

(Qul falillaahil hujjatul baalighah).


Artinya :"Katakanlah (Muhammad)! Allah mempunyai keterangan yang tegas".(S. Al-An'am, ayat 149).


Berfirman Allah Ta'ala :

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ

(Alam tara ilalladzii haajja Ibraahiima fii rabbih).

Artinya :"Tiadakah engkau perhatikan orang yang membantah Ibrahim tentang Tuhannya?". (S. Al-Baqarah, ayat 258).sampai kepada firmanNya :

فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ

(Fabuhital ladzii kafa )

Artinya :"Lalu orang kafir itu kehilangan akal". (S. Al-Baqarah, ayat 258).



Karena dalam ayat ini, disehutkan oleh Allah swt. keterangan Nabi Ibrahim as. penentangan dan pukulannya kepada musuh sebagai pujian dari Allah Ta'ala kepada Nabi Ibrahim as.


Berfirman Allah Ta'ala :

وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ

(Wa tilka hujjatunaa aatainaahaa Ibraahiima 'alaa qaumih).

Artinya :"Dan itu adalah keterangan Kami, yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya". (S. Al-An'am, ayat 83).


Berfirman Allah Ta'ala :

قَالُوا يَا نُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا

(Qaaluu yaa Nuuhu qad jaadaltanaa fa-aktsarta jidaalanaa).


Artinya :"Mereka berkata : Ya Nuh Sesungguhnya engkau telah bermuja-dalah-dengan kami, maka banyaklah engkau bermujadalah dengan kami itu (S. Hud, ayat 32).

Dan berfirman Allah Ta'ala mengenai kisah Fir'aun :

وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ

(Wa maa rabbul 'aalamiin).Artinya :"Siapakah Tuhan Pemimpin semesta alam itu?".(S. Asy-Syu'ara, ayat 23).

Sampai kepada firmanNya :

قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكَ بِشَيْءٍ مُبِينٍ

(Qaala awalau ji'tuka bisyai-in mubiin).

Artinya :"Berkata Musa : Dapatkah kamu menerima kalau aku dapat memperhatikan sesuatu (alasan) yang terang?". (S. Asy-Syu'ara, ayat 30)


Kesimpulannya Al-Quran itu dari permulaannya sampai kepada penghabisannya adalah keterangan yang jelas menghadapi orang-orang kafir. Maka pegangan dalil bagi ahli-ahli ilmu kalam itu tentang tauhid ialah firman Allah Ta'ala :

لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا

(Lau kaana fiihimaa aalihatun illallaahu lafasadataa).


Artinya :"Jikalau adalah di langit dan di bumi ini beberapa Tuhan selain dari Allah, maka rusakkah langit dan bumi itu". (S. Al-Anbia', ayat 22),


Dan pegangan dalil tentang kenabian ialah firman Allah Ta'ala :

وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ

(Wa in kuntum fii raibin mimmaa nazzalnaa 'alaa 'abdinaa fa'tuu bisuuratin mim mitslih).


Artinya :"Jika adalah kamu di dalam keraguan dari apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah satu surat saja seperti (Al-Qur'an ) itu ". (S. Al-Baqarah, ayat 23).

Dan pegangan dalil tentang kebangkitan, firman Allah :

قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ

(Qul yuhyiihalladzii ansya-ahaa awwala marratin).

Artinya :"Katakanlah (Muhammad)! Akan dihidupkannya oleh Yang Men-jadikannya pada pertama kali". (S. Yaa Siin, ayat 79).


Dan begitulah seterusnya dari ayat-ayat suci dan dalil-dalil yang lain.Dan rasul-rasul itu selalu menghadapi dengan keterangan akan orang-orang yang menentang dan mengadakan perdebatan dengan mereka.

Berfirman Allah Ta'ala :

وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

(Wa jaadilhum billatii hiya ahsan).


Artinya :"Bermujadalahlah dengan mereka dengan cara yang sebaik-baiknya(S. An-Nahl, ayat 125). 

Shahabat-shahabat ra. juga selalu mengemukakan alasan-alasan menghadapi orang-orang yang ingkar itu dan melakukan perdebatan. Tetapi itu ketika diperlukan. Dan pada masa mereka, keperluan untuk itu sedikit sekali. Dan orang pertama yang membuat tradisi mengajak orang-orang berbuat bid'ah, kepada kebenaran dengan perdebatan, ialah Ali bin Abi Thalib ra., ketika Ali mengutus Ibnu Abbas ra. menjumpai orang Khawarij dan mengadakan pertukaran pikiran dengan mereka.


Bertanya Ibnu Abbas ra. kepada orang Khawarij itu : "Mengapakah kamu mencaci Imammu?". Menjawab orang Khawarij itu : "Dia berperang dan dia tidak mengambil tawanan dan harta rampasan".


Maka membalas Ibnu Abbas : "Cara yang demikian, kalau berperang dengan kafir. Apakah pendapatmu kalau A'isyah ra. ditawan pada hari perang jamal? Lalu sebagai tawanan, A'isyah ra. itu termasuk dalam bahagian salah seorang dari kamu. Apakah kamu menganggap halal dia sebagaimana kamu menganggap halal dengan budak-budak wanitamu yang lain? Padahal dia ibumu menurut penegasan Al-Qur'an?".


Maka kaum Khawarij itu menjawab : "Tidak!" Dengan mujadalah yang dilakukan oleh Ibnu Abbas ra., maka kembalilah menta'ati Ali sebanyak dua ribu orang dari kaum Khawarij.

Diceriterakan bahwa Al-Hasan berdebat dengan seorang qadariah. (1) Dengan perdebatan itu, orang qadariah tadi menarik diri dari paham qadariah. Ali bin Abi Thalib ra. pernah berdebat dengan seorang qadariah. Abdullah bin Mas'ud ra. pernah berdebat dengan Yazid bin 'Umairah mengenai keimanan. Berkata Abdullah : "Kalau engkau mengatakan aku mu'min, maka engkau mengatakan bahwa aku dalam sorga".


Menjawab Yazid bin 'Umairah : "Hai shahabat Rasul! Itu adalah suatu kesilapan daripadamu. Bukankah iman itu, yaitu percaya kepada Allah, kepada malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya percaya kepada kebangkitan, kepada timbangan amal, mendirikan shalat, berpuasa dan mengeluarkan zakat? Kita mempunyai banyak dosa.


Kalau kita ketahui dosa itu diampunkan Tuhan, maka tahu-lah kita bahwa kita itu dari penduduk sorga. Dari itu, kita mengatakan bahwa kita orang mu'min dan tidak kita mengatakan bahwa kita dari penduduk sorga".

Maka menjawab Ibnu Mas'ud : "Benar engkau. Sebenarnya dari ucapan tadi kesilapanku sendiri".


Maka sewajarnyalah dikatakan, bahwa para shahabat itu mencempelungkan diri ke dalam perdebatan itu adalah sedikit saja, tidak banyak, pendek saja, tidak panjang dan ketika diperlukan. Tidak dengan jalan mengarang, mengajar dan membuatnya sebagai perbuatan mencari rezeki.


Maka dapat ditegaskan bahwa sedikitnya para shahabat itu mencempelungkan diri ke dalam perdebatan, adalah karena kurang diperlukan. Sebab tak ada bid'ah yang timbul pada masa itu.


Mengenai singkatnya perdebatan yang dilakukan mereka adalah tujuannya menginsafkan lawan, memberi pengertian, menyingkapkan kebenaran dan menghilangkan keraguan. Kalau lawan itu memanjangkan persoalan atau penantangan, maka sudah pasti perdebatan itu menjadi lama. Dan tidaklah para shahabat itu dapat menaksir dengan timbangan dan sukatan, berapa lama diperlukan perdebatan itu bila telah mencempelungkan diri ke dalamnya.

Mengenai tidaknya para shahabat itu mengajar dan mengarang tentang perdebatan itu, maka begitu pulalah sikap mereka terhadap fiqih, tafsir dan hadits. Maka jikalau boleh mengarang fiqih dan membuat gam bar-gam bar yang ganjil yang hampir tidak pernah kejadian, adakalanya untuk disimpan pada waktu terjadinya walaupun jarang benar terjadi atau untuk pengasah otak. Maka kita juga menyusun cara bermujadalah karena mungkin diperlukan nanti disebabkan berkobamya hal-hal yang meragukan. Atau ban gun orang-orang yang membuat bid'ah atau untuk mengasah otak atau untuk menyimpan keterangan, sehingga bila diperlukan dengan mudah dan dengan spontan, tidak merasa lemah, seperti orang yang menyediakan alat senjata sebelum perang untuk dipakai di hari perang.


Inilah kemungkinan-kemungkinan yang dapat disebutkan untuk kedua golongan itu.

Kalau anda bertanya : "Manakah pilihan tuan?!'

Ketahuilah kiranya, bahwa yang benar dalam persoalan tersebut, ialah bahwa mencelanya secara mutlak dalam segala keadaan atau memujinya dalam segala keadaan, adalah salah. Tetapi hendaklah dengan penguraian.


Pertama-tama ketahuilah, bahwa sesuatu itu kadang-kadang haram karena zatnya seperti arak dan bangkai. Maksudku dengan kataku karena zatnya ialah, bahwa sebab pengharamannya, adalah suatu sifat pada zatnya. Yaitu memabukkan (pada arak) dan karena mati (pada bangkai).


Mengenai ini apabila kita ditanyakan, maka dapatlah secara mutlak kita mengatakan haram. Dan tidak mempengaruhi akan penjawaban tersebut oleh mubahnya memakan bangkai ketika diperlukan benar. Dan mubahnya meneguk arak apabila tersumbat kerongkongan dengan suapan makanan dan tidak diperoleh selain dari arak untuk menghilangkan tersumbat itu.


Dan ada pula, haramnya tidak karena zatnya seperti menjual atas penjualan sesama Islam dalam waktu khiar dan seperti berjual-beli ketika adzan (panggilan untuk shalat Jum'at) dan seperti memakan tanah.


Maka itu diharamkan karena padanya mendatangkan melarat.


Yang mendatangkan melarat itu, terbagi kepada : mendatangkan melarat oleh sedikitnya dan banyaknya. Maka dalam hal ini dapatlah secara mutlak dikatakan bahwa; benda itu haram, seperti racun, yang membunuh oleh sedikitnya dan banyaknya. Dan mendatangkan melarat oleh banyaknya saja, maka dalam hal ini secara mutlak dikatakan mubah (diperbolehkan), seperti madu. Sebab dengan banyaknya, mendatangkan melarat dengan panas. Dan seperti memakan tanah. Dan menyebutkan haram tanah dan arak serta halal madu itu, karena melihat kepada keadaan yang biasanya demikian. Kalau ada sesuatu benda, yang bertentangan padanya beberapa keadaan, maka yang lebih utama dan lebih terpelihara dari ke ragu-raguan, hendaklah diuraikan secara terperinci.

Marilah kita kembali membicarakan ilmu kalam dengan mengatakan bahwa pada ilmu kalam itu ada manfa'atnya, di samping ada melaratnya. 

Maka ilmu kalam itu dengan memandang kepada manfa'atnya, pada waktu mengambil manfa'atnya, adalah halal atau disunat-kan atau diwajibkan, menurut keadaan yang berlaku. Dan dengan memandang kepada melaratnya pada waktu dan tempat memperoleh itu, adalah haram.

Kemelaratannya yaitu mengobarkan syubhat, raenggoyangkan 'aqidah dan menghilangkan. keyakinan dan keteguhan hati. Maka yang demikian itu, termasuk apa yang ada pada permulaan. Dan mengembalikannya dengan dalil, adalah diragukan.


Hal itu berbeda menurut keadaan orangnya. 

Inilah melaratnya ilmu kalam itu, terhadap i'tiqad yang benar.


Di samping itu ada lagi kemelaratannya yang lain. Yaitu dapat meneguhkan i'tiqad pembuat bid'ah untuk bid'ahnya. Dan dapat menetapkan i'tiqad itu dalam dada mereka, dengan akan terbangun pengajak-pengajak mereka dan bersangatan kesungguhan hati mereka untyk menetap terus dalam aqidah itu.


Tetapi kemelaratan yang tersebut tadi itu, adalah dengan peranta-raan fanatik yang berkobar dari perdebatan. Dari itu, anda akan melihat pembuat bid'ah yang bodoh, mungkin hilang i'tiqadnya dalam waktu yang singkat dengan lemah lembut.

Kecuali, apabila ia berada dalam suatu negeri yang menonjol di dalamnya perdebatan dan ta'assub. Maka dalam hal ini, kalaupun berkumpul orang yang terdahulu dan yangterkemudian, tidak akan sanggup mencabut kebid'ahan dari dalam dadanya. Tetapi hawa nasfulah, ta'assub, kemarahan lawan yang bermujadalah dan partai yang bertentangan yang akan menguasai hatinya dan mencegahnya dari memperoleh kebenaran. Sehingga kalaulah dikatakan kepadanya : Inginkah kamu supaya dibukakan Allah tutup hatimu dan diperkenalkanNya kepadamu dengan nyata, bahwa kebenaran itu ada di pihak musuhmu, maka bencilah dia yang demikian. Karena dia takut nanti menang Iawannya:

Inilah penyakit yang menular, yang beterbangan di dalam negeri dan pada semua hamba. Yaitu semacam kerusakan yang dihembus-kan oleh orang-orang yang bermujadalah dengan fanatik.


Inilah melaratnya ilmu kalam!.!!!

Mengenai manfa'atnya, maka kadang-kadang ada orang yang menyangka, bahwa kegunaan ilmu kalam itu ialah membuka hakikat kebenaran dan mengenalinya menurut keadaan yang sebenarnya.

Wahai kiranya, tidak adalah dalam ilmu kalam itu yang dapat menyempurnakan tujuan yang mulia ini. Kerusakan dan kesesatan-lah yang lebih banyak padanya, daripada keterbukaan dan pengenalan.

Dan ini apabila anda dengar dari seorang ahli hadits atau seorang yang berbanyak bunga dalam perkataannya, maka kadang-kadang terguris di hati anda, bahwa manusia itu adalah musuh apa yang tidak diketahuinya. Maka aku mendengar ini dari orang yang ber-pengalaman tentang ilmu kalam. Kemudian ia benci, sesudah pengalaman yang sebenarnya dan sesudah masuk sampai ke tingkat yang terakhir ahli-ahli ilmu kalam. Dan ia melampaui yang demikian, sampai kepada mendalami ilmu-ilmu yang lain, yang bersesuaian dengan bahagian ilmu kalam. Dan ia yakin bahwa jalan ke hakikat ma'rifah dari cara ini, adalah tertutup.


Benar, ilmu kalam itu senantiasa membuka, memperkenal dan menjelaskan sebahagian persoalan. Tetapi sedikit sekali dapat dipahami, dalam persoalan-persoalan yang terang, sebelum lagi mendalami pelajaran ilmu kalam itu. Bahkan manfa'atnya hanya satu saja. Yaitu menjaga 'aqidah yang telah kami terangkan dahulu terhadap orang 'awwam dan memeliharanya dari gangguan-gangguan ahli bid'ah dengan bermacam-macam pertengkaran.


Sesungguhnya orang 'awwam itu lemah, dapat digertakkan oleh pertengkaran orang bid'ah walaupun itu merusak. Dan menentang yang merusak dengan yang merusak itu, akan mendorong kepada kerusakan.

Manusia itu beribadah (berpegang teguh) dengan 'aqidah ini yang telah kami terangkan dahulu. Karena telah datang agama memba-wanya, di mana di dalamnya perbaikan untuk agama dan dunia. Dan telah sepakat ulama salaf yang saleh. Dan para ulama itu, beribadah menjaganya pada orang awwam dari gangguan-gangguan tukang bid'ah. Sebagaimana para sultan menjadi ibadah menjaga harta orang 'awwam, dari serangan orang-orang dhalirn dan perampokan.

Apabila telah diketahui kemelaratan dan kemanfa'atan ilmu kalam itu, maka seharusnyalah orang yang ahli dalam ilmu kalam itu, seperti dokter yang mahir dalam pemakaian obat yang berbahaya. Karena tidaklah akan diletakkannya selain pada tempatnya. Yaitu pada waktu perlu dan seberapa perlu. 

Penguraiannya ialah, bahwa orang-orang 'awwam yang bekerja di pertukangan dan diperusahaan, haruslah dibiarkan keselamatan 'aqidahnya yang diimaninya, bilamana telah dipelajarinya i'tiqad yang benar yang telah kami sebutkan itu.

Mengajarkan ilmu kalam kepada mereka adalah melarat semata-mata. Sebab kadang-kadang menimbulkan ke raguraguan di dalam hatinya dan membuat kegoncangan i'tiqadnya. Dan tidak mungkin nanti diperbaiki lagi.

Mengenai orang 'awwam yang ber'aqidah bid'ah, maka seharusnyalah diajak kepada kebenaran dengan lemah lembut, tidak dengan fanatik. Dengan kata-kata yang halus yang memuaskan hati, yang membekas ke dalam jiwa, yang mendekati dengan cara dalil-dalil Al-Qur'an dan Al-Hadits, yang bercampur dengan seni pengajaran dan peringatan. Cara yang demikianlah yang lebih bermanfa'at, dibandingkan dengan pertengkaran yang didasarkan kepada syarat orang-orang ilmu kalam. Karena orang 'awwam apabila mendengar yang demikian, lalu meyakini bahwa itu adalah semacam perbuatan dari mujadalah yang dipelajari oleh ahli ilmu kalam untuk menjerumuskan orang banyak kepada kepercayaannya. Bila orang 'awwam itu tidak sanggup menjawabnya, lalu menaksir bahwa ahli-ahli berdebat dari golongannya juga, akan sanggup menolaknya.


Maka perdebatan yang seperti ini dan yang pertama itu haram hukumnya.

Begitu pula orang yang ke ragu-raguan dalam 'aqidah, karena wajiblah dihilangkan ke ragu-raguannya dengan lemah-lembut, dengan pengajaran dan dalil-dalil yang dekat, yang dapat diterima, jauh dari mendalami ilmu kalam.

Perdebatan yang habis-habisan, hanya berguna pada satu tempat saja. Yaitu dalam hal orang 'awwam itu beri'tiqad bid'ah dengan semacam mujadalah yang didengamya. Maka hendaklah mujadalah itu ditentang dengan mujadalah pula yang serupa. Maka dia akan kembali kepada 'aqidah yang benar.

Yang demikian itu, adalah mengenai orang yang menampak baginya kerusakan kepada bermujadalah, yang merasa tak puas dengan pengajaran-pengajaran dan peringatan-peringatan yang sesuai bagi orang 'awwam. Orang yang semacam ini sudah sampai kepada keadaan yang tidak menyembuhkannya kecuali dengan obat perdebatan. Maka bolehlah disuguhkan kepadanya.

Adapun pada negeri-negeri yang sedikit sekali bid'ah dan tak ada di situ pertikaian madzhab, maka mencukupilah dengan pelajaran i'tiqad yang telah kami sebutkan dahulu. Dan tak usah dibentangkan dalil-dalil dan dijaga dari terjadinya ke ragu-raguan. Dan kalau timbul ke ragu-raguan itu, barulah dibentangkan dalil-dalil sekedar perlu saja.

Kalau bid'ah itu sudah tersebar dan dikuatiri anak-anak akan tertipu, maka tiada mengapa diajarkan sekedar yang telah kami muatkan dalam kitab "Ar-Risalah al-Qudsiyah", untuk menjadi bahan penolak pengaruh dari mujadalah tukang-tukang bid'ah itu, bila terjadi di kalangan mereka.


Itulah batas yang ringkas, yang telah kami simpan di dalam kitab itu secara singkat.


Kalau ada diantara mereka yang cerdik dan sadar ia kepada persoalan yang dihadapi karena cerdiknya atau ke ragu-raguannya sudah menggelora dalam dirinya, maka dalam hal ini, telah timbul sebab yang ditakuti dan telah lahir penyakit. Maka tiada mengapa pembahasan ilmu kalam itu meninggi lagi sampai kepada batas yang telah kami terangkan dalam kitab "Al-Iqtishad fil-I'tiqad", yaitu kira-kira lima puluh lembar kertas.


Isi kitab tersebut tiada keluar dari pandangan tentang aqidah-aqidah i'tiqad dan sebagainya dari pembahasan-pembahasan ahli ilmu kalam.


Apabila buku tersebut memuaskan baginya, maka terpeliharalah dia dari kerusakan i'tiqad. Dan jika tidak memuaskan maka itu menandakan bahwa penyakit itu sudah melumpuhkan, sudah mera-ta dan menjalar. Maka dalam hal ini, tabibnya hendaklah berbelas-kasihan sedapat mungkin dan menunggu taqdir dari Allah Ta'ala, moga-moga dibukaNya kebenaran sampai orang itu sadar. Atau orang itu terus-menerus di dalam syak dan ragu, maka dalam hal ini terserah kepada takdir. Dan isi yang terkandung dalam kitab itu dan dalam karangan-karangan lain yang sejenis dengan itu, dapat diharapkan kegunaannya.


Adapun yang di luar dari itu, ada dua bahagian :


Pertama : pembahasan yang lain dari qaidah-qaidah i'tiqad, seperti pembahasan tentang pegangan hidup, tentang alam, tentang perasaan dan dari memperkatakan mengenai penglihatan. Adakah dia itu mempunyai lawan, yang dinamakan larangan atau buta?.

Kalau ada Iawannya, maka adalah satu saja. Yaitu larangan dari semua yang tidak dilihat atau tetaplah bagi tiap-tiap yang mungkin dilihat, oleh larangan menurut bilangannya dan hal-hal lain yang batil menyesatkan.


Kedua : tambahan penetapan dalil-dalil itu, pada bukan qaidah-qaidah i'tiqad dan tambahan soal dan jawab. Itu juga penyelidikan yang tidak menambahkan kecuali kesesatan dan kebodohan, terhadap orang-orang yang tiada merasa puas dengan sekedar itu. Sebab banyaklah perkataan, semakin bertambah diperpanjang dandiurai, semakin kabur.


Kalau ada orang yang mengatakan bahwa membahas persoalan perasaan dan pegangan hidup, ada faedahnya, yaitu mengasah yang terguris di dalam hati. Yang terguris di dalam hati itu (khathir) adalah alat bagi agama, seperti pedang alat bagi perang. Maka tak apalah mengasahnya. 

Perkataan yang seperti itu samalah halnya seperti mengatakan, bermain catur itu mengasah khathir. Jadi termasuk agama juga. Pemikiran seperti itu adalah kurang akal. Sebab khathir ini terasah dia dengan ilmu-ilmu agama yang lain dan tidak ditakuti adanya melarat.


Dengan penjelasan yang tersebut di atas, tahulah anda bahagian yang tercela dan yang terpuji dari ilmu kalam. Dan keadaan mana yang dicela dan yang dipuji dan orang mana yang dapat mengambil manfa'at daripadanya dan orang yang tidak dapat mengambil man-fa'at.

Kalau anda mengatakan, manakala diakui perlunya ilmu kalam itu untuk menolak ahli bid'ah dan sekarang bid'ah itu sudah berkembang dan marata bahayanya dan sudah sangat diperlukan, maka tak dapat tidak menegakkan ilmu kalam termasuk fardiu kifayah seperti bangun menegakkan penjagaan harta dan hak-hak yang Iain, seperti memegang jabatan kadli, pemerintahan dan lainnya. Dan apa yang tidak dikerjakan oleh ulama mengembangkan yang demikian, mengajarkan dan membahaskannya, maka tidak akan kekal. Dan kalau ditinggalkan keseluruhannya, maka ilmu kalam itu lenyaplah. Dan tidaklah mencukupi untuk menguraikan syubhat tukang bid'ah itu dengan semata-mata pembawaan diri saja tanpa dipelajari. Dari itu, maka seyogialah mengajar dan membahas ilmu kalam itu termasuk dalam fardiu kifayah juga.

Lain halnya pada masa para shahabat ra. dahulu. Ketika itu, keperluan untuk itu belum dirasakan.  

Ketahuilah bahwa sebenarnya haruslah ada pada tiap-tiap negeri, orang yang menegakkan ilmu kalam ini, berdiri bebas menolak syubhat dari ahli bid'ah yang berkembang dalam negeri itu.


Hal itu dapat terus berjalan dengan pengajaran. Tetapi tidaklah betul mengajarkannya itu pada umumnya seperti mengajarkan fiqih dan tafsir. Ilmu kalam itu adalah seperti obat dan ilmu fiqih itu adalah seperti makanan. Melaratnya makanan tidak dikuwatiri, tetapi melaratnya obat dikuwatiri. Karena apa yang telah kami sebutkan dahulu dari bermacam-macam melaratnya.

Maka orang yang berilmu, haruslah menentukan dengan mengajarkan ilmu ini kepada orang yang ada padanya tiga perkara :

Pertama : haruslah orang itu mempelajari ilmu itu semata-mata dan mempunyai minat kepadanya. Orang yang bekerja dengan sesuatu pekerjaan, dapat menghalanginya dari meneruskan pelajaran ilmu kalam itu dan tak dapat menghilangkan ke ragu-raguan-nya apabila timbul,

Kedua : haruslah orang itu pandai, cerdik dan lancar berkata-kata. Orang yang dungu tidaklah dapat dimanfa'atkan dengan pemahaman nya. Dan orang yang lambat mengerti, tidaklah dapat dimanfa'atkan.


Maka ditakutkan pada orang itu dari melaratnya ilmu kalam dan tak dapat diharapkan kemanfa'atan daripadanya.


Ketiga : bahwa ada pada tabiat orang itu, suka kepada perbaikan, beragama dan taqwa. Dan tidaklah hawa nafsu mengerasi padanya.


Bahwa orang fasiq dengan perbuatan syubhat yang paling kurang, akan tercabut dari agama. Maka yang demikian itu akan terlepas daripadanya dinding yang menghalangi dan terangkatlah yang ada antara dia dan kelezatan duniawi. Lalu tak ada lagi perhatiannya untuk menghilangkan syubhat itu, malah direbutnya supaya terlepas dia dari be ban sebagai seorang mukallaf.

Maka apa yang dirusakkan oleh pelajar yang seperti ini, adalah lebih banyak, dari apa yang diperbaikinya.

Apabila telah dipahami segala pembahagian tersebut, maka jelaslah bahwa keterangan yang terpuji mengenai ilmu kalam itu, adalah sejenis keterangan-keterangan Al-Quran ; dari kata-kata yang lemah-lembut. yang membekas dalam hati dan yang memberi kepuasan bagi jiwa, tanpa mendalami tentang pembahagian dan perincian-perincian yang tidak dapat dipahami oleh kebanyakan orang. Dan apabila telah dipahaminya, lalu dipercayainya bahwa itu adalah suatu pemalsuan dan usaha yang dipelajari oleh orang yang mempunyainya guna menanamkan keragu raguan. Apabila dijumpainya seperti itu dalam sesuatu persoalan, maka akan ditentangnya.


Dan kiranya telah diketahui bahwa Asy-Syafi'i dan umumnya ulama salaf, melarang berkecimpung di dalam ilmu kalam. Dan menjuruskan perhatian kepadanya semata-mata, karena menimbulkan melarat yang telah kami peringatkan itu. Dan apa yang diterima dari Ibnu Abbas ra. tentang perdebatannya dengan kaum Khawarij dan apa yang diterima dari Ali ra. tentang perdebatan mengenai taqdir dan lainnya, adakah kata-kata yang jelas lagi terang dan termasuk ke dalam bahagian yang diperlukan. Dari itu terpuji dalam segala hal.



Memang kadang-kadang berbeda waktu, antara banyak dan sedikitnya keperluan itu. Dari itu, tidak jauh dari kebenaran bahwa hukumnya' pun berbeda.Inilah hukumnya aqidah yang telah menjadi ibadah orang banyak dan hukumnya jalan mempertahankan dan memeliharakannya.

Adapun menghilangkan syubhat, membukakan hakikat kebenaran, mengetahui segala sesuatu menurut yang sebenarnya dan mendalami segala rahasia yang diterjemahkan oleh yang nyata dari kata-kata aqidah itu, maka kuncinya ialah mujahadah, melawan segala hawa nafsu, menghadap secara keseluruhan kepada Allah Ta'ala dan selalu menggunakan pikiran yang bersih dari segala campuran mujadalah!.

Itulah rakhmat Allah 'Azza wa Jalla yang melimpah kepada orang yang datang menciumi keharumannya sekedar rezeki, menurut kedatangan, tempat dan kesucian hati. Dan itulah laut yang tak diketahui dalamnya dan tak terjangkau pantainya.


Masalah

Kalau anda katakan, bahwa perkataan tersebut menunjukkan kepada segala pengetahuan itu mempunyai dhahir dan rahasia. Sebahagiannya jelas, yang terang terus pertama kalinya. Dan sebahagiannya tersembunyi, yang akan terang dengan mujahadah, melatih diri, mencari benar-benar, berpikiran bersih dan dengan hati yang kosong dari segala urusan duniawi selain dari yang dicari itu.

Itulah sebenarnya hampir menyalahi syari'at. Karena bagi syari'at itu tak ada yang dhahir, yang bathin, yang tersembunyi dan yang nyata.

Tetapi, adalah yang dhahir, yang bathin, yang tersembunyi dan yang nyata itu, adalah satu dalam syari'at.

Ketahuilah, bahwa pembahagian ilmu-ilmu ini kepada yang tersembunyi dan yang nyata, tidaklah dimungkiri oleh orang yang bermata hati.


Yang memungkirinya ialah orang-orang yang berpaham singkat, yang memperoleh sedikit pengetahuan pada masa kecilnya dan terus membeku. Tak ada bagi mereka kemajuan kearah yang lebih tinggi, kedudukan 'alim ulama dan wali-wali.

Dan itu jelas dari dalil-dalil syari'at. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم. :

إن للقرآن ظاهرا وباطنا وحدا ومطلعا

(Inna lil-Qur-aani dhaahiran wa baathinan wahaddan wa mathla'an).

Artinya :"Bahwa Al-Quran itu mempunyai dhahir dan bathin, batas dan pangkal".


Berkata Ali ra. seraya menunjuk ke dadanya : "Sesungguhnya di sini banyak ilmu pengetahuan, kalau adalah kiranya orang-orang yang membawanya".



Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :

نحن معاشر الأنبياء أمرنا أن نكلم الناس على قدر عقو لهم


Artinya :"Kami para nabi, disuruh berbicara dengan manusia menurut akal pikiran mereka


Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :

ما حدث أحد قوما بحديث لم تبلغه عقولهم إلا كان فتنة

(Maa haddatsa ahadun qaumanbi hadiitsinlam tabluhghu 'uquulu-hum ilia kaana fitnatan 'alaihim).


Artinya :"Tiada berbicara seseorang dengan orang banyak tentang sesuatu pembicaraan yang tidak sampai akal pikiran mereka kepadanya, melainkan pembicaraan itu menjadi fitnah yang merusakkan kepada orang banyak itu". 

Berfirman Allah Ta'ala :

وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلا الْعَالِمُونَ

(Wa tilkal amtsaalu nadlribuhaa linnaasi wa maa ya'qiluhaa illal 'aalimuun).


Artinya :"Demikianlah contoh-contoh itu Kami jadikan bagi manusia dan tidak ada yang memahaminya selain dari orang-orang yang berilmu ".(S. Al-Ankabut, ayat 43).

  

Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم. :

إن من العلم كهيئة المكنون لا يعلمه إلا العالمون بالله تعالى

(Inna minal'ilmi kahai at il maknuuni laa ya'lamuhu illal 'aalimuuna billaahi Ta'aalaa).


Artinya :"Sesungguhnya diantara ilmu itu seolah-olah dalam keadaan yang tersembunyi, yang tidak mengetahuinya selain orang-orang yang mengetahui dengan Allah Ta'ala". 


Hadits ini panjang sebagaimana telah kami bentangkan dalam "Kitab Ilmu" dahulu.


Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :

لو تعلمون ما أعلم لضحكتم قليلا ولبكيتم كثيرا

(Lau ta'lamuuna maa a'lamu ladlahiktum qaliilan wa labakaitum katsiiran).


Artinya :"Kalau tahulah kamu apa yang saya ketahui, niscaya kamu tertawa sedikit dan menangis banyak ".


Wahai kiranya, jika bukanlah itu suatu rahasia yang dilarang menyiarkannya, karena kesingkatan paham untuk mengetahuinya atau disebabkan oleh yang lain, maka mengapakah Nabi saw. tidak menyebutkan kepada mereka itu (para shahabat)? Padahal tidak diragukan bahwa mereka akan membenarkan nya jikalau Nabi saw. menyebutkannya kepada mereka. 


Berkata Ibnu Abbas ra. mengenai firman Allah Ta'ala :

الله الذي خلق سبع سموات ومن الأرض مثلهن يتنزل الأمر بينهن

(Allaahul-ladzii khalaqa sab'a samaawaatin wa minal ardli mistla-hunna, yatanazzalul amru bainahunna)

.Artinya :"Tuhan yang menciptakan tujuh langit dan bumi serupa itu pula. Di tengah-tengah (semua)nya turunlah perintah Tuhan".(S. Ath-Thalaq, ayat 12).


لو ذكرت تفسيره لرجمتموني وفي لفظ آخر لقلتم إنه كافر

"Kalau aku terangkan tafsirnya Ibnu Abbas selanjutnya, niscaya kamu akan memukul aku sampai mati (merajamkan aku)". Dan pada lain riwayat : "Tentu kamu akan mengatakan bahwa dia itu kafir".

  

Berkata Abu Hurairah ra. :وقال أبو هريرة رضي الله عنه حفظت من رسول الله صلى الله عليه وسلم وعاءين أما أحدهما فبثثته وأما الآخر لو بثثته لقطع هذا الحلقوم "Aku menghafal dari Rasulullah saw. dua bahagian ilmu. Yang satu aku perkembangkan dan yang satu lagi, jikalau aku perkembangkan, maka putuslah leher ini".


Bersabda Nabi saw. :

ما فضلكم أبو بكر بكثرة صيام ولا صلاة ولكن بسر وقر في صدره

(Maa fadlalakum Ahubakrin bikatsrati shiyaamin wa laa sh alaa tin wa laakin bisirrin waqara fii shadrih).


Artinya :"Tidaklah Abu Bakar melebihi dari kamu, disebabkan banyak berpuasa dan bershalat. Tetapi adalah disebabkan oleh suatu sirr (rahasia) yang mulia di dalam dadanya".

Direlakan Allah kiranya Abu Bakar! Dan tak syak lagi bahwa sirr itu adalah bersangkutan dengan qaidah-qaidah agama. Tidak ke luar dari qaidah-qaidah itu!.


Dan apa yang ada dari qaidah-qaidah agama, tidaklah tersembunyi yang dhahiriyahnya, kepada yang lain dari Abu Bakar ra. dari para shahabat.



Berkata Sahl At-Tusturi ra. : "Orang yang berilmu itu mempunyai tiga ilmu : ilmu dhahir yang diberikannya kepada ahli dhahir, ilmu bathin, yang tak sanggup dilahirkannya kecuali kepada ahlinya dan ilmu antara dia dan Allah Ta'ala, yang tidak dilahirkannya kepada seorang juapun".


Berkata setengah 'arifin : "Menyiarkan sirr keTuhanan (rubu-biyah) itu kufur". Berkata Setengah 'arifin yang lain : ربوبية "Rububiyah itu mempunyai sirr سر Kalau dilahirkan, maka batallah nubuwwah وللنبوة (kenabian). Nubuwwah itu mempunyai sirr, kalau disingkapkan maka batallah ilmu. Dan ulama Allah itu dengan Allah mempunyai sirr, kalaulah mereka melahirkannya, maka batallah hukum".

Yang mengatakan ini, jika tidaklah maksudnya dengan demikian, akan batalnya nubuwwah di pihak orang-orang yang lemah karena kesingkatan pemahaman mereka, maka apa yang disebutkannya itu tidaklah benar. Tetapi yang benar, tak adalah padanya pertentangan. Dan bahwa orang yang kamil (sempurna), ialah orang yang tidak dipadamkan oleh nur ma'rifahnya akan nur wara'nya. Dan yang memiiiki wara' itu, ialah nubuwwah.


M a s a a l l a h

Jikalau anda mengatakan : "Bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits ini berlaku padanya penta'wilan-penta'wilan. Dari itu terangkanlah kepada kami, bagaimanakah perbedaan dhahir dan bathin? Bahwa jikalau bertentangan bathin dengan dhahir, maka merusakkan syari'at. Ini adalah perkataan dari orang yang mengatakan, bahwa hakikat yang mcnyalahi syari'at itu kufur. Karena syari'at adalah ibarat dari dhahir dan hakikat adalah ibarat dari bathin. Apabila tak ada pertentangan dan perselisihan antara satu dengan lainnya, maka itulah yang dicari. Sehingga dengan itu hilangkah pembahagian tersebut. Dan tak adalah bagi syari'at sirr yang tidak disiarkan. Tetapi adalah yang tersembunyi dan yang jelas itu satu".


Maka ketahuilah bahwa masalah ini meneetuskan persoalan besar , mendorong kepada ilmu mukasyafah dan keluar dari tujuan ilmu mu'amalah, yang menjadi maksud dari Kitab ini.


Sesungguhnya aqidah-aqidah yang kami sebutkan itu adalah dari amal perbuatan hati. Dan telah kita berbakti dengan mengajarinya, dengan penerimaan dan pembenaran dengan seluruh jiwa raga kita.


Tidak untuk sampai kepada terbukanya bagi kita hakikatnya. Karena yang demikian itu tidaklah diberatkan kepada seluruh ummat. Kalau bukanlah itu sebahagian dari amal perbuatan, maka tidaklah kami membentangkannya di dalam Kitab ini. Dan kalau bukanlah itu amalan dhahir bagi hati, tidak amalan bathinnya, maka tidaklah kami membentangkannya dalam bahagian pertama dari Kitab ini.


Sesungguhnya kasyaf hakiki (terbuka yang sebenarnya), adalah sifat sirr hati dan bathinnya. Tetapi apabila pembicaraan itu telah terdorong kepada menggerakkan khayalan mengenai pertentangan dhahir bagi bathin, maka haruslah ada pembicaraan yang singkat saja untuk menguraikannya.



Barangsiapa mengatakan bahwa hakikat itu menyalahi syari'at atau bathin itu bertentangan dengan dhahir, maka orang itu lebih dekat kepada kufur dari pada kepada iman. Bahkan segala Sirr yang khusus untuk orang-orang muqarrabun mengetahuinya, di mana tidak bersekutu dengan mereka banyak orang mengerjakannya dan mereka melarang menyiarkannya kepada orang banyak itu, adalah terbagi kepada lima bahagian :

  

Bahagian Pertama : Bahwa sesuatu itu adalah halus pada dirinya, yang menumpulkan kebanyakan paham pada mengetahuinya. Maka tertentulah mengetahuinya buat orang-orang Khawwas (orang-orang tertentu) saja. Mereka harus tidak menyiarkannya kepada bukan ahlinya. Karena dapat menimbulkan fitnah kepada mereka, di mana pemahamannya pendek dari pada mengetahuinya.


Disembunyikan rahasia ruh dan dilarang Rasulullah صلى الله عليه وسلم menerangkannya adalah termasuk dalam bahagian ini (1)kerana sungguhnya hakikat ruh itu adalah diantara yang menumpulkan pemahaman daripada mengetahuinya. Dan menyingkatkan sangka waham dari pada menggambarkan keadaan hakikatnya.



Janganlah anda menyangka, bahwa itu tidak terbuka jelas bagi Rasulullahصلى الله عليه وسلم Sebab orang yang tidak mengenai ruh, maka adalah seolah-olah dia tidak mengenal akan dirinya. Orang yang tidak


Orang yang tidak mengenal akan drinya, maka bagaimanakah ia mengenai akan Tuhannya Yang Maha Suci? Dan tidaklah jauh dari kebenaran bahwa yang demikian itu, adalah terbuka kepada sebahagian wali-wali dan ulama-ulama," meskipun mereka itu bukan Nabi. Tetapi mereka beradab sopan dengan adab kesopanan syari'at. Lalu mereka diam dari apa yang di diamkan Nabi daripadanya. Bahkan mengenai sifat-sifat Allah 'Azza wa Jalla, adalah termasuk yang tersembunyi, yang singkatlah pemahaman orang banyak untuk mengetahuinya. Dan Rasulullah saw. tidak menyebutkannya, kecuali yang terang-terang saja bagi segala paham, yaitu : tentang ilmu, qudrah dan lainnya. Sehingga dapat dipahami oleh orang banyak dengan cara yang sesuai, yang disangkakannya kepada ilmunya dan qudrahnya sendiri. Karena merekapun mempunyai sifat-sifat yang dinamakan dengan ilmu dan qudrak itu. Lalu mereka menyangka bahwa yang demikian itu semacam suatu perbandingan.



Kalau disebut dari sifat-sifat Allah, apa yang tidak ada bagi makhluk, dari apa yang terdapat sebahagian penyesuaian, niscaya mereka tidak akan memahaminya. Bahkan kelezatan bersetubuh (sex) apabila diterangkan kepada anak kecil atau orang tak bertenaga (impotent), maka tidak akan dipahaminya. Kecuali dengan menyesuaikah kepada kelezatan makanan yang dapat diketahuinya, walaupun belumlah itu pemahaman yang sebenarnya.



Dan perbedaan antara ilmu Allah dan qudrahNya dengan ilmu makhluk dan qudrahnya, adalah lebih banyak, dari perbedaan antara kelezatan sex dan makan.

Kesimpulannya : tidaklah diketahui manusia, selain dirinya dan sifat-sifat dirinya, yang ada padanya sekarang atau yang telah ada padanya dari sebelumnya. Kemudian dengan membandingkan kepada yang tersebut tadi, dapatlah ia memahami akan yang lain daripadanya.



Kemudian, kadang-kadang ia mempercayai bahwa diantara dia sendiri dan lainnya terdapat berlebih-kurang tentang kemuliaan dan kesempurnaan. Maka tak adalah dalam kesanggupan manusia, selain daripada menetapkan bagi Allah Ta'ala apa yang ada bagi dirinya, dari perbuatan (af'al), ilmun (tahu), qudrah (kuasa) dan sifat-sifat lainnya, serta membenarkan bahwa yang demikian itu, adalah lebih sempurna dan lebih mulia bagi Allah.



Maka yang terbesar peredarannya, adalah kepada sifat-sifat dirinya, tidak kepada kebesaran yang khusus bagi Tuhan.



Dari itu bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم

قال صلى الله عليه وسلم لا أحصي ثناء عليك أنت كما أثنيت على نفسك حديث لا أحصي ثناء عليك أنت كما أثنيت على نفسك أخرجه مسلم من حديث عائشة

(Laa ubshii isanaa-an 'alaika anta kamaa atsnaita 'alaa nafsik


Artinya :

"Tak dapatlah aku menghinggakan pujian kepadaMu seperti yang Kamu pujikan kepada diriMu sendiri!". (DIRAWIKAN MUSLIM DARI A'ISYAH RA.)



Tidaklah hadits itu maksudnya : "Bahwa aku lemah daripada membentangkan akan apa yang aku ketahui", tetapi adalah pengakuan dengan kesingkatan paham untuk mengetahui akan hakikat kebesaran Allah.



Dari itu berkata setengah mereka : "Tidaklah dikenal akan Allah dengan hakikatNya selain oleh Allah sendiri". Berkata Abu Bakar shiddiq ra. : "Segala pujian bagi Allah yang tidak menjadikan bagi makhlukNya jalan kepada mengenalNya, melainkan kelemahan daripada mengenalNya".



Kami habiskan pembicaraan mengenai ini dan marilah kita kembali kepada maksud. Yaitu bahwa salah satu bahagian tadi, ialah apa yang menumpulkan pemahaman daripada mengetahuinya. Diantara nya, yaitu ruh dan sebahagian dari sifat-sifat Allah Ta'ala.

Mudah-mudahan sebagai isyarat kepada contoh tadi ialah yang tersebut pada sabda Nabi صلى الله عليه وسلم

إن لله سبحانه وتعالى سبعين حجابا من نور لو كشفها لأحرقت سبحات وجهه كل من أدركه بصره

(Inna lillaahi subhaanahu sab'iina hijaaban min nuurin lau kasyafa-haa la-ahraqat subuhaatu wajhihi kulla man adrakahu basharuh).


Artinya :"Bahwa bagi Allah Yang Maha Suci tujuh puluh hijab daripada n u r. Jikalau dibukaNya. niscaya terbakarlah akan apa yang didapati basharNya oleh kemahasucian wajahNya".


Bahagian kedua : dari hal-hal yang tersembunyi, yang tidak mau Nabi-nabi dan orang-orang shiddiq menyebutkannya, ialah apayang dapat dipahami pada diri hal itu sendiri, yang tidak menumpulkan pemahaman daripadanya. Tetapi menyebutkannya, membawa melarat kepada bahagian terbanyak dari pendengar dan tidak membawa melarat kepada nabi-nabi dan orang-orang shiddiq. Dan sirr taqdir (qadar) yang dilarang ahli ilmu menyiarkannya adalah termasuk ke dalam bahagian ini.



Maka tidaklah jauh daripada kebenaran bahwa menyebutkan sebahagian dari hakikat adalah membawa melarat kepada sebagian makhluk. Seperti membawa melarat cahaya matahari kepada mata kelelawardan bau harum bunga mawar kepada kepik-bedugal Mesir.



Bagaimanakah ini jauh daripada kebenaran? Kata kita, bahwa kufur, zina, perbuatan ma'siat dan jahat, semuanya dengan qadha' Allah Ta'ala, iradahNya,dan kehendakNya, itu adalah benar. Dan sesungguhnya memperdengarkan kata-kata tadi, adalah membawa melarat kepada segolongan orang. Karena menimbulkan sangkaan pada mereka, bahwa itu menunjukkan kepada kebodohan, berlawanan dengan kebijaksanaan, menunjukkan rela dengan kekejian dan kedhaliman. Dan Ibnu Ar-Rawandi dan suatu golongan dari orang-orang hina, telah menjadi ilhad (tidak lagi bertuhan), karena kata-kata seperti yang tersebut di atas tadi.



Dan seperti itu pula sirr taqdir (qadar), jikalau disiarkan, maka sesungguhnya menimbulkan sangkaan pada kebanyakan orang, akan kelemahan. Karena paham mereka pendek untuk mengetahui apa yang dapat menghilangkan sangkaan itu dari mereka.



Jikalau berkatalah orang yang berkata : "Bahwa hari qiamat kalau disebutkan waktunya bahwa ia akan datang sesudah seribu tahun atau lebih banyak atau kurang dari itu, sesungguhnya dapat dipahami. Tetapi tidak disebutkan, adalah untuk kemuslihatan hamba Allah itu sendiri dan karena ditakuti akan kemelaratan.



Semoga masa kepada hari qiamat itu masih jauh. Maka masih panjanglah waktu. Dan apabila jiwa itu merasa bahwa masa siksaan masih lama, maka kuranglah perhatiannya. Dan semoga masa kepada hari qiamat itu dekat dalam ilmu Allah! Maka kalau disebut niscaya sangatlah ketakutan, berpalinglah manusia dari pekerjaan dan runtuhlah dunia.



Pengertian ini jika diperhatikan dan benar, maka adalah contoh bagi bahagian kedua.

Bahagian ketiga : bahwa sesuatu itu jikalau disebutkan dengan tegas adalah dapat dipahami dan tidak ada padanya kemelaratan. Tetapi disebutkan secara kinayah (sindiran tidak terus terang), secara meminjam kata-kata lain (isti'aarah) dan perumusan. Supaya lebih mendalam masuknya ke dalam hati si pendengar. Dan si pendengar itu sendiri, mempunyai kepentingan, supaya besarlah pengaruh hal itu, dalam hatinya. Seumpama kalau dikatakan oleh orang yang mengatakan : "Aku melihat si Anu menggantungkan mutiara pada leher babi". Maka dipakai kata-kata kinayah tadi, terhadap penyi-aran ilmu dan pengembangan hikmah kepada bukan ahlinya.



Kadang-kadang si pendengar itu terus mendahului kepada pema-hamannya akan yang dhahir dari kata-kata itu. Dan orang yang berpaham, apabila memperhatikan dan mengetahui, bahwa manusia tadi, tak ada padanya mutiara dan tak ada pada tempatnya babi, niscaya menjadi pintar, karena mengetahui sirr dan bathin itu.


Mengenai hal itu, berlebih-kuranglah manusia. Dan dari inilah berkata seorang penya'ir :



"Dua orang telaki,

seorang penjahit,

yang lain penenun.

Keduanya memandang berhadap-hadapan,

kearah dua bintang lazuardi.

Yang satu senantiasa menenuni,

kain koyak, yang membelakang.

Yang temannya menjahitkan,

pakaian kawan yang berhadapan.



Penya'ir tadi menyusun kata-kata tentang keadaan di langit mengenai menghadap dan membelakang dengan mengambil ibarat dua orang pekerja. Cara ini membawa kepada penyusun kata-kata tentang sesuatu pengertian, dengan bentuk yang mengandung diri pengertian itu sendiri atau contohnya.




Diantara contohnya ialah sabda Nabi sawصلى الله عليه وسلم . :

إن المسجد لينزوي من النخامة كما تنزوي الجلدة على النار

(Innal masjid a layanzawii minan-nakhaamati kamaa tanzawil jilda-tu 'alan-naar).


Artinya :"Bahwa masjid itu menjadi kuncup dari dahak manusia, sebagaimana kuncupnya kulit di atas api".(Manurut Al-lraqi. la tidak pernah menjumpai hadits ini.)


Anda dapat melihat, bahwa halaman masjid itu tidaklah kuncup disebabkan oleh adanya dahak manusia. Tetapi artinya adalah bahwa jiwa masjid itu dihormati. Dan meludahkan dahak ke dalamnya, adalah penghinaan kepada masjid. Maka berlawananlah yang demikian dengan pengertian masjid, seperti berlawanannya api karena bersambung dengan bahagian-bahagian dari kulit itu.



Dan seperti itu juga sabda Nabi صلى الله عليه وسلم. :

أما يخشى الذي يرفع رأسه قبل الإمام أن يحول رأسه رأس حمار

(Amaa yakhsyalladzii yarfa'u ra'-sahu qablal imaami an yuhawwi-lallaahu ra'-sahu ra'-sa himaar).


Artinya:"Apakah tidak takut orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam di dalam shalat, bahwa akan diubah oleh Allah kepalanya kepada kepala keledai?".



Yang demikian itu, dari segi bentuk tidaklah ada sekali-kali dan tidak akan ada. Tetapi dari segi pengertian, itulah yang ada. Karena kepala keledai itu tidaklah yang sebenarnya, baik keadaan atau bentuknya. Tetapi yang dimaksudkan ialah sifat yang khusus bagi kepala keledai. Yaitu kebodohan dan kedunguan.Maka orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, jadilah kepalanya itu kepala keledai, dalam pengertian bodoh dan dungu.
Itulah yang dimaksud, bukan bentuknya yang menjadi wadah dari pengertian itu. Karena dari tujuan kebodohan, ialah berkumpul antara mengikut dan mendahului, di mana keduanya itu berlawanan.Sesungguhnya diketahui bahwa sirr itu berlawanan dengan dhahir, adakalanya dengan dalil aqli atau dalil syari'at. 


Dengan dalil aqli (dalil akal), membawanya kepada dhahir yang tidak mungkin, seperti sabda Nabi صلى الله عليه وسلم. :

قلب المؤمن بين أصبعين من أصابع الرحمن

(Wa qalbul mu'mini baina ashbu'aini min ashaabi'ir-rahmaan).

"Hati mu'min itu diantara dua jari dari jari-jari Tuhan yang Pengasih".


Karena kalaulah kita periksa akan hati mu'min itu, maka tidaklah kita memperoleh di dalamnya anak jari. Maka di ketahuilah bahwa itu adalah kinayah dari qudrak yang menjadi sirr dari anak jari dan jiwanya yang tersembunyi. 


Dikinayahkan dengan anak jari itu dari qudrah. Karena dengan cara yang demikian adalah lebih besar kesannya di dalam memahami kesempurnaan pengertian qudrah.

Dan termasuk di dalam golongan ini, mengenai kinayah dari taqdir, firman Allah Ta'ala :

إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

(Innamaa qaulunaa lisyai-in idzaa aradnaahu an naquula lahuu kun fayakuun).Artinya :"Sesungguhnya bila Kami kehendaki sesuatu, Kami hanya mengatakan kepadanya : Jadilah! ( Kun ), Lalu jadilah dia".(S. An-Nahl, ayat 40).


Bahwa menurut dhahiriyahnya, itu tak bisa jadi. Karena firmanNya KUN, jika ditujukan kepada sesuatu sebelum adanya, maka itu mustahil. Karena barang yang belum ada (al-ma'dum) tidak memahami sesuatu perkataan yang ditujukan kepadanya (al-khitaab), sehingga ia mengikutmya. Dan jika ditujukan kepada sesuatu, sesudah adanya, maka barang yang sudah ada, tidak memerlukan lagi kepada diadakan. Tetapi tatkala adalah kinayah itu lebih mendalam di dalam jiwa untuk memberi pemahaman tujuan dari qudrah, maka dipakailah kinayah itu

Adapun yang diperoleh dengan syari'at, maka melakukannya secara dhahir itu mungkin. Tetapi ada riwayat yang menerangkan bahwa yang dimaksudkan adalah bukan yang dhahir, seperti yang diriwayatkan mengenai penafsiran firman Allah Ta'ala :

أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا

(Anzala minas-samaa-i maa-an fasaalat au diyatun biqadarihaa).


Artinya :"Dia yang menurunkan air hujan dari langit (awan), lalu mengalir air itu dilembah-lembah menurut ukurannya".(S. Ar-Ra'd, ayat 17).

Bahwa yang dimaksudkan dengan air pada ayat tadi ialah Al-Quran. Dan yang dimaksudkan dengan lembah-lembah itu ialah hati Bahwa sebahagian dari hati itu membawa banyak hal, sebahagian dari padanya membawa sedikit dan sebahagian lagi tidak membawa apa-apa. Dan buih itu adalah seumpama kufur dan nifaq. Maka meskipun dia itu dhahir dan terapung di atas air, tetapi dia tidak tetap. Dan hidayah (petunjuk) yang bermanfa'at bagi manusia itu tetap.


Dalam bahagian ini, ada suatu golongan membicarakannya secara mendalam. Lalu mena'wilkan apa yang datang pada hari akhirat, tentang timbangan amal (mizan), titian (shirath) dan lainnya. Tindakan tersebut adalah bid'ah karena yang demikian tak ada riwayatnya. Dan melakukannya di atas dhahir tidaklah suatu yang mustahil. Dari itu, haruslah diperlakukan secara dhahiriyah.

Bahagian keempat : Bahwa manusia itu mengetahui sesuatu secara keseluruhan (global). Kemudian secara terperinci dengan penelitian dan perasaan, dengan jadinya sesuatu itu bertempat menjadi pakaian baginya.


Maka berlebih-kuranglah dua ilmu tadi. Yang pertama adalah sebagai kulit dan yang kedua adalah sebagai isi. Yang pertama adalah sebagai dhahir dan yang kedua adalah sebagai bathin. Yang demikian itu, adalah seumpama yang menampak pada mata manusia sesuatu di dalam gelap atau pada tempat yang jauh. Maka terjadi-lah baginya semacam pengetahuan.

Lalu apabila dilihatnya pada jarak dekat atau setelah hilangnya gelap, maka tahulah dia akan perbedaan diantara keduanya. Dan tidaklah yang kemudian itu berlawanan dengan yang pertama. Akan tetapi menyempurnakan bagi yang pertama. Maka seperti itu pulalah ilmu, iman dan tashdiq (membenarkan). Karena manusia itu kadang-kadang membenarkan adanya rindu, sakit dan mati sebelum lagi terjadi. Tetapi keyakinannya ketika telah terjadi menjadi lebih sempurna dari pada sebelumnya. Bahkan bagi manusia mengenai syahwat, rindu dan lam-lain hal, mempunyai tiga keadaan yang berlebih-kurang dan perasaan yang berbeda-beda : 

Pertama : membenarkan dengan adanya sebelum terjadi.

Kedua : membenarkan dengan adanya ketika terjadi.

Ketiga : membenarkan dengan adanya ketika telah terjadi.


Keyakinan kita dengan lapar setelah hilangnya, berlainan dengan sebelum lagi hilang. Dan seperti demikianlah, sebahagian dari ilmu-ilmu agama, ada yang menjadi terasa betul, lalu sempurnalah dia. Maka adalah yang demikian seperti bathin, bila dibandingkan kepada keadaan sebelumnya.


Maka bedakanlah diantara ilmu orang sakit tentang kesehatan dan ilmu orang sehat mengenai kesehatan itu !.


Maka pada bahagian-bahagian yang empat itu, berlebih-kuranglah dia diantara manusia. Dan tak adalah pada satupun daripadanya, yang bathin itu bertentangan dengan yang dhahir. Tetapi adalah menyempurnakan dan mencukupkan, seperti isi menyempurnakan akan kulit

Bahagian kelima : Bahwa diperkatakan tentang sesuatu itu, dengan kata-kata, tidak dengan keadaan. Maka orang yang berpaham singkat, lalu tegak kepada yang dhahir dan berkeyakinan kepada yang diucapkan itu. Tetapi bagi orang yang memandang kepada hakikat itu, mengetahui akan rahasia yang terpendam di dalamnya.

Ini adalah seperti perkataan dari orang yang mengucapkan : berkata dinding kepada tiang : "Mengapakah engkau menyusahkan akan aku?".

Menjawab tiang : "Tanyakanlah kepada orang yang menokoknokokkan aku! Mengapakah dia membiarkan di belakangku batu yang ada di belakangku?".


Ini adalah penyusunan kata-kata keadaan dengan kata-kata yang diucapkan.


Dari inilah, firman Allah Ta'ala :

ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ

(Tsummas-tawaa ilassamaa-i wahiya dukhaanun faqaala lahaa wa lil-ardli'tiyaa thau'an au karhan, qaalataa atainaa thaa-i'iin).


Artinya :'Kemudian itu Dia menuju ke langit, ketika itu berupa asap. Tuhan berfirman kepadanya dan 'kepada bumi : "Datanglah engkau keduanya dengan suka rela atau terpaksa! Keduanya menjawab : "Kami datang dengan suka rela (patuh)'.'(S. Al fushshilat ayat 11).


Orang yang jahil itu memerlukan untuk memahamkan ini, kepada penentuan bahwa langit dan bumi itu hidup, berakal dan mengerti kepada ucapan dan ucapan itu, ialah suara dan huruf yang didengar oleh langit dan bumi. Lalu keduanya menjawab dengan huruf dan suara, dengan mengatakan : "Kami datang dengan suka rela". 


Dan orang yang bermata hati, tahu bahwa yang demikian itu, adalah kata-kata keadaan (lisanul-hal). Dan menerangkan bahwa langit dan bumi itu diuntukkan dengan sendirinya kepada yang demikian. Dan menuruti kepada yang diuntukkan itu dengan mudah. Dan dari inilah, firman Allah Ta'ala :

وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ

(Wa in min syai-in illaa yusabbihu bihamdihi).


Artinya :"Dan tak ada sesuatupun, melainkan semata-mata memuji Tuhan dengan kemuliaanNya " (S. Al-Isra', ayat 44). 


Orang yang Jahil itu, memerlukan pada memahaminya kepada penentuan bahwa benda-benda beku itu mempunyai hidup, akal dan tutur kata dengan suara dan huruf. Sehingga dapat ia mengatakan : Subhaanallaah (Maha Suci Allah), supaya benar-benarlah pengucapan tasbih itu. Dan orang yang bermata hati, tahu bahwa tidaklah dimaksudkan dengan itu pengucapan dengan lisan. Tetapi adanya benda itu merupakan pengucapan tasbih kepada wujud Allah, berqudus kepada zatNya dan naik saksi kepada keEsaanNya , seperti yang dikatakan oleh seorang penyair :


"Pada segala sesuatu,

mempunyai pertanda,

yang menunjukkan,

Dia itu Esa 


Sebagaimana dikatakan, dunia yang kokoh kuat ini menjadi saksi bahwa Penciptanya itu mempunyai kebagusan pengaturan dan kesempurnaan pengetahuan. Tidaklah itu mempunyai pengertian bahwa dunia yang kokoh kuat ini mengucapkan : "Aku naik saksi" dengan kata-kata. Tetapi adalah pengakuan itu dengan dirinya sendiri dan keadaan yang meliputinya.


Begitu pula : Tiada suatupun, melainkan memerlukan pada dirinya kepada Pencipta yang menciptakannya, yang mengekalkannya, yang menetapkan sifat-sifat dan yang membuatnya berkembang di dalam segala peredaran masa. 


Maka sesuatu itu dengan memerlukan kepada yang tersebut tadi, lalu naik saksi dengan pengqudusan kepada Khaliqnya, di mana kenaik-saksian itu diketahui oleh orang-orang yang bermata hati. Tidak oleh orang-orang yangmembeku yang berpegang kepada dhahir saja.


Karena itu berfirman Allah Ta'ala :

وَلَكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ

(Wa laakin laa tafqahuuna tasbiihahum).


Artinya :'' Tetapi sayang kamu tidak mengerti pujian mereka itu".(S. Al-Isra', ayat 44).


Adapun orang-orang yang singkat fikiran, maka tidak dapat memahaminya sekali-kali. Dan orang-orang muqarrabun dan ulama-ulama yang mendalam pengetahuannya, tidak akan dapat memahami akan hakikat dan kesempurnaan sesuatu. Karena tiap-tiap sesuatu itu mempunyai kenaik-saksian yang bermacam-macam untuk mengquduskan Allah dan memujikanNya. Masing-masing dapat mengetahuinya sekedar akal dan mata hatinya. Menghitung-hitung kenaik-saksian itu, tidaklah wajar dengan ilmu mu'amalah. Dan juga pengetahuan ini termasuk diantara pengetahuan yang berlebihkurang dari ahli-ahli dhahir dan ahli-ahli bashirah (bermata hati) pada mengetahuinya. Dan kelihatanlah padanya, perbedaan bathin dengan dhahir. 


Di dalam maqam (kedudukan) ini, bagi ahli-ahli maqam itu mempunyai keroyalan dan ke sederhanaan. Dari yang bersifat keroyalan itu, mengenai penyingkapan yang dhahir, sampailah dia kepada mengobah segala yang dhahir itu beserta dalil-dalilnya atau mengo-bah sebagian besar daripadanya. Sehingga mereka membawa firman Allah Ta'ala :

وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ

(Wa tukallimunaa aidiihim wa tasyhadu arjuluhum).Artinya :"Tetapi tangan mereka berkata kepada Kami dan kaki mereka menjadi saksi".(S. Yaa Siin, ayat 65).

Dan firman Allah Ta'ala :

وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ

(Wa qaaJuu Jijuluudihim lima syahidtum 'alainaa, qaaluu anthaqa-nallaahul ladzii anthaqa kulla syai-in).


Artinya :"Mereka berkata kepada kulit nya : Mengapa kamu menjadi saksi bagi kami? Jawabnya : Tuhan yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata. Itulah yang menjadi kami pandai berkata".(S. Al fushilat, ayat 21).

Dan seperti itu pula soal jawab yang terjadi dari malaikat Munkar dan Nakir, mengenai timbangan amal, titian dan hitungan amal (hisab). Dan perdebatan antara penduduk neraka dan penduduk sorga, dalam perkataan mereka :

أَفِيضُوا عَلَيْنَا مِنَ الْمَاءِ أَوْ مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ

(Afiidluu 'alainaa minal maa-i au mimmaa razaqakumullaah).Artinya :"Limpahkanlah kepada kami air sedikit atau berilah (sedikit) rezeqi makanan yang diberikan Tuhan kepada kamu ".(S. Al-A'raaf, ayat 50).

Mereka mendakwakan bahwa itu semua adalah dengan lisanul-hal. Dan segolongan lain, bersangatan menutup pintu penta'wilan. Diantaranya Imam Ahmad bin Hanbal yang melarang penta'wilan firman Allah Ta'ala : "Kun fayakun". (Adalah engkau! Lalu ia ada)'.'Golongan ini mendakwakan bahwa itu adalah pengucapan dengan huruf dan suara yang wujud pada Allah, setiap detik dan ketika, menurut bilangan banyaknya ada seluruh yang ada. Sehingga aku mendengar sebahagian Shahabat Imam Ahmad mengatakan bahwa : Imam Ahmad itu menutup rapat pintu penta'wilan selain pada tiga hadits Nabi صلى الله عليه وسلم :

  

Dan orang-orang yang berpegang kepada dhahiriyah, cenderung kepada menutup rapat pintu penta'wilan.Sangkaan yang baik kepada Ahmad bin Hanbal, ialah bahwa beliau tahu bahwa "istiwa'(bersemayam) itu, tidaklah maksudnya menetap dan "nuzul" (turun) itu, tidaklah maksudnya berpindah. Tetapi ia (Imam Ahmad) melarang dari penta'wilan itu, adalah menutup pintu, demi menjaga kemuslihatan orang banyak. Karena apabila pintu penta'wilan itu terbuka, maka meluaslah keretakan dan keluarlah keadaan dari ketentuan dan melewatilah batas kesederhanaan. Karena batas yang melampaui kesederhanaan itu, tidaklah dapat ditentukan.Dari itu, tak apalah dengan larangan ini.


Dan diakui akan demikian oleh riwayat perjalanan hidup ulama-ulama yang terdahulu. Mereka itu mengatakan : "Lalukanlah sebagaimana yang datang". Sehingga Imam Malik ra. menjawab ketika ditanyakan kepadanya tentang istiwa' : "Istiwa' itu dimaklumi, caranya tidak diketahui, beriman kepadanya diwajibkan dan bertanya tentang istiwa' itu bid'ah".

Segolongan lagi beraliran kepada kesederhanaan, dan membuka pintu penta'wilan mengenai sesuatu yang berhubungan dengan sifat Allah. Dan mereka membiarkan atas dhahiriyah, apa yang berhubungan dengan akhirat. Dan mencegah penta'wilah padanya. Golongan ini ialah golongan "Asy 'ariyah ".


Golongan Mu'tazilah menambahkan di atas golongan Asy'ariyah. Sehingga mereka menta'wilkan ru'yah daripada sifat Allah Ta'ala.


Mereka menta'wilkan adanya Allah Ta'ala mendengar dan melihat. Mereka menta'wilkan mi'raj dan mendakwakan bahwa mi'raj itu tidaklah dengan tubuh (jasad). Mereka menta'wilkan 'azab qubur, neraca amal (mizan), titian (shirath) dan banyak lagi dari hal keadaan akhirat. Tetapi mereka mengakui adanya pengumpulan segala jasad (dihari mahsyar), sorga dan kelengkapan sorga dengan makanan-makanan, bau-bauan, wanita-wanita yang dikawini dan segala macam kesenangan yang dirasakan. Mereka mengakui adanya neraka dan ke lengkapannya, atas tubuh yang terlihat nyata terbakar, yang membakarkan kulit dan menghancurkan minyaknya.


Dan termasuk meningginya mereka kepada batas ini, ialah ditambahi oleh kaum filosuf. Maka mereka menta'wilkan tiap-tiap yang datang mengenai akhirat dan mengembalikan semuanya itu kepada penderitaan-penderitaan pikiran dan jiwa ('aqliah dan ruhaniah) dan kesenangan-kesenangan pikiran (lazat 'aqliah).


Mereka itu (para filosuf) mengingkari pengumpulan segala jasad (pada hari mahsyar) dan mengatakan dengan kekalnya nyawa. Dan nyawalah yang di'azab atau diberi nikmat, dengan 'azab dan nikmat yang tidak dapat dilihat dengan pancaindra.


Merekalah (para filosuf) itu , orang-orang yang berlebih-lebihan.,Batas kesederhanaan, diantara keseluruhan kelonggaran ini dan bekunya pengikut-pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, adalah demikian halus dan kabur, yang tidak dapat dilihat, kecuali oleh mereka yang memperoleh taufiq, yang mengetahui segala keadaan dengan nur Ilahi. Tidak dengan mendengar.


Kemudian, apabila terbukalah bagi mereka, rahasia (sirr) dari segala keadaan, menurut keadaannya yang sebenarnya, niscaya mereka memperhatikan kepada pendengaran dan kata-kata yang datang. Maka apa yang sesuai dengan apa yang dipersaksikannya dengan nurul-yaqin (nur yakin), niscaya ditetapkannya. Dan apa yang menyalahi, niscaya dita'wilkannya.

Adapun orang yang mengambil ma'rifat (pengenalan) segala keadaan ini, dari pendengaran semata-mata, maka tidaklah teguh pendiriannya dan tidaklah tentu tempat tegaknya. Dan yang lebih wajar bagi orang yang menyingkatkan kepada pendengaran semata-mata ialah maqam (pendirian) Imam Ahmad bin Hanbal ra.


Sekarang, maka pembukaan tutup dari batas kesederhanaan, mengenai segala keadaan itu, adalah termasuk di dalam ilmu mukasyafah. Dan pembicaraan mengenainya itu akan panjang. Dari itu maka tidaklah kita mencemplungkan diri ke dalamnya.
Maksud sekarang ialah menerangkan penyesuaian bathin dengan dhahir dan bathin itu tidak bertentangan dengan dhahir. Maka dengan lima bahagian yang tersebut itu telah terbukalah banyak hal.

Apabila kita berpendapat untuk menyingkatkan sekedar mencukupi bagi orang awwam, di atas penjelasan 'aqidah yang telah kami urai-kan dan mereka tidak diberati lain dari itu pada tingkat pertama, kecuali apabila ditakuti gangguan, karena berkembangnya bid'ah, maka dinaikkan pada tingkat kedua, kepada 'aqidah, di mana di dalamnya bersinar cemerlang dengan dalil-dalil yang ringkas, tanpa mendalam. Dari itu, hendaklah kami bentangkan di dalam Kitab ini, dalil-dalil yang cemerlang itu. Dan hendaklah kami ringkaskan sekedar yang telah kami uraikan untuk ahli-qudus (golongan yang mengquduskan Tuhan). Dan kami namakan "Risalah Qudsiyah" mengenai Qaidah-qaidah I'tiqad. Dan itu semuanya tersimpan di dalam pasal ketiga kitab ini.

Tiada ulasan: