Catatan Popular

Sabtu, 25 Jun 2016

TASAWWUF MODEN FASAL 16 :BAHAYA MENGINGKARI TUHAN {ATHEISME} (DARI BAB 2 BAHAGIA DAN AGAMA)



TULISAN PROF DR. HAMKA (TOKOH AGAMA AGUNG INDONESIA

Faham yang berbahaya itu jika menular di kalangan suatu bangsa, alamat budi pekerti dan kesopanan bangsa itu akan rosak binasa, akalnya akan dutumbuhi oleh kejahatan, hati tiap-tiap orang akan penuh dengan tipu daya, sehingga lemahlah pergantungan umat itu dalam kehidupan. Syahwat dan nafsu angkara murka itulah kelak yang akan jadi pedoan dalam kehidupan mereka. Di antara yang satu dengan yang lain hilang rasa amanat, rasa percaya mempercayai, akhirnya hilanglah nama umat atau bangsa itu, jatuh kepada melarat dan perhambaan.

Ada golongan yang mengaku pintar, mengatakan bahawa mengingkari Tuhan dia menjadi orang merdeka dan menghidupkan budi pekerti mulia, menegakkan kesopanan dan mengangkat kedudukan suatu bangsa. Kerana kepercayaan yang salah itu banyak tersiar, terbuktilah kerosakan negeri dan bangsa, rakyat dan pemerintah sama-sama kehilangan pegangan.

Manusia-manusia yang tersesat itu merasa tidaklah cukup dan lengkap hidupnya sebelum tercapai segala kehendak syahwatnya. Untuk itu, segala jalan dan ikhtiar akan ditempuhnya. Yang wajib, ialah yang dikehendaki oleh syahwat dan yang haram ialah yang tidak disukai oleh syahwat. Bila kepercayaan kepada Allah sudah bilang, syahwatlah yang memerintah. Untuk mencapai kehendak syahwat ada jalan yang lurus dan ada jalan yang bengkok, ada yang baik, dan ada yang mendatangkan malu dan ada yang dikerjakan dengan terus terang. Kalau dibiarkan saja, tentulah tidak akan dapat persesuaian di dalam masyarakat.

Kalau masyarakat ini hendak diatur juga, kalau keamanan dan kesentosaan hendak dijaga dan manusia tidak akan diserupakan hidupnya dengan binatang perlulah ada 4 rukun yang harus diterangkan:
  1. Pertahanan atas diri.
  2. Menjaga Kehormatan.
  3. Mendirikan suatu Pemerintahan.
  4. Mengakui ada kekuasaan ghaib yang melindungi alam yang akan memberi ganjaran baik dan buruk di hari kemudian.

1. Pertahanan Atas Diri.

Ialah kesanggupan manusia mempertahankan dirinya dari serangan orang lain dan menyerang kalau perlu, berperang dan diperangi, sanggup menumpahkan darah, baik darah sendiri atau darah orang lain, sanggup menghadapi mati untuk mempertahankan hak. Dalam perkara ini, tentu yang kuat di atas, yang lemah tersungkur ke bawah, yang cerdik menjual, yang bingung terjual, yang bertanduk menikam, yang tumpul kepalanya menyerah.

Pertahanan atas diri selamanya akan ada, selama dunia masih berkembang.


2. Menjaga Kehormatan.


Semangat mempertahankan kehormatan atau penjagaan 'syaraf' perlu ada dalam pergaulan hidup. Rasa malu atas kejatuhan nama keluarga dan kaum kerana perbuatan sendiri, agar tidak menjadi buah-mulut orang. Lawan sifat ini ialah rendah budi, tidak peduli atas gunjing dan pembicaraan orag, dan tak punya malu.

Mejaaga kehormatan nama dan kaum, sangat penting dalam pergaulan hidup. Tetapi ganjilnya pula, dia tidak mempunyai hakikat yang tentu, tidak dapat dikenal benar batas-batasnya sehingga ana penjagaan kehormatan itu di antara segala bangsa-bangsa.

Bagi Mussolini merampas negeri Ethiopia bererta kehormatan bangsa, tetapi bagi Negus raja Ethiopia bernama kehilangan tanah air.

Bagi Yahudi merampas suatu negeri di palestine suatu keuntungan, tetapi bagi bangsa Arab, suatu kerugian dan bagi Inggeris dan Peranchis suatu hal mesti, dan bagi Amerika suatu bukti kekuatan.

Bagi Jepun merampas Manchuria berkaitan dengan kemuliaan, tetapi bagi China suatu malu tercoreng di kening.

Mussolini dapat bintang kehormatan lantaran penjajahannya di Ethiopia, Negus kehilangan singgahsana.

Berontak dari penjajah, bagi bangsa terjajah, suatu penebusan kehormatan. Bagi penjajah suatu penderhakaan.

Di mana batasnya penjagaan kehormatan itu?

Seorang saudagar yang menjual barangnya dan mencari untung, mencampurkan barang itu dan menamai perbutan itu 'kecerdikan', tetapi di pembeli menamai 'tipu daya'.

Kerajaan-kerajaan yang berkuasa kerapkali memungkiri perjanjiannya. Baginya itu suatu kemegahan, tetapi bagi rakyat yang lemah suatu pelanggaran. Kalau kerajaan-kerajaan dan pemimpin-pemimpin yang besar membuat perbuatan onar (huru hara), didiamkan bahkan dipuji, tetapi kalau orang atau kerajaan kecil yang melakukannya, disebut perbuatan itu melanggar kehormatan bangsa, membawa kehinaan.

Untuk meuntungannya sendiri, dinamai juga menjaga kehormatan, untuk kekayaan seseorang, dikatakannya membela diri.

Ramai sekali orang menegakkan kehormatan diri di atas tengkorak orang lain, menyiramnya dengan darah supaya subur, tidak enggan menerima wang suap dengan senyum dan orupsi. Pada lahirnya dilihat terhormat, lantaran kayanya, hartanya, gajinya, pakaiannya, darah turunannya, padahal dia seorang penjahat.

Berapa ramai orang yang berbudi luhur hidup melarat, tidak cukup makan, sedangkan orang penipu hidup mewah. Berapa ramainya orang yang berhias dadanya dengan bintang-bintang kadang-kadang bintang itu dikejarnya dengan mengorbankan orang lain.

Kita kembali kepada orang yang mengatakan, hidup itu cukup dengan menjaga diri sendiri saja, tidak usah dipertalikan dengan kepercayaan adanya Tuhan. Demikianlah setengah gambaran pembelaan kehormatan yang tampak oleh mata, yang terdengar oleh telinga yang disaksikan dengan pengalaman. Kalau demikian tidaklah cukup peraturan hidup, kalau hanya bergantung kepada pembelaan kehormatan saja.

Menjaga kehormatan dalam bentuk demikian hanya menimbulkan kacau. Batas-batasnya terlalu samar.

3. Mendirikan Suatu Pemerintahan.

Suatu negeri, sejak dihuni oleh manusia menurut historis materialisme sendiri pun perlu ada suatu pemerintahan. Mula-mula yang dijadikan pemerintah ialah siapa yang paling kuat dan gagah, di antara keumpulan manusia yang banyak itu, sanggup mengepalai keperluan dan penghidupan golongan kaumnya. Kemudian, kerana menurut falsafah hidup, 'manusia mempunyai tabiat menerima kemajuan', maka majulah pula tarikh pemerintahan itu menurut kemajuan manusia tadi, sampai kepada kemajuan tingkat sekarang ini. Timbullah undang-undang, mahkamah dan penjara, hukuman, hakim dan orang-orang yang dihukum.

Pemerintahan, perlu untuk menjaga pergaulan lahir dari manusia. Pergaulan lahir saja, Batinnya tidak!

Dengan adanya pemerintahan, terkekanglah nafsu syahwat manusia, terbatas rasa hendak menumpahkan darah dan terkongkong perasaan penjagaan kehormatan.

Pemerintahan menseimbangkan kemerdekaan diri dengan kepentingan bersama.

Tetapi ada lagi kerosakan-kerosakan yang oleh hukum tak dapat diikat, bermacam-macam tipu yang merosak masyarakat, yang oleh undang-undang negeri tak dapat ditangkap. Sebab tidak tertulis dalam artikel.

Diperkosanya bini orang, saksi tidak ada. Dicurinya harta orang dengan diam-diam, tetapi bukti tak cukup. Dirampasnya harta-benda orang lain lantaran dia kuat, golongan besar atau cerdik, sehingga pemerintah tak sanggup menangkapnya. Dia menipu, dengan berkulit pertolongan.

Dengan kejadian yang demikian, siapakah yang dapat menghukum? akim-hakim? Kadang-kadang hakim itu sendiri bekerja demikian pula.

Polis menangkap orang berjudi, tetapi dia sendiri seorang pendufi besar. Berapa banyak pokrol yang membela orang di muka hakim, padahal sebenarnya dia seorang pemeras, sehingga dapat gelar 'pokrol bambu', sebab di luarnya keras tetapi di dalamnya kosong.

Hakim itu disumpah.

Dengan nama apa dia bersumpah? "Demi kehormatanku", seperti di Turki, padahal kehormatannya sendiri yang kerapkali menyuruhnya memakan wang suap, rasuah untuk menumpuk harta kekayaan. Dengan nama Allah? Bagaimana, kalau dia sendiri tidak percaya kepada Allah? Kadang-kadang nama 'Allah' itu manjur (berguna) betul untuk penutup mulut orang yang ditipu.

Bukankah kerapkali terjadi huru-hara lantaran hakim-hakim itu juga?

Kian lama bentuk pemerintahan kian maju. Dari sewenang-wenang telah meningkat kepada demokrasi. Tetapi demokrasi menjadi 'besar bungkus tak berisi'. Sebab pemerintahan yang rendah mutunya, adalah cermin demokrasi dari bangsa yang juga bermutu rendah.

Sebab itulah maka perlu, tidak dapat tidak, pergaulan hidup diberi rukun yang keempat.

4. Percaya Pada Adanya Tuhan. (Mengakui Ada Suatu Kekuasaan Ghaib Yang Melindungi Alam).

Mempercayai bahawa alam ini ada yang menjadikan, berkuasa dan berkudrat iradat, luas ilmuNya di atas tiap-tiap sesuatu besar dan kecil, berlaku hukumNya, tidak memandang rendah dan tinggi, kaya dan miskin, hina dan mulia.

"Siapa yang mengamalkan kebaikan, walaupun sebesar zarrah, akan diperlihatkan juga kepadanya, barangsiapa yang beramal kejahatan walaupun sebesar zarrah, akan diperlihatkan juga kepadanya".

Membalas baik dengan kebaikan, membalas jahat dengan kejahatan pada kehidupan di balik kehidupan yang sekarang ini. Percaya pada Tuhan inilah yang dapat mengendalikan syahwat menuju kehendaknya, jangan terbentur dengan kepentingan orang lain dan jangan pula merosak diri sendiri. Inilah pula yang menentukan di mana batas-batasnya pertahanan diri dan penyerangan. Ini pula yang menentukan di mana batas penjagaan kehormatan diri dan di mana yang mengenai orang lain, itulah iman.

Kalau hati sunyi dari dua kepercayaan ini, iaitu adanya Allah dan adanya hari pembalasan pada kehidupan yang akhir, datanglah syaitan, bergelora syahwat, lepaslah nafsu dari rantainya, laksana anjing di pautan melompati tangan orang yang megang tulang. Terbukalah jalan kepada kerendahan budi, baik bagi diri sendiri, mahupun pergaulan hidup. Tertutup pintu menuju keutamaan.

Orang yang tidak percaya adanya hari pembalasan, hanya berpedoman kepada penjagaan kehormatan saja dapatkah menahan diri dari buru hara dan kebinasaan?

Dalam pergaulan hidup, kongkongan yang pertama itu datangnya ialah dari diri sendiri. Maka siapakah yang akan menghalangi diri dari huru hara dan kebinasaan jika dia tidak percaya adanya seksa dan pahala? Apalagi kalau perbuatan jika dia tidak pula disembunyikan, tidak tampak oleh mata orang lain dan mata pemerintah, apalagi kalau cukup pula baginya alat-alat dan kemewahan untuk menutup. Misalnya orang kaya boleh menutupi busuk namanya dengan wangnya, diktator menutupi kesalahan pemerintahannya dengan seldadu dan gas beracunnya, bom atomnya, atau dengan silat lidahnya.

Dimanakah lagi orang akan menuntut keadilan kalau tidak ada suatu kekuatan ghaib yang mengawasi tingkah lakunya?

Faham menyingkirkan Tuhan dari urusan pemerintahan pasti mendatangkan bahaya bagi masyarakat.

Meskipun, kelihatan orang yang mengingkari Tuhan itu berbudi baik, maka tempat tegak budinya amat rapuh, mandul tak beranak, kerana sumber sifat kesempurnaan itu telah dipotongnya lebih dahulu, urat tunggang budi pekerti itu telah dicabut.

Adapun orang yang tak mempercayai Tuhan, bangga mengatakan bahawa percaya kepada Tuhan mengajar kita pengecut, mengajar takut mati. Sedang terlepas dari mempercayai Tuhan, mengajar berani dan tak takut mati.

Memang, mereka tak takut mati, tak takut akan pahala dan dosa, seksa dan azab, sebab itu mereka berani melakukan segala kejahatan, segala aniaya, merdeka merosak sesama manusia, sebab mereka tak takut balasan. Mereka merasai enak terlepas dari kongkongan agama. Suasana dalam masyarakat begini adalah 'siapa kuat itulah yang di atas'. Siapa yang melawan, bunuh saja. Walaupun kawan sendiri. Keamanan jiwa tak ada di sini, kecuali bagi orang yang tidak hendak berfikir lagi.

Anehnya pula, jika golongan itu telah mulai berpengaruh di dalam satu bangsa, berikhtiarlah mereka hendak membongkar asas keamanan masyarakat. Menurut kawat Aneta 10 Ogos 1973, di Brussel diadakan kongres dari pemberantas agama di muka bumi ini. Mereka mengatur rencana hendak menghancurkan mahligai keberuntungan orang beragama, dengan beberapa asalan yang rendah. Mereka batalkan dan tolak segala agama. Mereka katakan agama itu hanya buatan fikiran manusia dan tahyul.

Mereka hendak mengajak manusia supaya kembali kepada kerendahan budi. Sebab dalam teori mereka tersebut bahawa manusia ini hanya binatang yang tidak lebih daripada binatang yang lain, malah banyak kekurangannya. Hidup sesudah hidup yang sekarang tidak ada.

Insan sama dengan tumbuhan-tumbuhan, tidak lebih tidak kurang, tumbuh dan tumbang. Dengan sendirinya, meskipun setengahnya tidak mengaku, terbukalah pintu kebinatangan bagi manusia merampas harta benda, bahkan merampas kemerdekaan jiwa dan fikiran.

Kalau kepercayaan seperti ini disiarkan, orang yang berrbudi dan berpengetahuan kepalang tanggung akan tertarik kepadanya. Kepercayaan akan mendorong kerosakan yang telah menjalari suatu umat.

Hubungan lelaki dan perempuan, tidak perlu dengan nikah lagi, kerana perkahwinan itu dianggap mengikat dan mengongkong fikiran, menaklukkan diri kepada agama, sebab itu lebih baik bersahabat saja. Rasa malu dan sopan mulai berkurang. Kalau kelihatan juga malu dan sopan, ialah sebelum partinya belum besar, malu segan kepada golongan banyak, masih takut diejek orang, padahal ejekan itu berlawanan dengan hatinya. Maka kacaulah keturunan.

Timbullah perasaan egois (hanya mencintai diri seorang amaniyah), tidak peduli pada orang lain. Sehingga untuk manafaat diri seorang atau bangsanya seorang, biar diri orang lain atau bangsa lain binasa. Mereka tidak takut mati, sebab itu mereka tidak segan berbuat jahat, neraka yang menunggu tidak mereka percayai. Tetapi mereka pun sangat takut mati, takut bercerai dengan kesenangan dunia yang rendah ini.

Kalau ada pergerakan kebangsaan, yang membela tanah air dan bangsa, orang yang cinta pada bangsa itu, ialah yang teguh berperang pada agama. Golongan pengikut Tuhan, yang mengaku bahawa dengan jalan dekikian, bernama ahli fikir, ahli ilmu, merekalah yang dahulu mundur bila bertemu bahaya.

Tetapi kalau pekerjaan orang-orang yang berjuang itu berhasil, mereka pulalah yang akan berkotek-kotek serupa ayam akan bertelur, dengan tidak malu-malu mengatakan bahawa semuanya itu ada atas jasanya.

Inilah akibat kesombongan jiwa.

Kesimpulannya ialah gabungan di antara ketiga unsur di dalam menegakkan hidup, membuat hidup bernilai. Hidup yang tidak berunsur, tidaklah bernilai.
  1. Kesedaran manusia akan diri peribadinya.
  2. Pemerintahan yang teratur, untuk menjaga gabungan peribadi yang satu dengan peribadi yang lain di dalam menuju peribadi besar, iaitu peribadi masyarakat.
  3. Agama sebagai sumber kekuasaan batin, yang dimulai pada diri peribadi, dan menampakkan coraknya di dalam masyarakat.

Tiada ulasan: