KARANGAN IMAM AL GHAZALI DALAM IHYA ULUMUDDIN....FASAL 4
Dari hal qaidah-qaidah 'aqidah mengenai Iman dan Islam. Hubungan dan
pemisahan diantara keduanya. Bertambah dan berkurang yang mendatang kepadanya.
Dan cara pengecualian ulama salaf padanya.
Mengenai hal tersebut ada tiga masalah :
MASALAH I
Berbeda pendapat para ahli Agama, mengenai Islam,
apakah Islam itu Iman atau lata dari Iman. Jikalau lain, adakah Islam itu
berpisah dari Iman, di mana Islam itu ada tanpa Iman, atau Islam itu
berhubungan rapat dengan Iman, di mana dia mengikuti akan Iman?.
Ada yang mengatakan bahwa keduanya itu satu. Ada yang
mengatakan bahwa keduanya adalah dua hal yang tidak berhubungan. Dan ada yang
mengatakan bahwa keduanya adalah dua hal, tetapi berhubungan satu sama lain.
Abu Thalib Al-Makki telah membentangkan masalah ini
dengan cara yang sangat menggoncangkan dan panjang sekali. Maka hendaklah
sekarang kita tampil menjelaskan kebenaran tanpa menukilkan sesuatu yang tak
ada hasilnya.
Maka kami mengatakan bahwa pada masalah ini ada tiga
pembahasan : pembahasan tentang kedua perkataan tersebut menurut bahasa:
pembahasan tentang maksud keduanya di dalam pemakaian Agama dan pembahasan
tentang hukum keduanya di dunia dan di akhirat.
Pembahasan pertama : itu adalah pembahasan bahasa.
Pembahasan kedua : itu adalah pembahasan penafsiran.
Pembahasan ketiga : itu adalah pembahasan fiqih dan
syari'at.
Pembahasan Pertama : menurut keharusan bahasa :
Yang benar menurut bahasa, ialah Iman itu adalah
ibarat daripada pembenaran.
Berfirman Allah Ta'ala :
وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا
(Wa maa anta bi-mu'minin Ianaa).
Artinya : "Dan engkau tentu tidak akan beriman
(percaya) kepada kami". Artinya : membenarkan. (S. Yusuf, ayat 17).
Dan Islam adalah ibarat daripada menyerah dan tunduk
dengan yakin, patuh, tidak melawan, tidak enggan dan tidak menentang.
Untuk membenarkan itu, mempunyai tempat khusus yaitu
hati. Dan lidah adalah penterjemah (pengalih bahasa) dari hati. Adapun
menyerah, maka itu umum, pada hati, lidah dan anggota badan. Tiap-tiap
pembenaran dengan hati adalah menyerah, tanpa enggan dan ingkar. Begitu pula,
pengakuan dengan lidah. Begitu pula ta'at dan tunduk dengan anggota badan. Maka
menurut bahasa, Islam itu lebih umum dan Iman itu lebih khusus. Iman adalah
ibarat dari bahagian yang termulia dari Islam.
Jadi, tiap-tiap membenarkan adalah menyerah dan
tidaklah tiap-tiap menyerah itu membenarkan.
Pembahasan Kedua : tentang pemakaian Agama.
Yang benar ialah bahwa Agama telah tampil memakai
kedua-dua-nya dalam satu pengertian dan beriring-iringan. Dan telah tampil pula
di dalam pengertian yang berlainan dan di dalam pengertian yang masuk satu pada
lainnya.
Adapun yang dalam suatu pengertian
(at-taraaduf), maka tersebut pada firman Allah Ta'ala :
فَأَخْرَجْنَا مَنْ كَانَ فِيهَا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
فَمَا وَجَدْنَا فِيهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِنَ
الْمُسْلِمِينَ
(Fa-akhrajnaa man kaana fiihaa minal mu'miniin, famaa
wa jadnaa fiihaa ghaira baitin minal muslimiin).
Artinya :"Lalu kami keluarkan orang-orang beriman
yang ada di sana.Tetapi tiada kami dapati di sana selain dari sebuah rumah
orang yang Islam (tunduk kepada Allah)".(S. Adz-Dzariyat, ayat 35-36).
Dan telah sepakat, tidak ada di situ selain satu
rumah. Dan berfirman Allah Ta'ala :
يَا قَوْمِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ
فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِينَ
(Yaa qaumi in kuntum aamantum billaahi fa'alaihi
tawakkaluu in kuntum muslimiin).
Artinya : "Hai kaumku! Kalau kamu ada beriman
(percaya) kepada Allah, hendaklah kepadaNya saja kamu mempercayakan diri kalau
kamu benar-benar orang yang Islam (yang patuh kepadaNya) ". (S. Yunus,
ayat 84).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم saw. : بني الإسلام
على خمس "Didirikan Islam atas lima ".
Pada suatu kali datanglah pertanyaan kepada Nabi saw,
tentang Iman, maka Nabi صلى الله عليه وسلم. menjawab dengan yang lima itu.
Adapun pengertian yang berlainan, maka berfirman Allah
Ta'ala :
قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا
وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا
(Qaalatil a'-raabu aamannaa, Qul lam tu'-minuu, wa
laakin quuluu aslamnaa).
Artinya : "Orang-orang dusun itu berkata : Kami
beriman (percaya). Katakan : Kamu belum percaya, tetapi katakanlah bahwa kamu
Islam (tunduk)". (S. Al-Hujurat, ayat 14).Artinya, kamu telah menyerah pada
dhahir.
Maka yang dimaksudkan dengan Iman di sini, ialah
membenarkan dengan hati saja. Dan dengan Islam, ialah menyerah pada dhahir
dengan lidah dan anggota tubuh.
Pada suatu hadits, di mana Jibril as. bertanya kepada
Nabi saw. tentang Iman, maka Nabi saw. menjawab : "Bahwa engkau percaya
dengan Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, rasuI-rasulNya, hari akhirat,
kebangkitan setelah mati, hisab amalan dan taqdir-baiknya dan
buruknya".Kemudian Jibril as. bertanya lagi : "Apakah Islam
itu?", maka Nabi صلى الله عليه وسلم menjawab dengan menyebutkan yang lima
perkara itu".
Maka diibaratkan di sini dengan Islam, yaitu
penyerahan secara dhahir, dengan perkataan dan perbuatan.
Pada hadits, dari Sa'ad bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم
: " Memberikan kepada seorang laki-laki suatu pemberian dan tidak
diberikannya kepada orang lain". Lalu bertanya Sa'ad kepada Nabi صلى الله
عليه وسلم. : " Wahai Rasulullah! Engkau tinggalkan si Anu, tidak engkau
berikan, pada hal dia seorang yang beriman (mu'min)".
Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم: " Atau dia
seorang Islam (muslim)". Kemudian Sa'ad mengulangi lagi pertanyaannya dan
Nabi saw. pun mengulangi penjawabannya demikian.
Adapun yang masuk satu kepada lainnya (at-ta-daakhul),
maka juga apa yang diriwayatkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم ditanyakan :
"Amalan apakah yang paling utama?".
Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم :
"Islam!".
Ditanyakan lagi : "Islam manakah yang paling
utama?".
Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم:
"Iman!".
Hadits ini menunjukkan kepada adanya perbedaan dan
kepada adanya bermasuk-masukan. Dan itu, adalah lebih sesuai bagi pemakaian di
dalam bahasa, karena Iman adalah salah satu daripada perbuatan. Dan Imanlah
yang paling utama daripadanya. Dan Islam itu, ialah menyerah, adakalanya dengan
hati, adakalanya dengan lidah dan adakalanya dengan anggota badan. Dan yang
paling utama ialah yang dengan hati. Yaitu. pembenaran, yang dinamai : Iman.
Pemakaian Iman dan Islam secara berlainan, secara
bermasuk-masukan dan secara satu pengertian, semuanya itu adalah tidak keluar
daripada pemakaian secara tidak asli (secara majaz dalam bahasa.
Adapun pengertian yang berlainan, maka yaitu dijadikan
Iman ibarat dari pembenaran dengan hati saja. Dan ini sesuai menurut bahasa.
Dan Islam ibarat dari penyerahan pada dhahir. Dan ini sesuai pula menurut
bahasa. Karena penyerahan dengan sebahagian saja itu mustahil.
1.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah.2.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Sa'ad.3.Dirawikan Ahmad dan
Ath-Thabrani dari 'amr bin "Anbasah, isnadnya shahih.
Penyerahan adalah berlaku menurut nama daripada
penyerahan itu sendiri. Dan tidaklah diantara syarat memperoleh nama itu harus
umum pengertiannya bagi tiap-tiap tempat yang mungkin diperoleh pengertian
padanya.
Orang yang menyentuh orang lain dengan sebahagian
badannya, dinamakan penyentuh, meskipun tidak menyentuh seluruh badannya. Maka
pemakaian nama Islam kepada penyerahan dhahir, ketika tidak ada penyerahan
bathin adalah sesuai bagi lidah.
Dan berdasarkan kepada ini, berlakulah firman Allah
Ta'ala : "Orang-orang Arab dusun itu berkata : Kami beriman (percaya).
Katakan : Kamu belum percaya, tetapi katakanlah bahwa kami Islam
(tunduk)". (S. Al-Hujurat, ayat 14).
Dan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم pada hadits Sa'ad :
"Atau dia orang Islam (muslim)", karena Nabi
صلى الله عليه وسلم melebih kan salah satu daripada keduanya dari yang lain. Dan
dimaksudkan dengan pengertian yang berlainan, ialah berlebih kurang diantara
dua yang disebutkan itu.
Adapun masuk satu kepada lainnya (at-tadaa-khul), maka
sesuai juga menurut bahasa, khususnya mengenai Iman. Yaitu : dijadikan Islam
adalah ibarat dari penyerahan dengan hati, perkataan dan perbuatan
ketiga-tiganya. Dan Iman, adalah ibarat dari sebahagian apa yang masuk di dalam
kata-kata Islam, yaitu : pembenaran dengan hati. Dan inilah yang kami maksudkan
dengan masuk yang satu kepada lainnya. Dan itu sesuai menurut bahasa, khusus
bagi Iman (hati) dan umum bagi Islam (hati, perkataan dan perbuatan).
Dan berdasarkan kepada ini, maka keluarlah sabda Nabi
صلى الله عليه وسلم :
"Iman" dalam menjawab pertanyaan dari
seorang penanya: "Islam manakah yang lebih utama?". Karena Nabi صلى
الله عليه وسلم itu membuat Iman itu lebih khusus dari Islam, lalu dimasukkannya
Iman itu ke dalam Islam.
Adapun pemakaian secara pengertian yang sama, yaitu
dijadikan kata-kata Islam ibarat dari penyerahan dengan hati bersama dengan
dhahir. Maka semuanya itu penyerahan. Dan demikian pula Iman. Dan tindakan
mengenai Iman kepada khusus, dengan mengguna-kannya secara umum serta
memasukkan dhahir ke dalam pengertiannya itu adalah dibolehkan. Karena
penyerahan dhahir dengan perkataan dan perbuatan adalah buah, hasil pembenaran
dengan bathin.
Kadang-kadang dipakai nama pohon, dengan dimaksudkan
pohon serta buahnya, secara toleransi. Sehingga jadilah Iman dengan kadar
penggunaannya yang lebih umum, searti dengan kata-kata Islam dan sesuai
pengertiannya. Tidak lebih dan tidak kurang.
Berdasarkan ini, maka datanglah firman Allah :
"Tetapi tiada kami dapati di sana selain dari sebuah rumah orang Islam
(muslim)". (S. Adz-Dzariyat, ayat 36) yang telah tersebut dahulu.
Pembahasan Ketiga : mengenai hukum syari'at
Islam dan Iman itu, keduanya adalah mengenai hukum
akhirat (hukum ukhrawi) dan hukum dunia (hukum duniawi).
Adapun hukum ukhrawi, maka ialah pengeluaran dari
neraka dan pencegahan kekal di dalamnya. Karena bersabda Rasulullah صلى الله
عليه وسلم :
يخرج من النار من كان في قلبه مثقال ذرة من إيمان
(Yakhruju minan naari man kaana fii qalbihi mitsqaalu
dzarratin min iimaan).
Artinya : "Akan keluar daripada api neraka, siapa
yang ada di dalam hatinya seberat biji sawi daripada Iman".
Telah berselisih pendapat diantara ahli agama,
mengenai hukum ini, atas apakah disusun dengan tertib itu dan mereka memajukan
pertanyaan tentang itu dengan kata-kata : "Apakah Iman itu?".
Ada yang mengatakan bahwa Iman itu, semata-mata ikatan
dengan hati. Ada yang mengatakan bahwa Iman itu, ikatan dengan hati dan
pengakuan dengan lidah.
Dan ada yang mengatakan dengan menambahkan lagi yang
ketiga, yaitu mengerjakan dengan anggota badan.
Kami akan menyingkapkan tutup tentang ini dan
mengatakan bahwa barangsiapa mengumpulkan diantara tiga perkara tadi, maka
tidak adalah perselisihan lagi bahwa tempatnya di dalam sorga. Dan inilah suatu
tingkat.
Dan tingkat kedua ialah terdapat dua dan sebahagian
dari yang ketiga, yaitu : perkataan, ikatan dengan hati dan sebahagian amal
perbuatan.
Tetapi orang yang mengerjakan dosa besar atau
sebahagian dari dosa-dosa besar, maka dalam hal ini, berkata kaum Mu'tazilah,
bahwa orang itu telah keluar daripada Iman. Dan tidak masuk ke dalam kufur,
tetapi namanya orang fasiq. Dia berada pada suatu tempat diantara dua tempat
dan kekal di dalam neraka. Pendapat ini salah, sebagaimana akan kami terangkan
nanti.
Tingkat ketiga : bahwa terdapat pembenaran dengan hati
dan pengakuan dengan lidah dan tidak berbuat amalan dengan anggota badan. Maka
berselisihlah pendapat ahli-ahli agama tentang hukumnya.
Berkata Abu Thalib Al-Makki : "Berbuat dengan
anggota badan adalah setengah daripada Iman. Dan Iman itu tiada sempurna tanpa
adanya perbuatan".
Abu Thalib AI-Makki mendakwakan bahwa para ulama
sepakat atas demikian. Ia membuktikan keterangannya itu dengan dalil-dalil yang
menunjukkan kepada berlawanan dengan maksudnya. Umpamanya firman Allah Ta'ala :
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
(Walladziina aamanuu wa 'amilush shaalihaat).
Artinya : "Mereka yang beriman dan mengerjakan
perbuatan baik'!(S. Al-A'raaf, ayat 42).
Karena ini menunjukkan bahwa perbuatan adalah di
belakang Iman, tidak dari Iman itu sendiri. Jika tidak begitu, maka adalah
perbuatan itu dalam hukum hari akhirat.
Yang mengherankan ialah Abu Thalib Al-Makki
mendakwakan ijma' mengenai ini dan dalam pada itu, ia menukilkan sabda Nabi صلى
الله عليه وسلم :
لا يكفر أحد إلا بعد جحوده لما أقر به
(Laa yakfuru illaa ba'-da juhuudihi limaa aqarra
bihi).
Artinya : "Tidaklah menjadi kafir seseorang,
kecuali setelah diingkarinya apa yang telah diakuinya (diikrarkannya)".
Dan Abu Thalib menentang golongan Mu'tazilah yang
mengatakan kekal di dalam neraka disebabkan berbuat dosa besar.
Abu Thalib yang mengatakan demikian itu, adalah
mengatakan menurut aliran Mu'tazilah sendiri. Karena ditanyakan kepadanya :
bahwa orang yang membenarkan dengan hatinya, mengakui dengan lidahnya dan terus
mati. adakah orang itu di dalam sorga? Maka tidak boleh tidak, Abu Thalib akan
menjawab : "Ya!".
Dan padanya, dihukumkan ada Iman, tanpa ada amal
perbuatan.
Maka kami tambahkan dan katakan lagi, bahwa jikalau
orang itu terus hidup sehingga masuklah salah satu waktu shalat, lalu
ditinggalkannya, kemudian mati dia atau berzina kemudian mati dia adakah kekal
ia di dalam neraka?.
Kalau dijawab : "Ya!", maka itu adalah
maksud orang Mu'tazilah. Dan kalau dijawab : "Tidak!". maka itu
terang bahwa perbuatan tidaklah menjadi salah satu rukun daripada Iman dan
tidaklah menjadi syarat pada adanya Iman dan pada berhaknya sorga.
Kalau dijawab : "Maksudku dengan orang itu, ialah
bahwa ia hidup dalam waktu yang lama. Dan dia tidak mengerjakan shalat dan
tidak tampil berbuat sesuatu dari amal perbuatan agama", maka kami
bertanya : "Manakah batas waktu itu dan berapakah bilangan ta'at yang
ditinggalkannya, yang membatalkan Imannya dan berapakah bilangan dosa besar,
yang dengan dikerjakannya lalu membatalkan Imannya? Dan ini tidaklah mungkin
ditetapkan dengan taksiran saja dan tidak boleh sekali-kali yang
demikian".
Tingkat Keempat : bahwa adanya pembenaran itu dengan
hati, sebelum diucapkan dengan lidah atau dikerjakan dengan anggota badan, lalu
mati dia, maka adakah kita mengatakan : "Dia itu mati sebagai mu'min,
diantara dia dan Allah Ta'ala?".
Hal ini termasuk diantara persoalan yang
diperselisihkan. Siapa yang mensyaratkan akan perkataan (pengucapan) untuk
kesempurnaan Iman, tentu akan menjawab : "Orang itu mati sebelum
Iman".
Penjawaban ini salah, karena sabda Nabi صلى الله عليه
وسلم : "Akan keluar dari neraka, orang-orang yang ada di dalam hatinya
seberat biji sawi daripada Iman". Dan orang itu hatinya telah diliputi
dengan keimanan, maka bagaimanakah ia kekal dalam neraka? Dan tidak disyaratkan
bagi Iman, menurut hadits Jibril as. selain daripada membenarkan Allah,
malaikatNya, kitab-kitabNya dan hari akhirat, seperti telah diterangkan dahulu.
Tingkat Kelima : bahwa membenarkan dengan hati dan
mendapat kesempatan waktu sebelum mati untuk mengucapkan dua kalimah syahadah
serta mengetahui akan wajibnya, tetapi tidak diucapkan nya.
Maka dalam hal ini, mungkinlah dijadikan keengganannya
daripada mengucapkan itu seperti keengganannya daripada mengerjakan shalat.
Lalu kita katakan bahwa dia itu mu'min, tidak kekal dalam neraka.
Iman : ialah pembenaran semata dan lisan ialah
penterjemah bagi Iman. Maka tak dapat tidak, Iman itu telah ada dengan sempurna
sebelum lisan, sehingga diterjemahkan oleh lisan.
Ini, jelas benar. Karena tidaklah yang menjadi
pegangan selain mengikuti apa yang di kandung oleh kata-kata dan yang diucapkan
oleh lisan, bahwa : Iman ialah ibarat daripada pembenaran dengan hati. Dan bersabdalah
Nabi صلى الله عليه وسلم: "Akan keluar dari neraka orang-orang yang ada di
dalam hatinya seberat biji sawi dari Iman".
Dan tidaklah Iman itu hilang dari hati dengan diam
daripada mengucapkan yang wajib itu, sebagaimana tidak hilang dengan berdiam
diri daripada berbuat perbuatan yang wajib.
Berkata orang-orang yang mengatakan bahwa mengucapkan
itu rukun, karena tidaklah dua kalimah syahadah itu menerangkan apa yang di
dalam hati, tetapi adalah mengadakan suatu ikatan lain, permulaan pengakuan dan
keharusan.
Yang pertama itulah yang lebih benar. Dan telah
bertegas-tegasan mengenai itu golongan Murjiah, dengan mengatakan bahwa orang
itu tidaklah sekali-kali masuk neraka. Dan mengatakan lagi bahwa orang mu'min,
meskipun ma'siat, tidaklah masuk neraka.
Pendapat yang di atas ini, akan kami nyatakan salahnya
kepada mereka.
Tingkat Keenam : bahwa mengucapkan dengan lisan : Laa
ilaaha illatlaah Muhammadur-rasuulullaah, tetapi tidak membenarkannya dengan
hati, maka kami tidak ragu-ragu mengatakan bahwa orang itu menurut hukum
akhirat termasuk orang kafir dan kekal di dalam neraka. Dan kami tidak
ragu-ragu mengatakan bahwa pada hukum dunia yang berhubungan dengan imam dan
wall, orang itu termasuk orang Islam karena isi hatinya tidak seorang pun mengetahuinya.
Dan kita harus menyangka bahwa apa yang diucapkan-nya dengan lisannya, tidak
lain daripada yang terlipat di dalam lembaran hatinya.
Hanya yang kita ragukan, ialah mengenai hal ketiga,
yaitu hukum duniawi diantara dia dan Allah Ta'ala.Umpamanya,padasa'at yang
demikian itu matilah seorang keluarganya yang muslim, kemudian baru ia
membenarkan dengan hatinya, lalu meminta fatwa, dengan mengatakan :
"Adalah aku belum membenarkan dengan hati ketika keluargaku itu mati.
Sedang harta peninggalannya sekarang di dalam tanganku. Maka adakah halal
bagiku diantara aku dan Allah Ta'ala?".
Atau kawin ia dengan seorang wanita Islam, kemudian
baru ia membenarkan dengan hati. Apakah wajib diulangi perkawinannya?.
Inilah hal-hal yang harus mendapat perhatian. Mungkin
orang memberi penjawaban bahwa hukum duniawi itu tergantung dengan perkataan
yang nyata, dhahir dan bathin. Dan mungkin pula orang memberi penjawaban, bahwa
bergantung menurut yang dhahir itu mengenai hak orang lain. Karena hatinya itu
tiada terang kepada orang lain. Bathinnya itu, nyata bagi dirinya sendiri,
diantara dia dan Allah Ta'ala.
Yang lebih dhahir kepada kebenaran dan ilmu yang
sebenarnya adalah pada sisi Allah Ta'ala, bahwa tidaklah halal baginya pusaka
itu dan haruslah perkawinan itu diulang kembali.
Karena itulah, Hudzaifah ra. tidak berta'ziah
(bertukam) pada orang munafiq yang meninggal. Dan Khalifah Umar ra. menjaga
benar yang demikian. Maka dia juga tiada berta'ziah apabila Hudzaifah tiada
berta'ziah.
Shalat adalah perbuatan dhahir di dunia, meskipun
perbuatan dhahir itu termasuk sebahagian daripada ibadah. Dan menjaga dari yang
haram juga termasuk di dalam jumlah yang wajib karena Allah, seperti shalat,
karena sabda Nabi saw. : "Mencari yang halal adalah fardu sesudah fardlu
"
Dan tiadalah ini bertentangan dengan kata kami bahwa
warisan itu hukum Islam dan Islam itu ialah menyerah. Bahkan penyerahan yang
sempurna ialah melengkapi kepada dhahir dan bathin.
Inilah pembahasan fiqih yang berdasarkan kepada dhan
(mendekati kepada yakin), bersendi kepada kata-kata dhahir, umum dan qias
(analogi). Maka tidak wajarlah orang yang singkat ilmunya, menyangka bahwa yang
dicari mengenai itu ialah keyakinan (ketegasan) menurut adat yang berlaku di
dalam Ilmu kalam, di mana diminta adanya keyakinan itu.
Alangkah menangnya orang yang melihat kepada adat
kebiasaan dan yang resmi saja di dalam ilmu pengetahuan!.
Kalau anda bertanya : "Apakah kesangsian golongan
Mu'tazilah dan Murji-ah itu dan apakah alasan salahnya perkataan mereka?".
Maka aku menjawab bahwa kesangsian mereka itu ialah
umumnya bunyi Al-Qur'an. Golongan Murji-ah mengatakan : orang mu'min tidak
masuk neraka meskipun ia mengerjakan segala perbuatan ma'siat karena firman
Allah Ta'ala :
فَمَنْ يُؤْمِنْ بِرَبِّهِ فَلا يَخَافُ بَخْسًا وَلا
رَهَقًا
(Faman yu'min birabbihii falaa yakhaafu bakhsan wa laa
rahaqaa).
Artinya : "Maka siapa yang beriman kepada
Tuhannya, dia tiada merasa takut menderita kerugian dan teraniaya (S. Al-Jinn,
ayat 13).
Dan karena firman Allah Ta'ala :
وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ أُولَئِكَ
هُمُ الصِّدِّيقُونَ
(Walladziina aamanuu billaahi wa rusulihii ula'a ika
humush-shid-diiquun).
Artinya :"Dan orang-orang yang beriman kepada
Allah dan tasul-rasulNya, itulah orang yang sesungguh-sungguhnya benar (dalam
kepercaya-annya)" (S. Al-Hadid, ayat 19).
Dan karena firman Allah Ta'ala :
كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا
أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ
قَالُوا بَلَى قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا
وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ
(Kullamaa ulqiya fiihaa faujun sa-alahum khazanatuhaa
alam ya'ti-kum nadziirun, qaaluu balaa qad jaa-anaa nadziirun fakadz-dzabnaa wa
qulnaa maa nazzalallaahu min syai-in).
Artinya : "Setiap suatu kaum dijatuhkan ke
dalamnya, penjaga-penjaga neraka itu menanyakan : Belumkah ada orang yang
memberikan peringatan datang kepada kamu? Mereka menjawab : Ya, ada!
Sesungguhnya orang yang memberikan peringatan
telah datang kepada kami, tetapi kami dustakan dan kami mengatakan : Tuhan
tiada menurunkan barang suatu apapun".(S. Al-Mulk, ayat 8-9).
Maka firman Allah : "Setiap suatu kaum dijatuhkan
ke dalamnya", itu adalah umum. Maka seyogialah tiap-tiap orang yang
dijatuhkan ke dalam neraka, adalah ia mendustakan.
Dan karena firman Allah Ta'ala :
لا يَصْلاهَا إِلا الأشْقَى الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّى
(Laa yashlaahaa illal asyqa! ladzii kadzdzaba wa
tawallaa).
Artinya : "Tiada masuk ke dalamnya selain dari
orang yang amat celaka. Yang' mendustakan (kebenaran) dan membelakang".
(S. Al-Lail, ayat 15 dan 16).
Ini, adalah pembatasan (hashr), istbat (positif), dan
nafi (negatif).
Dan karena firman Allah Ta'ala :
قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسَلامٌ عَلَى عِبَادِهِ
الَّذِينَ اصْطَفَى آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ
(Man jaa-a bil-hasanati falahuu khairun minhaa wa hum
min faza'in yauma idzin aaminuun).
Artinya : "Barangsiapa yang membawa (mengerjakan)
perbuatan baik, dia memperoleh (balasan) lebih baik dari itu dan mereka tentram
pada hari kedahsyatan itu " (S. An-Naml, ayat 89). Dan Iman adalah kepala
segala kebaikan.
Dan karena firman Allah Ta'ala : "Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebaikan (kepada sesamanya) ". (S. Ali 'Imran,
ayat 134)
Dan firman Allah Ta'ala : "Sesungguhnya kami
tiada akan membuang saja pahala orang-orang yang melakukan perbuatan
baik".(S. Al-Kahf, ayat 30).
Dan tak ada alasan bagi golongan Murjiah tentang
demikian itu, sebab di mana disebut Iman pada ayat-ayat tadi, adalah
dimaksudkan : Iman serta perbuatan. Karena telah kami terangkan bahwa Iman itu
kadang-kadang disebut dan yang dimaksudkan ialah Islam. Dan itu, bersesuaian
dengan hati, perkataan dan. perbuatan.
Dalil bagi penta'wilan ini ialah banyak hadits tentang
penyiksaan orang-orang yang berbuat ma'siat dan tingkatan-tingkatan dari
siksaan itu.
Dan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Akan
dikeluarkan dari neraka orang-orang yang ada di dalam hatinya seberat biji sawi
daripada Iman". Maka bagaimanakah dikeluarkan, apabila ia tidak dimasukkan
ke dalam neraka itu lebih dahulu?.
Dari Al-Qur'an, firman Allah Ta'ala :
"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni -dosa- jika Dia dipersekutukan,
tetapi diampuniNya selain dari itu, bagi siapa yang dikehendakiNya (S.
An-Nisaa', ayat 48).
Pengecualian dengan yang dikehendakiNya itu,
menunjukkan kepada adanya pembahagian.
Dan firman Allah Ta'ala : "Dan siapa yang
mendurhakai Allah dan RasulNya, sudah tentu untuk orang itu neraka jahannam,
mereka tetap di situ untuk masa yang lama".(S. Al-Jinn, ayat 23).
Penentuan kekekalan di dalam neraka dengan sebab
kufur. adalah lebih meneguhkan lagi.
Dan firman Allah Ta'ala : "Ingatlah, sesungguhnya
orang-orang yang bersalah itu dalam siksaan yang tetap (lama)" (S.
Asy-Syura, ayat 45)
Dan berfirman Allah Ta'ala : "Dan siapa yang
membawa (mengerjakan) kejahatan, mukanya dilemparkan ke dalam neraka" (S.
An-NamI, ayat 90).
Maka kata-kata umum ini pada berlawanan (mu'aradlah)
dengan kata-kata umum mereka. Dan haruslah ada penguatan pengkhususan dan
penta'wilan pada kedua belah pihak. Karena hadits-hadits menegaskan bahwa
orang-orang yang berbuat ma'siat di'azabkan.
Bahkan firmanNya : Dan tiada seorangpun diantara kamu
yang tiada masuk ke dalamnya". (S. Maryam, ayat 71), adalah sebagai
penjelasan bahwa yang demikian itu haruslah untuk semuanya. Karena tak ada
orang mu'min yang terlepas daripada dosa yang di perbuatnya.
Dan firmanNya : "Tiada masuk ke dalamnya selain
dari orang yang amat celaka. Yang mendustakan (kebenaran) dan
membelakang". (S. Al-Lail, ayat 15 dan 16), adalah dimaksudkan suatu
golongant ertentu atau dimaksudkan dengan orang yang amat celaka itu, orang
yang tertentu pula.
Dan firmanNya : "Setiap suatu kaum dijatuhkan ke
dalamnya, penjaga-penjaga neraka itu menanyakan (S. Al-Mulk, ayat 8), yakni :
suatu kaum kafir. Dan pengkhususan bagi umum itu, adalah mendekati kepada
kebenaran.
Dari ayat ini dimungkiri oleh golongan Asy 'ariyah dan
segolongan Mutakallimin (ulama ilmu kalam), bahwa itu kata-kata umum.Dan
kata-kata itu dihentikan dulu, sampai ada tanda-tanda yang menunjukkan kepada
pengertiannya.
Adapun golongan Mu 'tazilah, maka kesangsian mereka,
ialah firman Allah Ta'ala :
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ
صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى
(Wa innii Iaghaffaarun liman taaba wa aamana wa 'amila
shaalihan tsummah tadaa).
Artinya : "Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun
kepada siapa yang kembali kepadaKu beriman dan mengerjakan perbuatan baik,
kemudian itu dia mengikuti jalan yang benar".(S. Thaha, ayat 82).
Dan firman Allah Ta'ala : "Demi (perhatikan)
waktu. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Selain dan orang-orang yang
beriman dan mengerjakan perbuatan baik ". (S. Al-Ashr, ayat 1-2 dan 3).
Dan firman Allah Ta'ala:"Dan tiada seorangpun
diantara kamu yang tiada masuk ke dalamnya; itulah keputusan Tuhan yang tak
dapat dihindarkan (S. Maryam, ayat 71). Kemudian Allah berfirman :
"Kemudian. Kami lepaskan orang-orang yang menjaga dirinya (dan kejahatan)
". (S. Maryam, ayat 72).
Dan firman Allah Ta'ala : "Dan siapa yang
mendurhakai Allah dan RasulNya, sudah tentu untuk orang itu neraka
jahannam". (S. Al-Jinn, ayat 23).
Semua ayat itu, disebutkan oleh Allah amalan shalih
padanya, yang disertai dengan Iman.
Dan firman Allah Ta'ala :
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ
جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا
(Wa man yaqtul mu'minan muta'ammidan fajazaa-uhuu
jahannamu khaalidan fiihaa).
Artinya : "Dan siapa yang membunuh orang yang
beriman dengan sengaja, balasannya ialah neraka jahannam, mereka tetap di
dalamnya". (S. An-Nisaa', ayat 93).
Ayat-ayat umum ini juga, di-khususkan (diberi
ketentuan) dengan dalil firmanNya :"Dan diampuniNya selain dari itu bagi
siapa yang disukaiNya".(S. An-Nisaa', ayat 48).Maka seyogialah tinggal
kehendak bagi Allah untuk memberi pengampunan selaindari syirik
(mempersekutukanNya).
Dan seperti demikian juga sabda Nabi صلى الله عليه
وسلم : "Akan dikeluarkan dari neraka orang-orang yang ada di dalam hatinya
seberat biji sawi daripada Iman ".
Dan firman Allah Ta'ala : "Sesungguhnya Kami
tiada akan membuang saja pahala orang-orang yang melakukan perbuatan
baik". (S. Al-Kahf, ayat 30). Dan firman Allah Ta'ala : "SesungguhNya
Allah tiada menghilangkan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan".(S.
Al-Bara-ah,@ attaubah ayat 120).
Maka bagaimanakah dihilangkan pahala pokok iman dan
segala tha'at dengan suatu ma'siat saja?
Dan firman Allah Ta'ala : "Dan siapa yang
membunuh orang yang beriman dengan sengaja". (S. An-Nisaa', ayat 93),
yakni : karena keimanannya. Dan telah datang hadits-hadits Nabi saw. yang
menerangkan seperti sebab ini.
Yakni : karena keimanannya. Dan telah datang
hadits-hadits Nabi saw. yang menerangkan seperti sebab ini.
Kalau anda bertanya bahwa telah cenderung pilihan,
bahwa Iman itu berhasil tanpa berbuat. Dan dalam pada itu, telah terkenal dari
ulama-ulama terdahulu akan perkataan mereka, bahwa Iman itu suatu ikatan,
perkataan dan perbuatan. Maka apakah artinya itu?.
Kami menjawab, tidaklah jauh daripada kebenaran, bahwa
amal perbuatan itu dihitung sebahagian daripada Iman. Karena dia menyempurnakan
dan melengkapkan Iman, sebagaimana dikatakan : kepala dan dua tangan dari
manusia. Dan dapat dimaklumi bahwa manusia akan keluar dari adanya sebagai
manusia dengan tiada kepala dan tidak akan keluar dari manusia dengan terpotong
tangan.
Dan seperti itu pula dikatakan bahwa tasbih dan
takbir adalah sebahagian dari shalat, walaupun shalat itu tidak batal dengan
tak ada tasbih dan takbir.
Maka membenarkan dengan hati adalah sebagian dari
Iman, seperti kepala untuk adanya manusia. Karena manusia itu menjadi tidak
ada, dengan tidak adanya kepala.
Amalan ta'at yang lain adalah seperti anggota tubuh,
sebahagiannya lebih tinggi daripada sebahagian yang lain.
Dan bersabdalah Nabi صلى الله عليه وسلم :
لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن
(Laa yazniz zaanii hiina yaznii wa huwa
mu'min).Artinya : "Tidak melakukan zina orang yang berzina, di mana ketika
dia berzina itu, dia mu 'min ". (1)
Para shahabat ra. tidaklah beri'tiqad dengan aliran
Mu'tazilah, tentang keluar dari Iman, dengan zina. Tetapi artinya, ialah :
tidak beriman yang sebenar-benarnya, keimanan yang sempuma lagi cukup. Seumpama
dikatakan kepada orang lemah yang kehilangan anggota badannya : "Tidaklah
dia ini manusia", artinya : tiada ia mempunyai kesempurnaan yang ada di
belakang hakikat kemanu-siaannya.
MASALAH II
Kalau anda mengatakan bahwa ulama terdahulu (ulama
salaf) telah sepakat bahwa Iman itu bertambah dan berkurang. Bertambahnya
dengan ta'at dan berkurangnya dengan ma'siat. Apabila pembenaran (tashdiq) itu
Iman, maka tidaklah tergambar padanya berlebih dan berkurang.
Maka aku menjawab, bahwa ulama salaf itu adalah
saksi-saksi yang adil, tak ada sepatahpun daripada perkataan mereka yang
menyeleweng. Apa yang disebutkan mereka itu benar. Hanya persoalan-nya ialah
pada memahaminya.
Pada perkataan ulama salaf itu, menunjukkan bahwa amal
perbuatan itu tidaklah sebahagian daripada Iman dan sendi-sendi wujudnya.
Tetapi adalah tambahan kepadanya, di mana Iman itu bertambah dengan adanya amal
perbuatan.
Yang bertambah itu ada dan yang berkurang pun ada. Dan
sesuatu itu tidaklah bertambah dengan dirinya sendiri. Maka tidak boleh
dikatakan bahwa manusia itu bertambah dengan kepalanya. Tetapi dikatakan :
bertambah dengan janggutnya dan gemuknya. Dan tidak boleh dikatakan, bahwa
shalat itu bertambah dengan ruku' dan sujud. Tetapi bertambah dengan adab dan
sunat-sunat.
Maka ini, adalah penegasan bahwa Iman itu mempunyai
wujud (ada). Dan sesudah adanya, lalu berbeda keadaannya dengan bertambah dan
berkurang.
Kalau anda berkata bahwa kesulitan timbul mengenai
pembenaran (tashdiq), bagaimanakah ia bertambah dan berkurang, sedang dia itu
satu hal saja?.
Maka aku menjawab bahwa apabila kita tinggalkan tedeng
aling-aling dan tidak mengambil pusing dengan ejekan orang yang mengejek, lalu
kita membuka tutupnya, niscaya hilanglah kesulitan itu. Maka kami menjawab :
bahwa Iman adalah nama yang berseku-tu, dipakai dari tiga segi :
Pertama : dipakai untuk pembenaran dengan hati. atas
jalan i'tiqad dan taqlid, tanpa pembukaan dan pelapangan dada. Yaitu : iman
orang awwam, bahkan iman manusia seluruhnya, selain dari orang-orang tertentu
(orang-orang khawwas).
I'tiqad ini adalah suatu ikatan pada hati, sekali erat
dan kuat,sekali lemah dan luntur, seperti ikatan dengan benang umpamanya.
Dan tidaklah jauh contoh ini daripada kebenaran.
Ambillah ibarat dengan orang Yahudi dan kerasnya ia berpegang pada 'aqidahnya,
yang tak mungkin tanggal dengan hardik dan gertak, bujukan dan pengajaran,
dalil dan alasan. Dan seperti itu pulalah orang Nasrani dan orang pembuat
bid'ah.
Dan pada mereka, ada orang yang mungkin diragukan
dengan sedikit pembicaraan dan mungkin turun dari 'aqidahnya dengan sedikit
pancingan atau gertak. Sedang dia sebenarnya tiada ragu di dalam 'aqidahnya itu
seperti orang yang pertama tadi (orang Yahudi).
Tetapi keduanya, berlebih-kurang tentang keteguhan
pendirian.
Dan ini terdapat juga pada i'tiqad yang benar. Dan
amal perbuatan itu membekas pada tumbuh dan bertambahnya keteguhan pendirian
itu, seperti membekasnya penyiraman air pada tumbuhnya kayu-kayuan. Dan
bersabda Nabi saw. menurut riwayat pada sebahagian hadits : "Iman itu
bertambah dan berkurang". (1)
Dan itu adalah dengan pengaruh ta'at di dalam hati.
Dan ini tidak diketahui selain oleh orang yang memperhatikan akan keadaan
dirinya sendiri, pada waktu tekun beribadah dan menjuruskan kepadanya dengan
kehadliran hati serta waktu-waktu lesu. Dan mengetahui berlebih-kurangnya pada
ketetapan hati kepada aqidah-aqidah Iman dalam segala hal keadaan itu. Sehingga
bertambah eratnya ikatan Iman sebagai tantangan terhadap orang yang mau
melepaskannya dengan ke ragu-raguan. Bahkan orang yang mempunyai kepercayaan
pada anak yatim, akan arti belas kasihan, apabila ia berbuat menurut yang
diharuskan oleh kepercayaannya itu, lalu disapunya kepala anak yatim itu dan
bertambah kasih sayangnya kepadanya, niscaya diperolehnya dari bathiniyahnya,
akan kekuatan dan kegandaan kasih sayang dengan sebab perbuatannya itu.
Begitu pula orang yang berkeyakinan kepada kerendahan
diri, apabila berbuat menurut yang diharuskan oleh keyakinan itu akan sesuatu
perbuatan dengan menghadapkan diri atau bersujud kepada orang lain, niscaya ia
merasa dari hatinya dengan perasaan merendahkan diri itu, ketika tampil ia
kepada pengkhidmatan. Begitulah kiranya segala sifat hati, yang timbul
daripadanya, segala amal perbuatan anggota badan. Kemudian kembalilah membekas
segala perbuatan itu kepadanya. Lalu menguatkan dan menam-bahkannya.
1.Dirawikan Ibnu 'Uda dan A busy. Syaikh dari Abu
Hurairah. Kata Ibnu 'Uda. hadits ini batil, karena dalam sanadnya ada Muhammad
bin Ahmad bin Harb Al-Milhi. yang sengaja dusta.
Karena itu berfirman Allah Ta'ala :
فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا
(Fazaadat-hum iimaanaa).
Artinya : "Maka ayat-ayat itu menambah kepada
keimanannya".(S. Al-Baraah, ayat 124)@ At-Taubah
Dan berfirman Allah Ta'ala :
لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ
(Liyaz daaduu iimaanan ma'a iimaanihim).
Artinya : "Supaya keimanan mereka bertambah dari
keimanannya yang telah ada". (S. Al-Fath, ayat 4).
Dan akan datang penjelasan ini nanti pada Bahagian
Perbuatan-perbuatan yang Melepaskan dan yang Membinasakan, ketika menerangkan
segi hubungan bathin dengan dhahir dan amal perbuatan dengan aqidah dan hati.
Karena yang demikian itu adalah termasuk jenis hubungan alam al-mulki dengan
alam al-malakut.
Yang dimaksudkan dengan alam al-mulki ialah alam nyata
yang dapat dipersaksikan dengan pancaindra. Dan dengan alam al-mala-kut ialah
alam ghaib yang diketahui dengan nur mata hati (bashirah). Dan hati itu
termasuk alam al-malakut. Dan anggota badan serta segala perbuatannya adalah
termasuk alam al-mulki.
Kehalusan dan kemumian ikatan diantara kedua alam itu,
sampai kepada batas, yang disangka oleh sebagian manusia akan kesatuan satu
sama lain. Dan disangka oleh sebahagian manusia lagi bahwa tak ada alam yang
lain, selain dari alam yang dapat dipersaksikan (alam asy-syahadah). Yaitu
benda-benda ini,' yang dilihat oleh pancaindra.
Orang yang mengetahui keduanya dan mengetahui
bilangan-bilang-annya, kemudian ikatan keduanya, niscaya menyusun kata-kata
yang merupakan madah :
"Amat haluslah kaca.
Amat haluslah khamar.
Keduanya serupa.
Sehingga menjadi samar.
Seakan-akan khamar...................
Bukan wadah .....................
Seakan-akan wadah,
Bukan khamar....................
Dan marilah kita kembali
kepada yang dimaksud!!!.
Sesungguhnya alam ini adalah di luar ilmu mu'amalah.
Tetapi diantara dua alam juga, ada hubungan dan ikatan. Maka karena itulah kita
melihat ilmu-ilmu mukasyafah itu pada setiap sa'at memanjat kepada ilmu-ilmu
mu'amalah. Sehingga tersingkaplah daripadanya, dengan memberatkan diri.Maka
inilah segi bertambahnya Iman dengan ta'at, dengan apa yang diharuskan oleh
pemakaian ini.
Dan karena inilah berkata Ali ra. : "Bahwa Iman
itu lahir sebagai suatu titik cahaya putih. Apabila hamba Allah itu mengerjakan
amal shalih, maka titik itu hertambahT kemudian bertambah lagi, sehingga memutihlah
hati seluruhnya. Dan bahwa nifaq itu lahir sebagai suatu titik hitam. Maka
apabila hamba itu mengeijakan yang terlarang, maka titik hitam itu bertambah,
kemudian bertambah. Sehingga menghitamlah hati seluruhnya, lalu menjadi sifat
(karakter) baginya".
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ
(Kallaa bal raana 'alaa quluubihim maa kaanuu
yaksibuun).
Artinya : "Jangan berpikir betul! Bahkan, apa
yang telah mereka kerjakan itu menjadi karat bagi hati mereka". (S.
Al-Muthaffifin, ayat 14).
Pemakaian Kedua : bahwa dimaksudkan dengan Iman itu
ialah pembenaran dan amal perbuatan, seperti sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
الإيمان بضع وسبعون باب
(Al-iimaanu bidl-'un wa sab'uuna baaban).Artinya :
"Iman itu lebih tujuh puluh pintunya'
Dan seperti sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
"Tidak berzinalah orang yang berzina, di mana ketika ia berzina itu ia
beriman.
Apabila masuklah perbuatan dalam maksud kata-kata
Iman, maka tidaklah tersembunyi bertambah dan berkurangnya Iman itu. Adakah
membekas yang demikian pada bertambahnya Iman, yang semata-mata artinya
pembenaran ?.
Mengenai ini terdapat perhatian dan telah kami
tunjukkan kepada adanya membekas itu.
Pemakaian Ketiga . bahwa dimaksudkan dengan Iman itu,
pembenaran keyakinan atas jalan kasyaf (terbuka hijab), terbuka dada dan
bermusyahadah dengan nur mata hati.
Ini adalah bahagian yang terjauh daripada menerima
bertambahnya Iman itu. Tetapi aku mengatakan bahwa urusan keyakinan yang tak
ada ragu padanya, adalah berbeda ketetapan hati kepadanya. Maka tidaklah
ketetapan. hati tentang dua lebih banyak dari satu, seperti ketetapannya
tentang alam, itu dijadikan, lagi baharu. Meskipun tak ada keraguan mengenai
suatupun daripada kedua contoh tadi. Tetapi keyakinan itu berbeda tentang
tingkat kejelasan dan ketetapan hati kepadanya. Dan telah kami bentangkan hal
ini dalam "Pasal Yakin" dari "Kitab Ilmu", pada Bab
Tanda-tanda Ulama Akhirat dahulu. Maka tiadalah perlu lagi diulangi!.
Dan telah jelas pada segala pemakaian kata-kata Iman
itu, bahwa apa yang dikatakan mereka dari hal bertambah dan berkurangnya Iman,
adalah benar. Bagaimana tidak?. Pada hadits-hadits tersebut : "Bahwa
dikeluarkan dari neraka orang-orang yang di dalam hatinya seberat biji sawi
daripada Iman "
Pada sebahagian tempat pada hadits lain, tersebut :
"Seberat uang dinar", maka apakah artinya perbedaan berat timbangan
Iman itu, kalau apa yang di dalam hati tiada berlebih-kurang?.
MASALAH III
Kalau anda bertanya : Apakah artinya perkataan ulama
salaf : Saya orang mu'min insya Allah (jika dikehendaki oleh Allah)?", Dan
kata-kata istitsna' itu (jika dikehendaki Allah), adalah keraguan. Dan keraguan
di dalam keimanan itu kufur. Dan ulama-ulama salaf semuanya adalah tidak mau
menjawab tegas dengan keimanan dan mereka itu amat berhati-hati daripadanya.
Maka berkatalah Sufyan Ats-Tsuri ra. : "Barangsiapa mengatakan Saya mu'min
pada Allah, maka dia itu termasuk orang yang membohong. Dan barangsiapa
mengatakan : Saya mu'min sebenar-benamya, maka dia itu bid'ah Maka bagaimanakah
dia membohong, padahal dia mengetahui bahwa dia seorang mu'min pada dirinya?
Barangsiapa mu'min pada dirinya maka adalah dia mu'min pada Allah. Seumpama :
orang yang suka menolong dan pemurah pada dirinya dan ia mengetahui akan
demikian, niscaya adalah dia demikian pula pada Allah. Demikian juga orang yang
bergembira atau berduka cita atau mendengar atau melihat.
Jikalau ditanyakan kepada seseorang : "Adakah
saudara hewan? Tentu saja tidak baik ia menjawab : Saya hewan insya
Allah". Tatkala Sufyan berkata yang demikian lalu ditanyakan kepadanya:
"Jadi apakah yang kami katakan?". Menjawab Sufyan : "Katakanlah
: Kami beriman dengan Allah dan apa yang diturunkan kepada kami".
Jadi, apakah bedanya antara dia mengatakan :
"Kami beriman dengan Allah dan apa yang diturunkan kepada kami" dan
dia mengatakan : "Aku mu'min?".
Ditanyakan kepada Al-Hasan : "Adakah mu'min
engkau?". Menjawab Al-Hasan : "Insya Allah!".
Lalu ditanyakan kepadanya : "Mengapakah engkau
membuat ber-syarat mengenai Iman, hai Abu Sa'id?".
Menjawab Al-Hasan : "Aku takut mengatakan :
"Ya", nanti Allah mengatakan : "Bohong engkau hai Hasan!",
maka berhaklah atas diriku 'azab".
Dan berkata Al-Hasan seterusnya : "Apa yang
memberikan kepercayaan bagiku, bahwa Allah telah melihat padaku sebahagian dari
pada yang dibenciNya, maka dikutukiNya aku dan Ia berfirman :
"Pergilah! Aku tiada menerima akan amalmu".
Maka aku telah berbuat amal pada bukan tempatnya".
Berkata Ibrahim bin Adham : "Apabila
ditanyakan kepadamu : Adakah mu'min engkau?". Maka katakanlah '."Laa
ilaahaillaIlaah.
Berkata Ibrahim pada kali yang lain : "Jawablah,
bahwa aku tidak ragu tentang keimanan dan pertanyaanmu kepadaku itu
bid'ah".
Ditanyakan kepada 'Alqamah : "Adakah mu'min
engkau?'.'
Menjawab 'Alqamah : "Aku harap insya Allah".
Berkata Ats-Tsuri : "Kami beriman dengan Allah,
malaikatNya, kitab-kitabNya dan Rasul-rasulNya. Dan kami tidak mengetahui,
bagaimanakah kami pada Allah Ta'ala".
Apakah artinya segala kata-kata bersyarat ini?
Jawabnya, bahwa kata-kata bersyarat ini benar, mempunyai empat arti Dua arti
bersandar kepada keraguan. Tidak pada pokok iman, tetapi pada ke sudahan atau
kesempurnaan dari iman. Dan dua arti lagi tidak bersandar kepada keraguan.
Arti Pertama : yang tidak bersandar kepada
menentang keraguan, ialah menjaga keyakinan, karena ditakuti dari pada sifat
mengakui diri : sudah bersih.
Berfirman Allah ;
فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ
(Falaa tuzakkuu anfusakum)
.Artinya : "Janganlah, kamu menganggap dirimu
orang bersih ".(S, An-Najm, ayat 32).
Dan berfirman Allah Ta'ala :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ
(Alam tara ilal ladziina yuzakkuuna anfusahum).
Artinya : "Tidaklah engkau perhatikan orang-orang
yang menganggap bersih dirinya sendiri", (S. An-Nisa', ayat 49).
Dan berfirman Allah Ta'ala :
انْظُرْ كَيْفَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ
(Undhur kaifa yaftaruuna 'alallaahil kadzib).
Artinya : "Perhatikanlah bagaimana mereka berbuat
kedustaan terhadap Tuhan". (S. An-Nisaa', ayat 50).
Ditanyakan kepada seorang ahli hikmah (al-hakiim) :
"Apakah kebenaran yang keji itu?".
Maka ia menjawab : "Manusia yang memuji
dirinya",
Iman itu termasuk diantara sifat kemuliaan yang
tertinggi. Keyakinan dengan Iman itu adalah pembersihan diri secara mutlak.
Membuat kata-kata bersyarat pada. Iman, seolah-olah memindahkan dari pengertian
pembersihan yang biasa dipakai itu. Seumpama ditanyakan kepada seseorang :
"Apakah tuan dokter? Atau kah tuan seorang ahli fiqih? Ataukah tuan
seorang ahli tafsir?".
Lalu menjawab orang yang ditanyakan itu : "Ya,
insya Allah!", bukanlah untuk menunjukkan ada keraguan, tetapi untuk
mengeluarkan diri dari pengakuan "diri bersih".
Kata-kata itu memang kata-kata yang menunjukkan kepada
ke ragu-raguan dan kelemahan dari segi bunyinya. Tetapi maksudnya adalah untuk
melemahkan salah satu daripada yang biasa timbul dari kata-kata itu, yaitu :
merasa diri bersih.
Dan dengan penta'wilan ini, kalau ditanyakan mengenai
sifat yang tercela„ maka tidak baiklah dibuat kata bersyarat itu.
Arti Kedua : beradab sopan dengan mengingati Allah
(berdzikir kepada Allah) dalam segala hal serta mengembalikan seluruh persoalan
kepada kehendakNya.
Sesungguhnya Allah telah mengajarkan adab kesopanan
kepada NabiNya dengan firmanNya
وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا
إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ
(Wa laa taquulanna Ii-syai-in innii faa-'ilun dzaalika
ghadan illaa an yasyaa-allaah).
Artinya : "Janganlah engkau mengatakan dalam
sesuatu hal : Bahwa aku akan mengerjakan itu besok. Melainkan -dengan alasan-
jika Tuhan menghendaki (S. Al-Kahf, ayat 23-24).
Bahkan Tuhan tidak mencukupkan sehingga itu saja,
mengenai sesuatu hal yang tidak diragukan padanya. Bahkan la berfirman :
لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ
لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ
رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لا تَخَافُونَ
"Sesungguhnya kamu akan memasuki Masjid Suci
(Masjidil-Haram), jika Tuhan menghendaki, dengan perasaan tenteram, bercukur
dan bergunting rambut", (S. Al-Fath, ayat 27).
Adalah Allah Maha Mengetahui bahwa kaum muslimin akan
masuk -tak boleh tidak- karena Dia yang menghendakinya. Tetapi maksudnya, ialah
mengajari Nabi saw. dengan demikian. Dari itu Nabi saw. beradab bersopan santun
dalam segala ha yang diberitakan daripadanya. Baik hal yang sudah dimaklumi
atau yang masih diragukan. Sehingga kalau ia memasuki tanah pekuburan, lalu
mengucapkan : "Assalaamu 'alaikum daara qaumim mu'miniin wa ana insyaa
Allaahu bikum laahiquun". (Salam kepadamu di kampung kaum yang beriman dan
kami -jika dikehendaki oleh Allah- akan mengikuti kamu).
Mengikuti mereka yang sudah meninggal itu, tidaklah
diragukan lagi. Tetapi menurut adab kesopanan, meminta mengingati Allah dan
mengikatkan segala sesuatu kepadaNya. Dan kata-kata (Insya Allah) ini,
menunjukkan kepada yang dimaksud tadi. Sehingga menjadi terkenal pemakaiannya
sekarang, sebagai tanda kegembiraan dan pengharapan.
Kalau orang berkata kepada anda : "Si Anu akan
mati dengan segera", maka anda menjawab : Insya Allah. Maka dapatlah
dipa-hamkan dari perkataan itu kegembiraan anda, bukan keraguan anda.
Kalau orang berkata kepada anda : "Si Anu akan
hilang sakitnya dan akan sembuh", lalu anda menjawab : "Insya
Allah", maka itu berarti : kegembiraan. Sehingga jadilah kalimah
"Insya Allah", berkisar dari arti keraguan kepada arti kegembiraan.
Dan begitu pula penggeseran kepada arti beradab bersopan santun untuk
mengingati Allah Ta'ala, bagaimanapun adanya suasana.
Arti Ketiga : Adalah sandarannya keraguan. Artinya :
Saya mu'min sebenarnya insya Allah, karena Allah Ta'ala berfirman kepada
golongan tertentu, kepada diri mereka itu sendiri :
أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا
(Ulaa-ika humul mu'minuuna haqqaa).
Artinya : "Itulah orang-orang yang sebenarnya
beriman".(S, Al-Anfal, ayat 4).
Maka terbagilah mereka kepada dua bahagian. Dan ini
kembali kepada keraguan mengenai kesempurnaan Iman, tidak mengenai pokok Iman.
Tiap-tiap manusia ragu mengenai kesempurnaan Imannya. Dan itu tidaklah membawa
kepada kufur.
Ragu mengenai kesempurnaan Iman adalah benar dari dua
segi :
Pertama : dari segi bahwa nifaq itu, menghilangkan
kesempurnaan Iman. Dan nifaq adalah tersembunyi, tak dapat dipastikan terlepas
daripadanya.
Kedua : dari segi bahwa Iman itu sempurna dengan
amalan-amalan tha'at dan amalan itu tiada diketahui adanya dengan sempuma,
Mengenai amal perbuatan, maka berfirman Allah Ta'ala :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
(Innamal mu'minuunal-ladziina aamanuu billaahi wa
rasuulihii tsumma lam yartaabuu wa jaahaduu bi-amwaalihim wa anfusihim fii
sabiilillaahi ulaa-ika humush shaadiquun).
Artinya : Orang-orang yang sebenarnya beriman itu
hanyalah mereka yang percaya kepada Allah dan RasulNya, kemudian itu tiada
pernah ragu-ragu dan mereka berjuang di jalan Allah dengan harta dan
dirinya,itulah orang-orang yang benar". (S. Al-Hujurat,ayat 15).
Begitu pula firman Allah Ta'ala : "Tetapi
kebaikan ialah kebaikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhirat,
malaikat, kitab dan nabi-nabi". (S. Al-Baqarah, ayat 177). Allah
mensyaratkan dua puluh sifat, seperti menepati janji dan bersabar di atas
segala kesulitan. Kemudian pada sambungan ayat tadi Allah berfirman :
"Merekalah orang-orang yang benar"
Dan berfirman Allah Ta'ala : "Allah akan
mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan kepada derajat yang tinggi".(S. Al-Mujadalah, ayat 11).
Dan berfirman Allah Ta'ala : "Tiada sama diantara
kamu, orang yang membelanjakan (hartanya) dan berperang sebelum kemenangan
(dengan orang yang berbuat begitu sesudah kemenangari)". (S. Al-Hadid,
ayat 10).
Dan berfirman Allah Ta'ala :"Tingkatan mereka
berbeda-beda di sisi Allah" (S.Ali imran,ayat 163).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : الإيمان عريان
ولباسه التقوى "Iman itu tidak berpakaian. Pakaiannya ialah taqwa".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم saw. :الإيمان بضع
وسبعون بابا أدناها إماطة الأذى عن الطريق فهذا "Iman itu, lebih tujuh puluh
pintunya. Yang lebih rendah daripada pintu-pintu itu, ialah membuang sesuatu
yang menyakitkan dari jalan raya".
Adalah ini menunjukkan kepada ikatan kesempurnaan Iman
dengan amal perbuatan. Adapun ikatannya dengan kelepasan daripada nifaq dan
syirik yang tersembunyi, maka bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
أربع من كن فيه فهو منافق خالص وإن صام وصلى وزعم أنه
مؤمن من إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا اؤتمن خان وإذا خاصم فجر
(Arba'un man kunna fiihi fahuwa munaafiqun khaalishun
wa in shaama wa shallaa wa za'ama annahu mu'minun : man idzaa hadda-tsa kadzaba
wa idzaa wa 'ada akhlafa wa idza'-tumina khaana wa idzaa khaashama fajara).
فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ
(Falaa tuzakkuu anfusakum)
.Artinya : "Janganlah, kamu menganggap dirimu
orang bersih ".(S, An-Najm, ayat 32).
Dan berfirman Allah Ta'ala :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ
(Alam tara ilal ladziina yuzakkuuna anfusahum).
Artinya : "Tidaklah engkau perhatikan orang-orang
yang menganggap bersih dirinya sendiri", (S. An-Nisa', ayat 49).
Dan berfirman Allah Ta'ala :
انْظُرْ كَيْفَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ
(Undhur kaifa yaftaruuna 'alallaahil kadzib).
Artinya : "Perhatikanlah bagaimana mereka berbuat
kedustaan terhadap Tuhan". (S. An-Nisaa', ayat 50).
Ditanyakan kepada seorang ahli hikmah (al-hakiim) :
"Apakah kebenaran yang keji itu?".
Maka ia menjawab : "Manusia yang memuji
dirinya",
Iman itu termasuk diantara sifat kemuliaan yang
tertinggi. Keyakinan dengan Iman itu adalah pembersihan diri secara mutlak.
Membuat kata-kata bersyarat pada. Iman, seolah-olah memindahkan dari pengertian
pembersihan yang biasa dipakai itu. Seumpama ditanyakan kepada seseorang :
"Apakah tuan dokter? Atau kah tuan seorang ahli fiqih? Ataukah tuan
seorang ahli tafsir?".
Lalu menjawab orang yang ditanyakan itu : "Ya,
insya Allah!", bukanlah untuk menunjukkan ada keraguan, tetapi untuk
mengeluarkan diri dari pengakuan "diri bersih".
Kata-kata itu memang kata-kata yang menunjukkan kepada
ke ragu-raguan dan kelemahan dari segi bunyinya. Tetapi maksudnya adalah untuk
melemahkan salah satu daripada yang biasa timbul dari kata-kata itu, yaitu :
merasa diri bersih.
Dan dengan penta'wilan ini, kalau ditanyakan mengenai
sifat yang tercela„ maka tidak baiklah dibuat kata bersyarat itu.
Arti Kedua : beradab sopan dengan mengingati Allah
(berdzikir kepada Allah) dalam segala hal serta mengembalikan seluruh persoalan
kepada kehendakNya.
Sesungguhnya Allah telah mengajarkan adab kesopanan
kepada NabiNya dengan firmanNya
وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا
إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ
(Wa laa taquulanna Ii-syai-in innii faa-'ilun dzaalika
ghadan illaa an yasyaa-allaah).
Artinya : "Janganlah engkau mengatakan dalam
sesuatu hal : Bahwa aku akan mengerjakan itu besok. Melainkan -dengan alasan-
jika Tuhan menghendaki (S. Al-Kahf, ayat 23-24).
Bahkan Tuhan tidak mencukupkan sehingga itu saja,
mengenai sesuatu hal yang tidak diragukan padanya. Bahkan la berfirman :
لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ
لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ
رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لا تَخَافُونَ
"Sesungguhnya kamu akan memasuki Masjid Suci
(Masjidil-Haram), jika Tuhan menghendaki, dengan perasaan tenteram, bercukur
dan bergunting rambut", (S. Al-Fath, ayat 27).
Adalah Allah Maha Mengetahui bahwa kaum muslimin akan
masuk -tak boleh tidak- karena Dia yang menghendakinya. Tetapi maksudnya, ialah
mengajari Nabi saw. dengan demikian. Dari itu Nabi saw. beradab bersopan santun
dalam segala ha yang diberitakan daripadanya. Baik hal yang sudah dimaklumi
atau yang masih diragukan. Sehingga kalau ia memasuki tanah pekuburan, lalu
mengucapkan : "Assalaamu 'alaikum daara qaumim mu'miniin wa ana insyaa
Allaahu bikum laahiquun". (Salam kepadamu di kampung kaum yang beriman dan
kami -jika dikehendaki oleh Allah- akan mengikuti kamu).
Mengikuti mereka yang sudah meninggal itu, tidaklah
diragukan lagi. Tetapi menurut adab kesopanan, meminta mengingati Allah dan
mengikatkan segala sesuatu kepadaNya. Dan kata-kata (Insya Allah) ini,
menunjukkan kepada yang dimaksud tadi. Sehingga menjadi terkenal pemakaiannya
sekarang, sebagai tanda kegembiraan dan pengharapan.
Kalau orang berkata kepada anda : "Si Anu akan
mati dengan segera", maka anda menjawab : Insya Allah. Maka dapatlah
dipa-hamkan dari perkataan itu kegembiraan anda, bukan keraguan anda.
Kalau orang berkata kepada anda : "Si Anu akan
hilang sakitnya dan akan sembuh", lalu anda menjawab : "Insya
Allah", maka itu berarti : kegembiraan. Sehingga jadilah kalimah
"Insya Allah", berkisar dari arti keraguan kepada arti kegembiraan.
Dan begitu pula penggeseran kepada arti beradab bersopan santun untuk
mengingati Allah Ta'ala, bagaimanapun adanya suasana.
Arti Ketiga : Adalah sandarannya keraguan. Artinya :
Saya mu'min sebenarnya insya Allah, karena Allah Ta'ala berfirman kepada
golongan tertentu, kepada diri mereka itu sendiri :
أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا
(Ulaa-ika humul mu'minuuna haqqaa).
Artinya : "Itulah orang-orang yang sebenarnya
beriman".(S, Al-Anfal, ayat 4).
Maka terbagilah mereka kepada dua bahagian. Dan ini
kembali kepada keraguan mengenai kesempurnaan Iman, tidak mengenai pokok Iman.
Tiap-tiap manusia ragu mengenai kesempurnaan Imannya. Dan itu tidaklah membawa
kepada kufur.
Ragu mengenai kesempurnaan Iman adalah benar dari dua
segi :
Pertama : dari segi bahwa nifaq itu, menghilangkan
kesempurnaan Iman. Dan nifaq adalah tersembunyi, tak dapat dipastikan terlepas
daripadanya.
Kedua : dari segi bahwa Iman itu sempurna dengan
amalan-amalan tha'at dan amalan itu tiada diketahui adanya dengan sempuma,
Mengenai amal perbuatan, maka berfirman Allah Ta'ala :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
(Innamal mu'minuunal-ladziina aamanuu billaahi wa
rasuulihii tsumma lam yartaabuu wa jaahaduu bi-amwaalihim wa anfusihim fii
sabiilillaahi ulaa-ika humush shaadiquun).
Artinya : Orang-orang yang sebenarnya beriman itu
hanyalah mereka yang percaya kepada Allah dan RasulNya, kemudian itu tiada
pernah ragu-ragu dan mereka berjuang di jalan Allah dengan harta dan
dirinya,itulah orang-orang yang benar". (S. Al-Hujurat,ayat 15).
Begitu pula firman Allah Ta'ala : "Tetapi
kebaikan ialah kebaikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhirat,
malaikat, kitab dan nabi-nabi". (S. Al-Baqarah, ayat 177). Allah
mensyaratkan dua puluh sifat, seperti menepati janji dan bersabar di atas
segala kesulitan. Kemudian pada sambungan ayat tadi Allah berfirman :
"Merekalah orang-orang yang benar"
Dan berfirman Allah Ta'ala : "Allah akan
mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan kepada derajat yang tinggi".(S. Al-Mujadalah, ayat 11).
Dan berfirman Allah Ta'ala : "Tiada sama diantara
kamu, orang yang membelanjakan (hartanya) dan berperang sebelum kemenangan
(dengan orang yang berbuat begitu sesudah kemenangari)". (S. Al-Hadid,
ayat 10).
Dan berfirman Allah Ta'ala :"Tingkatan mereka
berbeda-beda di sisi Allah" (S.Ali imran,ayat 163).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : الإيمان عريان
ولباسه التقوى "Iman itu tidak berpakaian. Pakaiannya ialah taqwa".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم saw. :الإيمان بضع
وسبعون بابا أدناها إماطة الأذى عن الطريق فهذا "Iman itu, lebih tujuh puluh
pintunya. Yang lebih rendah daripada pintu-pintu itu, ialah membuang sesuatu
yang menyakitkan dari jalan raya".
Adalah ini menunjukkan kepada ikatan kesempurnaan Iman
dengan amal perbuatan. Adapun ikatannya dengan kelepasan daripada nifaq dan
syirik yang tersembunyi, maka bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
أربع من كن فيه فهو منافق خالص وإن صام وصلى وزعم أنه
مؤمن من إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا اؤتمن خان وإذا خاصم فجر
(Arba'un man kunna fiihi fahuwa munaafiqun khaalishun
wa in shaama wa shallaa wa za'ama annahu mu'minun : man idzaa hadda-tsa kadzaba
wa idzaa wa 'ada akhlafa wa idza'-tumina khaana wa idzaa khaashama fajara).
Artinya : "Empat perkara, siapa yang ada padanya,
maka dia itu munafiq benar-benar, walaupun ia berpuasa, mengerjakan shalat dan
mendakwakan dirinya orang mu 'min. Yaitu : apabila berbicara ia membohong,
apabila berjanji ia melanggar janji, apabila dipercayai ia berkhianat dan
apabila bermusuhan ia berbuat aniaya".
Pada setengah riwayat, tersebut : "Apabila
membuat perjanjian ia menghilang".
Pada hadits yang diriwayatkan Abi Sa'id Al-Khudri,
tersebut : "Hati itu empat : Hati yang masih suci bersih, padanya lampu
yang cemerlang, maka itulah hati orang mu'min : hati yang terben-tang padanya
Iman dan nifaq, maka Iman padanya adalah seumpama sayur-sayuran yang digenangi
air tawar. Dan nifaq padanya adalah seumpama luka yang digenangi nanah
bercampur darah. Maka benda mana diantara keduanya yang lebih banyak, maka
dengan itulah orang itu ditetapkan". (1)
Pada lain riwayat : "Mana yang lebih banyak
padanya, maka itulah yang menentukan orang itu".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : أكثر منافقي هذه
الأمة قراؤها
Artinya : "Yang lebih banyak menjadi munafiq
daripada ummat ini, ialah orang-orang yang ahli membaca Al-Quran ".
(Aktsaru munaafiqi haadzihil ummati qurraa-uhaa).
Pada Suatu Hadis tersebut:
الشرك أخفى في أمتي من دبيب النمل على الصفا
(Asy-syirku akhfaa fii ummatii min dabiibin namli
'alash-shafaa).
Artinya : "Syirik itu adalah lebih tersembunyi
pada ummatku daripada semut yang melata di bukit Shofa".
Berkata Huzaifah ra. : "Adalah seorang laki-laki
mengeluarkan sepatah kata pada masa Nabi saw. yang menjadikan dia munafiq
karenanya, sampai dia mati. Dan aku mendengar kata-kata itu sekarang dari salah
seorang kamu dalam sehari sampai sepuluh kali".
Berkata setengah ulama : "Yang lebih mendekatkan
manusia kepada nifaq, ialah orang yang memandang dirinya terlepas daripada
nifaq itu".
Berkata Huzaifah ra. : "Orang-orang munafiq
sekarang adalah lebih banyak daripada di masa Nabi saw صلى الله عليه وسلم .
Mereka waktu itu menyembunyikan nifaqnya. Tetapi sekarang mereka
melahirkan-nya".
Nifaq ini adalah melawan kebenaran dan kesempurnaan
Iman. Dia tersembunyi. Manusia yang terjauh daripadanya, ialah orang yang
merasa takut kepadanya. Dan yang terdekat kepadanya ialah orang yang memandang
dirinya terlepas daripadanya.
Ada orang menanyakan kepada Al-Hasan Al-Bashri :
"Benarkah kata orang, tiada nifaq sekarang?".
Maka menjawab Al-Hasan : "Hai saudaraku! Jikalau
binasalah semua orang munafiq itu, niscaya kamu merasa jijik melihat banyaknya
di jalan raya".
Berkata Al-Hasan atau orang lain : "Jikalau
tumbuhlah ekor pada orang munafiq, niscaya tiada sanggup kita meletakkan tapak kaki
di atas tanah".
Ibnu Umar ra. mendengar seorang laki-laki
memperkatakan Hajjaj, lalu beliau bertanya : "Apakah pendapat engkau jika
hadlir dia, lalu mendengar apa yang engkau katakan. Apakah engkau membicarakan
lagi mengenai dia?". Maka laki-laki itu menjawab : "Tidak". Lalu
Ibnu Umar ra. menyambung : "Kami hitung sikap yang demikian itu nifaq pada
masa Rasulullah صلى الله عليه وسلم".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
من كان ذا لسانين في الدنيا جعله الله ذا لسانين في
الآخرة
(Man kaana dzaalisaanaini fid-dun-yaa ja'alahullaahu
dzaalisaanaini fil aakhirah).
Artinya : "Siapa yang mempunyai dua lidah di
dunia, niscaya dijadikan dia oleh Allah mempunyai dua lidah di akhirat"
(1)
Bersabda pula Nabi صلى الله عليه وسلم :
شر الناس ذو الوجهين الذي يأتي هؤلاء بوجه ويأتي هؤلاء
بوجه
(Syarrun naasi dzul-wajhainil ladzii ya'tii haa-ulaa-i
bi-wajhim wa ya'tii haa-ulaa-i biwajhih).Artinya : "Manusia yang paling
jahat, ialah yang bermuka dua. Dia datang kepada suatu golongan dengan satu
muka dan dia datang kepada golongan yang lain dengan satu muka pula ".
Ada orang mengatakan kepada AI-Hasan : "Bahwa
suatu kaum mengatakan : Kami tidak takut kepada nifaq.".
Maka menjawab Al-Hasan : "Demi Allah! Bahwa aku
ir engetahui diriku terlepas daripada nifaq, adalah lebih aku sukai daripada
terjadinya bukit-bukit kecil menjadi emas".
Berkata Al-Hasan : "Setengah daripada nifaq,
ialah berlainan lidah dan hati, yang tersembunyi dan yang nyata, yang dimaksud
kan dan yang dikeluarkan".
Berkata seorang laki-laki kepada Huzaifah ra. :
"Saya takut, menjadi orang munafiq"..
Maka menjawab Huzaifah : "Jikalau engkau seorang
munafiq maka tidaklah engkau takuti nifaq itu. Sebab orang munafiq merasa aman
daripada nifaq".
Berkata Ibnu Abu Mulaikah : "Saya mendapati
seratus tiga puluh, pada suatu riwayat seratus lima puluh orang shahabat Nabi.
Semuanya takut kepada nifaq".
Diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. duduk dalam suatu
jama'ah daripada shahabat-shahabatnya. Maka para shahabat itu menyebut-kan
seorang laki-laki dan membanyakkan pujian kepadanya, Lalu dalam pada itu,
tiba-tiba muncullah seorang laki-laki. Dari mukanya menitikkan air bekas wudlu,
alas kakinya terpegang pada tangan-nya dan diantara kedua matanya kelihatan
bekas sujud. Lalu para shahabat itu berkata : "Wahai Rasulullah! Inilah
dia laki-laki yang kami sebutkan itu!".
Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم : "Aku
melihat pada mukanya bekas tamparan setan".
Maka datanglah laki-laki itu, memberi salam dan duduk
bersama para shahabat.
Lalu bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Aku
bersumpah kepada engkau dengan Allah ,Adakah kamu mengatakan akan dirimu ketika
kamu datangi kaummu, bahwa tidak ada dalam kalangan mereka, orang yang lebih
baik daripada kamu".?
Menjawab laki-laki itu : "Ya, ada!".
Nabi membaca di dalam do'anya : "Ya Allah ya
Tuhanku! Aku meminta ampun kepadaMu mengenai apa yang aku ketahui dan yang
tidak aku ketahui".
Lalu orang bertanya kepadanya : "Takutkah engkau
wahai Rasulullah?".
Maka Nabi menjawab : "Tidak ada yang menjamin
bagiku. Dan hati itu adalah diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan
Yang Maha Pengasih. Dibalikkannya sebagaimana kehendakNya".
Dan berfirman Allah Ta'ala :
وَبَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا
يَحْتَسِبُونَ
(Wa badaa lahum minallaahi maa lam yakuunuu
yahtasibuun).
Artinya : "Dan ketika itu jelas bagi mereka bahwa
apa-apa yang dahulunya mereka tiada-kira itu, memang dari Tuhan (S. Az-Zumar,
ayat 47).
Ada yang mengatakan pada penafsiran ayat tadi, bahwa
mereka berbuat perbuatan dan menyangka bahwa perbuatan itu baik, tetapi adalah
dia di dalam daun neraca perbuatan jahat.
Berkata Sirri As-Saqathi : "Jikalau seorang
manusia masuk kesebuah kebun, di mana di dalamnya terdapat segala macam
pohon-pohonan, yang hinggap di atasnya bermacam-macam burung. Maka berbicaralah
tiap-tiap burung itu kepada manusia tadi dengan suatu bahasa, seraya mengatakan
: "Salam kepadamu, wahai wali Allah! Maka senanglah hati manusia tadi
mendengarnya. Maka jadilah manusia itu tawanan di dalam tangannya
sendiri".
Segala hadits dan atsar tadi, memperkenalkan kepada
kita akan gentingnya keadaan, disebabkan nifaq yang halus dan syirik yang
tersembunyi dan tidak terasa am an daripadanya. Sehingga Umar bin Khaththab ra.
sendiri bertanya kepada Huzaifah tentang dirinya, apakah dia tersebut di dalam
golongan orang-orang munafiq?.
Berkata Abu Sulaiman Ad-Darani : "Aku mendengar
sesuatu daripada sebahagian amir, maka aku bermaksud membantahnya.
Tetapi aku takut nanti aku disuruh bunuh. Bukan aku
takut kepada mati, tetapi aku takut datang ke dalam hatiku rasa kebanggaan
menjadi hiasan bibir orang banyak ketika nyawaku keluar. Dari itu, aku cegah
diriku daripada berbuat yang demikian".
Inilah sebahagian daripada nifaq yang berlawanan
dengan hakikat Iman, kebenaran, kesempurnaan dan kemurniannya. Bukan pokoknya.
Nifaq itu dua :
Pertama : keluar dari agama dan menghubungi dengan
orang-orang kafir, berjalan dalam jama'ah orang-orang yang kekal dalam neraka.
Kedua : nifaq itu membawa orangnya ke dalam neraka
buat sementara waktu. Atau kurang dia dari derajat orang-orang yang tinggi
serta turun dari tingkat orang-orang shiddiq.
Yang demikian itu diragukan keimanannya. Dari itu
baiklah dibuat pengecualian padanya.
Asal pokok nifaq ini berlebih-kurang diantara yang
rahasia dan yang nyata. Diantara yang aman dari tipuan, perasaan 'ujub dan
hal-hal lain, yang tidak terlepas daripadanya, selain orang-orang shiddiq.
Arti keempat : yaitu bersandar juga kepada keraguan.
Yang demikian itu, karena takut kepada buruk kesudahan (su-ul-khatimah). Karena
tak ada yang tahu, apakah Imannya itu selamat ketika mati atau tidak. Jika
khatimahnya itu disudahi dengan kufur, maka binasalah amalannya yang lalu,
karena amalan itu terletak pada keselamatan akhir.
Kalau ditanyakan seseorang yang berpuasa pada pagi
hari, tentang syah puasanya di hari itu, maka dia menjawab : "Saya
benar-benar berpuasa!". Jikalau ia berbuka tengah hari sesudah itu, maka
nya-talah bohongnya. Karena syahnya puasa itu adalah terletak pada kesempurnaan
puasa sampai terbenam matahati pada akhir siang itu. Sebagaimana siang itu
menjadi tempat bagi kesempurnaan puasa, maka umur adalah tempat bagi
kesempurnaan syah Iman. Dan menyifatkan syahnya sebelum berakhir hari itu
didasarkan akan terus bersambung dari yang sudah ada, adalah diragukan. Dan
kesudahannya, ditakuti.
Dari itu, menangislah kebanyakan orang-orang yang
takut, karena "kesudahan " (al-khatimah) itu adalah buah dari qadha
yang dahulu dan kehendak yang azali, yang tidak lahir selain dengan lahimya apa
yang diqadlakan. Dan tak ada jalan untuk mengetahuinya bagi seorangpun dari
manusia. Maka takut kepada kesudahan (al-khati-mah), adalah seperti takut
kepada yang dahulu. Kadang-kadang dhahir seketika, apa yang telah dahulu
perkataan dengan Iawannya. Siapakah yang tahu, kiranya dia termasuk diantara
orang-orang yang telah dahulu kebaikan baginya daripada Allah Ta'ala?.
Ada orang yang mengatakan mengenai arti firman Allah
Ta'ala :
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا
كُنْتَ مِنْهُ تَحِيدُ
(Wa jaa-at sakratul mauti bil-haqqi). Artinya:
"Dan datanglah sakratul-maut (kesakitan mati) dengan sebenarnya". (S.
Qaf ayat 19).Artinya : dengan yang dahulu, maka sakratul-maut itu melahirkan
yang dahulu itu.
Berkata setangah ulama salaf : "Sesungguhnya
ditimbang daripada amalan itu khatimahnya (kesudahannya)".
Adalah Abud Darda' ra. bersumpah : "Demi Allah!
Tiada seorangpun yang merasa tenteram daripada Imannya dicabut, melainkan
dicabutlah Imannya itu".
Ada yang mengatakan bahwa sebagian daripada dosa itu
ialah dosa yang siksaannya "buruk kesudahan" (su-ul-khatimah). Kita
berlindung dengan Allah daripada yang demikian. Dan ada yang mengatakan, yaitu
: siksaan mendakwakan diri menjadi iyali dan keramat dengan mengada-adakan.
Berkata setengah arifin (orang-orang yang benar
berma'rifah kepada Allah) : "Jikalau disuruh pilih kepadaku mati syahid di
pintu rumah dan mati atas tauhid di pintu kamar, ma'ka aku pilih mati atas
tauhid di pintu kamar. Karena aku tiada mengetahui apa yang akan datang pada
hatiku, dari perobahan tentang tauhid itu sampai ke pintu rumah".
Berkata setengah mereka : "Jikalau aku kenal
seseorang dengan ke tauhidannya selama lima puluh tahun, kemudian terdinding
antaraku dan dia dengan sebuah tiang dan mati dia, maka tidak berani aku
memastikannya bahwa dia itu mati atas tauhid".
Pada suatu hadits tersebut :"Siapa yang
mengatakan : Saya mu'min, maka dia itu kufur. Dan siapa yang mengatakan : Saya
orang yang berilmu, maka dia itu orang bodoh.
Dan ada yang mengatakan, mengenai firman Allah Ta'ala
:
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا
(Wa tammat kalimatu rabbika shidqan wa 'ad laa).
Artinya : "Dan telah sempurnalah kalimah (firman)
Tuhanmu dengan kebenaran dan keadilannya". (S. Al-An-'aam, ayat 115),
bahwa kebenaran itu bagi orang yang mati di atas Iman dan keadilan bagi orang
yang mati di atas syirik.
Dan berfirman Allah Ta'ala :
وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ
(Wa-lillaahi 'aaqibatul umuur).Artinya:"Dan
adalah kepunyaan Allah, kesudahan pekerjaan mereka itu". (S. AI-Hajj, ayat
41).
Tatkala keraguan ada dengan kesudahan (al-khatimah)
itu, maka pengecualian itu menjadi wajib.
Karena Iman itu adalah ibarat dari sesuatu yang
memfaedahkan sorga, sebagaimana puasa adalah ibarat daripada sesuatu yang
melepaskan dari tanggungan kewajiban. Puasa yang rusak sebelum matahari
terbenam, tidaklah melepaskan akan tanggungan kewajiban. Maka keluarlah puasa
itu daripada adanya sebagai puasa.
1. Maka demikian pulalah Iman. Bahkan tiada jauh daripada kebenaran, bila
ditanyakan akan seseorang daripada puasanya yang lalu yang tidak diragukan
mengenai syahnya, setelah selesai mengerjakannya, pertanyaan mana, umpamanya :
"Adakah anda puasa kemarin?".
Maka menjawablah orang yang berpuasa itu : "Ya —
insya Allah Ta'ala". Karena puasa yang hakiki (yang sebenar-benarnya),
ialah yang diterima (yang maqbul). Penerimaan itu, adalah hal ghaib , tak ada
yang mengetahuinya, selain Allah Ta'ala.
Maka dari segi ini, baiklah ada pengecualian dalam
segala amal perbuatan yang baik. Dan itu adalah karena keraguan mengenai
maqbulnya. Karena mungkin tercegah daripada maqbulnya setelah berlaku secara
dhahir syarat-syarat syah, oleh sebab-sebab yang tersembunyi, yang tidak
diketahui selain oleh Tuhan Yang Maha Besar.
Maka baiklah ada keraguan padanya. Dan inilah segi-segi
baiknya pensyaratan pada penjawaban tentang Iman itu.Segi-segi itulah sebagai
penghabisan, untuk kami sudahi Kitab Qaidah-qaidah I'tiqad ini.
Telah
tammat Kitab ini, dengan pujian kepada Allah Ta'ala. Dan rahmat Allah kepada
penghulu kita Muhammad dan kepada sekalian hambaNya yang pilihan
Tiada ulasan:
Catat Ulasan