Catatan Popular

Sabtu, 11 Jun 2016

KITAB TANBIH AL MASYI : (1) MENGESAKAN ALLAH




TULISAN SYEIKH ABDUL RAUF SINGKEL

Pemimpin Tariqat Syattariyah  dan digelar "Tengku Syiyaah Kuala".

 
Bahagian satu : Mengesakan Allah 

Wahal murid-muridku ketahuilah!,  Semoga Allah memberi petunjuk kepada kami dan kepadamu untuk taat kepada-Nya, dan semoga Allah menghendaki kita melakukan apa yang diridhai-Nya  bahwa kewajiban pertama atasmu adalah mengesakan Allah SWT, dan menyucikan-Nya dan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya dengan kalimat la ilahailallah, yang menghimpun empat tingkatan tauhid. Adapun makna tauhid itu adalah tindakan untuk mengaitkan,  seperti kata membenarkan atau mendustakan  bukan menciptakan. Oleh karenanya, arti kalimat “aku mengesakan Allah”  adalah,  “Aku mengaitkan Allah dengan keesaan-Nya”, bukan “Aku menjadikan-Nya, Esa”, karena keesaan Allah itu telah melekat pada dzat bukan karena ada yang menciptakan, pahamilah itu!

Adanya  dari  bukti  keesaan Allah ta’ala adalah tidak rusaknya alam. Allah  ta’ala berfirman,

“Sekiranya  di  langit dan di bumi ini ada tuhan-tuhan lain selain Allah, tentulah keduanya (langit dan bumi) itu telah rusak binasa”.

Jadi, tidak rusaknya langit dan bumi ini merupakan bukti atas keesaan Allah ta’ala, karena  langit  dan  bumi  adalah  bagian  tidak terpisahkan dari alam. Adapun kata “alam” seperti pendapat sebagian orang  adalah nama untuk segala sesuatu selain Allah SWT ‘azza wa jalla’. Dibentuknya kata “alam” seperti ini, karena ia merupakan nama  ‘sesuatu’ yang dijadikan sebagai sarana untuk mengetahui keberadaan Allah. Seperti halnya kata “khatam” (stempel), adalah nama sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk mengetahui adanya benda yang dicap, demikian juga alam adalah nama sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk mengetahui adanya Allah; karena keberadaán alam itu merupakan bukti yang menunjukkan adanya Allah ta’ala.

Hakikat alam adalah wujud yang terikat dengan sifat-sifat. mumkinat (sifat-sifat yang mungkin). Oleh  karena itulah, alam disebut sebagai sesuatu selain Allah SWT. Jika dihubungkan dengan Allah SWT,  alam itu bagaikan bayangan, ia bukanlah hakikat lain di samping hakikat-hakikat Allah yang telah diketahul sejak zaman dahulu, dan kemudian memiliki wujud, sekian. 

Menurut   konsep   ini  manusia   adalah bayangan Allah SWT, atau bayangan dan bayangan-Nya. Syekh Muhyiddin,  semoga Allah menyucikan   ruhnya  mengatakan   dalam  kitab  al-Fu yang bunyinya, “Potensi   kita    pada  hakikatnya   adalah   bayangan   Allah,    bukan selain Dia”.   Lebih  lanjut, Maulana Abdurrahman bin Ahmad al. Jami  r.a. menjelaskan, “baik  potensi   tersebut   pola   dasar   luar (al-a’ yan al kharijiyyah), maupun pola dasar tetap (al-a’ yan  a s -sabitah). Karena, pola  dasar  tetap  kita  merupakan  bayangan   dan  dzat   Tuhan   yang  menyatu  dengan   keadaan-Nya,  sedangkan   pola  dasar  luar  kita   merupakan  bayangan   dan   pola dasar  tetap  kita  itu, dan  bayangan serta suatu bayangan adalah bayangan melalui perantara, sekian.

Andai  engkau  telah  mengetahui   hal itu, maka kami katakan, “bayangan itu  tidak   memiliki   wujud   selain  wujud pemilik bayangannya. Oleh karenanya, wujud  bayangan .itu sangat tergantung pada wujud pemilik bayangan. Jadi,  karena wujud bayangan itu ditentukan oleh wujud yang lain, maka  wujud  yang lain itulah hakikat yang sebenarnya, demikian pula unsur-unsur   lain  yang  terkait  dengan  wujud  tersebut”. Dengan keyakinan itu, Engkau  mengetahui  bahwa  alam  ini  milik   Allah SWT., dan karena wujud-Nya pun  alam  ini  ada, seperti sabda Nabi SAW “Keberadaan kita ini semata-mata   karena Dia, dan milik-Nya”. Engkau juga mengetahui bahwa alam ini bukan  benar-benar   dzat Allah SWT, karena jika demikian, maka gugurlah firman  Allah   ta’ala,  “Yang   menciptakan  segala  sesuatu”, karena   pencipta  itu   tidak  mungkin menciptakan dzatnya Sendiri, dan Allah telah berfirman dalam al-Quran yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW., “Katakanlah  (wahai Muhammad)! Allah adalah pencipta segala sesuatu”, Dia tidak mengatakan,  “Katakanlah  (wahai  Muhammad) Allah   adalah  pencipta dzat-Nya sendiri”. Dia  juga   berfirman,  “ Allah-lah  yang menciptakan kalian dan  apa  yang  kalian  perbuat”,  Dia   tidak   mengatakan, “Allah adalah pencipta dzat-Nya   sendiri”. Demikian  pula  Allah   berfirman,  “Segala  puji  bagi   Allah,  Tuhan   seru  sekalian alam”, Tuhan  tidak  mengatakan, “Segala   puji  bagi  Allah,  Tuhan   yang   menciptakan    dzat-Nya    sendiri”.    Bukti  lain   adalah  jika  alam  ini  benar-benar  dzat  Allah, tentu Dia tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban syariat yang berat, seperti puasa dan lain-lainnya.

Di  antara  bukti-bukti  yang   menunjukkan   bahwa  alam ini bukan benar-benar dzat  Allah  adalah  bahwa  manusia  apabila ia ingin mencipta sesuatu  yang  tidak  dimilikinya,  lalu ia mengatakan, “jadilah dan ternyata sesuatu  itu  tidak  tercipta, tentu ia akan benar-benar sadar bahwa Ia bukanlah dzat Allah yang sebenarnya, sebab  jika  ia  memang  dzat  Allah, tentu apa yang ia katakan itu akan tercipta dalam sekejap mata, karena Allah ta’ala telah bèrfirman, “Apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya: jadilah! maka terjadilah ia”. Jadi, tidak terciptanya sesuatu yang diperintahkan oleh  manusia  itu,  merupakan bukti bahwa alam ini bukan benar-benar dzat Allah.  Dan,  sebab  tidak terciptanya segala sesuatu itu adalah karena tidak adanya  persesuaian antara kehendak manusia dengan kehendak Allah ta’ala dalam hal tersebut.

Sebagian keterangan menyebutkan, “Wahai anak Adam! engkau mempunyai keinginan, Aku pun demikian, tapi yang akan terwujud hanyalah yang Aku inginkan. Jika engkau rela atas apa yang Aku inginkan, maka Aku akan memberikan  apa  yang  engkau  inginkan, namun jika engkau menentang apa yang Aku  inginkan, Aku akan mempersulit apa yang engkau inginkan, sehingga tidak  akan  terwujud  kecuali  apa  yang  Aku inginkan.”. Keterangan tersebut juga  menunjukkan  bahwa  alam .ini berbeda dengan Allah, walaupun tidak benar-benar terpisah dari-Nya, karena pemisahan itu menghendaki adanya dua wujud  yang  masing-masing berdiri sendiri, padahal yang berdiri sendiri itu hanya Allah yang Maha Esa dan Mahaperkasa.

Guru kami mengatakan dalam kitab Bulgah al-Masir, yang lafaznya, “Alhasil, wujud  alam  ini  tidak  benar-benar  berdiri  sendiri,  melainkan  terjadi melalui   pancaran.  Dan yang dimaksud dengan memancar di sini adalah bagaikan  memancarnya  pengetahuan  dari  Allah  ta’ala.  Seperti  halnya  alam ini bukan benar-benar dzat Allah SWT, — karena  ia  merupakan wujud  baru , alam juga tidak benar-benar lain dari-Nya. Ia bukan wujud kedua yang berdiri sendiri di  samping  Allah.  Sebab,  sebagaimana  pada zaman dahulu, tidak ada yang menyertai Allah, karena  Dia  adalah  yang  pertama  ada  sebelum  segala sesuatu tercipta, demikian halnya hingga sekarang. Alam itu baru, karena. ia tercipta dari pancaran wüjud-Nya, ia bukan wujud yang menyertai Allah, melainkan  wujud  yang  diciptakan oleh-Nya. Jadi, alam itu tidak memiliki tingkat  yang  sejajar dengan Allah, melainkan berada pada tingkat di bawah-Nya”.

Inilah  yang  dimaksud   dengan  wahdatul   wujud.  Yakni,  alam  bukanlah wujud kedua  yang  berdiri  sendiri sélain Allah; dan bahwa Allah SWT. itu  Maha Esa tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya, namun Dia selalu menyertai segala sesuatu, balk pada permulaan maupun di akhirnya. Sebagaimana  firman-Nya,  “Dan:  Dia  bersama kamu di mana saja kamu berada”. Lalu  sabda  Nabi, “Tidak  ada  sesuatu  pun yang dari Allah”. Para ulama  menambahkan, ‘ Allah  sekarang,  sama dengan keadaan-Nya saat semula”. Pahami  dan berpegang teguhlah kepada al-Quran dan sunnah Rasul yang  mulia,  niscaya  engkau  mendapat petunjuk dan tetap berada pada jalan yang  lurus.  Nabi SAW  yang tidak pemah berkata berdasarkan hawa nafsunya  bersabda,  “Aku  tinggalkan  dua  perkara  bagimu,  yaitu  kitab  Allah dan sunnahku,  maka   jelaskanlah   al-Quran  dengan  sunnahmu, karena matamu tidak akan buta, kakimu tidak akan terpeleset, dan tanganmu tidak akan putus selama kamu berpegang teguh pada keduanya”.

Janganlah    engkau    mengikuti    hawa    nafsu,   dan    jangan   pula   teperdaya   oleh    ungkapan lahir dari sufi. Syekh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi  semoga  Allah   menyucikan   kuburnya mengatakan, “Kami  adalah   kaum  yang   melarang  hal    tersebut   dalam  kitab - kitab  kami”.  al-Hafiz  as-Suyuti,  dalam  kitabnya   Tanbih    al - Gabiyy,  mengemukakan   bahwa  sebab  pelarangan     tersebut    adalah   karena   dari  sufi   itu    sering   menggunakan ungkapan-ungkapan  yang memiliki pengertian khusus. Maka, barang siapa yang memaharni ungkapan-ungkapan para sufi tersebut atas dasar pengertian yang lazim dipakai di kalangan ahli ilmu lahir, niscaya ia akan terjerumus ke dalam kekafiran. Al-Ghazali, dalam  sebagian  kitabnya menyebutkan bahwa ungkapan sufi tersebut .serupa dengan.ayát atau ungkapan mutasyābihāt  dalam  al-Quran  dan  sunnah. Barang  siapa  yang  berpegang  pada  arti  lahirnya,  kafirlah  ia,  karena  ungkapan-ungkapan tersebut memiliki arti  khusus,  seperti  kata  al-wajh  (wajah  Allah),  al-yad  (tangan Allah), al-’ain (mata  Allah),  dan  al-istiwa’ (Allah duduk). Jika ada orang yang memahami kata-kata tersebut menurut arti lahirnya, niscaya kafirlah ia, sekian.

Apabila  engkau  menjumpai seseorang yang berpendapat bahwa alam dan segala sesuatu adalah dzat Allah SWT,  maka ketahuilah bahwa hal itu tidak benar,  kecuali dalam konteks zaman dahulu. Seseorang boleh mengatakan bahwa, di zaman azali, segala sesuatu itu merupakan zat berdasarkan wujud Allah, bukan berdasarkan hakikatnya, karena di zaman azali tidak ada wujud selain Allah, dan tidak ada yang mungkin selain kemungkinan wujud tersebut. Kita juga tidak boleh mengatakan bahwa al-ku/I adalah Allah, dan hanya ada pada-Nya, yakni pada keesaan-Nya  dan  segi  peleburan dan tidak adanya perbedaan dengan selain Allah SWT. Jadi, jangan  mengatakan bahwa segala sesuatu itu mulanya adalah  dzat Allah SWT, lalu berubah menjadi sesuatu yang lain dan sesuatu yang mungkin, itu adalah pemahaman yang keliru.

Burhanuddin Mulla Ibrahim bin Hasan al Kurani, Guru kami,  -- semoga Allah  memberinya  pahala — berkata, “Pada  zaman dahulu, tidak ada sesuatu pun selain Allah, segala sesuatu berada dalam pengetahuan-Nya, tidak berbeda dengan aI-Haq, Ia hadir karena kehadiran-Nya, dan wujud karena wujud-Nya. Inilah  yang  dimaksud  dengan ‘ainiyyah’ (satu  wujud)  pada  zaman dahulu, karena  saat  itu, segala ciptaan wajib adanya, kemudian berubah menjadi mungkin  ada. Sesungguhnya hakikat itu tidak  akan  berubah  dan  tercampur dengan  yang  lain, Allah  lebih  mengetahui  kebenaran, sekian.

Fahamilah  ketentuan  ini, dan janganlah mencampuradukkan sesuatu, karena hal itu termasuk kebiasaan orang-orang yang tidak mengenal Allah. Katakan  dan  yakinkan  bahwa hamba tetap hamba, meskipun  ia naik  pada  tingkat  yang  tinggi  (taraqqi ),  dan Allah tetap Allah meskipun Tidak turun (tanazzul).  Hakikat itu tidak akan berubah, artinya hakikat hamba tidak akan berubah menjadi hakikat Allah, demikian pula sebaliknya, walau pada zaman azali sekalipun. Dan  jangan  engkau  terpedaya oleh orang yang berdalih atas  penyatuan  wujud  hamba secara total dengan hadis, “Barang siapa mengenal dirinya,  niscaya  ia   mengenal Tuhannya”, lalu, dalam ketidaktahuannya kepada Allah ia  menafsirkan hadis tersebut dengan  mengatakan bahwa  diri  manusia  itu  adalah  benar-benar  dzat  Tuhannya, tidak  lain dari  itu kami berlindung kepada Allah dan keyakinan demikian. Adapun arti hadis itu sebenannya adalah,  sebagaimana dikatakan oleh Abu Hasan Syazilli r.a  “Barang siapa mengenal dirinya fakir, niscaya ia mengenal Tuhannya Maha  Kaya, barang siapa mengenal dirinya lemah, niscaya ía mengenal Tuhannya Maha Kuat, barang siapa mengenal dirinya tak kuasa, niscaya ia mengenal Tuhannya Maha Kuasa, dan barang siapa mengenal dirinya hina, niscaya ia mengenal Tuhannya  Maha Mulia”, sekian.

Sebagian  ulama memberikan penafsiran lain, walaupun intinya sama. Bagi  saya  sendiri,  hadis tersebut merupakan ungkapan yang berkaitan dengan hal  yang  tidak  ada, yakni  karena  jiwa  manusia tidak akan mencapai hakikatnya  sendiri  secara  keseluruhan ( ihatah ).  Hal  ini  didukung  oleh  firman Allah Swt., “Katakanlah (hai Muhammad)! roh itu termasuk urusan Tuhanku”.  Dengan  ayat tersebut Allah mengingatkan,  bahwa manusia tidak akan  mampu  mengenal  dirinya  secara utuh. Maka, jika manusia itu tidak mampu   mengenal  dirinya  yang  merupakan  pada  seluruh  makhluk,  padahal  ia  berada  di  dekatnya,  tentu   saja   ia   apalagi tidak mampu mengenal  pencipta-Nya   yang    tidak  ada  sesuatu   pun  yang  serupa dengan Dia dengan  sebenar-benarnya, bahkan  ia  tidak akan mampu mengenal hakikat  ucapan-Nya, berikut  seluruh  sifat  dan gerak-gerik-Nya. Seorang penyair  mengatakan, “Engkau  tidak  mengenal dirimu dan tidak tahu siapa dirimu  sebenarnya, tidak  tahu bagaimana proses kehadiranmu dan sifat-sifat yang  ada  padamu,  sebab  akal tak akan sanggup- menjangkaunya”. Atas dasar ini,  tidak ada  jalan  lain  untuk  mengenal Allah SWT  kecuali  dengan pengakuan dia lemah dan bingung. Karena, seperti nanti dijelaskan dari hal tersebut  merupakan  puncak  makrifat.  Pahamilah,  dan  hanya kepada Allahlah kita mohon petunjuk.

Andaikan ada seseorang yang mengatakan bahwa al-kull adalah  al-Haq. Hal  itu keliru,  yang  benar  adalah  segala  sesuatu  itu  ada  pada-Nya, yakni pada keesaan-Nya seperti telah disebutkan di sini dan dalam konteks  zaman dahulu. Syekh Muhyiddin, — semoga Allah menyucikan arwahnya   berkata, “Kami   huruf-huruf  yang  mulia, (namun) tak  terucapkan, tersembunyi  di  puncak  tertinggi  dari  bukit - bukit.   Aku  adalah  engkau  dalam  Dia, dan kami adalah engkau, dan engkau ada Dia, dan al-kull adalah    Dia, tanyalah mereka yang telah sampai”.

Guru    kami    telah     berkata   sebagaimana   terungkap   dalam   kitab  Sūrah   as -  Sa’ādah,      yang   lafadznya  menunjukkan  pada   rahmat   Allah    atas    huruf - huruf  tersebut, yakni  setelah   mencapai   tingkat   akhir   yang   merupakan  puncak  ilmu   hakiki   dan    perbedaannya     dengan   huruf – huruf  dan  nama-nama yang berada padanya, yakni setelah mencapai-Nya, karena  pengetahuan  tidak  membenarkan  adanya  sesuatu  yang  lain selain Allah  dari  segi ke-Diaan, bukan berdasarkan ta’ayyun (kedirian), tegasnya setelah  mencapai  hal  tersebut.

Itulah  keadaan, di  mana  Allah  tidak  ada   sesuatu  pun   yang menyertai-Nya, baik pada permulaan maupun pada akhirnya, dan tidak ada sesuatu selain Allah yang menjelaskan, tegasnya tidak ada sesuatu yang lain, dalam  hal  dzat-Nya  dan  segi  berdiri  sendiri-Nya. Konteks  ucapan itu, hingga ia  mengatakan, “al-kull   itu  berada  dalam  keadaan  tersebut, yakni  keadaan  di  mana tidak ada  sesuatu  pun  yang  menyertai  Allah”. Jadi,  segala  sesuatu  itu  muncul  dari  keadaan tersebut bagaikan  munculnya  huruf - huruf   dari   suara  atau  dari pena  dan  tinta,  atau  dari  gerakan  orang  yang  bergerak. Huruf-huruf  yang  muncul  dari  pena  sebelum membentangkannya ke alam Lauh adalah huruf itu sendiri, tidak lain dari itu, sedangkan setelah membentangkannya   di  alam Lauh, huruf huruf  itu  bukan  lagi  pena  dan  bukan  pula  Lauh. Demikian pula huruf-huruf tersebut, ada di dalam tinta sebelum   di  dalam  pena.  Maka,  ketika   huruf-huruf   tersebut   telah   berada  di  dalam pena, ia  bukan  tinta  lagi  dan  bukan  pula  pena,  sebagaimana  engkau melihatnya setelah dituliskan. Dalam  contoh tersebut, terdapat konsep keberlainan  (al - gairiyyah)  dan  kesatuan  (al’ainiyyah).  Demikian  pula  gerakan  dan  orang  yang bergerak, semua berada di dalamnya, jika orang tersebut  bergerak,  gerakan  tersebut  berubah  menjadi  sesuatu selain dirinya dan selain objek gerakannya, sekian.

Keterangan   Syekh r. a.  tentang  perumpamaan  huruf-huruf   tersebut,  dari  satu  sisi, menurut  kami bisa  membantu  mendekatkan pemahaman, namun  di  sisi  lain  tidak demikian. Sebagian ulama mengatakan, “(Yang demikian itu adalah) hubungan yang pertama  dengan yang kedua, yakni hubungan  sebab akibatnya,  atau  hubungan  sebab  dengan  akibatnya, atau semua  hubungan  yang  benar-benar  tidak ada padanannya, dan benar-benar tidak  dapat dijelaskan. Semua hubungan itu adalah untuk membantu mendekatkan pemahaman  di  satu  sisi, namun  makin menjauhkan pemahaman di sisi  lain. Tegasnya, jika  hal  itu  jauh  dari  inti   masalah, ia malah menjauhkan  pemahaman, namun  jika dipandang dari sisi kesesuaiannya, memang bisa mendekatkan pemahaman”,

Tiada ulasan: