KARANGAN IMAM AL GHAZALI DALAM IHYA ULUMUDDIN.....SIRI 3
Bagaimanakah tidak Allah itu yang menjadikan perbuatan hambaNya, sedang qudrahNya adalah maha-sempurna, tak ada kekurangan padanya dan qudrah itu menyangkut dengan gerak tubuh hambaNya dan gerak-gerik itu adalah menyamai satu sama lain dan menyangkut qudrah dengan gerak-gerik itu adalah karena gerak-gerak itu sendiri? Maka apakah yang menghambat sangkutannya qudrah dari sebahagian gerak dan tidak pada sebahagian lagi, sedang gerak-gerak itu sama? Atau bagaimanakah hewan itu berkuasa penuh dengan menciptakan, dan muncul dari lawa-lawa, lebah dan hewari-hewan yang lain, perbuatan yang halus-halus yang mengherankan orang-orang yang berfikiran tinggi? Bagaimanakah hewan-hewan itu sendirian menciptakannya tanpa Tuhan seru sekalian alam? Padahal hewan-hewan itu tidak mengetahui secara terperinci apa yang timbul daripadanya dari usaha itu!
Maka kami mulai : Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.
Segala pujian bagi Allah yang menganugerahkan pembedaan
bagi pencinta-pencinta Sunnah dengan nur yakin. Dan melebihkan pendukung-pendukung
kebenaran akan petunjuk kepada tiang-tiang agama. Dan
menjauhkan mereka dari penyelewengan orang-orang yang menyeleweng dan dari
kesesatan orang-orang yang tidak bertuhan. Memberi taufiq kepada mereka untuk
mengikuti jejak penghulu segala rasul. Meluruskan mereka untuk menuruti para
shahabat yang mulia dan memudahkan bagi mereka, mengikuti peninggalan ulama-ulama terdahulu yang salih. Sehingga mereka berpegang teguh dengan yang
dikehendaki akal pikiran dengan tali yang kokoh kuat, dengan perjalanan dan
aqidah ulama-ulama yang terdahulu dengan jalan yang nyata.
Maka dikumpulkan mereka dengan penerimaan, diantara natijah-natijah akal
dan kehendak-kehendak syari'at yang dinaqalkan (diambil dari pokok-pokok
agama). Dan yakinlah mereka bahwa mengucapkan apa yang menjadi ibadah mereka
dari kata-kata "Laa ilaaha illallaah, Muhammadurrasuulullaah tidaklah
berfaedah dan berhasil, jikalau tidak benar-benar meliputi dengan apa yang
dibawa oleh kalimah syahadah itu, dari isi dan pokok-pokok-nya.
Mereka mengetahui bahwa dua kalimah
syahadah di dalam kesingkatannya itu, mengandung keyakinan wujud dzat Allah,
sifat-sifatNya dan af'alNya dan mengandung keyakinan kebenaran Rasul.
Dan mereka mengetahui bahwa pembangunan
keimanan itu adalah di atas sendi-sendi (rukun-rukun) ini, yang banyaknya
empat.
Dan masing-masing rukun itu, berkisar di
atas sepuluh pokok :
Rukun Pertama : mengenai ma'rifah (mengenai) dzat
Allah Ta'ala dan berkisar di atas sepuluh pokok.(perkara)
Yaitu : mengetahui dengan wujud Allah Ta'ala, qidamNya,
baqaNya, Dia tidak jauhar, tidak jisim dan tidak 'aradl. Dia tidak tertentu
dengan sesuatu pihak, tidak tetap di atas sesuatu tempat. Dia dilihat dan Dia
Maha Esa.
Rukun Kedua : mengenai sifat-sifatNya dan melengkapi
kepada sepuluh pokok.
Yaitu : mengetahui bahwa Dia itu hidup, tahu, berkuasa,
berkehendak, mendengar, melihat, berkata-kata, mahasuci dari bertempat
sifat-sifat yang baharu padaNya, qadim kalamNya, ilmuNya dan iradahNya.
Rukun Ketiga : Mengenai af'alNya dan berkisar di atas
sepuluh pokok.
Yaitu : bahwa segala perbuatan hamba adalah dijadikan Allah
Ta'ala; Bahwa segala perbuatan itu adalah usaha bagi hamba dan kehendak bagi
Allah. Bahwa Dia mengurniai dengan menjadikan dan menciptakan. Bahwa Dia
mempunyai hak taklif (menugaskan) apa yang tidak disanggupi. Bahwa Dia
mempunyai hak menyakiti orang yang tidak berdosa. Tidak wajib atasNya menjaga
yang lebih baik. Bahwa tiada yang wajib melainkan dengan apa yang diwajibkan
agama. Bahwa mengutuskan nabi-nabi itu jaiz (sesuatu yang boleh saja, bukan
suatu kewajiban). Dan bahwa kenabian Nabi Muhammad saw. itu benar, yang
dikuatkan dengan mu'jizat-mu 'jizat.
Rukun Keempat : mengenai sam'iyyat (hal-hal yang didengar
dari agama) dan berkisar di atas sepuluh pokok.
Yaitu : adanya pengumpulan dan kebangkitan sesudah mati,
pertanyaan Munkar dan Nakir, 'azab qubur, neraca, titian, menjadikan sorga,
neraka dan hukum-hukum mengenai kepemimpinan (mengenai siapa yang menjadi imam
di kalangan ummat Islam), bahwa keutamaan para shahabat Nabi itu, adalah
menurut urutan penyebutan nama mereka dan syarat-syarat menjadi imam bagi kaum
muslim in (syarat-syarat memegang jabatan imamah).
Rukun Pertama: Dari rukun-rukun Iman, ialah
mengenai (ma'rifah) dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahwa Allah Ta'ala itu Esa.
Rukun ini berkisar di atas sepuluh pokok.
Pokok Pertama : Mengenal adanya Allah Ta'ala.
Nur yang pertama-tama yang menyinarinya dan yang berjalan dengan jalan
memperoleh ibarat, ialah apa yang telah ditunjuki oleh Al-Quran. Maka tak
adalah penjelasan, sesudah penjelasan Allah Ta'ala.
Berfirman Allah Ta'ala :"Bukankah
Kami telah menjadikan bumi bagai hamparan (terbentang luas)? Dan gunung-gunung
sebagai pasak (nya)? Dan kamu Kami ciptakan berpasangan. Dan Kami jadikan
tidurmu untuk istirahat. Dan Kami jadikan malam sebagai tutup. Dan siang Kami
jadikan untuk mencari penghidupan. Dan Kami bangun di atas kamu tujuh yang
teguh. Dan Kami jadikan lampu yang terang benderang. Dan Kami turunkan dari
awan air yang tercurah. Karena dengan itu Kami hendak menghasilkan tanaman yang
berbuah dan tumbuh-tumbuhan. Dan kebun-kebun yang berlapis-lapis
pohonnya". (S. An-Naba', ayat 6 s/d ayat 16).
Berfirman Allah Ta'ala :"Sesungguhnya tentang
ciptaan langit dan bumi, pertukaran malam dan siang, kapal yang berlayar di
lautan yang memberi manfa'at kepada manusia, air (hujan) yang diturunkan Tuhan
dari langit, lalu dihidupkanNya (karena hujan itu) bumi yang sudah mati
(kering) dan berkeliaranlah berbagai bangsa binatang dan perkisaran angin dan
awan yang disuruh bekerja diantara langit dan bumi, sesungguhnya semua itu
menjadi bukti kebenaran untuk orang-orang yang mengerti (S. Al-Baqarah, ayat
164).
Berfirman Allah Ta'ala :"Tidakkah kamu perhatikan,
bagaimana Tuhan menciptakan tujuh langit, sepadan satu sama lain? Dan
dijadikanNya bulan bercahaya terang dan dijadikanNya matahari bagai pelita? Dan
Tuhan menumbuhkan kamu dari bumi dengan pertumbuhan (yang berangsur-angsur).
Kemudian itu kamu dikembalikannya kesitu, dan kamu dikeluarkanNya dengan
kelahiran (baru)".(S. Nuh, ayat 15 s/d ayat I8).
Berfirman Allah Ta'ala : "Tidaklah kamu perhatikan
(air mani) yang kamu tumpahkan ? Kamukah yang menciptakan atau Kamilah yang
menciptakan? Kami telah mnentukan kematian kepada kamu dan Kami tiada dapat
dikalahkan. Untuk menukar rupa kamu dan menjadikan kamu dalam (rupa) yang tiada
kamu ketahui. Dan kamu sudah tentu telah mengetahui kejadian yang pertama.
Mengapa kamu tidak mengambil perhatian? Adakah kamu perhatikan apa yang kamu
tanam? Kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkan? Dan kalau Kami
mau, ia Kami jadikan menjadi kering dan hancur, kamu tercengang karenanya.
(Mengatakan) : Sesungguhnya kami telah dibebani dengan hutang. Tetapi kami tiada
memperoleh hasil (dari pekerjaan kami). Adakah kamu perhatikan air yang kamu
minum-? Kamukah yang rnenurunkannya dari awan ata.u Kamikah yang menurunkannya?
Kalau Kami mau, ia Kami jadikan menjadi asin. Mengapakah kamu tiada berterima
kasih? Adakah kamu perhatikan api yang kamu nyalakan? Kamukah yang menumbuhkan
kayu untuk menyalakannya atau Kamikah yang menumbuhkannya? Itu Kami jadikan
untuk pengajaran dan kesenangan bagi musyafir di gunung pasir(S. Al-Waqi'ah,
ayat 58 s/d 73).
Maka tidaklah tersembunyi, kepada orang yang ada
padanya sedikit sentuhan akal, apabila memperhatikan dengan pikiran yang sederhana
saja akan kandungan ayat-ayat di atas tadi. Dan menolehkan arah pandangannya
kepada segala keaja'iban makhluk Allah di bumi dan di langit, kecantikan
kejadian hewan dan tumbuh — tumbuhan. Bahwa keadaan yang amat mena'jubkan itu
dan susunannya yang kokoh kuat, tidaklah ia terlepas daripada Pencipta yang
mengaturnya, dari Pembuat yang mengokohkan dan yang mentaqdirkannya Bahkan
hampirlah kiranya fithrah (kejadian diri yang suci bersih) dari jiwa sendiri,
mengakui bahwa semuanya itu di dalam keadaan ADA yang menentukan dibawah
pengaruhNya dan yang menentukan arah, dengan kehendak pimpinanNya.
Dari itu, berfirman Allah Ta'ala :
أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
(Afillaahi syak kun faath iris-sam aawaati wa!-ardli).
(Afillaahi syak kun faath iris-sam aawaati wa!-ardli).
Artinya :"Apakah kamu ragu-ragu tentang Tuhan, Pencipta langit
dan bumi ?". (S. Ibrahim, ayat 10)."
Maka karena itulah diutus nabi-nabi rahmat Allah kepada mereka untuk
memanggil ummat kepada tauhid, supaya mengucapkan "Laa ilaaha
illallaah" (Tidak ada yang disembah selain Allah). Dan tidak
disuruh mengucapkan : "Kami mempunyai Tuhan dan alam pun mempunyai
Tuhan". Cara yang demikian itu adalah merupakan paksaan di dalam fithrah
kejadian akal manusia, dari permulaan pertumbuhan mereka dan masa perkembangan
kepemudaannya. Dari itu berfirman Allah Ta'ala kepada kita :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ
اللَّهُ
(Wa la-in sa-altahum man khalaqas-sam aawaati wal-ardla layaquu-lunnallaah)
Artinya :"Kalau engkau menanyakan kepada mereka, siapakah yang
menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka akan menjawab: 'Allah ".(S.
Luqman, ayat 25).
Dan berfirman Allah Ta'ala :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ
النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
(Fa-aqim wajhaka liddiini haniifan fithratallaahillatii fatharannaasa
'alaihaa laa tabdiila likhalqillaahi dzaalikaddiinul qayyimu).
Artinya :"Hadapkanlah muka engkau dengan betul kepada agama, ciptaan
Tuhan, yang dijadikanNya manusia sesuai dengan agama itu. Tiada pertukaran bagi
ciptaan Tuhan itu. Itulah agama yang betul!".(S. Ar-Rum, ayat 30).
Jadi, di dalam fithrah kejadian manusia itu dan dalil-dalil
yang ditunjukan Al-Qur'an, sudah lebih dari cukup daripada menegakkan
dalil-dalil lain. Tetapi untuk lebih jelas dan karena mengikuti jejak
ulama-ulama yang berpandangan jauh, maka kami mengatakan bahwa dari permulaan
dalil itu, ialah :akaI Karena yang baharu (haadits) itu, tak dapat tidak pada
kejadiannya, dengan ADA SEBAB yang menjadikannya.
Bahwa alam itu baharu, maka tak boleh tidak pada kejadiannya dari SEBAB
itu. Adapun kata kita bahwa yang baharu itu tak boleh tidak pada kejadiannya
daripada SEBAB, maka itu adalah jelas. Karena tiap-tiap yang baharu ditentukan
adanya dengan waktu, yang mana menurut akal, waktu itu boleh jadi terdahulu dan
boleh jadi terkemudian.
Maka untuk menentukan waktu itu, tidak terdahulu dan tidak terkemudian
daripada jangkanya, sudah pasti memerlukan kepada YANG MENENTUKAN
(Mukhashshish).
Adapun kata kita : alam itu baharu, maka dalilnya
ialah, bahwa tubuh (jisim) alam itu, tidak terlepas daripada gerak dan diam.
Gerak dan diam itu adalah baharu. Tiap-tiap sesuatu yang tidak terlepas dari
sifat-sifat baharu adalah baharu.
Di dalam pembuktian ini, terdapat tiga dakwaan :
Dakwaan Pertama : kata kita bahwa jisim-jisim itu tidak terlepas dari
gerak dan diam. Dan ini dapat dipahami dengan jelas dan mudah Maka tidaklah
memerlukan kepada penelitian dan pemikiran. Sebab orang yang berpikir bahwa
jisim itu tidak tetap dan diam, adalah orang itu berjalan di atas jembatan
kebodohan dan menderita penyakit pikiran.
Dakwaan Kedua : kata kita bahwa. gerak dan diam itu adalah baharu.
Hal ini ditunjukan oleh ganti berganti diantara keduanya. Adanya yang satu
sesudahnya yang lain. Dan itu dapat dipersaksikan pada sekalian jisim, baik
yang sudah dilihat ataupun yang belum dilihat. Tidak ada satupun dari yang
tetap. Melainkan menurut akal dia boleh tetap. Maka yang datang dari gerak dan
tetap itu adalah baharu karena datangnya. Dan yang dahulu itu baharu karena tidak
adanya. Sebab, kalau dia itu qidam (qadim), niscaya mustahil dia tidak ada,
sebagaimana akan datang keterangannya dan dalilnya pada menetapkan kekalnya PENCIPTA
yang Maha Tinggi dan Maha Suci.
Dakwaan Ketiga : kata kita bahwa apa yang tidak terlepas daripada
sifat-sifat baharu, adalah baharu. Dalilnya ialah jikalau tidaklah demikian,
maka sesungguhnya telah ada sebelum tiap-tiap yang baharu itu, yang
baharu-baharu (hawadits), yang tak berpermulaan baginya.
Dan kalau tidaklah berlalu hawadits itu, dengan keseluruhannya niscaya
tidak berkesudahanlah pergantian kepada adanya yang baharu ada sekarang. Dan
berlalunya apa yang tiada berkesudahan itu, mustahil.
Karena sesungguhnya, jikalau adalah bagi cakrawala itu perputaran yang
tiada berkesudahan, maka tidak tersembunyilah bilangannya itu, dari genap atau
ganjil atau genap dan ganjil kedua-duanya. Atau tidak genap dan tidak ganjil.
Dan mustahillah adanya genap dan ganjil kedua-duanya atau tidak genap dan tidak
ganjil. Sebab yang demikian adalah mengumpulkan diantara nafi (tidak) dan
itsbat (ada). Karena pada meitsbatkan yang satu, adalah menafikan yang lain.
Dan mustahil adanya genap saja, karena genap itu akan menjadi ganjil dengan
bertambah satu. Maka bagaimanakah yang satu itu memerlukan kepada yang tidak berkesudahan?
Dan mustahil pula adanya ganjil saja, karena ganjil itu akan menjadi genap
dengan bertambah satu. Maka bagaimanakah yang satu itu memerlukan kepadanya,
sedang dia tidak berkesudahan bilangannya?
Dan mustahil pula bahwa adanya tidak genap dan tidak
ganjil, karena dia berkesudahan.
Maka kesimpulannya dari itu semuanya, bahwa alam tidak terlepas dari
sifat-sifat baharu. Maka adalah ia baharu. Dan apabila telah benar baharunya,
maka dia memerlukan kepada yang membaharu-kannya (muhdits), yang dapat
diketahui dengan mudah.
Pokok Kedua : mengetahui bahwa Allah Ta'ala itu qadim, senantiasa,
azali, tak ada bagi wujudNya permulaan. Tetapi Dialah permulaan tiap-tiap
sesuatu dan sebelum ada sesuatu yang mati dan yang hidup.
Dalilnya : jikalau adalah Dia itu baharu, tidak qadim, maka Dia
memerlukan pula kepada muhdits (yang membaharukan). Yang muhdits itu memerlukan
kepada muhdits lagi, lalu tali-bertalilah demikian, sampai kepada yang tak
berpenghabisan. Dan yang tali bertali itu tidak membawa hasil atau berkesudahan
kepada muhdits yang qadim, yaitu yang pertama. Dan inilah sebenarnya yang
dicari yang kita namakan : Pencipta alam, Pembuat, Penjadi dan Khaliqnya.
Pokok Ketiga : Mengetahui bahwa Allah Ta'ala serta adaNya azali
abadi, tak adalah bagi wujudNya berakhir (berkesudahan). Dialah yang awal, yang
akhir, yang dhahir dan yang bathin. Karena manakala telah benar qidamNya, maka
mustahillah tiadaNya (adamNya). Dalilnya : jikalau Allah Ta'ala itu menghadapi
ketiadaan, maka adalah Dia tidak terlepas, adakalanya ketiadaanNya itu dengan
sendiriNya atau dengan sesuatu yang meniadakanNya yang melawani Dia.
Jikalau boleh akan tiadanya sesuatu dengan sendirinya yang tergambar
kekalnya, niscaya boleh akan didapati sesuatu dengan sendirinya yang tergambar
tak adanya. Maka sebagaimana kedatangan wujud memerlukan kepada sebab, maka
demikian pula kedatangan adam (lawan wujud), memerlukan kepada sebab. Dan
batil, bahwa dia menerima adam oleh yang mengadamkannya, yang melawanani dia.
Karena yang mengadamkannya itu, jikalau ia qadim, maka tidak tergambarlah wujud
besertanya.
Dengan dua pokok yang dahulu itu telah nyata wujud Allah dan qadimNya. Maka
bagaimanakah ada wujudNya pada qadim dan besertanya ada Iawannya?.
Jikalau lawan yang mengAdamkannya itu baharu, maka adalah mustahil. Sebab
tiadalah yang baharu dalam perlawanannya kepada yang qadim sampai dapat
memutuskan wujudnya itu, lebih utama daripada yang qadim sendiri, dalam
perlawanannya kepada yang baharu. Sehingga dapatlah ia mempertahankan wujudnya.
Bahkan mempertahankan wujud itu adalah lebih mudah daripada memutus-kannya. Dan
yang qadim adalah lebih kuat dan lebih utama dari yang baharu (haadits).
Pokok Keempat : mengetahui bahwa tiadalah Allah Ta'ala itu jauhar
yang terbatas di suatu tempat. Tetapi maha-suci dan maha-quduslah Dia daripada
kesesuaian tempat itu. Dalilnya : bahwa tiap-tiap jauhar itu mengambil tempat,
maka tertentulah dia dengan tempat itu. Dan tidak terlepas daripada adanya
menetap pada tempat itu atau bergerak daripadanya. Maka tidak terlepaslah dia
dari gerak dan diam, yang mana keduanya itu adalah baharu. Dan apa yang tidak
terlepas dari yang baharu, adalah baharu.
Jikalau tergambarlah jauhar yang bertempat itu, qadim, maka dapatlah
diterima akal akan qadimnya jauhar-jauhar alam ini. Jikalau seseorang menamakan
sesuatu jauhar dan tidak bermaksud dengan jauhar itu mengambil tempat, maka
adalah ia bersalah dari segi kata-kata. Tidak dari segi arti.
Pokok Kelima : mengetahui bahwa Allah Ta'ala tidaklah bertubuh
(berjisim) yang tersusun daripada jauhar-jauhar. Karena jisim adalah ibarat
dari susunan jauhar-jauhar. Apabila batillah adaNya itu jauhar yang tertentu
dengan sesuatu tempat, maka batil pulalah adaNya itu jisim. Sebab tiap-tiap
jisim, tertentu dengan tempat dan tersusun dari jauhar. Maka jauhar adalah
mustahil terlepasnya dari bercerai dan berkumpul, bergerak dan diam, berkeadaan
dan berbatas.
Semuanya itu, adalah tanda-tanda dari yang baharu. Kalau bolehlah
dii'tiqadkan bahwa pencipta alam itu jisim, maka boleh pulalah dii'tiqadkan ketuhanan
matahari, bulan ataupun yang lain dari bahagian-bahagian yang berjisim. Kalau
adalah orang yang berani menamakan Allah Ta'ala itu jisim, tanpa ada maksud
tersusun dari jauhar-jauhar, maka adalah itu salah dalam menamakan dan benar
dalam meniadakan pengertian jisim.
Pokok Keenam : mengetahui bahwa Allah Ta'ala tidaklah 'aradl (sifat)
yang berdiri pada jisim atau bertempat pada sesuatu tempat. Karena aradl ialah
apa yang bertempat pada jisim. Maka tiap-tiap jisim -tiada jalan lain- adalah
baharu, di mana muhditsnya (yang menjadikannya) telah ada sebelumnya. Maka
bagaimanakah adaNya bertempat pada jisim, sedang Dia sudah maujud pada azali
sendiriNya, tak ada sertaNya yang lain? Kemudian Dialah yang menjadikan
jisim-jisim dan aradl-aradl? Dan karena Dialah yang tahu, yang berkuasa, yang
berkehendak dan yang menjadikan sebagaimana akan datang keterangannya.
Sifat-sifat tersebut (sifat-sifat tahu, kuasa,
berkehendak dan menjadikan) adalah mustahil pada aradl. Bahkan tak diterima
oleh akal, kecuali pada yang Maujud yang berdiri dengan sendiriNya, yang bebas
dengan dzatNya.Dari pokok-pokok(perkara) yang tersebut di atas, mungkinlah
berhasil pemahaman bahwa Allah itu maujud, berdiri dengan sendiriNya , tidak
Dia jauhar, jisim dan aradl. Dan alam seluruhnya adalah jauhar, ardal dan
jisim. Jadi, tidaklah Allah Ta'ala menyerupai sesuatu dan tidaklah sesuatu
menyerupai Allah Ta'ala. Tetapi adalah Dia yang hidup, yang berdiri, yang tidak
sepertiNya sesuatu. Betapakah kiranya makhluk itu menyerupai dengan Khaliqnya,
yang ditaqdir dengan Yang Mentaqdirkannya dan yang dibentuk dengan Yang
Membentukkannya ? Segala jisim dan 'aradl itu seluruhnya adalah dijadikan dan
dicipta-kan oleh Allah Ta'ala. Maka mustahillah menetapkan persamaan dan
penyerupaan dengan Dia.'.
Pokok Ketujuh : mengetahui bahwa Allah Ta'ala maha suci dzatNya dari
ketentuan dengan arah. Arah itu adakalanya di atas atau di bawah, di kanan atau
di kiri, di muka atau di belakang.
Arah-arah ini, dijadikan dan didatangkan oleh Allah dengan perantaraan fwasithah)
kejadian manusia. Karena dijadikanNya bagi manusia itu dua tepi. Yang satu
berpegang kepada bumi dan dinamakan kaki. Dan yang satu lagi berhadapan dengan
bumi dan dinamakan kepala. Maka datanglah nama atas bagi yang mengiringi arah
kepala dan nama bawah bagi yang mengiringi arah kaki. Sehingga seekor semut
yang berjalan terbalik di bawah loteng, maka terba-liklah arah atas baginya,
menjadi arah bawah. meskipun bagi kita itu arah atas namanya.
Dijadikan oleh Allah bagi manusia dua tangan, yang satu biasanya lebih kuat
dari yang lain. Maka datanglah nama kanan untuk yang lebih kuat dan nama kiri
untuk Iawannya. Dan dinamakan arah yang mengiringi tangan kanan tadi, kanan dan
yang mengiringi satu lagi kiri.
Dijadikan oleh Allah bagi manusia dua pinggir, di mana manusia itu melihat
dari salah satu keduanya dan bergerak kepadanya. Maka timbullah nama hadapan
(muka) untuk arah, di mana dia tampil bergerak kepadanya dan nama belakang
untuk Iawannya. Segala arah ini adalah baharu, datang dengan datangnya manusia.
Jikalau tidaklah manusia dijadikan dengan bentuk yang ada ini, tetapi dijadikan
bundar seperti bola, maka tak adalah sekali-kali arah-arah itu. Maka
bagaimanakah wujud Allah itu pada azali ditentukan dengan arah, sedang arah itu
adalah baharu? Atau bagaimanakah terjadinya penentuan Tuhan dengan arah sesudah
tak ada bagiNya yang demikian? Apakah caranya dengan : Allah menjadikan alam di
atas-Nya? Maha Sucilah Allah daripada atas bagiNya? Karena Maha-Sucilah Dia
dari mempunyai kepala. Dan atas adalah ibarat dari apa yang ada dijurusan
kepala. Atau dengan : Allah menjadikan alam di bawahNya? Maha-sucilah Allah
dari ada bawah bagiNya! Karena Maha-Sucilah Dia dari mempunyai kaki. Dan bawah
adalah ibarat dari apa yang mengiringi jurusan kaki.
Semuanya itu termasuk diantara yang mustahil pada akal. Dan karena yang
diterima akal dari adanya tertentu dengan arah, bahwa dia itu ditentukan dengan
tempat ketentuan jauhar atau ditentukan dengan jauhar sebagai ketentuan 'aradl.
Dan telah teranglah mustahil wujudnya Allah itu jauhar atau 'aradl. Dari itu
maka mustahil pulalah wujudNya itu ditentukan dengan arah.Kalau dimaksudkan
dengan arah selain dari dua pengertian itu, maka adalah salah pada nama serta
menolong kepada pengertian.
Dan karena kalau adalah Allah di atas alam, berarti adalah Dia setentang
dengan alam. Dan tiap-tiap yang setentang bagi jisim, maka adakalanya, sama
dengan jisim itu atau lebih kecil atau lebih besar daripadanya.Semua itu adalah
taksiran yang memerlukan tentunya kepada penaksir. Maha-Sucilah dari yang
demikian itu Al-Khaliq Yang Maha Esa lagi Maha Pengatur.
Mengenai pengangkatan kedua tangan ketika berdo'a
kepada Allah ke arah langit, adalah karena langit itu qiblat do'a. Dan
dengan itu juga menjadi isyarat kepada sifat Allah dengan kebesaran dan
keagungan, sebagai pemberitahuan dengan maksud ke arah tinggi di atas sifat
kemuliaan dan ketinggian. Sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Tinggi di
atas tiap-tiap yang maujud dengan keperkasaan dan kekuasaan.
Pokok Kedelapan : mengetahui bahwa Allah Ta'ala
ber-istiwa' di atas 'ArasyNya, dengan arti yang dikehendaki oleh Allah dengan
istiwa' itu. Yaitu yang tiada berlawanan dengan sifat keagunganNya. Dan tiada
tersentuh kepadaNya tanda-tanda kebaharuan dan kefanaan (kelenyapan).
Inilah yang dimaksud dengan istiwa' ke langit, di mana Allah Ta'ala
berfirman di dalam Al-Qur'an :
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ
(Tsummas-tawaa ilas samaa-i wa hiya dukhaan),
Artinya :"Kemudian itu Dia beristiwa' ke langit, ketika itu berupa
asap" (S. Alfushilat, ayat 11).Dan tidaklah demikian itu, selain dengan
jalan menguasai dan memerintah, seperti kata seorang penyair :
"Telah beristiwa'lah manusia itu di Irak, tanpa pedang dan darah
tertumpah.............
Ahli kebenaran (ahlul-haq) memerlukan kepada
penta'wilan ini, sebagaimana ahli kebathinan (ahlul-bathin) memerlukan kepada penta'wilan
firman Allah : "Wa
huwa ma'akum ainamaa kuntum". (Dia serta kamu di mana saja kamu berada).
Karena dengan sepakat firman tersebut diartikan dengan meliputinya ilmu Allah
dan pengetahuanNya.
Begitu pula sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
"Hati mu'min itu diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang
Maha Pengasih diartikan kepada qudrah dan perkasanya Tuhan.
Dan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : :
"Batu hitam itu (Al-Hajrul-aswad) adalah tangan kanan Allah di
bumiNya diartikan kepada kemuliaan dan keagungan Al-Hajrul-aswad. Karena kalau
dibiarkan atas dhahirnya niscaya mestilah timbul kemustahilan.
Maka demikian pulalah istiwa Kalau dibiarkan artinya kepada
menetap dan bertempat, maka tentulah yang bertempat itu jisim, yang bersentuh
dengan 'Arasy. Adakalanya seperti 'Arasy atau lebih besar atau lebih kecil
daripadanya. Yang demikian itu adalah mustahil. Dan tiap-tiap yang membawa
kepada mustahil adalah mustahil.
Pokok Kesembilan : mengetahui bahwa Allah Ta'ala serta
keadaan-Nya maha-suci daripada bentuk dan batas, maha-qudus daripada arah dan
penjuru, Ia melihat dengan mata-kepala dan mata-hati di negeri akhirat negeri
ketetapan, karena firmanNya :
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
(Wujuuhun yauma-idzin naadliratun, ilaa rabbihaa naadhirah).
Artinya : "Beberapa muka di hari itu bercahaya. Melihat kepada
Tuhannya (S. Al-Qiyamah, ayat 22-23).
Dan IA tidak dilihat di dunia karena membenarkan
firmanNya 'Azza wa Jalla :
لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأبْصَارَ
(Laa tudrikuhul abshaaru wa huwa yudrikul abshaar).
Artinya :"Penglihatan tidak sampai (mencapai) kepadaNya, tetapi Dia
mengetahui segala penglihatan (S. AI-An'am, ayat 103).
Dan karena firmanNya yang ditujukan kepada Nabi Musa
as. :
(Lan taraanii). = لَنْ تَرَانِي
Artinya :"Engkau tidak akan dapat melihat Aku". (S. Al-A'raaf,
ayat 143).
Wahai, bagaimanakah orang Mu'tazilah itu mengenal sifat Tuhan seru sekalian
alam yang tidak dapat diketahui oleh Musa as.?Dan
bagaimana Musa as. menanyakan ru'yah (melihat) Tuhan, sedang ru'yah itu
mustahil?
Semoga kebodohan ahli-ahli bid'ah dan hawa nafsu dari
orang-orang yang bodoh dungu itu, adalah lebih utama daripada kejahilan
nabi-nabi as.
Adapun cara melakukan ayat ru'yah tadi secara dhahirnya, maka itu tidaklah
membawa kepada kemustahilan. Karena ru'yah adalah semacam kasyaf dan ilmu,
tetapi lebih sempurna dan lebih jelas daripada ilmu. Maka apabila boleh
penghubungan ilmu kepada-Nya dan IA tidak pada sesuatu arah, maka boleh pulalah
penghubungan ru'yah kepadaNya dan IA tidak dengan perantaraan arah.
Sebagaimana jaiz (boleh) Allah melihat makhlukNya dan tidak di dalam
keadaan berhadapan dengan mereka, maka boleh pulalah Dia dilihat oleh
makhlukNya tanpa berhadapan. Sebagaimana boleh Dia diketahui tanpa berkeadaan
(berkaifiah) dan berbentuk, maka boleh pulalah Dia dilihat seperti itu.
Pokok Ke sepuluh : mengetahui bahwa Allah Ta'ala Maha
Esa, tiada sekutu bagiNya, tunggal, tiada teman bagiNya, sendirian dengan
menjadikan dan mencipta dan maha-kuasa Dia menjadikan dan mengadakan, tiada
yang sepertiNya untuk membagi-bagi dan me-nyamaiNya, tiada lawan bagiNya untuk
bertengkar dan bermusuhan.
Dalilnya firman Allah Ta'ala :
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا
(Lau kaana fiihimaa aalihatun illallaahu lafasadataa).Artinya :"Kalau
kiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain dari Allah, sudah tentu ke
duanya menjadi rusak binasa (S. Al-Anbia, ayat 22),
Keterangannya : jikalau tuhan itu dua dan salah satu daripada ke
duanya menghendaki sesuatu, maka tuhan yang ke dua jika diperlukan kepada
pertolongannya, niscaya adalah tuhan yang ke dua ini menjadi terpaksa, yang
tidak berdaya. Dan tidaklah dia sebagai tuhan yang berkuasa penuh. Jika dia
berkuasa membantah dan menolak, maka adalah tuhan yang ke dua ini kuat lagi
gagah perkasa. Dan tuhan yang pertama itu lemah tak berdaya dan tidaklah dia
tuhan yang berkuasa.
1. RUKUN KEDUA: mengetahui sifat-sifat Allah.
Dan berkisar kepada sepuluh pokok.
Pokok Pertama : mengetahui bahwa yang menciptakan alam ini adalah Maha
Kuasa. Bahwa Allah Maha Besar dengan firmanNya :
وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
(Wa huwa "alaa kulli syai-in qadiir).
Artinya :"Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu (S. Al-Maidah, ayat 120).
Karena alam ini kokoh di dalam pembuatannya, teratur di dalam kejadiannya.
Barangsiapa melihat sehelai kain sutera yang baik tenunan dan susunannya, teratur
bunga dan pinggirnya, lalu menyangka bahwa tenunan itu datangnya dari orang
mati yang tidak bertenaga atau dari seorang manusia yang tak berdaya, maka
orang yang melihat tadi adalah telah tercabut dari sifat berakal dan telah
terjerumus ke dalam rantai kebodohan dan kedunguan.
Kalau kiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain dari Allah,
sudah tentu ke duanya menjadi rusak binasa
Pokok Kedua : mengetahui bahwa Allah Ta'ala Maha Tahusegala yang
maujud (yang ada), meliputi ilmuNya dengan segala makhluk. Tidak luput dari
ilmuNya seberat biji sawipun, baik di bumi atau di langit.
Maha benarlah Allah dengan firmanNya :
وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
(Wa huwa bikulli syai-in 'aliim).
Artinya :"Dan Dia Maha Tahu atas segala sesuatu ". (S.
Al-Baqarah, ayat 29).
Dan ditunjukkan kepada kebenaranNya oleh firmanNya :
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
(Alaa ya'lamu man khalaqa wa huwallathiiful khabiir).
(Alaa ya'lamu man khalaqa wa huwallathiiful khabiir).
Artinya :"Tidakkah Tuhan itu mengetahui apa yang diciptakanNya?
Dan Dia mengenal hal yang halus-halus dan cukup mengerti".(S. Al-Mulk,
ayat 14).
Tuhan memberi petunjuk kepada kita, kepada membuat dalil dengan makhlukNya,
dengan mengetahui bahwa kita tidak menaruh keraguan, tentang mendalilkan
makhluk yang halus dan kejadian yang dihiasi dengan teratur itu, walau pada
benda yang hina lemah sekalipun untuk membuktikan atas maha-tahu Penciptanya
cara menyusun dan mengatur.Maka apa yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta'ala itu adalah petunjuk dan pengenal yang amat mendalam.
Pokok Ketiga : mengetahui bahwa Allah Ta'ala itu hidup. Barangsiapa
ada ilmunya dan tenaganya, tentu saja ada hidupnya.Jikalau tergambarlah seorang
yang bertenaga, berilmu, berbuat dan pengatur tanpa ada ia hidup, maka bolehlah
diragukan mengenai hidupnya hewan-hewan, ketika ia bulak-balik bergerak dan
berdiam diri. Bahkan mengenai hidupnya ahli-ahli tehnik dan perusahaan.
Hal yang seperti itu adalah membenamkan diri ke dalam
lembah kebodohan dan kesesatan.
Pokok Keempat : mengetahui bahwa Allah Ta'ala berkehendak (beriradah)
bagi segala af'alNya. Maka tak adalah yang maujud melainkan bersandar kepada
kehendakNya dan datang dari iradahNya. Dialah yang menjadikan dan
mengembalikan, yang berbuat sekehendakNya.
Bagaimanakah Dia tak ada berkehendak? Tiap-tiap perbuatan yang datang
daripadaNya, mungkin bahwa datang Iawannya. Dan yang tak ada Iawannya, maka
mungkin datang itu sendiri sebelumnya atau sesudahnya. Dan qudrah itu adalah
bersesuaian bagi dua yang berlawanan dan bagi dua waktu sebagai suatu
kesesuaian. Maka tak boleh tidak daripada iradah untuk menentukan qudrah itu
kepada salah satu daripada dua yang akan dihubungi qudrah tadi.
Kalau mencukupi ilmu saja tanpa iradah, untuk menentukan sesuatu yang
diketahui (al-ma'lum), sehingga dikatakan bahwa perbuatan itu diperoleh pada
waktu yang mendahului ilmu dengan wujudnya, maka sesungguhnya boleh pula
mencukupi tanpa qudrah. Sehingga dikatakan bahwa perbuatan itu diperoleh tanpa
qudrah, karena telah mendahului ilmu dengan wujudnya.
Pokok Kelima : mengetahui bahwa Allah Ta'ala maha mendengar,
melihat, tidak luput daripada penglihatanNya segala yang terlintas di dalam
hati, sangka dan pikiran yang tersembunyi. Dan tidak jauh daripada
pendengaranNya bunyi langkah semut hitam di dalam malam yang gelap, di atas
batu yang hitam pekat.
Betapakah Ia tidak mendengar, lagi melihat, sedang mendengar dan melihat
itu tak ada tempat untuk dibantah adalah kesempurnaan dan bukan kekurangan?
Maka bagaimanakah makhluk itu berada lebih sempuma daripada Khaliq? Yang dibuat
itu lebih tinggi dan lebih sempuma daripada Yang Membuat? Bagaimanakah lurusnya
pembagian, manakala kekurangan ada pada Tuhan dan kesempurnaan ada pada makhluk
dan pada perbuatanNya? Atau bagaimanakah lurusnya keterangan Ibrahim as.
menghadapi ayahnya karena ayahnya itu menyembah berhala karena kebodohan dan
kedunguan? Lalu bersabdalah Ibrahim as. kepadanya :
يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لا يَسْمَعُ وَلا يُبْصِرُ وَلا يُغْنِي عَنْكَ
شَيْئًا
(Yaa-abati lima ta'budu maa laa yasma'u wa laa yubshiru wa laa yughnii
'anka syai-aa).
Artinya :"Hai bapaku Mengapa engkau sembah barang yang tidak
mendengar, tidak melihat dan tiada memberikan pertolongan kepada engkau barang
sedikitpun (S. Maryam, ayat 42).
Jikalau terbaliklah yang demikian itu, kepada Dzat yang disembah Ibrahim,
maka sesungguhnya keterangannya menjadi hancur dan dalilnya, menjadi gugur. Dan
menjadi tidak benarlah firman Allah Ta'ala :
وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ
(Wa tilka hujjatunaa aatainaahaa lbraahiima 'alaa qaumih).
(Wa tilka hujjatunaa aatainaahaa lbraahiima 'alaa qaumih).
Artinya :"Dan itulah alasan-alasan yang Kami berikan kepada Ibrahim
menghadapi kaumnya (S. Al-An'aam, ayat 83).
Sebagaimana dipahami dengan akal, bahwa Allah Ta'ala berbuat tanpa anggota,
mengetahui tanpa hati dan otak, maka hendaklah dipahami pula bahwa Allah Ta'ala
melihat tanpa biji mata dan mendengar tanpa telinga. Karena tak adalah
perbedaan diantara ke duanya.
Pokok Keenam : bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berkata-kata
(mutakallim) dengan kata-kata. Yaitu suatu sifat yang berdiri pada DzatNya,
tidak dengan suara dan huruf. Bahkan tiada serupa kalam (kata-kata) Allah
dengan kata-kata lainNya, sebagaimana tidak serupa wujudNya dengan wujud
lainNya.
Kata yang sebenarnya ialah kata hati. Suara itu ialah yang mengeluarkan
huruf-huruf untuk menunjukkan kepada yang dimaksud, sebagaimana ditunjukkan
kepadanya sekali dengan gerak dan isya-rah, Bagaimanakah maka ini sampai
meragukan kepada segolongan orang yang bodoh. Dan tidak meragukan kepada
penyair-penyair yang bodoh, dimana telah bermadah seorang diantara mereka yang
mengatakan ;
"Sungguhlah kata-kata itu di dalam
hati,
dan memang lidah
dijadikan...................
untuk menunjukkan..............................
apa yang ada di dalam hati..................
untuk menunjukkan..............................
apa yang ada di dalam hati..................
Orang yang tidak diikat oleh akalnya dan tidak dilarang oleh otaknya
daripada mengatakan : " Lidah ku itu baharu, tetapi apa yang datang
padanya dengan qudrahku yang baharu itu adalah qadim", maka putuskanlah
harapanmu mengenai akalnya. Dan cegahkanlah lidahmu daripada berhadapan dengan
dia.
Orang yang tiada dapat memahami bahwa qadim itu adalah ibarat daripada apa
yang belum ada sebelumnya sesuatu dan bahwa بَ ba adalah sebelum س
sin dalam bacaan kita "Bismillah", maka tidak adalah س
sin yang terkemudian daripada بَ ba itu qadim. Maka bersih-kanlah hatimu
daripada menoleh kepadanya..............!!!.
Allah Subhaanahu wa Ta'ala mempunyai sirr (rahasia) pada menjauhkan
sebahagian daripada hambaNya —"Dan barangsiapa disesatkan oleh Allah
maka tak ada yang memberi petunjuk kepadanya"—. Barangsiapa merasa
sangsi bahwa Musa as. mendengar di dunia ini kalam yang tidak dengan suara dan
huruf, maka tentulah ia menentang akan melihat di akhirat Yang Maujud, yang
tidak dengan jisim dan warna.
Dan kalau diterima oleh akalnya bahwa ia akan melihat apa yang tiada dengan
warna, jisim, batas dan ukuran, sedang ia sampai sekarang belum melihatnya,
maka hendaklah ia berpikir mengenai pancaindra pendengaran akan apa yang dapat
dipikirkannya mengenai pancaindra penglihatan itu.
Jika dapat dipikirkannya bahwa bagi Allah satu 'ilmun
(pengetahuan yang satu), yaitu mengetahui segala yang ada (maujudat), maka
hendaklah dipikirkannya akan suatu sifat bagi Dzat yaitu kalam (sifat
berkata-kata), dengan segala apa yang ditunjukkan oleh semua penuturan
kepadanya.
Jika dapatlah ia berpikir akan keadaan langit yang tujuh, keadaan sorga dan
neraka yang tertulis pada selembar kertas yang kecil dan terhafal di dalam
suatu batas yang halus daripada hati dan bahwa semuanya itu dapat terlihat di
dalam batas biji mata hitam, tanpa bertempat semua langit itu, bumi, sorga dan
neraka di dalam mata hitam, hati dan kertas, maka hendaklah ia berpikir keadaan
kalam itu yang dibaca dengan lisan, dihafal di dalam hati dan tertulis di dalam
mas-haf, tanpa bertempat dzat kalam di dalamnya. Karena jikalau bertempatlah
pada kitab Allah dzat kalam di atas kertas, niscaya bertempatlah Dzat Allah
dengan menuliskan namaNya pada kertas. Dan bertempatlah dzat api neraka dengan
menuliskan na-manya pada kertas dan terbakarlah kertas itu.
Pokok Ketujuh : bahwa kalam yang berdiri dengan sendirinya itu qadim
dan begitu pula sekalian sifat Allah. Karena mustahUlah bahwa ada Dia itu
tempat bagi segala yang baharu, yang masuk di bawah pengaruh perobahan. Tetapi
wajiblah bagi sekalian sifat dari sifat-sifat qadim akan apa yang wajib bagi
dzat. Maka tidaklah di datangi oleh perobahan dan tidaklah ditempati oleh
segala yang haadits (yang baharu). Tetapi senantiasalah pada qidamNya, bersifat
dengan segala sifat yang terpuji dan tetaplah di dalam keabadianNya, seperti
itu, maha-suci dari segala perobahan keadaan. Karena sesuatu yang menjadi
tempat bagi segala yang baharu, maka tidaklah dia itu terpisah daripada yang
baharu. Dan sesuatu yang tidak terpisah daripada segala yang baharu, maka
adalah dia itu baharu. Dan sesungguhnya tetaplah sifat baharu itu bagi jisim,
di mana dia didatangi perobahan dan pertukaran bagi sifat-sifatnya.
Maka bagaimanakah Khaliq itu bersekutu dengan segala yang baharu dalam
menerima perobahan? Dan berdasarkan kepada ini, maka seyogialah bahwa
kalam Allah itu qadim, berdiri dengan dzatNya. Dan yang baharu itu ialah
suara-suara yang menunjukkan kepadanya.
Sebagaimana dipahami, tegaknya tuntutan dan kemauan belajar pada diri
seorang ayah untuk anaknya, sebelum anak itu dilahirkan, sehingga apabila anak
itu telah lahir dan berakal serta dijadikan oleh Allah baginya ilmu pengetahuan
yang berhubungan dengan apa yang ada di dalam hati ayahnya dahulu, dari
tuntutan belajar, niscaya menjadi suruhan dengan tuntutan itu yang telah bangun
pada diri sang ayah. Dan tetap adanya sampai kepada waktu anaknya mengenal akan
hal itu. Maka hendaklah dipahami pula akan tegaknya tuntutan yang ditunjukkan
kepadanya oleh firman Allah 'Azza wa Jalla :
إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ
طُوًى
Artinya : "Bukalah kedua terompahmu". (S. Thaha, ayat 12).
Artinya : "Bukalah kedua terompahmu". (S. Thaha, ayat 12).
Dengan DzatNya dan jadinya Musa ditujukan dengan firman itu setelah adanya.
Karena telah dijadikan kepada Musa ma'rifah dengan tuntutan itu dan didengamya
untuk itu kalam qadim.
Pokok Kelapan : bahwa ilmu Allah itu qadim, maka senantiasalah Ia
mengetahui dengan DzatNya, sifatNya dan apa yang terjadi dengan makhlukNya.
Manakala telah jadilah makhluk, maka tidak datanglah bagi Allah ilmu
mengenai makhluk itu, tetapi hasillah segala makhluk itu terbuka bagiNya dengan
ilmuNya yang azali. Karena jikalau dijadikan bagi kita pengetahuan untuk
mengetahui dengan kedatangan si Zaid ketika terbit matahari dan berkekalan
pengetahuan tadi— diumpamakan— sampai terbit matahari, maka sesungguhnya
kedatangan si Zaid ketika terbit matahari itu menjadi pengetahuan bagi kita
dengan pengetahuan itu tanpa pembaharuan pengetahuan yang lain. Maka begitu
pulalah seyogianya dipahami akan qidam ilmu Allah Ta'ala.
Pokok Kcsembilan : bahwa iradah Allah itu qadim.
Iradah itu pada qidamnya bersangkutan dengan menjadikan segala yang baharu pada
waktunya yang layak, sesuai dengan kedahuluan ilmu Allah yang azali. Karena
jikalau iradah itu baharu, niscaya jadilah Allah itu tempat bagi yang baharu.
Dan jikalau terjadilah segala yang baharu daripada bukan dzatNya, niscaya tak
adalah Dia yang beriradah padanya. Sebagaimana tidaklah engkau yang bergerak
dengan sesuatu gerakan, yang tidak ada gerakan itu daripada diri engkau.
Sebagaimana dikatakan iradah itu baharu, maka berhajatlah kebaharuannya itu
kepada iradah yang lain. Dan begitu pula iradah yang lain itu berhajat kepada
iradah yang lain lagi. Dan tali bertalilah (tasalsul) hal itu kepada tiada
berkesudahan.
Jikalau boleh Allah mendatangkan iradah dengan tanpa iradah maka boleh
pulalah Ia mendatangkan alam dengan tanpa iradah.
Pokok Kesepuluh : bahwa Allah Ta'ala mengetahui
dengan ilmun hidup dengan hayah berkuasa dengan qudrah, berkehendak
dengan iradah, berkata-kata dengan kalam, mendengar
sama' dan melihat dengan bashar.
Semua sifat ini bagi Allah Ta'ala adalah sifat-sifat
yang qadim. Perkataan
orang yang mengatakan : orang berilmu tanpa ilmu samalah seperti katanya orang
kaya tanpa harta, ilmu tanpa orang yang berilmu dan orang berilmu tanpa ada
yang diketahui. Sebab ilmu, yang diketahui (yang dimaklumi) dan yang berilmu
('alim) adalah bertaut satu sama lainnya, seperti pembunuhan, yang dibunuh dan
pembunuh.
Sebagaimana tidak tergambar adanya pembunuh, tanpa ada pembunuhan dan yang
dibunuh dan tidaklah tergambar adanya yang dibunuh, tanpa ada pembunuh dan
pembunuhan, maka seperti itu pulalah tidak tergambar adanya orang yang berilmu
tanpa ilmu, adanya ilmu tanpa ada yang dimaklumi dan adanya yang dimaklumi
tanpa ada yang berilmu ('alim). Sebab yang tiga ini bertaut satu sama lainnya
pada akal. Tidak terlepas sebahagian daripadanya daripada sebahagian yang lain.
Barangsiapa membolehkan terlepasnya orang berilmu daripada ilmu, maka
hendaklah ia membolehkan terlepasnya daripada yang diketahuinya dan terlepasnya
ilmu daripada yang mengetahuinya. Karena tak adalah perbedaan diantara
sifat-sifat yang tersebut tadi.
1 RUKUN
KETIGA : Mengetahui dengan segala af'al Allah Ta'ala. Dan berkisar
atas
sepuluh
pokok.
Pokok Pertama : mengetahui bahwa tiap-tiap yang baharu pada 'alam
adalah perbuatan (af'al) Allah, yang dijadikan dan yang diciptakanNya. Tak
adalah khaliq bagi alam itu selain Dia. Tak adalah yang menjadikan makhluk,
melainkan Dia. Dia yang menjadikan makhluk, yang membuatnya dan yang mengadakan
qudrah dan gerak bagi makhluk itu.
Maka sekalian af'al hambaNya adalah makhlukNya dan bergantung dengan
qudrahNya, hal mana dibenarkan yang demikian pada firmanNya :
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
(Allaahu khaaliqu kulli syai-in)
Artinya :"Allah itu pencipta segala sesuatu ". (S. Ar-Ra'd, ayat
16)!
Dan pada firmanNya :
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
(Wallaahu khalaqakum wa maa ta'maluun).
Artinya :"Dan sesungguhnya Tuhanlah yang menjadikan kamu dan apa
yang kamu perbuat itu". (S. Ash-Shaffat, ayat 96).
Dan pada firmanNya :
وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ
الصُّدُورِ
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
(Wa asirruu qaulakum awijharuu bihi, innahuu 'aliimun bidzaatish shuduuri.
Alaa yaiamu man khalaqa wa huwallathiiful khabiir).Artinya :"Kamu
rahasiakan perkataanmu atau kamu lahirkan dengan terang-terangan, sesungguhnya
Tuhan itu mengetahui isi hati. Tiadakah Tuhan itu mengetahui apa yang
diciptakanNya? Dan Dia Maha lemah-lembut dan Maha mengerti" (S,Al-Mulk,
ayat 13 -14).
DisuruhNya hambaNya berhati-hati pada pembicaraan,
perbuatan, rahasia dan isi hati. Karena Ia mengetahui tempat kedatangan segala
perbuatan mereka. Dan Ia mengambil dalil atas pengetahuanNya dengan makhlukNya.
Bagaimanakah tidak Allah itu yang menjadikan perbuatan hambaNya, sedang qudrahNya adalah maha-sempurna, tak ada kekurangan padanya dan qudrah itu menyangkut dengan gerak tubuh hambaNya dan gerak-gerik itu adalah menyamai satu sama lain dan menyangkut qudrah dengan gerak-gerik itu adalah karena gerak-gerak itu sendiri? Maka apakah yang menghambat sangkutannya qudrah dari sebahagian gerak dan tidak pada sebahagian lagi, sedang gerak-gerak itu sama? Atau bagaimanakah hewan itu berkuasa penuh dengan menciptakan, dan muncul dari lawa-lawa, lebah dan hewari-hewan yang lain, perbuatan yang halus-halus yang mengherankan orang-orang yang berfikiran tinggi? Bagaimanakah hewan-hewan itu sendirian menciptakannya tanpa Tuhan seru sekalian alam? Padahal hewan-hewan itu tidak mengetahui secara terperinci apa yang timbul daripadanya dari usaha itu!
Wahai kiranya, hinalah segala makhluk itu! Dia sendirilah yang berkuasa di
alam al-mulki dan di alam al-malakut, maha perkasa mengatur bumi dan langit.
Pokok Kedua : bahwa Allah sendirilah yang maha-suci, menjadikan
segala gerak hambaNya, yang tidak dikeluarkannya gerak-gerak itu dari kekuasaan
hambaNya sendiri atas jalan usaha. Tetapi Allah Ta'ala yang menjadikan qudrah
hamba (kuasa) dan yang dikuasai-nya. Dialah yang menjadikan usaha (ikhtiar) dan
yang diusahakan.
Adapun qudrah adalah sifat bagi hamba dan makhluk bagi
Tuhan yang maha suci dan tidaklah qudrah itu dengan usaha hamba sendiri.
Adapun gerak maka adalah makhluk bagi Allah Ta'ala,
sifat dan usaha bagi hamba. Gerak itu dijadikan, yang dikuasakan dengan sebab qudrah, di
mana ia menjadi sifat bagi hamba. Gerak itu mempunyai hubungan kepada
suatu sifat yang lain, yang dinamakan qudrah. Lalu gerak tadi dengan memandang
kepada hubungan itu, dinamakan usaha.
Bagaimanakah gerak itu menjadi paksaan semata, padahal dengan mudah dapat
diketahui akan perbedaan, diantara gerak yang diku-asai dan gerak mudah yang
biasa? Atau bagaimanakah usaha itu dijadikan oleh hamba, padahal tidak meliputi
ilmunya dengan segala perincian bahagian gerak-gerak yang diusahakan dan jumlah
bilangannya?
Apabila batillah kedua tepi itu (paksaan semata atau dijadikan oleh hamba
sendiri) maka tidak adalah yang tinggal, selain yang sederhana dalam
kei'tiqadan. Yaitu bahwa gerak itu diqudrahkan dengan qudrah Allah Ta'ala
sebagai ciptaan dan dengan qudrah hamba atas segi yang lain dari hubungan, yang
disebut dengan usaha. Dan tidaklah dengan mudah dipahami, hubungan qudrah
dengan yang diqudrahkan itu, bahwa adanya dengan ciptaan saja. Karena qudrah
Allah Ta'ala pada azali telah ada berhubungan dengan alam. Dan tidaklah ciptaan
itu berhasil dengan qudrah, di mana qudrah ketika ciptaan itu berhubungan
dengan alam dalam macam hubungan yang lain. Maka dengan itu, nyatalah bahwa
hubungan qudrah, tiadalah ditentukan dengan berhasilnya yang diqudrahkan dengan
qudrah itu.
Pokok Ketiga : bahwa pekerjaan hamba meskipun itu adalah usaha hamba
sendiri, tetapi tidaklah keluar dari adanya dengan kehendak Allah Subhaanahu wa
Ta'ala. Maka tidaklah berlaku dr alam nyata (alam al-mulki)dan alam yang tidak
nyata (alam al-malakut), suatu kerlingan mata, suatu lintasan di hati dan
sejenak pandangan orang yang memandang, melainkan adalah dengan qadha, qudrah,
iradah dan kehendakNya. DaripadaNyalah yang buruk dan yang baik, yang
bermanfa'at dan yang melarat, Islam dan kufur, mengakui dan mengingkari,
kemenangan dan kerugian, kesesatan dan petunjuk, tha'at dan ma'siat, syirik dan
iman. Tak ada yang menolak bagi qadhaNya. Tak ada yang menentang bagi hukumNya.
Disesatkan-Nya akan siapa yang dikehendakiNya daun ditunjukiNya akan siapa yang
dikehendakiNya. Tiadalah Dia ditanyakan daripada apa yang diperbuatNya, sedang
mereka itu (kita manusia ini) ditanyakan.
Ditunjukkan kepada yang tersebut, dari dalil naqli (yang dinukilkan) ialah
kata ummat seanteronya : "Apa yang dikehendakiNya ada dan apa yang tidak
dikehendakiNya tidak ada". Dan firman Allah 'Azza wa Jalla :
أَنْ لَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَهَدَى النَّاسَ جَمِيعًا
(An lau yasyaaullaahu lahadan naasa jamii'aa).
Artinya :"Bahwa kalau Allah berkehendak, niscaya ditunjukiNya manusia
seluruhnya". (S. Ar-Ra'd, ayat 31).
Dan firmanNya :
وَلَوْ شِئْنَا لآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا
(Walau syi'-naa la-aatainaa kulla nafsin hudaahaa)
Artinya :" Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami berikan
pimpinan yang benar kepada setiap diri " (S. As-Sajadah, ayat 13).
Ditunjukkan kepada yang tersebut, dari segi 'aqli (dalil akal) ialah, bahwa
perbuatan ma'siat dan dosa adalah Allah membencinya dan tidak menghendakinya.
Dan adalah perbuatan-perbuatan itu berlaku sesuai dengan kehendak musuh Iblis,
yang telah kena kutukan Tuhan, di mana dianya adalah musuh Allah. Dan yang
berlaku, sesuai dengan kehendak musuh adalah lebih banyak daripada yang berlaku
atas yang sesuai dengan kehendak Allah Ta'ala.
Wahai kiranya!!, bagaimanakah seorang muslim membolehkan akan menolak
kekuasaan Tuhan Yang Maha Perkasa, yang mempunyai keagungan dan kemuliaan,
kepada derajat, di mana kalau sekiranya ditolakkan kepadanya pimpinan seorang
pemimpin desa, niscaya tiada mau ia menerimanya! Karena jikalau yang tetap
menjadi musuh bagi pemimpin itu di dalam kampung, lebih banyak daripada yang
berdiri di belakangnya, maka yang banyak itu tidak mau menerima
kepemimpinannya. Dan melepaskan dirinya daripada kekuasaannya.
Perbuatan ma'siat adalah yang lebih banyak bagi makhluk, Semuanya itu
berlaku pada ahli-ahli bid'ah, menyalahi dengan iradah Allah. Ini adalah menunjukkan
paling lemah dan tiada bertenaga. Maka maha-sucilah Tuhan seru sekalian alam
dari perkataan orang dhalim itu!.Kemudian, manakala telah nyata bahwa
perbuatan-perbuatan hamba itu adalah makhluk Allah, maka shahlah terjadinya
perbuatan-perbuatan itu atas kehendakNya.
Jikalau orang bertanya :-"Bagaimanakah Tuhan melarang
apa yang dikehendakiNya dan menyuruh apa yang tiada dikehendakiNya?".
Maka kami menjawab "Suruh (amar) adalah lain dari
kehendak (iradah). Dari itu, apabila seorang tuan memukul hamba sahayanya, lalu
dia dimarahi oleh sultan atas perbuatannya itu, maka ia mengemukakan alasan
bahwa hamba sahayanya itu melawan kepadanya. Maka ia didustakan oleh sultan,
lalu ia bermaksud menerangkan kebenaran alasannya, dengan menyuruh hamba sahaya
itu dengan sesuatu pekerjaan dan budak itu melawannya dihadapan sultan. Maka
berkatalah ia kepada budak itu : "Pasanglah pelana hewan itu dihadapan
sultan",
Maka disuruhnya budak itu perbuatan yang tidak dikehendakinya supaya budak
itu menurutinya. Kalau tidak disuruhnya maka ke-beratannya tidak diterima oleh
sultan. Dan kalau orang itu berkehendak budak itu menurutinya, maka adalah
orang itu bermaksud membinasakan dirinya sendiri. Dan itu adalah mustahil!.
Pokok Keempat: bahwa Allah Ta'ala mengurniakan dengan menjadikan
dan menciptakan serta menganugerahkan nikmat, dengan memberikan kewajiban
(taklif) kepada hambaNya. Dan tidaklah menjadikan dan memberikan taklif itu
wajib atas Allah.Berkata golongan Mu'tazilah bahwa yang demikian itu
wajib atas-Nya, karena ada kemuslihatan hamba padanya.
Itu adalah mustahil, karena Dialah yang mewajibkan, yang menyuruh dan
yang melarang. Maka bagaimanakah ditujukan kepadaNya kewajiban atau didatangkan
sesuatu kemestian dan kata yang ditujukan?
Dan yang dimaksudkan dengan wajib, ialah salah satu
daripada dua: adakalanya
perbuatan yang memberi melarat kalau ditinggalkan. Baik melarat itu pada masa
yang akan datang, umpamanya dikatakan : wajiblah atas hamba berbuat tha'at
kepada Allah. Sehingga dia tidak di'azabkan di akhirat dengan api neraka. Atau
melarat itu pada masa dekat, umpamanya dikatakan .: wajiblah minum atas orang
yang haus, sehingga ia tidak mati. Adakalanya yang dimaksudkan dengan wajib
itu, ialah sesuatu yang membawa kepada mustahil oleh tidak adanya. Umpamanya dikatakan
: adanya yang diketahui itu wajib, karena tidak adanya itu membawa kepada
mustahil, yaitu jadinya ilmu itu kebodohan.
Kalau dikehendaki oleh pihak lawan dengan ; bahwa menjadikan itu wajib atas
Allah dengan arti yang pertama, maka sesungguhnya dia telah mendatangkan kepada
melarat. Dan kalau dikehendaki-nya, dengan arti yang kedua, maka dia adalah
seorang muslim. Karena setelah didahulukan oleh ilmu, maka tak boleh tidak, ada
yang diketahui (al-ma'lum). Dan kalau dikehendakinya, dengan arti yang ketiga,
maka itu tidak dapat dipahami.
Mengenai kata Mu'tazilah : wajib itu karena ada kemuslihatan
hamba padanya, maka perkataan itu adalah merusakkan. Karena apabila tiada
mengandung melarat dengan meninggalkan kemuslihatan hamba itu, maka tiadalah
kewajiban pada sisi Allah itu mengandung arti apa-apa.
Kemudian, kemuslihatan hamba dengan dijadikan mereka dalam sorga, maka
adakalanya dijadikannya di dalam negeri yang penuh percobaan dan didatangkan
mereka kepada segala dosa. Kemudian ditujukan mereka kepada siksaan yang
berbahaya, huruhara dan hisab amalan. Dan tidak adalah pada yang demikian itu
kegemaran pada orang-orang yang berakal.
Pokok Kelima : bahwa jaiz (tidak wajib dan tidak mustahil) bagi Allah, memikulkan
(men-taklif-kan) atas makhluk, apa yang tidak disanggupinya. Sebaliknya dengan
pendapat Mu'tazilah. Jikalau tidaklah jaiz yang demikian, maka mustahillah
permintaan menolaknya. Dan memang mereka telah meminta yang demikian, dengan
mendo'akan :
رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا طَاقَةَ لَنَا بِهِ
(Rabbanaa wa laa tuhammilnaa maa laa thaaqata lanaa bih).
Artinya :" Hai Tuhan kami! Janganlah Engkau pikulkan ke atas kami apa
yang tidak kami sanggupi !". (S. Al-Baqarah, ayat 286).
Dan karena Allah Ta'ala telah menerangkan kepada Nabi saw. bahwa Abu Jahal
tidak akan membenarkannya. Kemudian Allah menyuruh Nabiصلى الله عليه وسلم
supaya menyuruh Abu Jahal membenarkan-nya pada segala perkataannya. Dan ada
dari jumlah perkataannya, bahwa Abu Jahal itu tidak membenarkan Nabi saw.
Bagaimanakah dia membenarkan pada yang tidak dibenarkattnya? Tidakkah ini
selain dari mustahil adanya?.
Pokok Keenam : bahwa bagi Allah Ta'ala menyakitkan dan meng-'azabkan
makhlukNya tanpa ada dosa yang terdahulu dan tanpa ada pahala yang akan datang.
Sebaliknya dengan pendapat Mu'tazilah.
Hal ini, adalah karena Allah Ta'ala bertindak pada milikNya, Dan tidaklah
tergambar bahwa akan melampaui tindakanNya akan milikNya. Dhalim adalah ibarat
dari bertindak pada milik orang lain tanpa izinnya. Dan itu adalah mustahil
atas Allah. Karena tidaklah dijumpai adanya milik orang lain, sehingga dapat
dikatakan bahwa tindakanNya itu dhalim.
Dibuktikan kepada bolehnya yang demikian oleh adanya. Sesungguhnya
menyembelih hewan adalah menyakitkan hewan. Dan apa yang menimpa ke atas diri
hewan itu dengan bermacam-macam 'azab dari pihak anak manusia, tidaklah
didahului oleh adanya dosa hewan.
Kalau ada yang mengatakan : bahwa Allah Ta'ala akan
mengumpulkan hewan-hewan itu di padang mahsyar dan akan memberi ganjaran yang
sesuai dengan penderitaan yang dialaminya dan demikian itu wajib atas Tuhan.
Maka atas perkataan itu kami menjawab bahwa orang yang mendakwakan wajib atas
Allah menghidupkan tiap semut yang terpijak dan tiap binatang kecil yang
terbunuh, sehingga diberikan pahala atas segala -penderitaannya, maka
sesungguhnya telah keluar dari syari'at dan akal. Karena dengan itu dapat
dikatakan, menyifatkan pahala dan mengumpulkan di padang mahsyar itu, menjadi
kewajiban atas Allah. Bila dimaksudkan dengan meninggalkannya membawa kepada
melarat, maka itu adalah suatu yang mustahil Dan jika dimaksudkan yang lain,
maka telah diterangkan dahulu bahwa itu tidak dapat dipahami apabila telah
keluar dari pengertian-pengertian yang tersebut bagi wajib.
Pokok Ketujuh : bahwa Allah Ta'ala berbuat sekehendakNya dengan
hambaNya. Tiada wajib atasNya menjaga yang lebih baik bagi hambaNya. Karena apa
yang telah kami sebutkan dahulu, bahwa tiada suatupun yang wajib atas Allah.
Bahkan kewajiban itu tidak dapat diterima akal pada hakNya. Sebab Allah tidak
ditanyakan daripada apa yang diperbuatNya dan makhlukNyalah yang ditanyakan.
Alangkah ganjilnya apa yang diwajibkan oleh golongan Mu'tazilah itu dengan
katanya, bahwa berbuat yang lebih baik adalah wajib atas Tuhan, mengenai
persoalan yang kita majukan kepadanya. Yaitu: diumpamakan terjadi perdebatan di
akhirat diantara seorang anak kecil dan seorang dewasa (baligh), di mana
keduanya meninggal sebagai muslim. Bahwa Allah menambahkan derajat orang yang
sudah dewasa dan melebihkannya dari anak kecil. Karena ia telah payah dengan
beriman dan melakukan ta'at setelah dewasa. Dan yang demikian itu, wajib atas
Tuhan menurut orang Mu'tazilah.
Kalau anak kecil itu berkata :
"Wahai Tuhan! Mengapakah Engkau tinggikan derajatnya daripada
derajatku?",
Maka menjawab Tuhan : "Karena dia telah
dewasa dan rajin mengerjakan ta'at".
Lalu anak kecil itu menjawab : "Engkau
telah mematikan aku sewaktu kecil. Adalah kewajiban Engkau meneruskan hidupku,
sampai aku baligh, maka aku rajin beribadah. Engkau telah berpagi dari keadilan
dengan memberikan kepadanya kelanjutan umur, sedang aku tidak. Mengapakah dia
Engkau Iebihkan?".
Maka menjawab Allah Ta'ala : "Karena
Aku tahu bahwa kalau tewasalah engkau, niscaya engkau menjadi musyrik atau
pendurhaka. Maka adalah lebih baik bagimu mati sewaktu kecil".
Ini dima'afkan oleh orang Mu'tazilah dari Allah 'Azza wa Jalla. Dan ketika
itu orang-orang kafir dari tingkat yang paling bawah daripada neraka berseru,
seraya berkata : "Wahai Tuhan! Apakah Engkau tiada mengetahui bahwa kami
apabila telah dewasa, menjadi orang musyrik? Mengapakah tidak Engkau matikan
kami sewaktu kecil? Kami rela dengan derajat yang lebih rendah daripada derajat
anak kecil muslim itu".
Maka apakah yang dijawab waktu itu? Dan adakah yang harus ketika itu,
selain dari keputusan bahwa urusan ketuhanan adalah maha-suci dengan keagungan
daripada ditimbang dengan timbangan orang Mu'tazilah itu!.
Kalau dikatakan, bahwa manakala ditakdirkan kepada
pemeliharaan yang lebih baik bagi hamba, kemudian ditimpakan kepada mereka
sebab-sebab penyiksaan, niscaya adalah yang demikian itu keji, tak layak dengan
kebijaksanaan.Maka kami menjawab bahwa keji adalah apa yang tidak sesuai
dengan maksud. Sehingga kadang-kadang sesuatu itu adalah keji pada seseorang
dan baik pada yang lain, apabila sesuai dengan maksud salah seorang dari
keduanya dan tidak dengan lainnya. Sehingga membunuh orang, dipandang keji oleh
teman-temannya dan dipandang baik oleh-musuh-musuhnya.
Kalau dimaksudkan dengan keji ialah sesuatu yang tiada sesuai dengan
maksud Tuhan Yang Maha Suci, maka itu adalah mustahil, karena tak adalah maksud
bagi Tuhan. Maka tidak tergambarlah daripadaNya keji sebagaimana tidak
tergambar daripadaNya dhalim. Karena tidak tergambar daripadaNya bertindak pada
milik orang lain.
Dan kalau dimaksudkan dengan keji ialah sesuatu yang tiada sesuai dengan
maksud orang lain, maka mengapakah anda katakan bahwa yang demikian itu
mustahil atas Tuhan? Tidakkah ini selain dari semata-mata ke raguraguan, yang
diakui sebaliknya oleh apa yang telah kami berikan umpamanya dahulu mengenai
permusuhan diantara penduduk neraka?
Kemudian, al-hakiim, artinya : yang mengetahui akan hakikat
segala sesuatu, berkuasa (sanggup) mengerjakannya, sesuai dengan kehendakNya
Dan ini, maka dari manakah mewajibkan pemeliharaan yang lebih baik itu?
Adapun—al-hakiim dari kita (seorang ahli hikmah—yang
bijaksana), ia memelihara yang lebih baik melihat kepada kepentingan dirinya
sendiri, untuk memperoleh faedah pujian di dunia dan pahala di akhirat. Atau
untuk menolak bahaya daripada dirinya. Semuanya itu mustahil bagi Allah Ta'ala.
Pokok Kedelapan : bahwa mengenal (ma'rifah) akan
Allah Ta'ala dan berbuat tha'at kepadaNya adalah wajib. Diwajibkan oleh Allah
dan syari'atNya, tidak oleh akal. Sebaliknya bagi orang Mu'tazilah. Karena akal
dan kalaupun dia mewajibkan tha'at maka tidaklah terlepas, adakalanya dia
mewajibkan itu tanpa faedah.
Dan itu adalah mustahil. Sebab akal tidaklah mewajibkan yang sia sia. Dan
adakalanya dia mewajibkan karena ada faedah dan maksud. Dan yang demikian itu,
tidak terlepas, adakalanya kembali faedah dan maksud itu kepada Tuhan yang
disembah. Dan itu adalah mustahil pada hak Allah Ta'ala. Maka sesungguhnya
Allah maha-suci daripada segala maksud dan faedah. Bahkan kufur, iman, tha'at
dan ma'siat pada pihak Allah Ta'ala, adalah sama. Dan adakalanya kembali yang
demikian itu kepada maksud hamba sendiri. Dan itupun mustahil karena tak adalah
maksud bagi hamba itu waktu sekarang. Bahkan ia payah dan menyingkirkan diri
daripada hawa nafsu karenanya. Dan tak adalah pada hari kembali, selain
daripada pahala dan siksa. Dan dari manakah diketahui bahwa Allah Ta'ala akan
memberi pahala di atas perbuatan ma'siat dan tha'at dan tidak menyiksakan di
atas kedua perbuatan tadi, sedang tha'at dan ma'siat pada hak Allah adalah sama?
Karena tidaklah Allah Ta'ala itu condong kepada salah satu daripada keduanya.
Dan tidaklah bagi salah satu daripada keduanya itu mempunyai kepentingan dengan
Allah Ta'ala.
Sesungguhnya diketahui perbedaan yang demikian itu adalah dengan Agama. Dan
telah hinalah orang yang mengambil ini dari perbandingan diantara Khaliq dan
makhluk, di mana dia membe dakan diantara syukur dan kufur. Karena dia
memperoleh kesenangan, kemuliaan dan kelezatan dengan salah satu daripada
keduanya dan tidak dengan yang Iain.
Kalau dikatakan, apabila tidak wajib memandang dan mengenai Allah selain
dengan Agama. Dan Agama itu tidak tetap selama orang yang diberati hukum
(mukallaf) tidak menaruh perhatian kepadanya. Maka apabila orang mukallaf itu
berkata kepada Nabi صلى الله عليه وسلم ,bahwa akal tidaklah mewajibkan kepada
memperhatikan dan Agama tidaklah menetap padaku, selain dengan memperhatikan
tadi dan aku tidak tampil kepada memperhatikan, yang membawa kepada meyakinkan
kebenaran Rasul صلى الله عليه وسلم
Kami menjawab : bahwa ini menyerupai dengan kata orang yang mengatakan
kepada orang yang berdiri pada salah satu tempat : "Bahwa di belakangmu
ada binatang buas yang menerkam. Kalau tidak engkau berkisar dari tempat itu
niscaya akan dibunuhnya engkau. Dan kalau engkau berpaling ke belakang dan
melihat, maka tahulah engkau akan kebenaranku".
Maka menjawab orang yang tegak berdiri itu : "Tidak meyakinkan
kebenaranmu selama aku belum berpaling ke belakang. Dan aku tidak akan
berpaling ke belakang dan tidak akan melihat, selama belum nyata
kebenaranmu!".
Maka ini menunjukkan kepada kebodohan orang yang menjawab itu dan membawa
dirinya kepada kebinasaan. Dan tiada memberi melarat apa-apa kepada orang yang
memberi petunjuk dan yang menunjukkan jalan itu.
Maka begitulah Nabi صلى الله عليه وسلم yang mengatakan
: "Bahwa
di belakang-mu nanti, di sana binatang buas dan api membakar. Kalau kamu tidak
berhati-hati daripadanya dan tidak mengakui kebenaranku dengan memperhatikan
kepada mu'jizatku, niscaya binasalah kamu. Barangsiapa menaruh perhatian
niscaya mengenal, berhati-hati dan selamatlah dia. Dan barangsiapa tidak
memperhatikan dan terus-menerus demikian, maka binasadan terjerumuslah dia. Dan
tak ada memberi melarat apa-apa kepadaku jikalau manusia seluruhnya binasa.
Sesungguhnya kewajibanku, hanyalah menyampaikan dengan tegas dan jelas".
Agama memberitahukan adanya binatang buas yang menerkam sesudah mati. Dan
akal memfaedahkan untuk memahami perkataan Nabi صلى الله عليه وسلم dan
meyakininya dengan kemungkinan apa yang dikata-kannya pada masa yang akan
datang. Dan tabi'at manusia (instinc) menggerakkan supaya berhati-hati daripada
kemelaratan.
Dan arti bahwa sesuatu itu wajib ialah kalau meninggalkannya mendatangkan
melarat.Dan arti bahwa Agama itu mewajibkan, ialah ia memperkenalkan akan
kemelaratan yang akan terjadi. Karena akal tiada memperoleh petunjuk untuk
mengetahui kemelaratan sesudah mati, ketika ia menuruti hawa nafsu.
Inilah arti Agama dan akal serta pengaruh keduanya untuk menilai yang wajib
itu. Jikalau tidaklah takut kepada siksaan dengan meninggalkan apa yang disuruh
maka tidak adalah yang wajib itu menetap. Karena tak adalah arti wajib itu,
kecuali ada hubungan kemelaratan di akhirat dengan meninggalkannya.
Pokok Kesembilan : bahwa tidaklah mustahil pengutusan
nabi-nabi as. Sebaliknya bagi kaum Brahma yang mengatakan bahwa tak
adalah faedahnya mengutus nabi-nabi itu. Karena pada akal cukup mendapat
kesempatan tanpa mereka. Sebab akal tidaklah memperoleh petunjuk kepada
perbuatan-perbuatan yang melepaskan diakhirat, sebagaimana tidaklah memperoleh
petunjuk kepada obat-obat yang memberi faedah bagi kesehatan.
Keperluan makhluk kepada nabi-nabi adalah seperti keperluan mereka kepada
dokter-dokter. Tetapi dikenal kebenaran dokter dengan percobaan dan dikenal
kebenaran nabi dengan mu'jizat.
Pokok Kesepuluh : bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'ala
telah mengutus Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم., kesudahan segala nabi dan
pembatal (nasikh) syari'at-syari'at sebelumnya : syari'at Yahudi, Nasrani dan
majusi. Allah Ta'ala menguatkan Nabi صلى الله عليه وسلم itu dengan mu'jizat
mu'jizat yang nyata dan tanda-tanda yang jelas seperti terbelah bulan (1)
bertasbih batu (2) berbicara hewan (3) dan terpancarnya air diantara jari-jari
Nabi.(4) صلى الله عليه وسلم
Diantara tanda-tanda yang jelas ialah keagungan Al-Qur'an Suci menghadapi
tentangan orang Arab, di mana orang-orang Arab itu terkenal dengan fasih dan
lancar berbicara. Bermaksud hendak menawan, menangkap, membunuh dan mengusir
Nabi صلى الله عليه وسلم . sebagaimana diceriterakan Tuhan tentang tujuan mereka
itu. Tetapi mereka tidak mampu mendatangkan seperti Al-Qur'an, karena tidak
dalam kemampuan manusia terkumpul diantara kebagusan susunan Al-Qur'an dan
teraturnya.
Ini serta isinya Al-Qur'an dengan memberitakan berita-berita orang
terdahulu di mana Nabi صلى الله عليه وسلم adalah ummi (tak tahu tulis baca),
tidak pernah memegang buku. Dan menceriterakan hal-hal yang ghaib mengenai
keadaan-keadaan di masa depan yang diyakini kebenarannya, seumpama firman Allah
Ta'ala :
لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ
رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ
(Latad-khulunnal masjidal haraama in-syaa-AUaahu aaminiina mu halliqiina
ru-uusakum wa muqash-shiriin).
Artinya :" Bahwa kamu akan memasuki Masjid Suci, jika Tuhan
menghendaki, dengan perasaan tenteram bercukur dan bergunting rambut ".(S.
Al-Fath, ayat 27).
Dan seumpama firman Allah Ta'ala :
الم
غُلِبَتِ الرُّومُ
فِي أَدْنَى الأرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ
فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الأمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ
يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ
(Alif-laam-miim. Ghulibatir ruum, fii adnal ardli wa hum mim ba'di
ghalabihim sayaghlibuun, fii bidl-'i siniin).
Artinya :"Alif ,Lam, Mim. Dikalahkan Kerajaan Rum. Dinegeri yang
dekat dan mereka sesudah kalah itu akan menang lagi nanti. Dalam beberapa
tahun". (S.Ar-Rum,ayat1s/d 4).
Cara mu'jizat menunjukkan kepada kebenaran rasul-rasul itu, ialah tiap-tiap
apa yang tidak disanggupi oleh manusia, maka itu tak lain daripada af'al Allah
semata. Manakala afal itu menyertai dengan pertahanan atas kebenaran Nabi saw.
maka itu seakan-akan Allah berfirman : "Benar Engkau !". Tak ubahnya
seperti seorang yang berdiri dihadapan raja, dengan mendakwakan dirinya kepada
rakyat bahwa dia adalah utusan raja itu kepada mereka.
Maka manakala ia berdatang sembah kepada raja : "Jika adalah hamba ini
benar maka sudilah kiranya Tuanku bangun dari tempat peristirahatan tiga kali
dan sudilah kiranya duduk di luar kebiasaan Tuanku!".
1.
Lalu raja itu berbuat demikian, sehingga berhasillah bagi segala yang hadir
melihat itu pengetahuan dlaruri (pengetahuan mudah tanpa memerlukan pemikiran).
Maka perbuatan raja itu menunjukkan seakan-akan dia bersabda : "Benar
kamu! ".
1.
RUKUN KEEMPAT : Mengenai segala yang didengar (sam'iyyat) dan
membenarkan Nabi saw. tentang apa yang dikabarkannya. Dan berkisar atas sepuluh
pokok.
Pokok Pertama: kebangkitan dan
pengumpulan di hari mahsyar.
Telah datang Agama memperdengarkan keduanya. Dan'itu adalah benar serta
wajib membenarkannya. Karena menurut akal itu mungkin.
Arti dari kebangkitan itu, ialah pengembalian hidup setelah di-fana-kan
(ifnaa'). Yang demikian adalah atas qudrah Allah seperti pada permulaan
kejadian.
Berfirman Allah Ta'ala :
.وَضَرَبَ لَنَا مَثَلا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ
وَهِيَ رَمِيمٌ
قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ
(Qaala man yuhyil 'idhaama wa hiya ramiimun. Qul yuhyiihalladzii ansya-ahaa aw wal a man ah).
قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ
(Qaala man yuhyil 'idhaama wa hiya ramiimun. Qul yuhyiihalladzii ansya-ahaa aw wal a man ah).
Artinya : "Katanya : Siapa yang akan dapat menghidupkan tulang-tulang
yang telah hancur luluh? Katakanlah : Yang menghidup-kannya, ialah yang
menjadikannya pertama kali". (S. Ya Sin, ayat 78 dan 79).
Maka Allah Ta'ala memberi dalil dengan permulaan kepada pengembalian itu.
Dan berfirman Allah Ta'ala :
مَا خَلْقُكُمْ وَلا بَعْثُكُمْ إِلا كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ
(Maakhalqukum wa laa ba'tsukum illaa kanafsin waahidah).Artinya : " Menciptakan dan membangkitkan kamu itu dari kubur hanyalah sebagai menciptakan seorang diri saja " . (S. Luqman, ayat 28).
(Maakhalqukum wa laa ba'tsukum illaa kanafsin waahidah).Artinya : " Menciptakan dan membangkitkan kamu itu dari kubur hanyalah sebagai menciptakan seorang diri saja " . (S. Luqman, ayat 28).
1.Hadits mengenai hai ini, dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas.
Jadi, pengembalian itu adalah permulaan kedua. Maka itu adalah mungkin
seperti permulalan pertama.
Pokok Kedua : pertanyaan dari
malaikat Munkar dan Nakir
Telah datang beberapa hadits memperdengarkannya. Maka wajiblah
membenarkannya, karena itu adalah mungkin. Karena tiada yang meminta untuk itu,
selain pengembalian hidup kepada beberapa suku badan untuk dapat memahami
pertanyaan yang dimajukan.
Hal itu dengan sendirinya mungkin dan tidak dapat dibantah oleh apa yang
kelihatan bahwa anggota tubuh mayat itu tetap saja dan kita tidak mendengar
pertanyaan itu.Orang tidur pun pada dhahirnya tetap saja dan mengetahui dengan
bathinnya kesakitan dan kelezatan akan apa yang dirasainya dengan kesannya
ketika terbangun.
Adalah Rasulullah صلى الله عليه وسلم mendengar kalam Jibril as. dan
melihatnya sedang orang-orang dikeliling Rasul صلى الله عليه وسلم tidak
mendengar dan melihatnya. Dan mereka tiada mengetahui sesuatu daripada ilmuNya
selain dengan apa yang dikehendakiNya (1)
Apabila Tuhan tidak menjadikan pendengaran dan penglihatan kepada mereka,
niscaya tidaklah mereka mengetahuinya.
Pokok Ketiga : 'azab kubur. Telah
datanglah Agama memperdengarkannya.
Berfirman Allah Ta'ala :
فَوَقَاهُ اللَّهُ سَيِّئَاتِ مَا مَكَرُوا وَحَاقَ بِآلِ فِرْعَوْنَ سُوءُ الْعَذَابِ
(Annaaru yu'radluuna 'alaihaa ghuduwwan wa 'asyiy-yan wa yauma taquumus-saa'atu, adkhiluu aala fir'auna asyaddal 'adzaab).
فَوَقَاهُ اللَّهُ سَيِّئَاتِ مَا مَكَرُوا وَحَاقَ بِآلِ فِرْعَوْنَ سُوءُ الْعَذَابِ
(Annaaru yu'radluuna 'alaihaa ghuduwwan wa 'asyiy-yan wa yauma taquumus-saa'atu, adkhiluu aala fir'auna asyaddal 'adzaab).
Artinya : "Api neraka, mereka dibawa ke sana pagi dan petang dan pada
hari qiamat (dikatakan) : Masukkanlah kaum Fir'aun itu ke dalam siksaan yang
sangat keras! ".(S. Al-Mu'min, ayat 46).
Dan telah terkenal dari Rasulullah sawصلى الله عليه وسلم dan salaf yang
salih, di mana mereka berlindung dengan Allah daripada 'azab kubur.
Azab kubur itu adalah mungkin. Maka wajiblah membenarkannya, Dan tidak
menjadi halangan daripada membenarkannya oleh bercerai-berainya anggota tubuh
mayat di dalam perut binatang buas dan tembolok burung. Sebab yang memperoleh
kepedihan 'azab dari hewan itu, ialah bahagian-bahagian tertentu, yang
ditaqdirkan oleh Allah Ta'ala kepada mengembalikan dapatnya 'azab itu
kepadanya.
Pokok Keempat: neraca amal (mizan
atau timbangan).
Adalah timbangan amal itu benar. Berfirman Allah Ta'ala :
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ
(Wa nadla'ul mawaaziinal qistha liyaumil qiyaamah).
(Wa nadla'ul mawaaziinal qistha liyaumil qiyaamah).
Artinya : "Dan pada hari qiamat (kebangunan) itu, Kami tegakkan
neraca yang betul". (S. Al-Anbia ayat 47).
Dan berfirman Allah Ta'ala :
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ
وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ
(Faman tsakulat mawaaziinuhuu fa-ulaa-ika humul muflihuun. Wa man khaffat mawaaziinuhuu fa-uIaa-ikalladziina khasiruu anfusahum bimaa kaanuu bi-aayaatinaa yadhlimuun).
وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ
(Faman tsakulat mawaaziinuhuu fa-ulaa-ika humul muflihuun. Wa man khaffat mawaaziinuhuu fa-uIaa-ikalladziina khasiruu anfusahum bimaa kaanuu bi-aayaatinaa yadhlimuun).
Artinya :"Maka barangsiapa yang berat timbangan (kebaikannya), itulah
orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang ringan timbangan
(kebaikannya), itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan
mereka tidak mempercayai keterangan-keterangan Kami" (S. Al-A'raaf, ayat 8
- 9).Caranya, ialah bahwa Allah Ta'ala menjadikan di dalam lembaran amal
perbuatan, timbangan menurut derajat amal itu pada sisi Allah. Maka jadilah
kadar segala amal perbuatan itu diketahui oleh hamba itu. Sehingga teranglah
kepada mereka keadilan Tuhan, tentang penyiksaan atau kelimpahan kema'afan dan
pergandaan pahala.
Pokok Kelima : titian (shirath). Yaitu jembatan yang
memanjang di atas neraka jahannam, lebih halus daripada rambut dan lebih tajam
daripada pedang.
Berfirman Allah Ta'ala :
فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ
وَقِفُوهُمْ إِنَّهُمْ مَسْئُولُونَ
(Fahduuhum ilaa shiraathil jahiim. Waqifuuhum innahum mas-uu-luun).
وَقِفُوهُمْ إِنَّهُمْ مَسْئُولُونَ
(Fahduuhum ilaa shiraathil jahiim. Waqifuuhum innahum mas-uu-luun).
Artinya : "Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka! Dan
suruhlah mereka berhenti (berdiri), karena sesungguhnya mereka akan
ditanyai". (S. Ash-Shaffat, ayat 23 – 24). Titian itu adalah suatu yang
mungkin, maka wajiblah membenarkannya. Karena yang kuasa menerbangkan burung di
udara, niscaya kuasa pula menjalankan manusia di atas titian itu.
Pokok Keenam : bahwa sorga dan neraka adalah makhluk Tuhan.
Berfirman Allah Ta'ala :
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا
السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
(Wa saari'uu ilaa maghfiratin min rabbikum wa jannatin 'ardluhas-samaawaatu wal-ardlu u-iddat lil-muttaqiin).
(Wa saari'uu ilaa maghfiratin min rabbikum wa jannatin 'ardluhas-samaawaatu wal-ardlu u-iddat lil-muttaqiin).
Artinya : "Dan cepatlah menuju keampunan Tuhan dan memasuki
sorga, yang lebamya seperti langit dan bumi, disediakan untuk orang-orang yang
memelihara dirinya (dari kejahatan)". (S. Ali Imran, ayat 133).
Maka berfirman Allah "disediakan " menunjukkan
bahwa sorga itu makhluk Tuhan. Maka haruslah diperlakukan secara dhahir, karena
tak ada kemustahilan padanya.
Dan tidak dikatakan, bahwa tak ada faedahnya dijadikan sorga dan neraka itu
sebelum hari pembalasan (hari akhirat). Karena Allah Ta'ala tidak ditanyakan
daripada perbuatanNya, sedang mereka (manusia) ditanyakan.
Pokok Ketujuh : bahwa imam yang benar
sesudah Rasulullah صلى الله عليه وسلم ialah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian
Usman, kemudian 'Ali ra.
Dan tak adalah sekali-kali ketentuan dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم
kepada seseorang imam saja. Karena jikalau ada, niscaya adalah yang seorang itu
lebih jelas orangnya, yang ditegakkan oleh kesatuan wali-wali negeri dan
panglima-panglima tentara di dalam negeri.
Dan tidak tersembunyilah yang demikian! Bagaimanakah tersembunyi ini? Dan
kalau tidak tersembunyi, maka bagaimanakah terbenam saja, sehingga tak ada
berita kepada kita?.Abu Bakar pun, tidaklah dia menjadi imam, melainkan dengan
pemilihan dan bai'ah (janji kesetiaan daripada rakyat).
Kalau diumpamakan ada ketentuan daripada Nabi صلى الله عليه وسلم saw.
kepada yang lain-daripada Abu Bakar, maka itu kalau ditujukan kepada shahabat
seluruhnya, adalah suatu penantangan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم. dan
pengoyakan bagi ijma'.
Cara yang demikian, tak ada yang berani melakukan selain dari pada golongan
Rafidli (golongan yang menolak semua imam, khalifah dari Nabi.
Sedang menurut i'tiqad Ahlussunnah, ialah
membersihkan sekalian shahabat daripada tuduhan-tuduhan dan memujikan
keikhlasan mereka, sebagaimana dipuji oleh Allah dan RasulNya صلى الله عليه وسلم
Dan apa yang berlaku diantara Mu'awiah dan 'Ali, adalah berdasarkan kepada
pendapat masing-masing. Bukan perebutan daripada Mu'awiah mengenai pangkat
keimaman (khilafat). Karena menurut sangkaan 'Ali ra., bahwapenyerahan
pembunuh-pembunuh Usman, di mana mereka mempunyai banyak keluarga dan hubungan
rapat dengan ketentaraan, tentulah pada permulaannya akan membawa kepada
kegoncangan urusan keimaman. Dari itu 'Ali berpendapat bahwa mengundurkan
penyerahan itu adalah lebih tepat. Tetapi menurut sangkaan Mu'awiah bahwa
pengunduran urusan pembunuh-pembunuh itu serta demikian besar penganiayaan yang
dilaku-kan mereka, adalah mengakibatkan suatu tamparan kepada pemuka-pemuka
ummat dan membiarkan darah tertumpah begitu saja.
Berkata ulama-ulama kenamaan, bahwa tiap-tiap orang yang
ber-ijtihad (mengeluarkan pendapat), adalah benar. Dan berkata segolongan lagi
: yang benar itu satu. Dan tidak adalah orang-orang yang mengharapkan hasil
yang baik, menyalahkan 'Ali sekali-kali.
Pokok Kedelapan : bahwa kelebihan
para shahabat itu adalah menurut nama urutan mereka dalam memegang pimpinan
khilafah.
Karena hakikat kelebihan itu ialah kelebihan pada sisi Allah 'Azza wa
Jalla. Dan itu tidak ada yang melihatnya selain Rasulullah صلى الله عليه وسلم
Telah datang banyak ayat-ayat dan hadits-hadits yang
mengandung pujian kepada mereka itu sekalian. Sesungguhnya yang mengetahui
kelebihan yang halus-halus dan susunan dari kelebihan itu, ialah mereka yang
menyaksikan wahyu dan turunnya Al-Qur'an dengan pertanda-pertanda keadaan dan
perincian yang meneliti. Jikalau tidaklah mereka memahami yang demikian, maka
tidaklah mereka menyusun urutan seperti itu. Karena mereka tidaklah ditimpakan
dengan cacian orang yang mencaci tentang Allah dan tidaklah mereka
diselewengkan oleh penyeleweng dari kebenaran.
Pokok Kesembilan : bahwa syarat-syarat
untuk menjadi imam, sesudah Islam dan taklif (dewasa dan berakal), adalah lima
: laki-laki, wara', ilmu, kesanggupan dan suku Quraisy,
karena sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
الأئمة من قريش
(Al-a-immatu min Quraisy)Artinya : "Imam-imam itu dari Quraisy". (1)
Apabila terdapat beberapa orang yang mempunyai sifat-sifat yang tersebut tadi, maka yang menjadi imam ialah orang yang mendapat kepercayaan dan kesetiaan (bai'ah) dari jumlah terbanyak dari penduduk. Dan orang yang menentang keputusan orang terbanyak itu, adalah pendurhaka, harus dikembalikan sampai tunduk kepada kebenaran.
(Al-a-immatu min Quraisy)Artinya : "Imam-imam itu dari Quraisy". (1)
Apabila terdapat beberapa orang yang mempunyai sifat-sifat yang tersebut tadi, maka yang menjadi imam ialah orang yang mendapat kepercayaan dan kesetiaan (bai'ah) dari jumlah terbanyak dari penduduk. Dan orang yang menentang keputusan orang terbanyak itu, adalah pendurhaka, harus dikembalikan sampai tunduk kepada kebenaran.
Pokok Kesepuluh : bahwa jikalau
sukarlah terdapat wara' dan ilmu mengenai orang yang akan memegang jabatan imam
itu, sedang untuk menolaknya menimbulkan kekacauan yang sukar diatasi, maka
kita putuskan dengan syahnya, ia menjadi imam.
Karena kita, diantara menimbulkan kekacauan dengan menggantikannya itu,
maka kemelaratan yang dihadapi kaum muslim in, adalah lebih banyak dari
kekurangan yang timbul lantaran kekurangan syarat-syarat yang ditetapkan untuk
bertambahnya kemuslihatan itu. Maka tidaklah dibongkar pokok kemuslihatan
lantaran mengharap kelebihan-kelebihan yang datang dari kemuslihatan itu.
Seumpama orang yang membangun istana lalu membongkar kota. Dan diantara kita
menetapkan dengan kekosongan negeri tidak ada imam dan dengan kerusakan hukum.
Dan itu adalah mustahil.
Kita menetapkan dengan berjalannya hukum orang-orang pendurhaka di dalam
negerinya, karena dipandang perlunya, Maka bagaimana pula kita tidak menetapkan
dengan syah menjadi imam ketika hajat dan diperlukan?.
Maka empat rukun ini yang mengandung empat puluh pokok itu, adalah
qaidah-qaidah 'aqidah. Maka orang yang mempercayainya adalah dia bersesuaian
dengan ahlissunnah dan berlainan dari ahli bid'ah.
Kiranya Allah meluruskan perjalanan kita dengan taufiqNya dan menunjukkan
kita kepada kebenaran dan meyakini kebenaran itu, dengan nikmat, keluasan,
kemurahan dan kumiaNya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan