Catatan Popular

Rabu, 18 Disember 2013

KITAB AQIDAH IHYA ULUMIDDIN : SENDI-SENDI DAN POKOK IMAN (SIRI 3)


KARANGAN IMAM AL GHAZALI DALAM IHYA ULUMUDDIN.....SIRI 3


 
 Maka kami mulai : Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala pujian bagi Allah yang menganugerahkan pembedaan bagi pencinta-pencinta Sunnah dengan nur yakin. Dan melebihkan pendukung-pendukung kebenaran akan petunjuk kepada tiang-tiang agama. Dan menjauhkan mereka dari penyelewengan orang-orang yang menyeleweng dan dari kesesatan orang-orang yang tidak bertuhan. Memberi taufiq kepada mereka untuk mengikuti jejak penghulu segala rasul. Meluruskan mereka untuk menuruti para shahabat yang mulia dan memudahkan bagi mereka, mengikuti peninggalan ulama-ulama terdahulu yang salih. Sehingga mereka berpegang teguh dengan yang dikehendaki akal pikiran dengan tali yang kokoh kuat, dengan perjalanan dan aqidah ulama-ulama yang terdahulu dengan jalan yang nyata.

Maka dikumpulkan mereka dengan penerimaan, diantara natijah-natijah akal dan kehendak-kehendak syari'at yang dinaqalkan (diambil dari pokok-pokok agama). Dan yakinlah mereka bahwa mengucapkan apa yang menjadi ibadah mereka dari kata-kata "Laa ilaaha illallaah, Muhammadurrasuulullaah tidaklah berfaedah dan berhasil, jikalau tidak benar-benar meliputi dengan apa yang dibawa oleh kalimah syahadah itu, dari isi dan pokok-pokok-nya. 

Mereka mengetahui bahwa dua kalimah syahadah di dalam kesingkatannya itu, mengandung keyakinan wujud dzat Allah, sifat-sifatNya dan af'alNya dan mengandung keyakinan kebenaran Rasul.

Dan mereka mengetahui bahwa pembangunan keimanan itu adalah di atas sendi-sendi (rukun-rukun) ini, yang banyaknya empat. 

Dan masing-masing rukun itu, berkisar di atas sepuluh pokok :

Rukun Pertama : mengenai ma'rifah (mengenai) dzat Allah Ta'ala dan berkisar di atas sepuluh pokok.(perkara)

Yaitu : mengetahui dengan wujud Allah Ta'ala, qidamNya, baqaNya, Dia tidak jauhar, tidak jisim dan tidak 'aradl. Dia tidak tertentu dengan sesuatu pihak, tidak tetap di atas sesuatu tempat. Dia dilihat dan Dia Maha Esa.

Rukun Kedua : mengenai sifat-sifatNya dan melengkapi kepada sepuluh pokok.

Yaitu : mengetahui bahwa Dia itu hidup, tahu, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat, berkata-kata, mahasuci dari bertempat sifat-sifat yang baharu padaNya, qadim kalamNya, ilmuNya dan iradahNya.

Rukun Ketiga : Mengenai af'alNya dan berkisar di atas sepuluh pokok.

Yaitu : bahwa segala perbuatan hamba adalah dijadikan Allah Ta'ala; Bahwa segala perbuatan itu adalah usaha bagi hamba dan kehendak bagi Allah. Bahwa Dia mengurniai dengan menjadikan dan menciptakan. Bahwa Dia mempunyai hak taklif (menugaskan) apa yang tidak disanggupi. Bahwa Dia mempunyai hak menyakiti orang yang tidak berdosa. Tidak wajib atasNya menjaga yang lebih baik. Bahwa tiada yang wajib melainkan dengan apa yang diwajibkan agama. Bahwa mengutuskan nabi-nabi itu jaiz (sesuatu yang boleh saja, bukan suatu kewajiban). Dan bahwa kenabian Nabi Muhammad saw. itu benar, yang dikuatkan dengan mu'jizat-mu 'jizat.

Rukun Keempat : mengenai sam'iyyat (hal-hal yang didengar dari agama) dan berkisar di atas sepuluh pokok.

Yaitu : adanya pengumpulan dan kebangkitan sesudah mati, pertanyaan Munkar dan Nakir, 'azab qubur, neraca, titian, menjadikan sorga, neraka dan hukum-hukum mengenai kepemimpinan (mengenai siapa yang menjadi imam di kalangan ummat Islam), bahwa keutamaan para shahabat Nabi itu, adalah menurut urutan penyebutan nama mereka dan syarat-syarat menjadi imam bagi kaum muslim in (syarat-syarat memegang jabatan imamah). 

Rukun Pertama: Dari rukun-rukun Iman, ialah mengenai (ma'rifah) dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahwa Allah Ta'ala itu Esa. Rukun ini berkisar di atas sepuluh pokok.

Pokok Pertama : Mengenal adanya Allah Ta'ala.
Nur yang pertama-tama yang menyinarinya dan yang berjalan dengan jalan memperoleh ibarat, ialah apa yang telah ditunjuki oleh Al-Quran. Maka tak adalah penjelasan, sesudah penjelasan Allah Ta'ala.

Berfirman Allah Ta'ala :"Bukankah Kami telah menjadikan bumi bagai hamparan (terbentang luas)? Dan gunung-gunung sebagai pasak (nya)? Dan kamu Kami ciptakan berpasangan. Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. Dan Kami jadikan malam sebagai tutup. Dan siang Kami jadikan untuk mencari penghidupan. Dan Kami bangun di atas kamu tujuh yang teguh. Dan Kami jadikan lampu yang terang benderang. Dan Kami turunkan dari awan air yang tercurah. Karena dengan itu Kami hendak menghasilkan tanaman yang berbuah dan tumbuh-tumbuhan. Dan kebun-kebun yang berlapis-lapis pohonnya". (S. An-Naba', ayat 6 s/d ayat 16). 

Berfirman Allah Ta'ala :"Sesungguhnya tentang ciptaan langit dan bumi, pertukaran malam dan siang, kapal yang berlayar di lautan yang memberi manfa'at kepada manusia, air (hujan) yang diturunkan Tuhan dari langit, lalu dihidupkanNya (karena hujan itu) bumi yang sudah mati (kering) dan berkeliaranlah berbagai bangsa binatang dan perkisaran angin dan awan yang disuruh bekerja diantara langit dan bumi, sesungguhnya semua itu menjadi bukti kebenaran untuk orang-orang yang mengerti (S. Al-Baqarah, ayat 164). 

Berfirman Allah Ta'ala :"Tidakkah kamu perhatikan, bagaimana Tuhan menciptakan tujuh langit, sepadan satu sama lain? Dan dijadikanNya bulan bercahaya terang dan dijadikanNya matahari bagai pelita? Dan Tuhan menumbuhkan kamu dari bumi dengan pertumbuhan (yang berangsur-angsur). Kemudian itu kamu dikembalikannya kesitu, dan kamu dikeluarkanNya dengan kelahiran (baru)".(S. Nuh, ayat 15 s/d ayat I8). 

Berfirman Allah Ta'ala : "Tidaklah kamu perhatikan (air mani) yang kamu tumpahkan ? Kamukah yang menciptakan atau Kamilah yang menciptakan? Kami telah mnentukan kematian kepada kamu dan Kami tiada dapat dikalahkan. Untuk menukar rupa kamu dan menjadikan kamu dalam (rupa) yang tiada kamu ketahui. Dan kamu sudah tentu telah mengetahui kejadian yang pertama. Mengapa kamu tidak mengambil perhatian? Adakah kamu perhatikan apa yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkan? Dan kalau Kami mau, ia Kami jadikan menjadi kering dan hancur, kamu tercengang karenanya. (Mengatakan) : Sesungguhnya kami telah dibebani dengan hutang. Tetapi kami tiada memperoleh hasil (dari pekerjaan kami). Adakah kamu perhatikan air yang kamu minum-? Kamukah yang rnenurunkannya dari awan ata.u Kamikah yang menurunkannya? Kalau Kami mau, ia Kami jadikan menjadi asin. Mengapakah kamu tiada berterima kasih? Adakah kamu perhatikan api yang kamu nyalakan? Kamukah yang menumbuhkan kayu untuk menyalakannya atau Kamikah yang menumbuhkannya? Itu Kami jadikan untuk pengajaran dan kesenangan bagi musyafir di gunung pasir(S. Al-Waqi'ah, ayat 58 s/d 73). 

Maka tidaklah tersembunyi, kepada orang yang ada padanya sedikit sentuhan akal, apabila memperhatikan dengan pikiran yang sederhana saja akan kandungan ayat-ayat di atas tadi. Dan menolehkan arah pandangannya kepada segala keaja'iban makhluk Allah di bumi dan di langit, kecantikan kejadian hewan dan tumbuh — tumbuhan. Bahwa keadaan yang amat mena'jubkan itu dan susunannya yang kokoh kuat, tidaklah ia terlepas daripada Pencipta yang mengaturnya, dari Pembuat yang mengokohkan dan yang mentaqdirkannya Bahkan hampirlah kiranya fithrah (kejadian diri yang suci bersih) dari jiwa sendiri, mengakui bahwa semuanya itu di dalam keadaan ADA yang menentukan dibawah pengaruhNya dan yang menentukan arah, dengan kehendak pimpinanNya.

 Dari itu, berfirman Allah Ta'ala :

أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
(Afillaahi syak kun faath iris-sam aawaati wa!-ardli).

Artinya :"Apakah kamu ragu-ragu tentang Tuhan, Pencipta langit dan bumi ?". (S. Ibrahim, ayat 10)."


Maka karena itulah diutus nabi-nabi rahmat Allah kepada mereka untuk memanggil ummat kepada tauhid, supaya mengucapkan "Laa ilaaha illallaah" (Tidak ada yang disembah selain Allah). Dan tidak disuruh mengucapkan : "Kami mempunyai Tuhan dan alam pun mempunyai Tuhan". Cara yang demikian itu adalah merupakan paksaan di dalam fithrah kejadian akal manusia, dari permulaan pertumbuhan mereka dan masa perkembangan kepemudaannya. Dari itu berfirman Allah Ta'ala kepada kita :

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

(Wa la-in sa-altahum man khalaqas-sam aawaati wal-ardla layaquu-lunnallaah)

Artinya :"Kalau engkau menanyakan kepada mereka, siapakah yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka akan menjawab: 'Allah ".(S. Luqman, ayat 25).

Dan berfirman Allah Ta'ala :

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

(Fa-aqim wajhaka liddiini haniifan fithratallaahillatii fatharannaasa 'alaihaa laa tabdiila likhalqillaahi dzaalikaddiinul qayyimu).

Artinya :"Hadapkanlah muka engkau dengan betul kepada agama, ciptaan Tuhan, yang dijadikanNya manusia sesuai dengan agama itu. Tiada pertukaran bagi ciptaan Tuhan itu. Itulah agama yang betul!".(S. Ar-Rum, ayat 30).

Jadi, di dalam fithrah kejadian manusia itu dan dalil-dalil yang ditunjukan Al-Qur'an, sudah lebih dari cukup daripada menegakkan dalil-dalil lain. Tetapi untuk lebih jelas dan karena mengikuti jejak ulama-ulama yang berpandangan jauh, maka kami mengatakan bahwa dari permulaan dalil itu, ialah :akaI Karena yang baharu (haadits) itu, tak dapat tidak pada kejadiannya, dengan ADA SEBAB yang menjadikannya.

Bahwa alam itu baharu, maka tak boleh tidak pada kejadiannya dari SEBAB itu. Adapun kata kita bahwa yang baharu itu tak boleh tidak pada kejadiannya daripada SEBAB, maka itu adalah jelas. Karena tiap-tiap yang baharu ditentukan adanya dengan waktu, yang mana menurut akal, waktu itu boleh jadi terdahulu dan boleh jadi terkemudian. 

Maka untuk menentukan waktu itu, tidak terdahulu dan tidak terkemudian daripada jangkanya, sudah pasti memerlukan kepada YANG MENENTUKAN (Mukhashshish).

Adapun kata kita : alam itu baharu, maka dalilnya ialah, bahwa tubuh (jisim) alam itu, tidak terlepas daripada gerak dan diam. Gerak dan diam itu adalah baharu. Tiap-tiap sesuatu yang tidak terlepas dari sifat-sifat baharu adalah baharu.

Di dalam pembuktian ini, terdapat tiga dakwaan :

Dakwaan Pertama : kata kita bahwa jisim-jisim itu tidak terlepas dari gerak dan diam. Dan ini dapat dipahami dengan jelas dan mudah Maka tidaklah memerlukan kepada penelitian dan pemikiran. Sebab orang yang berpikir bahwa jisim itu tidak tetap dan diam, adalah orang itu berjalan di atas jembatan kebodohan dan menderita penyakit pikiran.

Dakwaan Kedua : kata kita bahwa. gerak dan diam itu adalah baharu. Hal ini ditunjukan oleh ganti berganti diantara keduanya. Adanya yang satu sesudahnya yang lain. Dan itu dapat dipersaksikan pada sekalian jisim, baik yang sudah dilihat ataupun yang belum dilihat. Tidak ada satupun dari yang tetap. Melainkan menurut akal dia boleh tetap. Maka yang datang dari gerak dan tetap itu adalah baharu karena datangnya. Dan yang dahulu itu baharu karena tidak adanya. Sebab, kalau dia itu qidam (qadim), niscaya mustahil dia tidak ada, sebagaimana akan datang keterangannya dan dalilnya pada menetapkan kekalnya PENCIPTA yang Maha Tinggi dan Maha Suci.

Dakwaan Ketiga : kata kita bahwa apa yang tidak terlepas daripada sifat-sifat baharu, adalah baharu. Dalilnya ialah jikalau tidaklah demikian, maka sesungguhnya telah ada sebelum tiap-tiap yang baharu itu, yang baharu-baharu (hawadits), yang tak berpermulaan baginya.


Dan kalau tidaklah berlalu hawadits itu, dengan keseluruhannya niscaya tidak berkesudahanlah pergantian kepada adanya yang baharu ada sekarang. Dan berlalunya apa yang tiada berkesudahan itu, mustahil.

Karena sesungguhnya, jikalau adalah bagi cakrawala itu perputaran yang tiada berkesudahan, maka tidak tersembunyilah bilangannya itu, dari genap atau ganjil atau genap dan ganjil kedua-duanya. Atau tidak genap dan tidak ganjil. Dan mustahillah adanya genap dan ganjil kedua-duanya atau tidak genap dan tidak ganjil. Sebab yang demikian adalah mengumpulkan diantara nafi (tidak) dan itsbat (ada). Karena pada meitsbatkan yang satu, adalah menafikan yang lain. Dan mustahil adanya genap saja, karena genap itu akan menjadi ganjil dengan bertambah satu. Maka bagaimanakah yang satu itu memerlukan kepada yang tidak berkesudahan? Dan mustahil pula adanya ganjil saja, karena ganjil itu akan menjadi genap dengan bertambah satu. Maka bagaimanakah yang satu itu memerlukan kepadanya, sedang dia tidak berkesudahan bilangannya? 

Dan mustahil pula bahwa adanya tidak genap dan tidak ganjil, karena dia berkesudahan.

Maka kesimpulannya dari itu semuanya, bahwa alam tidak terlepas dari sifat-sifat baharu. Maka adalah ia baharu. Dan apabila telah benar baharunya, maka dia memerlukan kepada yang membaharu-kannya (muhdits), yang dapat diketahui dengan mudah.

Pokok Kedua : mengetahui bahwa Allah Ta'ala itu qadim, senantiasa, azali, tak ada bagi wujudNya permulaan. Tetapi Dialah permulaan tiap-tiap sesuatu dan sebelum ada sesuatu yang mati dan yang hidup.
Dalilnya : jikalau adalah Dia itu baharu, tidak qadim, maka Dia memerlukan pula kepada muhdits (yang membaharukan). Yang muhdits itu memerlukan kepada muhdits lagi, lalu tali-bertalilah demikian, sampai kepada yang tak berpenghabisan. Dan yang tali bertali itu tidak membawa hasil atau berkesudahan kepada muhdits yang qadim, yaitu yang pertama. Dan inilah sebenarnya yang dicari yang kita namakan : Pencipta alam, Pembuat, Penjadi dan Khaliqnya.

Pokok Ketiga : Mengetahui bahwa Allah Ta'ala serta adaNya azali abadi, tak adalah bagi wujudNya berakhir (berkesudahan). Dialah yang awal, yang akhir, yang dhahir dan yang bathin. Karena manakala telah benar qidamNya, maka mustahillah tiadaNya (adamNya). Dalilnya : jikalau Allah Ta'ala itu menghadapi ketiadaan, maka adalah Dia tidak terlepas, adakalanya ketiadaanNya itu dengan sendiriNya atau dengan sesuatu yang meniadakanNya yang melawani Dia. 

Jikalau boleh akan tiadanya sesuatu dengan sendirinya yang tergambar kekalnya, niscaya boleh akan didapati sesuatu dengan sendirinya yang tergambar tak adanya. Maka sebagaimana kedatangan wujud memerlukan kepada sebab, maka demikian pula kedatangan adam (lawan wujud), memerlukan kepada sebab. Dan batil, bahwa dia menerima adam oleh yang mengadamkannya, yang melawanani dia. Karena yang mengadamkannya itu, jikalau ia qadim, maka tidak tergambarlah wujud besertanya.

Dengan dua pokok yang dahulu itu telah nyata wujud Allah dan qadimNya. Maka bagaimanakah ada wujudNya pada qadim dan besertanya ada Iawannya?.

Jikalau lawan yang mengAdamkannya itu baharu, maka adalah mustahil. Sebab tiadalah yang baharu dalam perlawanannya kepada yang qadim sampai dapat memutuskan wujudnya itu, lebih utama daripada yang qadim sendiri, dalam perlawanannya kepada yang baharu. Sehingga dapatlah ia mempertahankan wujudnya. Bahkan mempertahankan wujud itu adalah lebih mudah daripada memutus-kannya. Dan yang qadim adalah lebih kuat dan lebih utama dari yang baharu (haadits).

Pokok Keempat : mengetahui bahwa tiadalah Allah Ta'ala itu jauhar yang terbatas di suatu tempat. Tetapi maha-suci dan maha-quduslah Dia daripada kesesuaian tempat itu. Dalilnya : bahwa tiap-tiap jauhar itu mengambil tempat, maka tertentulah dia dengan tempat itu. Dan tidak terlepas daripada adanya menetap pada tempat itu atau bergerak daripadanya. Maka tidak terlepaslah dia dari gerak dan diam, yang mana keduanya itu adalah baharu. Dan apa yang tidak terlepas dari yang baharu, adalah baharu.

Jikalau tergambarlah jauhar yang bertempat itu, qadim, maka dapatlah diterima akal akan qadimnya jauhar-jauhar alam ini. Jikalau seseorang menamakan sesuatu jauhar dan tidak bermaksud dengan jauhar itu mengambil tempat, maka adalah ia bersalah dari segi kata-kata. Tidak dari segi arti. 

Pokok Kelima : mengetahui bahwa Allah Ta'ala tidaklah bertubuh (berjisim) yang tersusun daripada jauhar-jauhar. Karena jisim adalah ibarat dari susunan jauhar-jauhar. Apabila batillah adaNya itu jauhar yang tertentu dengan sesuatu tempat, maka batil pulalah adaNya itu jisim. Sebab tiap-tiap jisim, tertentu dengan tempat dan tersusun dari jauhar. Maka jauhar adalah mustahil terlepasnya dari bercerai dan berkumpul, bergerak dan diam, berkeadaan dan berbatas. 

Semuanya itu, adalah tanda-tanda dari yang baharu. Kalau bolehlah dii'tiqadkan bahwa pencipta alam itu jisim, maka boleh pulalah dii'tiqadkan ketuhanan matahari, bulan ataupun yang lain dari bahagian-bahagian yang berjisim. Kalau adalah orang yang berani menamakan Allah Ta'ala itu jisim, tanpa ada maksud tersusun dari jauhar-jauhar, maka adalah itu salah dalam menamakan dan benar dalam meniadakan pengertian jisim.
Pokok Keenam : mengetahui bahwa Allah Ta'ala tidaklah 'aradl (sifat) yang berdiri pada jisim atau bertempat pada sesuatu tempat. Karena aradl ialah apa yang bertempat pada jisim. Maka tiap-tiap jisim -tiada jalan lain- adalah baharu, di mana muhditsnya (yang menjadikannya) telah ada sebelumnya. Maka bagaimanakah adaNya bertempat pada jisim, sedang Dia sudah maujud pada azali sendiriNya, tak ada sertaNya yang lain? Kemudian Dialah yang menjadikan jisim-jisim dan aradl-aradl? Dan karena Dialah yang tahu, yang berkuasa, yang berkehendak dan yang menjadikan sebagaimana akan datang keterangannya.

Sifat-sifat tersebut (sifat-sifat tahu, kuasa, berkehendak dan menjadikan) adalah mustahil pada aradl. Bahkan tak diterima oleh akal, kecuali pada yang Maujud yang berdiri dengan sendiriNya, yang bebas dengan dzatNya.Dari pokok-pokok(perkara) yang tersebut di atas, mungkinlah berhasil pemahaman bahwa Allah itu maujud, berdiri dengan sendiriNya , tidak Dia jauhar, jisim dan aradl. Dan alam seluruhnya adalah jauhar, ardal dan jisim. Jadi, tidaklah Allah Ta'ala menyerupai sesuatu dan tidaklah sesuatu menyerupai Allah Ta'ala. Tetapi adalah Dia yang hidup, yang berdiri, yang tidak sepertiNya sesuatu. Betapakah kiranya makhluk itu menyerupai dengan Khaliqnya, yang ditaqdir dengan Yang Mentaqdirkannya dan yang dibentuk dengan Yang Membentukkannya ? Segala jisim dan 'aradl itu seluruhnya adalah dijadikan dan dicipta-kan oleh Allah Ta'ala. Maka mustahillah menetapkan persamaan dan penyerupaan dengan Dia.'. 

Pokok Ketujuh : mengetahui bahwa Allah Ta'ala maha suci dzatNya dari ketentuan dengan arah. Arah itu adakalanya di atas atau di bawah, di kanan atau di kiri, di muka atau di belakang.

Arah-arah ini, dijadikan dan didatangkan oleh Allah dengan perantaraan fwasithah) kejadian manusia. Karena dijadikanNya bagi manusia itu dua tepi. Yang satu berpegang kepada bumi dan dinamakan kaki. Dan yang satu lagi berhadapan dengan bumi dan dinamakan kepala. Maka datanglah nama atas bagi yang mengiringi arah kepala dan nama bawah bagi yang mengiringi arah kaki. Sehingga seekor semut yang berjalan terbalik di bawah loteng, maka terba-liklah arah atas baginya, menjadi arah bawah. meskipun bagi kita itu arah atas namanya.

Dijadikan oleh Allah bagi manusia dua tangan, yang satu biasanya lebih kuat dari yang lain. Maka datanglah nama kanan untuk yang lebih kuat dan nama kiri untuk Iawannya. Dan dinamakan arah yang mengiringi tangan kanan tadi, kanan dan yang mengiringi satu lagi kiri.

Dijadikan oleh Allah bagi manusia dua pinggir, di mana manusia itu melihat dari salah satu keduanya dan bergerak kepadanya. Maka timbullah nama hadapan (muka) untuk arah, di mana dia tampil bergerak kepadanya dan nama belakang untuk Iawannya. Segala arah ini adalah baharu, datang dengan datangnya manusia. Jikalau tidaklah manusia dijadikan dengan bentuk yang ada ini, tetapi dijadikan bundar seperti bola, maka tak adalah sekali-kali arah-arah itu. Maka bagaimanakah wujud Allah itu pada azali ditentukan dengan arah, sedang arah itu adalah baharu? Atau bagaimanakah terjadinya penentuan Tuhan dengan arah sesudah tak ada bagiNya yang demikian? Apakah caranya dengan : Allah menjadikan alam di atas-Nya? Maha Sucilah Allah daripada atas bagiNya? Karena Maha-Sucilah Dia dari mempunyai kepala. Dan atas adalah ibarat dari apa yang ada dijurusan kepala. Atau dengan : Allah menjadikan alam di bawahNya? Maha-sucilah Allah dari ada bawah bagiNya! Karena Maha-Sucilah Dia dari mempunyai kaki. Dan bawah adalah ibarat dari apa yang mengiringi jurusan kaki.

Semuanya itu termasuk diantara yang mustahil pada akal. Dan karena yang diterima akal dari adanya tertentu dengan arah, bahwa dia itu ditentukan dengan tempat ketentuan jauhar atau ditentukan dengan jauhar sebagai ketentuan 'aradl. Dan telah teranglah mustahil wujudnya Allah itu jauhar atau 'aradl. Dari itu maka mustahil pulalah wujudNya itu ditentukan dengan arah.Kalau dimaksudkan dengan arah selain dari dua pengertian itu, maka adalah salah pada nama serta menolong kepada pengertian.

Dan karena kalau adalah Allah di atas alam, berarti adalah Dia setentang dengan alam. Dan tiap-tiap yang setentang bagi jisim, maka adakalanya, sama dengan jisim itu atau lebih kecil atau lebih besar daripadanya.Semua itu adalah taksiran yang memerlukan tentunya kepada penaksir. Maha-Sucilah dari yang demikian itu Al-Khaliq Yang Maha Esa lagi Maha Pengatur. 

Mengenai pengangkatan kedua tangan ketika berdo'a kepada Allah ke arah langit, adalah karena langit itu qiblat do'a. Dan dengan itu juga menjadi isyarat kepada sifat Allah dengan kebesaran dan keagungan, sebagai pemberitahuan dengan maksud ke arah tinggi di atas sifat kemuliaan dan ketinggian. Sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Tinggi di atas tiap-tiap yang maujud dengan keperkasaan dan kekuasaan.

Pokok Kedelapan : mengetahui bahwa Allah Ta'ala ber-istiwa' di atas 'ArasyNya, dengan arti yang dikehendaki oleh Allah dengan istiwa' itu. Yaitu yang tiada berlawanan dengan sifat keagunganNya. Dan tiada tersentuh kepadaNya tanda-tanda kebaharuan dan kefanaan (kelenyapan). 

Inilah yang dimaksud dengan istiwa' ke langit, di mana Allah Ta'ala berfirman di dalam Al-Qur'an :

ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ

(Tsummas-tawaa ilas samaa-i wa hiya dukhaan),

Artinya :"Kemudian itu Dia beristiwa' ke langit, ketika itu berupa asap" (S. Alfushilat, ayat 11).Dan tidaklah demikian itu, selain dengan jalan menguasai dan memerintah, seperti kata seorang penyair :

"Telah beristiwa'lah manusia itu di Irak, tanpa pedang dan darah tertumpah............. 

Ahli kebenaran (ahlul-haq) memerlukan kepada penta'wilan ini, sebagaimana ahli kebathinan (ahlul-bathin) memerlukan kepada penta'wilan firman Allah : "Wa huwa ma'akum ainamaa kuntum". (Dia serta kamu di mana saja kamu berada). Karena dengan sepakat firman tersebut diartikan dengan meliputinya ilmu Allah dan pengetahuanNya.

Begitu pula sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :

"Hati mu'min itu diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih diartikan kepada qudrah dan perkasanya Tuhan.
Dan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : :

 "Batu hitam itu (Al-Hajrul-aswad) adalah tangan kanan Allah di bumiNya diartikan kepada kemuliaan dan keagungan Al-Hajrul-aswad. Karena kalau dibiarkan atas dhahirnya niscaya mestilah timbul kemustahilan. 

Maka demikian pulalah istiwa Kalau dibiarkan artinya kepada menetap dan bertempat, maka tentulah yang bertempat itu jisim, yang bersentuh dengan 'Arasy. Adakalanya seperti 'Arasy atau lebih besar atau lebih kecil daripadanya. Yang demikian itu adalah mustahil. Dan tiap-tiap yang membawa kepada mustahil adalah mustahil.

Pokok Kesembilan : mengetahui bahwa Allah Ta'ala serta keadaan-Nya maha-suci daripada bentuk dan batas, maha-qudus daripada arah dan penjuru, Ia melihat dengan mata-kepala dan mata-hati di negeri akhirat negeri ketetapan, karena firmanNya :

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ

إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

 (Wujuuhun yauma-idzin naadliratun, ilaa rabbihaa naadhirah).

Artinya : "Beberapa muka di hari itu bercahaya. Melihat kepada Tuhannya (S. Al-Qiyamah, ayat 22-23).

Dan IA tidak dilihat di dunia karena membenarkan firmanNya 'Azza wa Jalla :

لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأبْصَارَ

(Laa tudrikuhul abshaaru wa huwa yudrikul abshaar).

Artinya :"Penglihatan tidak sampai (mencapai) kepadaNya, tetapi Dia mengetahui segala penglihatan (S. AI-An'am, ayat 103). 

Dan karena firmanNya yang ditujukan kepada Nabi Musa as. :

(Lan taraanii). = لَنْ تَرَانِي

Artinya :"Engkau tidak akan dapat melihat Aku". (S. Al-A'raaf, ayat 143). 
Wahai, bagaimanakah orang Mu'tazilah itu mengenal sifat Tuhan seru sekalian alam yang tidak dapat diketahui oleh Musa as.?Dan bagaimana Musa as. menanyakan ru'yah (melihat) Tuhan, sedang ru'yah itu mustahil?

Semoga kebodohan ahli-ahli bid'ah dan hawa nafsu dari orang-orang yang bodoh dungu itu, adalah lebih utama daripada kejahilan nabi-nabi as.

Adapun cara melakukan ayat ru'yah tadi secara dhahirnya, maka itu tidaklah membawa kepada kemustahilan. Karena ru'yah adalah semacam kasyaf dan ilmu, tetapi lebih sempurna dan lebih jelas daripada ilmu. Maka apabila boleh penghubungan ilmu kepada-Nya dan IA tidak pada sesuatu arah, maka boleh pulalah penghubungan ru'yah kepadaNya dan IA tidak dengan perantaraan arah.

Sebagaimana jaiz (boleh) Allah melihat makhlukNya dan tidak di dalam keadaan berhadapan dengan mereka, maka boleh pulalah Dia dilihat oleh makhlukNya tanpa berhadapan. Sebagaimana boleh Dia diketahui tanpa berkeadaan (berkaifiah) dan berbentuk, maka boleh pulalah Dia dilihat seperti itu.

Pokok Ke sepuluh : mengetahui bahwa Allah Ta'ala Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, tunggal, tiada teman bagiNya, sendirian dengan menjadikan dan mencipta dan maha-kuasa Dia menjadikan dan mengadakan, tiada yang sepertiNya untuk membagi-bagi dan me-nyamaiNya, tiada lawan bagiNya untuk bertengkar dan bermusuhan.

Dalilnya firman Allah Ta'ala :

لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا

(Lau kaana fiihimaa aalihatun illallaahu lafasadataa).Artinya :"Kalau kiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain dari Allah, sudah tentu ke duanya menjadi rusak binasa (S. Al-Anbia, ayat 22),

Keterangannya : jikalau tuhan itu dua dan salah satu daripada ke duanya menghendaki sesuatu, maka tuhan yang ke dua jika diperlukan kepada pertolongannya, niscaya adalah tuhan yang ke dua ini menjadi terpaksa, yang tidak berdaya. Dan tidaklah dia sebagai tuhan yang berkuasa penuh. Jika dia berkuasa membantah dan menolak, maka adalah tuhan yang ke dua ini kuat lagi gagah perkasa. Dan tuhan yang pertama itu lemah tak berdaya dan tidaklah dia tuhan yang berkuasa.

     1.    RUKUN KEDUA: mengetahui sifat-sifat Allah.

Dan berkisar kepada sepuluh pokok.

Pokok Pertama : mengetahui bahwa yang menciptakan alam ini adalah Maha Kuasa. Bahwa Allah Maha Besar dengan firmanNya :

وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

(Wa huwa "alaa kulli syai-in qadiir).

Artinya :"Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu (S. Al-Maidah, ayat 120).

Karena alam ini kokoh di dalam pembuatannya, teratur di dalam kejadiannya.

Barangsiapa melihat sehelai kain sutera yang baik tenunan dan susunannya, teratur bunga dan pinggirnya, lalu menyangka bahwa tenunan itu datangnya dari orang mati yang tidak bertenaga atau dari seorang manusia yang tak berdaya, maka orang yang melihat tadi adalah telah tercabut dari sifat berakal dan telah terjerumus ke dalam rantai kebodohan dan kedunguan.

Kalau kiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain dari Allah, sudah tentu ke duanya menjadi rusak binasa

Pokok Kedua : mengetahui bahwa Allah Ta'ala Maha Tahusegala yang maujud (yang ada), meliputi ilmuNya dengan segala makhluk. Tidak luput dari ilmuNya seberat biji sawipun, baik di bumi atau di langit.

Maha benarlah Allah dengan firmanNya :

وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

(Wa huwa bikulli syai-in 'aliim).

Artinya :"Dan Dia Maha Tahu atas segala sesuatu ". (S. Al-Baqarah, ayat 29).

Dan ditunjukkan kepada kebenaranNya oleh firmanNya :

أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
(Alaa ya'lamu man khalaqa wa huwallathiiful khabiir).

Artinya :"Tidakkah Tuhan itu mengetahui apa yang diciptakanNya? Dan Dia mengenal hal yang halus-halus dan cukup mengerti".(S. Al-Mulk, ayat 14).

Tuhan memberi petunjuk kepada kita, kepada membuat dalil dengan makhlukNya, dengan mengetahui bahwa kita tidak menaruh keraguan, tentang mendalilkan makhluk yang halus dan kejadian yang dihiasi dengan teratur itu, walau pada benda yang hina lemah sekalipun untuk membuktikan atas maha-tahu Penciptanya cara menyusun dan mengatur.Maka apa yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala itu adalah petunjuk dan pengenal yang amat mendalam.

Pokok Ketiga : mengetahui bahwa Allah Ta'ala itu hidup. Barangsiapa ada ilmunya dan tenaganya, tentu saja ada hidupnya.Jikalau tergambarlah seorang yang bertenaga, berilmu, berbuat dan pengatur tanpa ada ia hidup, maka bolehlah diragukan mengenai hidupnya hewan-hewan, ketika ia bulak-balik bergerak dan berdiam diri. Bahkan mengenai hidupnya ahli-ahli tehnik dan perusahaan.

Hal yang seperti itu adalah membenamkan diri ke dalam lembah kebodohan dan kesesatan.

Pokok Keempat : mengetahui bahwa Allah Ta'ala berkehendak (beriradah) bagi segala af'alNya. Maka tak adalah yang maujud melainkan bersandar kepada kehendakNya dan datang dari iradahNya. Dialah yang menjadikan dan mengembalikan, yang berbuat sekehendakNya.

Bagaimanakah Dia tak ada berkehendak? Tiap-tiap perbuatan yang datang daripadaNya, mungkin bahwa datang Iawannya. Dan yang tak ada Iawannya, maka mungkin datang itu sendiri sebelumnya atau sesudahnya. Dan qudrah itu adalah bersesuaian bagi dua yang berlawanan dan bagi dua waktu sebagai suatu kesesuaian. Maka tak boleh tidak daripada iradah untuk menentukan qudrah itu kepada salah satu daripada dua yang akan dihubungi qudrah tadi.

Kalau mencukupi ilmu saja tanpa iradah, untuk menentukan sesuatu yang diketahui (al-ma'lum), sehingga dikatakan bahwa perbuatan itu diperoleh pada waktu yang mendahului ilmu dengan wujudnya, maka sesungguhnya boleh pula mencukupi tanpa qudrah. Sehingga dikatakan bahwa perbuatan itu diperoleh tanpa qudrah, karena telah mendahului ilmu dengan wujudnya.

Pokok Kelima : mengetahui bahwa Allah Ta'ala maha mendengar, melihat, tidak luput daripada penglihatanNya segala yang terlintas di dalam hati, sangka dan pikiran yang tersembunyi. Dan tidak jauh daripada pendengaranNya bunyi langkah semut hitam di dalam malam yang gelap, di atas batu yang hitam pekat.

Betapakah Ia tidak mendengar, lagi melihat, sedang mendengar dan melihat itu tak ada tempat untuk dibantah adalah kesempurnaan dan bukan kekurangan? Maka bagaimanakah makhluk itu berada lebih sempuma daripada Khaliq? Yang dibuat itu lebih tinggi dan lebih sempuma daripada Yang Membuat? Bagaimanakah lurusnya pembagian, manakala kekurangan ada pada Tuhan dan kesempurnaan ada pada makhluk dan pada perbuatanNya? Atau bagaimanakah lurusnya keterangan Ibrahim as. menghadapi ayahnya karena ayahnya itu menyembah berhala karena kebodohan dan kedunguan? Lalu bersabdalah Ibrahim as. kepadanya :

يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لا يَسْمَعُ وَلا يُبْصِرُ وَلا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا

(Yaa-abati lima ta'budu maa laa yasma'u wa laa yubshiru wa laa yughnii 'anka syai-aa).

Artinya :"Hai bapaku Mengapa engkau sembah barang yang tidak mendengar, tidak melihat dan tiada memberikan pertolongan kepada engkau barang sedikitpun (S. Maryam, ayat 42).

Jikalau terbaliklah yang demikian itu, kepada Dzat yang disembah Ibrahim, maka sesungguhnya keterangannya menjadi hancur dan dalilnya, menjadi gugur. Dan menjadi tidak benarlah firman Allah Ta'ala :

وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ
(Wa tilka hujjatunaa aatainaahaa lbraahiima 'alaa qaumih).

Artinya :"Dan itulah alasan-alasan yang Kami berikan kepada Ibrahim menghadapi kaumnya (S. Al-An'aam, ayat 83).


Sebagaimana dipahami dengan akal, bahwa Allah Ta'ala berbuat tanpa anggota, mengetahui tanpa hati dan otak, maka hendaklah dipahami pula bahwa Allah Ta'ala melihat tanpa biji mata dan mendengar tanpa telinga. Karena tak adalah perbedaan diantara ke duanya.

Pokok Keenam : bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berkata-kata (mutakallim) dengan kata-kata. Yaitu suatu sifat yang berdiri pada DzatNya, tidak dengan suara dan huruf. Bahkan tiada serupa kalam (kata-kata) Allah dengan kata-kata lainNya, sebagaimana tidak serupa wujudNya dengan wujud lainNya.

Kata yang sebenarnya ialah kata hati. Suara itu ialah yang mengeluarkan huruf-huruf untuk menunjukkan kepada yang dimaksud, sebagaimana ditunjukkan kepadanya sekali dengan gerak dan isya-rah, Bagaimanakah maka ini sampai meragukan kepada segolongan orang yang bodoh. Dan tidak meragukan kepada penyair-penyair yang bodoh, dimana telah bermadah seorang diantara mereka yang mengatakan ;

"Sungguhlah kata-kata itu di dalam hati,
dan memang lidah dijadikan...................
untuk menunjukkan..............................
apa yang ada di dalam hati..................


Orang yang tidak diikat oleh akalnya dan tidak dilarang oleh otaknya daripada mengatakan : " Lidah ku itu baharu, tetapi apa yang datang padanya dengan qudrahku yang baharu itu adalah qadim", maka putuskanlah harapanmu mengenai akalnya. Dan cegahkanlah lidahmu daripada berhadapan dengan dia.

Orang yang tiada dapat memahami bahwa qadim itu adalah ibarat daripada apa yang belum ada sebelumnya sesuatu dan bahwa بَ ba adalah sebelum س sin dalam bacaan kita "Bismillah", maka tidak adalah س sin yang terkemudian daripada بَ ba itu qadim. Maka bersih-kanlah hatimu daripada menoleh kepadanya..............!!!.

Allah Subhaanahu wa Ta'ala mempunyai sirr (rahasia) pada menjauhkan sebahagian daripada hambaNya —"Dan barangsiapa disesatkan oleh Allah maka tak ada yang memberi petunjuk kepadanya"—. Barangsiapa merasa sangsi bahwa Musa as. mendengar di dunia ini kalam yang tidak dengan suara dan huruf, maka tentulah ia menentang akan melihat di akhirat Yang Maujud, yang tidak dengan jisim dan warna.

Dan kalau diterima oleh akalnya bahwa ia akan melihat apa yang tiada dengan warna, jisim, batas dan ukuran, sedang ia sampai sekarang belum melihatnya, maka hendaklah ia berpikir mengenai pancaindra pendengaran akan apa yang dapat dipikirkannya mengenai pancaindra penglihatan itu.

Jika dapat dipikirkannya bahwa bagi Allah satu 'ilmun (pengetahuan yang satu), yaitu mengetahui segala yang ada (maujudat), maka hendaklah dipikirkannya akan suatu sifat bagi Dzat yaitu kalam (sifat berkata-kata), dengan segala apa yang ditunjukkan oleh semua penuturan kepadanya.

Jika dapatlah ia berpikir akan keadaan langit yang tujuh, keadaan sorga dan neraka yang tertulis pada selembar kertas yang kecil dan terhafal di dalam suatu batas yang halus daripada hati dan bahwa semuanya itu dapat terlihat di dalam batas biji mata hitam, tanpa bertempat semua langit itu, bumi, sorga dan neraka di dalam mata hitam, hati dan kertas, maka hendaklah ia berpikir keadaan kalam itu yang dibaca dengan lisan, dihafal di dalam hati dan tertulis di dalam mas-haf, tanpa bertempat dzat kalam di dalamnya. Karena jikalau bertempatlah pada kitab Allah dzat kalam di atas kertas, niscaya bertempatlah Dzat Allah dengan menuliskan namaNya pada kertas. Dan bertempatlah dzat api neraka dengan menuliskan na-manya pada kertas dan terbakarlah kertas itu.

Pokok Ketujuh : bahwa kalam yang berdiri dengan sendirinya itu qadim dan begitu pula sekalian sifat Allah. Karena mustahUlah bahwa ada Dia itu tempat bagi segala yang baharu, yang masuk di bawah pengaruh perobahan. Tetapi wajiblah bagi sekalian sifat dari sifat-sifat qadim akan apa yang wajib bagi dzat. Maka tidaklah di datangi oleh perobahan dan tidaklah ditempati oleh segala yang haadits (yang baharu). Tetapi senantiasalah pada qidamNya, bersifat dengan segala sifat yang terpuji dan tetaplah di dalam keabadianNya, seperti itu, maha-suci dari segala perobahan keadaan. Karena sesuatu yang menjadi tempat bagi segala yang baharu, maka tidaklah dia itu terpisah daripada yang baharu. Dan sesuatu yang tidak terpisah daripada segala yang baharu, maka adalah dia itu baharu. Dan sesungguhnya tetaplah sifat baharu itu bagi jisim, di mana dia didatangi perobahan dan pertukaran bagi sifat-sifatnya.

Maka bagaimanakah Khaliq itu bersekutu dengan segala yang baharu dalam menerima perobahan? Dan berdasarkan kepada ini, maka seyogialah bahwa kalam Allah itu qadim, berdiri dengan dzatNya. Dan yang baharu itu ialah suara-suara yang menunjukkan kepadanya.

Sebagaimana dipahami, tegaknya tuntutan dan kemauan belajar pada diri seorang ayah untuk anaknya, sebelum anak itu dilahirkan, sehingga apabila anak itu telah lahir dan berakal serta dijadikan oleh Allah baginya ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan apa yang ada di dalam hati ayahnya dahulu, dari tuntutan belajar, niscaya menjadi suruhan dengan tuntutan itu yang telah bangun pada diri sang ayah. Dan tetap adanya sampai kepada waktu anaknya mengenal akan hal itu. Maka hendaklah dipahami pula akan tegaknya tuntutan yang ditunjukkan kepadanya oleh firman Allah 'Azza wa Jalla :

إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى
Artinya : "Bukalah kedua terompahmu". (S. Thaha, ayat 12).


Dengan DzatNya dan jadinya Musa ditujukan dengan firman itu setelah adanya. Karena telah dijadikan kepada Musa ma'rifah dengan tuntutan itu dan didengamya untuk itu kalam qadim.

Pokok Kelapan : bahwa ilmu Allah itu qadim, maka senantiasalah Ia mengetahui dengan DzatNya, sifatNya dan apa yang terjadi dengan makhlukNya.

Manakala telah jadilah makhluk, maka tidak datanglah bagi Allah ilmu mengenai makhluk itu, tetapi hasillah segala makhluk itu terbuka bagiNya dengan ilmuNya yang azali. Karena jikalau dijadikan bagi kita pengetahuan untuk mengetahui dengan kedatangan si Zaid ketika terbit matahari dan berkekalan pengetahuan tadi— diumpamakan— sampai terbit matahari, maka sesungguhnya kedatangan si Zaid ketika terbit matahari itu menjadi pengetahuan bagi kita dengan pengetahuan itu tanpa pembaharuan pengetahuan yang lain. Maka begitu pulalah seyogianya dipahami akan qidam ilmu Allah Ta'ala.

Pokok Kcsembilan : bahwa iradah Allah itu qadim. Iradah itu pada qidamnya bersangkutan dengan menjadikan segala yang baharu pada waktunya yang layak, sesuai dengan kedahuluan ilmu Allah yang azali. Karena jikalau iradah itu baharu, niscaya jadilah Allah itu tempat bagi yang baharu. Dan jikalau terjadilah segala yang baharu daripada bukan dzatNya, niscaya tak adalah Dia yang beriradah padanya. Sebagaimana tidaklah engkau yang bergerak dengan sesuatu gerakan, yang tidak ada gerakan itu daripada diri engkau.

Sebagaimana dikatakan iradah itu baharu, maka berhajatlah kebaharuannya itu kepada iradah yang lain. Dan begitu pula iradah yang lain itu berhajat kepada iradah yang lain lagi. Dan tali bertalilah (tasalsul) hal itu kepada tiada berkesudahan.

Jikalau boleh Allah mendatangkan iradah dengan tanpa iradah maka boleh pulalah Ia mendatangkan alam dengan tanpa iradah.

Pokok Kesepuluh : bahwa Allah Ta'ala mengetahui dengan ilmun hidup dengan hayah berkuasa dengan qudrah, berkehendak dengan iradah, berkata-kata dengan kalam, mendengar sama' dan melihat dengan bashar.

Semua sifat ini bagi Allah Ta'ala adalah sifat-sifat yang qadim. Perkataan orang yang mengatakan : orang berilmu tanpa ilmu samalah seperti katanya orang kaya tanpa harta, ilmu tanpa orang yang berilmu dan orang berilmu tanpa ada yang diketahui. Sebab ilmu, yang diketahui (yang dimaklumi) dan yang berilmu ('alim) adalah bertaut satu sama lainnya, seperti pembunuhan, yang dibunuh dan pembunuh.

Sebagaimana tidak tergambar adanya pembunuh, tanpa ada pembunuhan dan yang dibunuh dan tidaklah tergambar adanya yang dibunuh, tanpa ada pembunuh dan pembunuhan, maka seperti itu pulalah tidak tergambar adanya orang yang berilmu tanpa ilmu, adanya ilmu tanpa ada yang dimaklumi dan adanya yang dimaklumi tanpa ada yang berilmu ('alim). Sebab yang tiga ini bertaut satu sama lainnya pada akal. Tidak terlepas sebahagian daripadanya daripada sebahagian yang lain.

Barangsiapa membolehkan terlepasnya orang berilmu daripada ilmu, maka hendaklah ia membolehkan terlepasnya daripada yang diketahuinya dan terlepasnya ilmu daripada yang mengetahuinya. Karena tak adalah perbedaan diantara sifat-sifat yang tersebut tadi. 


1 RUKUN KETIGA : Mengetahui dengan segala af'al Allah Ta'ala. Dan berkisar atas   
sepuluh   pokok.

Pokok Pertama : mengetahui bahwa tiap-tiap yang baharu pada 'alam adalah perbuatan (af'al) Allah, yang dijadikan dan yang diciptakanNya. Tak adalah khaliq bagi alam itu selain Dia. Tak adalah yang menjadikan makhluk, melainkan Dia. Dia yang menjadikan makhluk, yang membuatnya dan yang mengadakan qudrah dan gerak bagi makhluk itu.

Maka sekalian af'al hambaNya adalah makhlukNya dan bergantung dengan qudrahNya, hal mana dibenarkan yang demikian pada firmanNya :


اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ

(Allaahu khaaliqu kulli syai-in)

Artinya :"Allah itu pencipta segala sesuatu ". (S. Ar-Ra'd, ayat 16)!

Dan pada firmanNya :

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

(Wallaahu khalaqakum wa maa ta'maluun).
 Artinya :"Dan sesungguhnya Tuhanlah yang menjadikan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". (S. Ash-Shaffat, ayat 96).

Dan pada firmanNya :

وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

(Wa asirruu qaulakum awijharuu bihi, innahuu 'aliimun bidzaatish shuduuri. Alaa yaiamu man khalaqa wa huwallathiiful khabiir).Artinya :"Kamu rahasiakan perkataanmu atau kamu lahirkan dengan terang-terangan, sesungguhnya Tuhan itu mengetahui isi hati. Tiadakah Tuhan itu mengetahui apa yang diciptakanNya? Dan Dia Maha lemah-lembut dan Maha mengerti" (S,Al-Mulk, ayat 13 -14).

DisuruhNya hambaNya berhati-hati pada pembicaraan, perbuatan, rahasia dan isi hati. Karena Ia mengetahui tempat kedatangan segala perbuatan mereka. Dan Ia mengambil dalil atas pengetahuanNya dengan makhlukNya.


Bagaimanakah tidak Allah itu yang menjadikan perbuatan hambaNya, sedang qudrahNya adalah maha-sempurna, tak ada kekurangan padanya dan qudrah itu menyangkut dengan gerak tubuh hambaNya dan gerak-gerik itu adalah menyamai satu sama lain dan menyangkut qudrah dengan gerak-gerik itu adalah karena gerak-gerak itu sendiri? Maka apakah yang menghambat sangkutannya qudrah dari sebahagian gerak dan tidak pada sebahagian lagi, sedang gerak-gerak itu sama? Atau bagaimanakah hewan itu berkuasa penuh dengan menciptakan, dan muncul dari lawa-lawa, lebah dan hewari-hewan yang lain, perbuatan yang halus-halus yang mengherankan orang-orang yang berfikiran tinggi? Bagaimanakah hewan-hewan itu sendirian menciptakannya tanpa Tuhan seru sekalian alam? Padahal hewan-hewan itu tidak mengetahui secara terperinci apa yang timbul daripadanya dari usaha itu!

Wahai kiranya, hinalah segala makhluk itu! Dia sendirilah yang berkuasa di alam al-mulki dan di alam al-malakut, maha perkasa mengatur bumi dan langit.


Pokok Kedua : bahwa Allah sendirilah yang maha-suci, menjadikan segala gerak hambaNya, yang tidak dikeluarkannya gerak-gerak itu dari kekuasaan hambaNya sendiri atas jalan usaha. Tetapi Allah Ta'ala yang menjadikan qudrah hamba (kuasa) dan yang dikuasai-nya. Dialah yang menjadikan usaha (ikhtiar) dan yang diusahakan.

Adapun qudrah adalah sifat bagi hamba dan makhluk bagi Tuhan yang maha suci dan tidaklah qudrah itu dengan usaha hamba sendiri.

Adapun gerak maka adalah makhluk bagi Allah Ta'ala, sifat dan usaha bagi hamba. Gerak itu dijadikan, yang dikuasakan dengan sebab qudrah, di mana ia menjadi sifat bagi hamba. Gerak itu mempunyai hubungan kepada suatu sifat yang lain, yang dinamakan qudrah. Lalu gerak tadi dengan memandang kepada hubungan itu, dinamakan usaha.

Bagaimanakah gerak itu menjadi paksaan semata, padahal dengan mudah dapat diketahui akan perbedaan, diantara gerak yang diku-asai dan gerak mudah yang biasa? Atau bagaimanakah usaha itu dijadikan oleh hamba, padahal tidak meliputi ilmunya dengan segala perincian bahagian gerak-gerak yang diusahakan dan jumlah bilangannya?

Apabila batillah kedua tepi itu (paksaan semata atau dijadikan oleh hamba sendiri) maka tidak adalah yang tinggal, selain yang sederhana dalam kei'tiqadan. Yaitu bahwa gerak itu diqudrahkan dengan qudrah Allah Ta'ala sebagai ciptaan dan dengan qudrah hamba atas segi yang lain dari hubungan, yang disebut dengan usaha. Dan tidaklah dengan mudah dipahami, hubungan qudrah dengan yang diqudrahkan itu, bahwa adanya dengan ciptaan saja. Karena qudrah Allah Ta'ala pada azali telah ada berhubungan dengan alam. Dan tidaklah ciptaan itu berhasil dengan qudrah, di mana qudrah ketika ciptaan itu berhubungan dengan alam dalam macam hubungan yang lain. Maka dengan itu, nyatalah bahwa hubungan qudrah, tiadalah ditentukan dengan berhasilnya yang diqudrahkan dengan qudrah itu.


Pokok Ketiga : bahwa pekerjaan hamba meskipun itu adalah usaha hamba sendiri, tetapi tidaklah keluar dari adanya dengan kehendak Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Maka tidaklah berlaku dr alam nyata (alam al-mulki)dan alam yang tidak nyata (alam al-malakut), suatu kerlingan mata, suatu lintasan di hati dan sejenak pandangan orang yang memandang, melainkan adalah dengan qadha, qudrah, iradah dan kehendakNya. DaripadaNyalah yang buruk dan yang baik, yang bermanfa'at dan yang melarat, Islam dan kufur, mengakui dan mengingkari, kemenangan dan kerugian, kesesatan dan petunjuk, tha'at dan ma'siat, syirik dan iman. Tak ada yang menolak bagi qadhaNya. Tak ada yang menentang bagi hukumNya. Disesatkan-Nya akan siapa yang dikehendakiNya daun ditunjukiNya akan siapa yang dikehendakiNya. Tiadalah Dia ditanyakan daripada apa yang diperbuatNya, sedang mereka itu (kita manusia ini) ditanyakan.

Ditunjukkan kepada yang tersebut, dari dalil naqli (yang dinukilkan) ialah kata ummat seanteronya : "Apa yang dikehendakiNya ada dan apa yang tidak dikehendakiNya tidak ada". Dan firman Allah 'Azza wa Jalla :

أَنْ لَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَهَدَى النَّاسَ جَمِيعًا

(An lau yasyaaullaahu lahadan naasa jamii'aa).

Artinya :"Bahwa kalau Allah berkehendak, niscaya ditunjukiNya manusia seluruhnya". (S. Ar-Ra'd, ayat 31). 

Dan firmanNya :

وَلَوْ شِئْنَا لآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا

(Walau syi'-naa la-aatainaa kulla nafsin hudaahaa)

Artinya :" Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami berikan pimpinan yang benar kepada setiap diri " (S. As-Sajadah, ayat 13).

Ditunjukkan kepada yang tersebut, dari segi 'aqli (dalil akal) ialah, bahwa perbuatan ma'siat dan dosa adalah Allah membencinya dan tidak menghendakinya. Dan adalah perbuatan-perbuatan itu berlaku sesuai dengan kehendak musuh Iblis, yang telah kena kutukan Tuhan, di mana dianya adalah musuh Allah. Dan yang berlaku, sesuai dengan kehendak musuh adalah lebih banyak daripada yang berlaku atas yang sesuai dengan kehendak Allah Ta'ala.

Wahai kiranya!!, bagaimanakah seorang muslim membolehkan akan menolak kekuasaan Tuhan Yang Maha Perkasa, yang mempunyai keagungan dan kemuliaan, kepada derajat, di mana kalau sekiranya ditolakkan kepadanya pimpinan seorang pemimpin desa, niscaya tiada mau ia menerimanya! Karena jikalau yang tetap menjadi musuh bagi pemimpin itu di dalam kampung, lebih banyak daripada yang berdiri di belakangnya, maka yang banyak itu tidak mau menerima kepemimpinannya. Dan melepaskan dirinya daripada kekuasaannya.

Perbuatan ma'siat adalah yang lebih banyak bagi makhluk, Semuanya itu berlaku pada ahli-ahli bid'ah, menyalahi dengan iradah Allah. Ini adalah menunjukkan paling lemah dan tiada bertenaga. Maka maha-sucilah Tuhan seru sekalian alam dari perkataan orang dhalim itu!.Kemudian, manakala telah nyata bahwa perbuatan-perbuatan hamba itu adalah makhluk Allah, maka shahlah terjadinya perbuatan-perbuatan itu atas kehendakNya.

Jikalau orang bertanya :-"Bagaimanakah Tuhan melarang apa yang dikehendakiNya dan menyuruh apa yang tiada dikehendakiNya?".

Maka kami menjawab "Suruh (amar) adalah lain dari kehendak (iradah). Dari itu, apabila seorang tuan memukul hamba sahayanya, lalu dia dimarahi oleh sultan atas perbuatannya itu, maka ia mengemukakan alasan bahwa hamba sahayanya itu melawan kepadanya. Maka ia didustakan oleh sultan, lalu ia bermaksud menerangkan kebenaran alasannya, dengan menyuruh hamba sahaya itu dengan sesuatu pekerjaan dan budak itu melawannya dihadapan sultan. Maka berkatalah ia kepada budak itu : "Pasanglah pelana hewan itu dihadapan sultan",

Maka disuruhnya budak itu perbuatan yang tidak dikehendakinya supaya budak itu menurutinya. Kalau tidak disuruhnya maka ke-beratannya tidak diterima oleh sultan. Dan kalau orang itu berkehendak budak itu menurutinya, maka adalah orang itu bermaksud membinasakan dirinya sendiri. Dan itu adalah mustahil!.

Pokok Keempat: bahwa Allah Ta'ala mengurniakan dengan menjadikan dan menciptakan serta menganugerahkan nikmat, dengan memberikan kewajiban (taklif) kepada hambaNya. Dan tidaklah menjadikan dan memberikan taklif itu wajib atas Allah.Berkata golongan Mu'tazilah bahwa yang demikian itu wajib atas-Nya, karena ada kemuslihatan hamba padanya.

Itu adalah mustahil, karena Dialah yang mewajibkan, yang menyuruh dan yang melarang. Maka bagaimanakah ditujukan kepadaNya kewajiban atau didatangkan sesuatu kemestian dan kata yang ditujukan?

Dan yang dimaksudkan dengan wajib, ialah salah satu daripada dua: adakalanya perbuatan yang memberi melarat kalau ditinggalkan. Baik melarat itu pada masa yang akan datang, umpamanya dikatakan : wajiblah atas hamba berbuat tha'at kepada Allah. Sehingga dia tidak di'azabkan di akhirat dengan api neraka. Atau melarat itu pada masa dekat, umpamanya dikatakan .: wajiblah minum atas orang yang haus, sehingga ia tidak mati. Adakalanya yang dimaksudkan dengan wajib itu, ialah sesuatu yang membawa kepada mustahil oleh tidak adanya. Umpamanya dikatakan : adanya yang diketahui itu wajib, karena tidak adanya itu membawa kepada mustahil, yaitu jadinya ilmu itu kebodohan.

Kalau dikehendaki oleh pihak lawan dengan ; bahwa menjadikan itu wajib atas Allah dengan arti yang pertama, maka sesungguhnya dia telah mendatangkan kepada melarat. Dan kalau dikehendaki-nya, dengan arti yang kedua, maka dia adalah seorang muslim. Karena setelah didahulukan oleh ilmu, maka tak boleh tidak, ada yang diketahui (al-ma'lum). Dan kalau dikehendakinya, dengan arti yang ketiga, maka itu tidak dapat dipahami.

Mengenai kata Mu'tazilah : wajib itu karena ada kemuslihatan hamba padanya, maka perkataan itu adalah merusakkan. Karena apabila tiada mengandung melarat dengan meninggalkan kemuslihatan hamba itu, maka tiadalah kewajiban pada sisi Allah itu mengandung arti apa-apa.

Kemudian, kemuslihatan hamba dengan dijadikan mereka dalam sorga, maka adakalanya dijadikannya di dalam negeri yang penuh percobaan dan didatangkan mereka kepada segala dosa. Kemudian ditujukan mereka kepada siksaan yang berbahaya, huruhara dan hisab amalan. Dan tidak adalah pada yang demikian itu kegemaran pada orang-orang yang berakal.

Pokok Kelima : bahwa jaiz (tidak wajib dan tidak mustahil) bagi Allah, memikulkan (men-taklif-kan) atas makhluk, apa yang tidak disanggupinya. Sebaliknya dengan pendapat Mu'tazilah. Jikalau tidaklah jaiz yang demikian, maka mustahillah permintaan menolaknya. Dan memang mereka telah meminta yang demikian, dengan mendo'akan :

رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا طَاقَةَ لَنَا بِهِ

(Rabbanaa wa laa tuhammilnaa maa laa thaaqata lanaa bih).

Artinya :" Hai Tuhan kami! Janganlah Engkau pikulkan ke atas kami apa yang tidak kami sanggupi !". (S. Al-Baqarah, ayat 286).

Dan karena Allah Ta'ala telah menerangkan kepada Nabi saw. bahwa Abu Jahal tidak akan membenarkannya. Kemudian Allah menyuruh Nabiصلى الله عليه وسلم supaya menyuruh Abu Jahal membenarkan-nya pada segala perkataannya. Dan ada dari jumlah perkataannya, bahwa Abu Jahal itu tidak membenarkan Nabi saw. Bagaimanakah dia membenarkan pada yang tidak dibenarkattnya? Tidakkah ini selain dari mustahil adanya?.

Pokok Keenam : bahwa bagi Allah Ta'ala menyakitkan dan meng-'azabkan makhlukNya tanpa ada dosa yang terdahulu dan tanpa ada pahala yang akan datang. Sebaliknya dengan pendapat Mu'tazilah.

Hal ini, adalah karena Allah Ta'ala bertindak pada milikNya, Dan tidaklah tergambar bahwa akan melampaui tindakanNya akan milikNya. Dhalim adalah ibarat dari bertindak pada milik orang lain tanpa izinnya. Dan itu adalah mustahil atas Allah. Karena tidaklah dijumpai adanya milik orang lain, sehingga dapat dikatakan bahwa tindakanNya itu dhalim.

Dibuktikan kepada bolehnya yang demikian oleh adanya. Sesungguhnya menyembelih hewan adalah menyakitkan hewan. Dan apa yang menimpa ke atas diri hewan itu dengan bermacam-macam 'azab dari pihak anak manusia, tidaklah didahului oleh adanya dosa hewan.

Kalau ada yang mengatakan : bahwa Allah Ta'ala akan mengumpulkan hewan-hewan itu di padang mahsyar dan akan memberi ganjaran yang sesuai dengan penderitaan yang dialaminya dan demikian itu wajib atas Tuhan.

Maka atas perkataan itu kami menjawab bahwa orang yang mendakwakan wajib atas Allah menghidupkan tiap semut yang terpijak dan tiap binatang kecil yang terbunuh, sehingga diberikan pahala atas segala -penderitaannya, maka sesungguhnya telah keluar dari syari'at dan akal. Karena dengan itu dapat dikatakan, menyifatkan pahala dan mengumpulkan di padang mahsyar itu, menjadi kewajiban atas Allah. Bila dimaksudkan dengan meninggalkannya membawa kepada melarat, maka itu adalah suatu yang mustahil Dan jika dimaksudkan yang lain, maka telah diterangkan dahulu bahwa itu tidak dapat dipahami apabila telah keluar dari pengertian-pengertian yang tersebut bagi wajib.

Pokok Ketujuh : bahwa Allah Ta'ala berbuat sekehendakNya dengan hambaNya. Tiada wajib atasNya menjaga yang lebih baik bagi hambaNya. Karena apa yang telah kami sebutkan dahulu, bahwa tiada suatupun yang wajib atas Allah. Bahkan kewajiban itu tidak dapat diterima akal pada hakNya. Sebab Allah tidak ditanyakan daripada apa yang diperbuatNya dan makhlukNyalah yang ditanyakan.

Alangkah ganjilnya apa yang diwajibkan oleh golongan Mu'tazilah itu dengan katanya, bahwa berbuat yang lebih baik adalah wajib atas Tuhan, mengenai persoalan yang kita majukan kepadanya. Yaitu: diumpamakan terjadi perdebatan di akhirat diantara seorang anak kecil dan seorang dewasa (baligh), di mana keduanya meninggal sebagai muslim. Bahwa Allah menambahkan derajat orang yang sudah dewasa dan melebihkannya dari anak kecil. Karena ia telah payah dengan beriman dan melakukan ta'at setelah dewasa. Dan yang demikian itu, wajib atas Tuhan menurut orang Mu'tazilah.

Kalau anak kecil itu berkata : "Wahai Tuhan! Mengapakah Engkau tinggikan derajatnya daripada derajatku?",

Maka menjawab Tuhan : "Karena dia telah dewasa dan rajin mengerjakan ta'at".

Lalu anak kecil itu menjawab : "Engkau telah mematikan aku sewaktu kecil. Adalah kewajiban Engkau meneruskan hidupku, sampai aku baligh, maka aku rajin beribadah. Engkau telah berpagi dari keadilan dengan memberikan kepadanya kelanjutan umur, sedang aku tidak. Mengapakah dia Engkau Iebihkan?".

Maka menjawab Allah Ta'ala : "Karena Aku tahu bahwa kalau tewasalah engkau, niscaya engkau menjadi musyrik atau pendurhaka. Maka adalah lebih baik bagimu mati sewaktu kecil".

Ini dima'afkan oleh orang Mu'tazilah dari Allah 'Azza wa Jalla. Dan ketika itu orang-orang kafir dari tingkat yang paling bawah daripada neraka berseru, seraya berkata : "Wahai Tuhan! Apakah Engkau tiada mengetahui bahwa kami apabila telah dewasa, menjadi orang musyrik? Mengapakah tidak Engkau matikan kami sewaktu kecil? Kami rela dengan derajat yang lebih rendah daripada derajat anak kecil muslim itu".

Maka apakah yang dijawab waktu itu? Dan adakah yang harus ketika itu, selain dari keputusan bahwa urusan ketuhanan adalah maha-suci dengan keagungan daripada ditimbang dengan timbangan orang Mu'tazilah itu!.

Kalau dikatakan, bahwa manakala ditakdirkan kepada pemeliharaan yang lebih baik bagi hamba, kemudian ditimpakan kepada mereka sebab-sebab penyiksaan, niscaya adalah yang demikian itu keji, tak layak dengan kebijaksanaan.Maka kami menjawab bahwa keji adalah apa yang tidak sesuai dengan maksud. Sehingga kadang-kadang sesuatu itu adalah keji pada seseorang dan baik pada yang lain, apabila sesuai dengan maksud salah seorang dari keduanya dan tidak dengan lainnya. Sehingga membunuh orang, dipandang keji oleh teman-temannya dan dipandang baik oleh-musuh-musuhnya.

Kalau dimaksudkan dengan keji ialah sesuatu yang tiada sesuai dengan maksud Tuhan Yang Maha Suci, maka itu adalah mustahil, karena tak adalah maksud bagi Tuhan. Maka tidak tergambarlah daripadaNya keji sebagaimana tidak tergambar daripadaNya dhalim. Karena tidak tergambar daripadaNya bertindak pada milik orang lain.

Dan kalau dimaksudkan dengan keji ialah sesuatu yang tiada sesuai dengan maksud orang lain, maka mengapakah anda katakan bahwa yang demikian itu mustahil atas Tuhan? Tidakkah ini selain dari semata-mata ke raguraguan, yang diakui sebaliknya oleh apa yang telah kami berikan umpamanya dahulu mengenai permusuhan diantara penduduk neraka?

Kemudian, al-hakiim, artinya : yang mengetahui akan hakikat segala sesuatu, berkuasa (sanggup) mengerjakannya, sesuai dengan kehendakNya Dan ini, maka dari manakah mewajibkan pemeliharaan yang lebih baik itu?

Adapun—al-hakiim dari kita (seorang ahli hikmah—yang bijaksana), ia memelihara yang lebih baik melihat kepada kepentingan dirinya sendiri, untuk memperoleh faedah pujian di dunia dan pahala di akhirat. Atau untuk menolak bahaya daripada dirinya. Semuanya itu mustahil bagi Allah Ta'ala.

Pokok Kedelapan : bahwa mengenal (ma'rifah) akan Allah Ta'ala dan berbuat tha'at kepadaNya adalah wajib. Diwajibkan oleh Allah dan syari'atNya, tidak oleh akal. Sebaliknya bagi orang Mu'tazilah. Karena akal dan kalaupun dia mewajibkan tha'at maka tidaklah terlepas, adakalanya dia mewajibkan itu tanpa faedah.

Dan itu adalah mustahil. Sebab akal tidaklah mewajibkan yang sia sia. Dan adakalanya dia mewajibkan karena ada faedah dan maksud. Dan yang demikian itu, tidak terlepas, adakalanya kembali faedah dan maksud itu kepada Tuhan yang disembah. Dan itu adalah mustahil pada hak Allah Ta'ala. Maka sesungguhnya Allah maha-suci daripada segala maksud dan faedah. Bahkan kufur, iman, tha'at dan ma'siat pada pihak Allah Ta'ala, adalah sama. Dan adakalanya kembali yang demikian itu kepada maksud hamba sendiri. Dan itupun mustahil karena tak adalah maksud bagi hamba itu waktu sekarang. Bahkan ia payah dan menyingkirkan diri daripada hawa nafsu karenanya. Dan tak adalah pada hari kembali, selain daripada pahala dan siksa. Dan dari manakah diketahui bahwa Allah Ta'ala akan memberi pahala di atas perbuatan ma'siat dan tha'at dan tidak menyiksakan di atas kedua perbuatan tadi, sedang tha'at dan ma'siat pada hak Allah adalah sama? Karena tidaklah Allah Ta'ala itu condong kepada salah satu daripada keduanya. Dan tidaklah bagi salah satu daripada keduanya itu mempunyai kepentingan dengan Allah Ta'ala.

Sesungguhnya diketahui perbedaan yang demikian itu adalah dengan Agama. Dan telah hinalah orang yang mengambil ini dari perbandingan diantara Khaliq dan makhluk, di mana dia membe dakan diantara syukur dan kufur. Karena dia memperoleh kesenangan, kemuliaan dan kelezatan dengan salah satu daripada keduanya dan tidak dengan yang Iain.

Kalau dikatakan, apabila tidak wajib memandang dan mengenai Allah selain dengan Agama. Dan Agama itu tidak tetap selama orang yang diberati hukum (mukallaf) tidak menaruh perhatian kepadanya. Maka apabila orang mukallaf itu berkata kepada Nabi صلى الله عليه وسلم ,bahwa akal tidaklah mewajibkan kepada memperhatikan dan Agama tidaklah menetap padaku, selain dengan memperhatikan tadi dan aku tidak tampil kepada memperhatikan, yang membawa kepada meyakinkan kebenaran Rasul صلى الله عليه وسلم

Kami menjawab : bahwa ini menyerupai dengan kata orang yang mengatakan kepada orang yang berdiri pada salah satu tempat : "Bahwa di belakangmu ada binatang buas yang menerkam. Kalau tidak engkau berkisar dari tempat itu niscaya akan dibunuhnya engkau. Dan kalau engkau berpaling ke belakang dan melihat, maka tahulah engkau akan kebenaranku".

Maka menjawab orang yang tegak berdiri itu : "Tidak meyakinkan kebenaranmu selama aku belum berpaling ke belakang. Dan aku tidak akan berpaling ke belakang dan tidak akan melihat, selama belum nyata kebenaranmu!".

Maka ini menunjukkan kepada kebodohan orang yang menjawab itu dan membawa dirinya kepada kebinasaan. Dan tiada memberi melarat apa-apa kepada orang yang memberi petunjuk dan yang menunjukkan jalan itu.

Maka begitulah Nabi صلى الله عليه وسلم yang mengatakan : "Bahwa di belakang-mu nanti, di sana binatang buas dan api membakar. Kalau kamu tidak berhati-hati daripadanya dan tidak mengakui kebenaranku dengan memperhatikan kepada mu'jizatku, niscaya binasalah kamu. Barangsiapa menaruh perhatian niscaya mengenal, berhati-hati dan selamatlah dia. Dan barangsiapa tidak memperhatikan dan terus-menerus demikian, maka binasadan terjerumuslah dia. Dan tak ada memberi melarat apa-apa kepadaku jikalau manusia seluruhnya binasa. Sesungguhnya kewajibanku, hanyalah menyampaikan dengan tegas dan jelas".

Agama memberitahukan adanya binatang buas yang menerkam sesudah mati. Dan akal memfaedahkan untuk memahami perkataan Nabi صلى الله عليه وسلم dan meyakininya dengan kemungkinan apa yang dikata-kannya pada masa yang akan datang. Dan tabi'at manusia (instinc) menggerakkan supaya berhati-hati daripada kemelaratan.

Dan arti bahwa sesuatu itu wajib ialah kalau meninggalkannya mendatangkan melarat.Dan arti bahwa Agama itu mewajibkan, ialah ia memperkenalkan akan kemelaratan yang akan terjadi. Karena akal tiada memperoleh petunjuk untuk mengetahui kemelaratan sesudah mati, ketika ia menuruti hawa nafsu.

Inilah arti Agama dan akal serta pengaruh keduanya untuk menilai yang wajib itu. Jikalau tidaklah takut kepada siksaan dengan meninggalkan apa yang disuruh maka tidak adalah yang wajib itu menetap. Karena tak adalah arti wajib itu, kecuali ada hubungan kemelaratan di akhirat dengan meninggalkannya.

Pokok Kesembilan : bahwa tidaklah mustahil pengutusan nabi-nabi as. Sebaliknya bagi kaum Brahma yang mengatakan bahwa tak adalah faedahnya mengutus nabi-nabi itu. Karena pada akal cukup mendapat kesempatan tanpa mereka. Sebab akal tidaklah memperoleh petunjuk kepada perbuatan-perbuatan yang melepaskan diakhirat, sebagaimana tidaklah memperoleh petunjuk kepada obat-obat yang memberi faedah bagi kesehatan.

Keperluan makhluk kepada nabi-nabi adalah seperti keperluan mereka kepada dokter-dokter. Tetapi dikenal kebenaran dokter dengan percobaan dan dikenal kebenaran nabi dengan mu'jizat.

Pokok Kesepuluh : bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'ala telah mengutus Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم., kesudahan segala nabi dan pembatal (nasikh) syari'at-syari'at sebelumnya : syari'at Yahudi, Nasrani dan majusi. Allah Ta'ala menguatkan Nabi صلى الله عليه وسلم itu dengan mu'jizat mu'jizat yang nyata dan tanda-tanda yang jelas seperti terbelah bulan (1) bertasbih batu (2) berbicara hewan (3) dan terpancarnya air diantara jari-jari Nabi.(4) صلى الله عليه وسلم

Diantara tanda-tanda yang jelas ialah keagungan Al-Qur'an Suci menghadapi tentangan orang Arab, di mana orang-orang Arab itu terkenal dengan fasih dan lancar berbicara. Bermaksud hendak menawan, menangkap, membunuh dan mengusir Nabi صلى الله عليه وسلم . sebagaimana diceriterakan Tuhan tentang tujuan mereka itu. Tetapi mereka tidak mampu mendatangkan seperti Al-Qur'an, karena tidak dalam kemampuan manusia terkumpul diantara kebagusan susunan Al-Qur'an dan teraturnya.

Ini serta isinya Al-Qur'an dengan memberitakan berita-berita orang terdahulu di mana Nabi صلى الله عليه وسلم adalah ummi (tak tahu tulis baca), tidak pernah memegang buku. Dan menceriterakan hal-hal yang ghaib mengenai keadaan-keadaan di masa depan yang diyakini kebenarannya, seumpama firman Allah Ta'ala :

لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ

(Latad-khulunnal masjidal haraama in-syaa-AUaahu aaminiina mu halliqiina ru-uusakum wa muqash-shiriin).

Artinya :" Bahwa kamu akan memasuki Masjid Suci, jika Tuhan menghendaki, dengan perasaan tenteram bercukur dan bergunting rambut ".(S. Al-Fath, ayat 27).

Dan seumpama firman Allah Ta'ala :

الم

غُلِبَتِ الرُّومُ

فِي أَدْنَى الأرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ

فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الأمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ

(Alif-laam-miim. Ghulibatir ruum, fii adnal ardli wa hum mim ba'di ghalabihim sayaghlibuun, fii bidl-'i siniin).

Artinya :"Alif ,Lam, Mim. Dikalahkan Kerajaan Rum. Dinegeri yang dekat dan mereka sesudah kalah itu akan menang lagi nanti. Dalam beberapa tahun". (S.Ar-Rum,ayat1s/d 4).

Cara mu'jizat menunjukkan kepada kebenaran rasul-rasul itu, ialah tiap-tiap apa yang tidak disanggupi oleh manusia, maka itu tak lain daripada af'al Allah semata. Manakala afal itu menyertai dengan pertahanan atas kebenaran Nabi saw. maka itu seakan-akan Allah berfirman : "Benar Engkau !". Tak ubahnya seperti seorang yang berdiri dihadapan raja, dengan mendakwakan dirinya kepada rakyat bahwa dia adalah utusan raja itu kepada mereka.
Maka manakala ia berdatang sembah kepada raja : "Jika adalah hamba ini benar maka sudilah kiranya Tuanku bangun dari tempat peristirahatan tiga kali dan sudilah kiranya duduk di luar kebiasaan Tuanku!".

1.      Lalu raja itu berbuat demikian, sehingga berhasillah bagi segala yang hadir melihat itu pengetahuan dlaruri (pengetahuan mudah tanpa memerlukan pemikiran). Maka perbuatan raja itu menunjukkan seakan-akan dia bersabda : "Benar kamu! ".




1.      RUKUN KEEMPAT : Mengenai segala yang didengar (sam'iyyat) dan membenarkan Nabi saw. tentang apa yang dikabarkannya. Dan berkisar atas sepuluh pokok.

Pokok Pertama: kebangkitan dan pengumpulan di hari mahsyar. 

Telah datang Agama memperdengarkan keduanya. Dan'itu adalah benar serta wajib membenarkannya. Karena menurut akal itu mungkin.

Arti dari kebangkitan itu, ialah pengembalian hidup setelah di-fana-kan (ifnaa'). Yang demikian adalah atas qudrah Allah seperti pada permulaan kejadian.

Berfirman Allah Ta'ala :

.وَضَرَبَ لَنَا مَثَلا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ
(Qaala man yuhyil 'idhaama wa hiya ramiimun. Qul yuhyiihalladzii ansya-ahaa aw wal a man ah).

Artinya : "Katanya : Siapa yang akan dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah hancur luluh? Katakanlah : Yang menghidup-kannya, ialah yang menjadikannya pertama kali". (S. Ya Sin, ayat 78 dan 79).


Maka Allah Ta'ala memberi dalil dengan permulaan kepada pengembalian itu. Dan berfirman Allah Ta'ala :

مَا خَلْقُكُمْ وَلا بَعْثُكُمْ إِلا كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ
(Maakhalqukum wa laa ba'tsukum illaa kanafsin waahidah).Artinya : " Menciptakan dan membangkitkan kamu itu dari kubur hanyalah sebagai menciptakan seorang diri saja " . (S. Luqman, ayat 28).


1.Hadits mengenai hai ini, dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas.

Jadi, pengembalian itu adalah permulaan kedua. Maka itu adalah mungkin seperti permulalan pertama.


Pokok Kedua : pertanyaan dari malaikat Munkar dan Nakir

Telah datang beberapa hadits memperdengarkannya. Maka wajiblah membenarkannya, karena itu adalah mungkin. Karena tiada yang meminta untuk itu, selain pengembalian hidup kepada beberapa suku badan untuk dapat memahami pertanyaan yang dimajukan.

Hal itu dengan sendirinya mungkin dan tidak dapat dibantah oleh apa yang kelihatan bahwa anggota tubuh mayat itu tetap saja dan kita tidak mendengar pertanyaan itu.Orang tidur pun pada dhahirnya tetap saja dan mengetahui dengan bathinnya kesakitan dan kelezatan akan apa yang dirasainya dengan kesannya ketika terbangun.

Adalah Rasulullah صلى الله عليه وسلم mendengar kalam Jibril as. dan melihatnya sedang orang-orang dikeliling Rasul صلى الله عليه وسلم tidak mendengar dan melihatnya. Dan mereka tiada mengetahui sesuatu daripada ilmuNya selain dengan apa yang dikehendakiNya (1)

Apabila Tuhan tidak menjadikan pendengaran dan penglihatan kepada mereka, niscaya tidaklah mereka mengetahuinya.

Pokok Ketiga : 'azab kubur. Telah datanglah Agama memperdengarkannya.

Berfirman Allah Ta'ala :
فَوَقَاهُ اللَّهُ سَيِّئَاتِ مَا مَكَرُوا وَحَاقَ بِآلِ فِرْعَوْنَ سُوءُ الْعَذَابِ
(Annaaru yu'radluuna 'alaihaa ghuduwwan wa 'asyiy-yan wa yauma taquumus-saa'atu, adkhiluu aala fir'auna asyaddal 'adzaab).

Artinya : "Api neraka, mereka dibawa ke sana pagi dan petang dan pada hari qiamat (dikatakan) : Masukkanlah kaum Fir'aun itu ke dalam siksaan yang sangat keras! ".(S. Al-Mu'min, ayat 46).


Dan telah terkenal dari Rasulullah sawصلى الله عليه وسلم dan salaf yang salih, di mana mereka berlindung dengan Allah daripada 'azab kubur.

Azab kubur itu adalah mungkin. Maka wajiblah membenarkannya, Dan tidak menjadi halangan daripada membenarkannya oleh bercerai-berainya anggota tubuh mayat di dalam perut binatang buas dan tembolok burung. Sebab yang memperoleh kepedihan 'azab dari hewan itu, ialah bahagian-bahagian tertentu, yang ditaqdirkan oleh Allah Ta'ala kepada mengembalikan dapatnya 'azab itu kepadanya.

Pokok Keempat: neraca amal (mizan atau timbangan). 

Adalah timbangan amal itu benar. Berfirman Allah Ta'ala :

وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ
(Wa nadla'ul mawaaziinal qistha liyaumil qiyaamah).

Artinya : "Dan pada hari qiamat (kebangunan) itu, Kami tegakkan neraca yang betul". (S. Al-Anbia ayat 47).

Dan berfirman Allah Ta'ala :

وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ
(Faman tsakulat mawaaziinuhuu fa-ulaa-ika humul muflihuun. Wa man khaffat mawaaziinuhuu fa-uIaa-ikalladziina khasiruu anfusahum bimaa kaanuu bi-aayaatinaa yadhlimuun).

Artinya :"Maka barangsiapa yang berat timbangan (kebaikannya), itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang ringan timbangan (kebaikannya), itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka tidak mempercayai keterangan-keterangan Kami" (S. Al-A'raaf, ayat 8 - 9).Caranya, ialah bahwa Allah Ta'ala menjadikan di dalam lembaran amal perbuatan, timbangan menurut derajat amal itu pada sisi Allah. Maka jadilah kadar segala amal perbuatan itu diketahui oleh hamba itu. Sehingga teranglah kepada mereka keadilan Tuhan, tentang penyiksaan atau kelimpahan kema'afan dan pergandaan pahala.


Pokok Kelima : titian (shirath). Yaitu jembatan yang memanjang di atas neraka jahannam, lebih halus daripada rambut dan lebih tajam daripada pedang.

Berfirman Allah Ta'ala :

فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ
وَقِفُوهُمْ إِنَّهُمْ مَسْئُولُونَ
(Fahduuhum ilaa shiraathil jahiim. Waqifuuhum innahum mas-uu-luun).

Artinya : "Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka! Dan suruhlah mereka berhenti (berdiri), karena sesungguhnya mereka akan ditanyai". (S. Ash-Shaffat, ayat 23 – 24). Titian itu adalah suatu yang mungkin, maka wajiblah membenarkannya. Karena yang kuasa menerbangkan burung di udara, niscaya kuasa pula menjalankan manusia di atas titian itu.



Pokok Keenam : bahwa sorga dan neraka adalah makhluk Tuhan. Berfirman Allah Ta'ala :

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
(Wa saari'uu ilaa maghfiratin min rabbikum wa jannatin 'ardluhas-samaawaatu wal-ardlu u-iddat lil-muttaqiin).

Artinya : "Dan cepatlah menuju keampunan Tuhan dan memasuki sorga, yang lebamya seperti langit dan bumi, disediakan untuk orang-orang yang memelihara dirinya (dari kejahatan)". (S. Ali Imran, ayat 133).

Maka berfirman Allah "disediakan " menunjukkan bahwa sorga itu makhluk Tuhan. Maka haruslah diperlakukan secara dhahir, karena tak ada kemustahilan padanya.

Dan tidak dikatakan, bahwa tak ada faedahnya dijadikan sorga dan neraka itu sebelum hari pembalasan (hari akhirat). Karena Allah Ta'ala tidak ditanyakan daripada perbuatanNya, sedang mereka (manusia) ditanyakan.

Pokok Ketujuh : bahwa imam yang benar sesudah Rasulullah صلى الله عليه وسلم ialah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Usman, kemudian 'Ali ra. 

Dan tak adalah sekali-kali ketentuan dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada seseorang imam saja. Karena jikalau ada, niscaya adalah yang seorang itu lebih jelas orangnya, yang ditegakkan oleh kesatuan wali-wali negeri dan panglima-panglima tentara di dalam negeri.

Dan tidak tersembunyilah yang demikian! Bagaimanakah tersembunyi ini? Dan kalau tidak tersembunyi, maka bagaimanakah terbenam saja, sehingga tak ada berita kepada kita?.Abu Bakar pun, tidaklah dia menjadi imam, melainkan dengan pemilihan dan bai'ah (janji kesetiaan daripada rakyat).

Kalau diumpamakan ada ketentuan daripada Nabi صلى الله عليه وسلم saw. kepada yang lain-daripada Abu Bakar, maka itu kalau ditujukan kepada shahabat seluruhnya, adalah suatu penantangan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم. dan pengoyakan bagi ijma'.

Cara yang demikian, tak ada yang berani melakukan selain dari pada golongan Rafidli (golongan yang menolak semua imam, khalifah dari Nabi. Sedang menurut i'tiqad Ahlussunnah, ialah membersihkan sekalian shahabat daripada tuduhan-tuduhan dan memujikan keikhlasan mereka, sebagaimana dipuji oleh Allah dan RasulNya صلى الله عليه وسلم

Dan apa yang berlaku diantara Mu'awiah dan 'Ali, adalah berdasarkan kepada pendapat masing-masing. Bukan perebutan daripada Mu'awiah mengenai pangkat keimaman (khilafat). Karena menurut sangkaan 'Ali ra., bahwapenyerahan pembunuh-pembunuh Usman, di mana mereka mempunyai banyak keluarga dan hubungan rapat dengan ketentaraan, tentulah pada permulaannya akan membawa kepada kegoncangan urusan keimaman. Dari itu 'Ali berpendapat bahwa mengundurkan penyerahan itu adalah lebih tepat. Tetapi menurut sangkaan Mu'awiah bahwa pengunduran urusan pembunuh-pembunuh itu serta demikian besar penganiayaan yang dilaku-kan mereka, adalah mengakibatkan suatu tamparan kepada pemuka-pemuka ummat dan membiarkan darah tertumpah begitu saja.

Berkata ulama-ulama kenamaan, bahwa tiap-tiap orang yang ber-ijtihad (mengeluarkan pendapat), adalah benar. Dan berkata segolongan lagi : yang benar itu satu. Dan tidak adalah orang-orang yang mengharapkan hasil yang baik, menyalahkan 'Ali sekali-kali.

Pokok Kedelapan : bahwa kelebihan para shahabat itu adalah menurut nama urutan mereka dalam memegang pimpinan khilafah.

Karena hakikat kelebihan itu ialah kelebihan pada sisi Allah 'Azza wa Jalla. Dan itu tidak ada yang melihatnya selain Rasulullah صلى الله عليه وسلم

Telah datang banyak ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengandung pujian kepada mereka itu sekalian. Sesungguhnya yang mengetahui kelebihan yang halus-halus dan susunan dari kelebihan itu, ialah mereka yang menyaksikan wahyu dan turunnya Al-Qur'an dengan pertanda-pertanda keadaan dan perincian yang meneliti. Jikalau tidaklah mereka memahami yang demikian, maka tidaklah mereka menyusun urutan seperti itu. Karena mereka tidaklah ditimpakan dengan cacian orang yang mencaci tentang Allah dan tidaklah mereka diselewengkan oleh penyeleweng dari kebenaran.

Pokok Kesembilan : bahwa syarat-syarat untuk menjadi imam, sesudah Islam dan taklif (dewasa dan berakal), adalah lima : laki-laki, wara', ilmu, kesanggupan dan suku Quraisy, 

karena sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :

الأئمة من قريش
(Al-a-immatu min Quraisy)Artinya : "Imam-imam itu dari Quraisy". (1)
Apabila terdapat beberapa orang yang mempunyai sifat-sifat yang tersebut tadi, maka yang menjadi imam ialah orang yang mendapat kepercayaan dan kesetiaan (bai'ah) dari jumlah terbanyak dari penduduk. Dan orang yang menentang keputusan orang terbanyak itu, adalah pendurhaka, harus dikembalikan sampai tunduk kepada kebenaran.



Pokok Kesepuluh : bahwa jikalau sukarlah terdapat wara' dan ilmu mengenai orang yang akan memegang jabatan imam itu, sedang untuk menolaknya menimbulkan kekacauan yang sukar diatasi, maka kita putuskan dengan syahnya, ia menjadi imam.

Karena kita, diantara menimbulkan kekacauan dengan menggantikannya itu, maka kemelaratan yang dihadapi kaum muslim in, adalah lebih banyak dari kekurangan yang timbul lantaran kekurangan syarat-syarat yang ditetapkan untuk bertambahnya kemuslihatan itu. Maka tidaklah dibongkar pokok kemuslihatan lantaran mengharap kelebihan-kelebihan yang datang dari kemuslihatan itu. Seumpama orang yang membangun istana lalu membongkar kota. Dan diantara kita menetapkan dengan kekosongan negeri tidak ada imam dan dengan kerusakan hukum. Dan itu adalah mustahil.

Kita menetapkan dengan berjalannya hukum orang-orang pendurhaka di dalam negerinya, karena dipandang perlunya, Maka bagaimana pula kita tidak menetapkan dengan syah menjadi imam ketika hajat dan diperlukan?.

Maka empat rukun ini yang mengandung empat puluh pokok itu, adalah qaidah-qaidah 'aqidah. Maka orang yang mempercayainya adalah dia bersesuaian dengan ahlissunnah dan berlainan dari ahli bid'ah.

Kiranya Allah meluruskan perjalanan kita dengan taufiqNya dan menunjukkan kita kepada kebenaran dan meyakini kebenaran itu, dengan nikmat, keluasan, kemurahan dan kumiaNya.

Tiada ulasan: