Catatan Popular

Isnin, 5 Mei 2025

PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (21) : SAMPAINYA PAHALA KEPADA ORANG MATI BAGI PELAKU IBADAH

PASAL : Apabila ada yang bertanya, Apakah disyaratkan pada sampainya pahala kepada orang mati bagi pelaku ibadah untuk menghibahkan pahalanya dengan ucapannya? Ataukah sudah cukup untuk sampainya pahala itu kepada si orang mati dengan niat si pelaku ibadah untuk menghadiahkannya kepada orang lain?

 

Jawaban atas pertanyaan itu yaitu sebagai berikut:

 

Tidak ada satu pun hadis-hadis di dalam sunah yang mensyaratkan pernyataan pemberian hadiah pahala. Alih-alih, Rasulullah saw. membiarkan tidak terikatnya suatu perbuatan yang dilakukan atas nama orang lain, semisal puasa, haji dan sedekah. Beliau tidak berkata kepada orang yang melakukan ibadah yang bersangkutan, “Ucapkanlah “Wahai Allah ini adalah atas nama fulan bin fulan”. Allah swt. tentu mengetahui niat dan maksud hamba-Nya dengan amal yang dilakukannya, Namun apabila seorang hamba melafalkan niatnya, maka itu boleh; dan apabila dia tidak melafalkannya dan merasa cukup dengan niat dan tujuannya, amal itu akan sampai kepada orang yang bersangkutan. Orang yang bersangkutan tidak perlu mengucapkan, “Wahai Allah, sesungguhnya aku berpuasa besok atas nama si fulan bin fulan.”

 

Atas dasar inilah-wallahu a’lam—terdapat syarat bagi orang yang mensyaratkan niat amal perbuatan atas nama orang lain untuk meniatkannya sebelum melaksanakan amal ibadah yang bersangkutan, dengan tujuan agar amalan tersebut benar-benar dilakukan atas nama si mayat.

 

Adapun apabila dia melakukannya untuk dirinya sendiri, lalu dia meniatkan untuk menghadiahkan pahalanya kepada orang lain, pahala amal perbuatannya itu tidak dapat berpindah begitu saja kepada orang lain yang bersangkutan hanya dengan niat, sebagaimana halnya apabila seseorang melakukan hibah, memerdekakan budak atau bersedekah, semua itu tidak akan dapat tercapai jika hanya berupa niat semata.

 

Di antara yang menjelaskan hal itu, yaitu bahwa apabila seseorang mendirikan suatu tempat dengan niat untuk menjadikan tempat itu sebagai masjid, madrasah, atau tempat penyimpanan air, atau lainnya, maka tempat itu menjadi wakaf dengan tindakannya yang diiringi niat tanpa perlu dilafalkan. Begitu pula halnya apabila seseorang menyerahkan suatu harta kepada seorang miskin dengan niat zakat, maka sudah gugurlah kewajiban zakat dari dirinya walaupun dia tidak melafalkan zakat.

 

Begitu pula halnya apabila seseorang melunasi suatu utang atas nama orang lain, baik orang si pengutang itu masih hidup maupun sudah mati, tanggungan orang itu sudah gugur walaupun ketika orang tersebut melakukan pelunasan dia tidak melafalkan, “Ini atas nama si fulan.”

 

Apabila ada yang bertanya, “Apakah perlu bagi pemberi hadiah pahala untuk mengucapkan “Wahai Allah, apabila Engkau menerima amalku ini, berikanlah pahalanya kepada Fulan,” ataukah tidak perlu ada ucapan seperti itu?

 

Jawaban atas pertanyaan itu yaitu, pernyataan seperti itu tidak diperlukan baik dalam bentuk lafal maupun dalam bentuk maksud. Bahkan tidak ada gunanya syarat seperti itu karena Allah swt. pasti akan melakukan itu baik dia menyebutkan syarat seperti itu maupun tidak. Kalau memang Allah swt. melakukan yang bukan seperti yang dimaksudkan oleh si pelaku ibadah tanpa adanya syarat, barulah syarat seperti itu ada gunanya.

 

Berkenaan dengan ucapan si pelaku ibadah “Wahai Allah apabila Engkau menerima amalku ini, berikanlah pahalanya kepada fulan”, maka sebenarnya hal itu dilakukan berdasarkan adanya anggapan bahwa pahala lebih dulu akan jatuh ke tangan pelaku ibadah. Setelah itu barulah pahala itu berpindah darinya kepada orang yang dia hadiahkan pahala itu kepadanya. Padahal kenyataannya tidaklah seperti itu, tetapi apabila si pelaku ibadah pada saat melakukan ibadah yang bersangkut. an meniatkan ibadahnya atas nama si Fulan, pahala amal itu lebih dulu akan jatuh ke tangan orang yang dihadiahi pahala ibadah tersebut.

 

Contohnya, yaitu apabila seseorang memerdekakan budak milik. nya atas nama orang lain, kami tidak menyatakan bahwa hak perwalian (wala’) budak itu jatuh ke tangan orang yang memerdekakan budak itu lebih dulu, kemudian hak itu berpindah ke tangan orang yang pemer. dekaan budak itu dilakukan atas namanya. Demikianlah hal ini adanya. Wallahul muwaffiq.

 

Apabila ada yang menanyakan apakah yang paling afdal dihadiahkan kepada orang yang sudah mati?

 

Jawabannya adalah: Yang paling afdal dihadiahkan kepada orang mati yaitu apa pun yang paling bermanfaat bagi dirinya. Pemerdekaan budak dan sedekah atas nama orang yang sudah mati jauh lebih utama daripada puasa yang dilakukan atas namanya. Adapun sedekah yang paling utama yaitu sedekah yang sesuai dengan kebutuhan pihak penerima sedekah (mutashaddaq ‘alaih) dan sedekah yang berkesinambungan berkelanjutan.

 

Salah satu di antara contoh sedekah seperti itu yaitu seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw., “Sedekah yang paling utama yaitu mengalirkan air.” Tentu saja hal ini berlaku di tempat yang mengalami kekurangan air dan banyak orang yang kehausan karena kalau kondisi yang terjadi tidak seperti itu, maka sedekah berupa penyaluran air melalui sungai-sungai dan saluran-saluran air tidak lebih utama dibandingkan pemberian makanan di tengah kelaparan.

 

Demikian pula halnya doa dan istigfar untuk memohonkan ampunan bagi orang yang sudah mati, apabila dilakukan dengan penuh keyakinan, keikhlasan, dan ketundukan dari orang yang melakukannya, maka ketika itu dilakukan pada tempat yang tepat itu lebih afdal davipada sedekah atas orang mati tersebut, seperti shalat jenazah dan doa di atas kuburannya.

 

Singkatnya, amalan yang paling utama dihadiahkan kepada orang Mati yaitu: memerdekaan budak, sedekah, istighfar, doa dan haji. Berkenaan dengan bacaan al-Quran yang pahalanya dihadiahkan kepada orang mati dan dilakukan secara suka rela tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepada orang mati yang bersangkutan, seperti sampainya pahala puasa dan haji.

 

Apabila ada yang menyatakan bahwa amalan seperti ini tidak pernah dikenal pada masa salaf dan tidak mungkin pula amalan seperti itu dinukil dari salah seorang di antara mereka dengan segala hasrat mereka dalam melakukan kebaikan. Sebagaimana Rasulullah saw. juga tidak pernah menunjukkan mereka untuk melakukan amalan itu karena beliau telah membimbing mereka untuk berdoa, beristighfar, bersedekah, berhaji dan berpuasa (yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal). Kalau memang pahala bacaan al-Quran dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal, Rasulullah saw. pasti juga akan membimbing mereka agar melakukan hal itu dan mereka pasti akan mengamalkan amalan itu.

 

Jawaban atas pertanyaan seperti itu, yaitu bahwa orang yang menyampaikan pertanyaan tersebut apabila dia mengakui sampainya pahala haji, puasa, doa, dan istigfar. Hendaklah dikatakan kepadanya bahwa kekhususan seperti itu tidak dapat menghalangi sampainya pahala bacaan al-Quran (kepada orang yang sudah mati), tetapi hanya menunjukkan sampainya pahala amalan-amalan tersebut (kepada orang yang sudah mati—Penj.). Tindakan seperti itu tidak lebih dari bentuk pembedaan terhadap beberapa hal yang sebenarnya serupa!

 

Kalaupun tidak ada yang mengakui semua itu, kecuali hanya si orang mati yang bersangkutan, maka orang yang berpendapat seperti tersebut di atas tetap terpatahkan pendapatnya oleh Kitabullah, sunah, ijmak dan kaidah-kaidah syariat.

 

Adapun berkenaan dengan sebab yang membuat kalangan salaf tidak tampak pernah melakukan amalan yang satu ini (menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada orang yang sudah mati—Penj.), maka sebenarnya itu terjadi karena mereka belum berada pada kondisi yang membuat mereka perlu menghadiahkan bacaan al-Quran kepada Orang yang sudah meninggal. Bahkan mereka tidak mengenal sama sekali amalan seperti itu. Mereka tidak pernah mendatangi kuburan untuk membaca al-Quran di situ seperti yang banyak dilakukan saat ini. Dan tidak pernah pula ada seorangpun di antara mereka yang didatangi oleh orang yang bersaksi bahwa pahala bacaan al-Quran dihadiahkan kepada si fulan yang sudah meninggal dunia. Bahkan tidak pula pahala sedekah atau pun puasa.

 

Lalu hendaklah dikatakan kepada orang yang berpendapat sepertj itu, “Apabila anda ditugaskan untuk menukil dari salah seorang di an. tara generasi salaf yang pernah mengucapkan doa “Wahai Allah pahala puasa ini untuk si fulan”, Anda tentu tidak akan bisa, karena mereka orang-orang yang sangat berusaha menyembunyikan amalan-amalan baik, sehingga mereka tidak pernah mempersaksikan pada Allah ten. tang sampainya pahala bacaan al-Quran kepada orang-orang mati.

 

Apabila dikatakan bahwa Rasulullah saw. telah membimbing mereka untuk melaksanakan ibadah puasa, sedekah, dan haji (untuk dihadiahkan pahalanya kepada orang yang sudah mati), tetapi beliau tidak pernah memberikan bimbingan seperti itu menyangkut bacaan al-Quran, maka jawaban atas pernyataan itu adalah sebagai berikut:

 

Rasulullah saw. tidak pernah mendahului menyampaikan bimbingan seperti itu kepada mereka. Tetapi selalu saja semua itu muncul dari Rasulullah saw. sebagai bentuk jawaban dari beliau kepada mereka.

 

Ada sahabat yang bertanya kepada beliau tentang haji yang dilakukan atas nama keluarganya yang sudah mati, maka beliau pun mengizinkan sahabat itu melakukannya. Lalu ada sahabat lain yang bertanya kepada beliau tentang puasa (yang dilakukan dengan niat pahalanya untuk orang yang sudah mati—Penj.), maka beliau pun mengizinkan sahabat itu melakukannya. Lalu ada sahabat lain yang bertanya kepada beliau tentang sedekah (yang dikeluarkan dengan niat pahalanya untuk orang yang sudah mati—Penj.), maka beliau pun mengizinkan sahabat itu melakukannya. Rasulullah saw. tidak pernah melarang para sahabat dari semua ibadah yang selain itu. Apakah ada perbedaan antara sampainya pahala puasa yang pelaksanaannya hanya dengan niat dan menahan diri dari semua hal yang membatalkan puasa, dengan sampainya pahala bacaan al-Quran?

 

Orang yang menyatakan bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan salaf yang pernah melakukan amalan seperti itu tidak lain merupakan orang yang tidak memiliki ilmu tentang masalah itu. Kenyataan ini menjadi bukti yang menunjukkan penafian terhadap segala yang tidak diketahuinya.

 

Bagaimana mungkin dia dapat mengetahui bahwa kalangan salaf melakukan amalan seperti itu, sementara mereka tidak pernah mempersaksikan amalan seperti itu kepada orang-orang yang ada bersama mereka. Alih-alih, cukuplah bagi mereka bahwa Allah mengetahui niat dan maksud mereka. Apalagi pengucapan niat untuk menghadiahkan amalan seperti itu sama sekali tidak disyaratkan,. seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

 

Satu hal yang tersembunyi dari masalah ini yaitu, bahwa pahala merupakan milik pelaku amal ibadah yang bersangkutan. Apabila kemudian orang tersebut memberikan atau menghadiahkan pahala itu kepada saudaranya sesama muslim, pasti Allah akan menyampaikan pahala itu kepada saudaranya. Jadi apakah kiranya yang dapat mengecualikan pahala bacaan al-Quran dari hal ini, dan apakah gerangan yang dapat menghalangi seorang hamba untuk mengirimkan pahala bacaan al-Quran-nya kepada saudaranya? Padahal ini merupakan amalan yang dilakukan oleh banyak orang sampai-sampai orang-orang mungkar pun melakukannya sepanjang masa, di mana saja tanpa ada satu pun ulama yang mengingkarinya.

 

Apabila ada yang bertanya tentang pendapat kami mengenai hadiah bacaan al-Quran untuk Rasulullah saw., maka jawaban atas pertanyaan itu ialah sebagai berikut:

 

Ada di antara para ahli fikih generasi belakangan yang menyatakan bahwa hukumnya mustahab. Namun, ada yang menyatakan bahwa hukum amalan seperti itu bukan mustahab, bahkan menganggapnya sebagai bidah. Karena para sahabat tidak pernah melakukan amalan seperti itu. Dan lagi, Rasulullah saw. sudah memiliki bagian dari semua pahala yang didapat oleh semua umat beliau dari segenap perbuatan baik yang mereka lakukan, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka. Karena beliaulah yang menunjukkan umat beliau untuk melakukan berbagai bentuk kebaikan. Beliau pun yang membimbing mereka dan menyeru mereka menuju kebaikan itu. Sebab “barang siapa yang menyeru ke arah hidayah, maka dia mendapatkan bagian dari pahala seperti pahala semua orang yang mengikutinya, tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka semua itu.” Setiap hidayah dan pengetahuan yang diterima oleh umat Rasulullah saw. selalu melalui tangan beliau saw., sehingga Nabi saw. berhak memiliki pahala seperti pahala sem, orang yang mengikutinya, baik yang beliau tunjukkan kepada mereka, maupun yang tidak. Wallahu a’lam.


PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (20) : PAHALA HAJI YANG SAMPAI KEPADA SI ORANG MATI ITU HANYALAH PAHALA INFAKNYA DAN BUKAN MANASIKNYA

PASAL : Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa dari pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan oleh orang hidup atas nama orang mati, maka yang sampai kepada si orang mati itu hanyalah pahala infaknya dan bukan manasiknya. 


Itu merupakan sebuah tuduhan kosong yang tidak berdasarkan dalil sunah membantah pendapat kalian itu karena Rasulullah saw. telah bersabda, “Berhajilah atas nama ayahmu!” Beliau juga telah bersabda kepada seorang perempuan, “Berhajilah atas nama ibumu!” Dengan sabda itu Rasulullah saw. telah menyampaikan bahwa memang ibadah haji itulah yang diatasnamakan kepada si Orang mati. Beliau tidak berkata bahwa hanya infak si orang mati itulah yang menjadi bagiannya.

 

Demikian pula halnya sabda Rasulullah saw. kepada orang yang beliau dengar bertalbiah atas nama Syubrumah, “Berhajilah atas nama dirimu, lalu berhajilah atas nama Syubrumah.”

 

Ketika seorang perempuan bertanya kepada Rasulullah saw. tentang anak kecil yang digendongnya, “Apakah anak ini berhaji?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya. Dan engkau juga mendapatkan pahala.” Pada saat itu Rasulullah saw. tidak mengatakan bahwa dia akan mendapatkan pahala infak. Alih-alih beliau justru mengabarkan bahwa dia memiliki haji meskipun dia tidak melakukan apa-apa, tetapi hanya walinya yang mewakilinya dalam pelaksanaan manasik.

 

Selain itu seorang wakil yang mewakili orang yang sudah mati terkadang tidak membelanjakan apa-apa dalam pelaksanaan hajinya kecuali hanya biaya untuk tempat tinggalnya. Jadi apakah gerangan yang membuat pahala infak biaya tempat tinggal itu sebagai milik orang yang dihajikan (mahjdaj ‘anhu), padahal orang yang melaksanakan haji tidak membelanjakan apa-apa dalam hajinya? Itulah infaknya baik dia menetap maupun melakukan perjalanan. Dan lagi, pendapat ini juga dibantah oleh sunah dan kiyas. Wallahu a’lam.


PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (19) : BEBERAPA PENDAPAT ULAMA MENGENAI PUASA ATAS NAMA ORANG YANG SUDAH MATI

PASAL : Berikut ini kami sampaikan beberapa pendapat ulama mengenai puasa atas Nama orang yang sudah mati, agar tidak ada dugaan bahwa dalam masalah ini ada ijmak yang bertentangan dengan ketentuan tersebut.

 

‘Abdullah bin “Abbas ra. menyatakan, “Hendaklah puasa dilakukan atas nama orang yang sudah meninggal dunia pada nazar dan hendaklah diberikan makanan atas nama orang yang sudah meninggal dunia pada qada puasa Ramadhan.” Ini juga menjadi mazhab Imam Ahmad.

 

Abu Tsaur menyatakan, “Hendaklah puasa dilakukan atas nama orang yang sudah meninggal dunia pada nazar dan ibadah fardu.” Demikianlah pula yang dinyatakan oleh Dawud bin “Ali dan para sahabatnya, “Hendaklah puasa dilakukan atas nama orang yang sudah meninggal dunia baik pada nazar maupun pada ibadah fardu.”

 

Auza’i menyatakan, “Hendaklah wali si orang meninggal mengeluarkan sedekah sebagai pengganti puasa itu. Apabila si wali tidak sanggup, hendaklah dia berpuasa atas nama si orang meninggal.” Ini juga merupakan pendapat Sufyan Tsauri dalam salah satu di antara dua riwayat yang berasal darinya.

 

Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam menyatakan, “Hendaklah puasa dilakukan atas nama orang yang sudah meninggal dunia pada nazar dan hendaklah diberikan makanan atas namanya pada ibadah fardu.”

 

Hasan menyatakan, “Apabila orang yang meninggal menanggung puasa satu bulan, lalu ada tiga puluh orang yang masing-masing berpuasa satu hari atas namanya, maka itu boleh.”


PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (18) : : BERKENAAN DENGAN PERNYATAAN IMAM SYAFI’I RAHIMAHULLAH TENTANG KEKELIRUAN PERAWI HADIS-HADIS IBNU “ABBAS RA.

PASAL : Berkenaan dengan pernyataan Imam Syafi’i rahimahullah tentang kekeliruan perawi hadis-hadis Ibnu “Abbas ra. yang menyatakan bahwa nazar Umm Sa‘d yaitu berupa puasa. 


Masalah ini telah dijawab oleh seorang, tokoh yang menjadi pendukung terkuat Imam Syafi’i, yaitu imam Baihaqi. Berikut ini kami nukilkan penjelasan Imam Baihaqi sesuai apa yang disampaikannya sendiri.

 

Imam Baihaqi menyatakan dalam kitab al-Ma’rifah setelah dia menjelaskan tentang pernyataannya:

 

Telah dipastikan boleh hukumnya mengganti puasa atas nama orang yang sudah mati berdasarkan riwayat dari Said bin Jubair, Mujahid, ‘Atha dan ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas ra. Dalam riwayat sebagian besar dari mereka disebutkan, “Sesungguhnya seorang perempuan bertanya…” Jadi tampaknya ini bukanlah kisah Umm Sa‘d. Sementara dalam riwayat sebagian lagi dari mereka disebutkan, “Berpuasalah engkau atas nama ibumu.”

 

Dia melanjutkan:

 

Yang mendukung kesahihannya adalah riwayat dari “Abdullah bin Atha al-Madani, dia berkata, ‘Abdullah bin Buraidah al-Aslami menuturkan kepadaku, dari ayahnya, dia berkata, Aku pernah bersama Rasulullah saw., lalu beliau didatangi oleh seorang perempuan yang kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku bersedekah berupa budak perempuan kepada ibuku, tetapi ibuku lalu meninggal dunia sementara budak perempuan itu tetap hidup.” Rasulullah saw. bersabda, “Pahala pun sudah ditetapkan dan budak perempuan itu dikembalikan kepadamu melalui warisan.” Perempuan itu berkata lagi, “Dia meninggal dengan menanggung puasa satu bulan.” Rasulullah saw. bersabda, “Berpuasalah engkau atas nama ibumu!” Perempuan itu berkata lagi, “Dia meninggal dan belum berhaji.” Rasulullah saw. bersabda, “Maka berhajilah atas nama ibumu!” Hadis-hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam ash-Sahih dari beberapa jalur, dari “Abdullah bin ‘Atha’.

 

Sampai di sini batas kutipan pernyataan Imam Baihaqi.

 

Saya (Ibnu Qayyim) menyatakan bahwa Abu Bakar bin Abu Syaibah meriwayatkan, Abu Mu’awiyah menuturkan kepada kami, dari A’masy, dari Muslim al-Bathin, dari Said bin Jubair, dari Ibnu “Abbas ra., dia berkata, Datang seorang lelaki kepada Rasulullah saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dunia dan dia masih menanggung puasa satu bulan. Apakah aku boleh mengganti atas namanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Utang Allah lebih berhak untuk dilunasi!”

 

Hadis-hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abu Khaitsaman Mulawiyah bin ‘Amr menuturkan kepada kami, Zaidah menuturkan kepada kami, dari A’masy, dst. Kemudian dia menyampaikan hadis-hadis tersebut.’

 

Hadis-hadis ini juga diriwayatkan oleh Nasa’i dari Qutaibah bin Said, ‘Abtsar menuturkan kepada kami, dari A’masy, dst. Kemudian dia menyampaikan hadis-hadis tersebut.

 

Jadi, hadis-hadis ini sama sekali bukanlah hadis-hadis Umm Sa‘q baik dilihat dari segi sanadnya maupun dari segi matannya karena kisah Umm Sad disampaikan oleh Imam Malik, dari Zuhri, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin Utbah, dari Ibnu ‘Abbas ra., bahwa Sad bin ‘Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah saw.. Dia berkata, “Sesungguhnya ibuku meninggal dunia dan dia menanggung nazar.” Rasulullah saw, bersabda, “Lakukanlah qada atas namanya!” Demikianlah hadis-hadis ini ditakhrij oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam dua kitab ash-Shahih karya mereka masing-masing.

 

Kalaupun memang inilah yang dihafal pada hadis-hadis ini, yaitu bahwa ini memang menyangkut sebuah nazar mutlak yang tidak disebutkan perinciannya, maka apakah hal itu dapat menjadi ‘illah (cacat) pada hadis-hadis A’masy, dari Muslim al-Bathin, dari Said bin Jubair, darinya (A’masy)? Karena Rasulullah saw. tidak meminta Sa’d untuk menjelaskan secara rinci mengenai nazar yang ditanyakannya; apakah nazar itu berupa shalat, sedekah atau puasa. Padahal orang yang bernazar mungkin saja menazarkan anu, anu, dan anu. Hal ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara qada nazar puasa dan qada nazar shalat karena kalau memang tidak demikian, pasti Rasulullah saw. akan bertanya kepada Sa’d tentang nazar apakah yang dinazarkan oleh mendiang ibunya. Kalaulah memang nazar terbagi menjadi dua, yaitu nazar yang dapat diqada atas nama penazar yang sudah mati dan nazar yang tidak dapat diqada atas nama penazar yang sudah mati, maka pasti harus dijelaskan lebih lanjut tentang nazar orang yang bersangkutan.


PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (17) : HADIS-HADIS TERSEBUT DI ATAS YAITU SEBUAH HADIS YANG TERKANDUNG IKHTILAF

PASAL : Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa hadis-hadis tersebut di atas yaitu sebuah hadis yang terkandung ikhtilaf dalam sanadnya.


Maka sebenarnya pernyataan kalian itu merupakan pernyataan ceroboh yang tidak boleh untuk diterima karena hadis-hadis itu statusnya sahih, sabit dan disepakati kesahihannya. Hadis-hadis itu diriwayatkan oleh kedua penulis kitab Sahih (yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim Penj.) dan tidak ada ikhtilaf dalam periwayatannya.

 

Ibnu ‘Abdul Barr menyatakan, “Telah tsabit (sahih) diriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Barang siapa yang meninggal dunia dengan menanggung puasa, hendaklah walinya berpuasa atas namanya”.

 

Hadis-hadis ini dinyatakan sahih oleh Imam Ahmad dan menjadi pendapat mazhabnya. Imam Syafi’i juga memberi komentar bahwa hadis-hadis ini sahih. Dia menyatakan, “Telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. sebuah riwayat tentang puasa atas nama orang yang sudah mati. Apabila hadis-hadis itu tsabit, hendaklah dilakukan puasa atas nama orang mati yang bersangkutan sebagaimana halnya haji boleh dilakukan atas namanya (si orang mati).” Dan ternyata hadis-hadis itu statusnya tsabit (sahih) tanpa ada keraguan dan itu pun menjadi mazhab Imam Syafi’i. Begitu pula yang dinyatakan oleh banyak imam dari kalangan pengikut Mazhab Syafi’i.

 

Imam Baihaqi menuturkan setelah dia menyampaikan riwayat ini dengan mengutip dari Imam Syafi’i, “Telah tsabit (sahih) bahwa dibolehkan qada atas nama orang yang sudah mati berdasarkan riwayat dari Said bin Jubair, Mujahid, ‘Atha’ dan Ikrimah, dari Ibnu Abbas ra. Dan dalam riwayat sebagian besar dari mereka dinyatakan bahwa yang bertanya seorang perempuan sehingga tampaknya riwayat mereka berbeda dari kisah Umm Sa‘d. Dalam riwayat sebagian dari mereka dikatakan, “Berpuasalah engkau atas nama ibumu!”.

 

Pada bagian mendatang akan dipaparkan mengenai hal ini dalam penjelasan tentang pernyataan Imam Baihaqi rahimahullah. Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa hadis-hadis tersebut di atas bertentangan dengan nas al-Quran, yaitu firman Allah swt., “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakan. nya.” (QS. an-Najm [53]: 39)

 

Maka itu merupakan bentuk ketidaksopanan (su’ul adab) dalam pernyataan dan sekaligus merupakan kesalahan yang besar dalam pengertian.

 

Allah swt. dan Rasulullah saw. telah melindungi dari kemung. kinan terjadinya pertentangan antara sunah Rasulullah saw. dengan nas al-Quran. Alih-alih bertentangan dengan nas al-Quran, sunah Rasulullah saw. justru memperkuat dan menegaskan nas-nas al-Quran, Demi Allah, tidak ada lagi gunanya fanatisme dan taklid!

 

Pada bagian terdahulu kami telah menyampaikan penjelasan tentang ayat tersebut (maksudnya, QS. an-Najm [53]: 39) yang kami anggap sudah cukup memadai. Kami juga sudah menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan sedikit pun antara ayat tersebut dengan sunah Rasulullah saw. Dugaan akan adanya pertentangan itu muncul semata-mata akibat jeleknya pemahaman.

 

Sungguh adalah sebuah jalan yang buruk dan hina, ketika jalan tersebut menolak sunah-sunnah yang tsabit (sahih) dengan menggunakan pemahaman atas pengertian lahiriah ayat-ayat al-Quran. Ilmu yang tertinggi adalah sunah yang menjelaskan tentang al-Quran, sebab sunah bersumber dari al-Quran dan sunah juga diambil dari sosok manusia yang al-Quran itu diturunkan kepadanya (yaitu Rasulullah saw—Penj). sunah merupakan penjelasan bagi al-Quran, bukan sebagai penentang bagi al-Quran.

 

Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa hadis-hadis tersebut di atas bertentangan dengan hadis-hadis riwayat Nasa’i yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh seseorang melakukan shalat atas nama orang lain. Tidak boleh seseorang melakukan puasa atas nama orang lain. Tetapi hendaklah diberikan makanan atas namanya setiap hari satu mud berupa gandum hinthah”; ini merupakan sebuah kesalahan yang buruk.

 

Yang benar, yaitu Nasa’i meriwayatkan riwayat ini sebagai berikut:

 

Muhammad bin “Abdul A’la mengabari kami, Yazid bin Zurai’ menuturkan kepada kami, Hajjaj al-Ahwal menuturkan kepada kami, Ayyub bin Musa menuturkan kepada kami, dari Atha’ bin Abu Rabah, dari Ibnu ‘Abbas ra., dia berkata, “Tidak boleh seseorang melakukan shalat atas nama orang lain. Tidak boleh seseorang melakukan puasa atas nama orang lain. Tetapi hendaklah diberikan makanan atas namanya untuk setiap satu hari satu mud berupa gandum hinthah.” Demikianlah itu yang diriwayatkan oleh Nasa‘i dan itu merupakan ucapan Ibnu ‘Abbas ra., bukan sabda Rasulullah saw. Jadi bagaimana mungkin sabda Rasulullah saw. dipertentangkan dengan ucapan Ibnu Abbas ra., lalu ucapan Ibnu ‘Abbas ra. itu yang lebih diunggulkan daripada sabda beliau, padahal telah diketahui dengan pasti adanya khilaf dari Ibnu ‘Abbas ra.?

 

Rasulullah saw. sama sekali tidak pernah bersabda seperti itu. Bagaimana mungkin beliau bersabda seperti itu, sementara telah tsabit (sahih) diriwayatkan dari beliau dalam dua kitab Sahih, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang meninggal dunia dan dia menanggung puasa, walinya harus berpuasa atas namanya”?

 

Bagaimana mungkin Rasulullah saw. bersabda seperti itu, sementara beliau telah bersabda dalam sebuah hadis dari Buraidah yang diriwayatkan oleh Muslim dalam ash-Shahih bahwa suatu ketika seorang perempuan berkata kepada Rasulullah saw., “Ibuku meninggal dunia dan dia menanggung puasa satu bulan”. Rasulullah saw. lalu berkata, “Berpuasalah atas nama ibumu?”

 

Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa hadis-hadis tersebut di atas bertentangan dengan hadis-hadis dari Ibnu ‘Umar ra., “Barang siapa yang meninggal dengan menanggung puasa Ramadhan, hendaklah diberikan makanan atas namanya”; maka itu juga sebuah kekeliruan yang sama seperti sebelumnya karena itu bukanlah hadis-hadis dari Rasulullah saw.

 

Baihaqi menyatakan bahwa hadis-hadis Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abu Laila, dari Nafi‘, dari Ibnu ‘Umar ra., dari Nabi saw., “Barang siapa yang meninggal dengan menanggung puasa Ramadhan, hendaklah diberikan makanan atas namanya”, statusnya tidak sahih karena Muhammad bin ‘Abdurrahman merupakan Sosok perawi yang sering mengira-ngira. Riwayat ini kemudian diriwayatkan oleh para sahabat Nafi’ dari Nafi’, dari Ibnu “Umar ra., dari ucapannya,

 

Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa hadis-hadis tersebut di atas bertentangan dengan kiyas jaliy yang dilakukan terhadap shalat, pernyataan keislaman dan tobat karena tidak boleh ada seorang pun yang melakukan hal-hal seperti itu dengan diatasnamakan pada orang lain; maka demi Allah, sungguh itu adalah sebuah kiyas jaliy yang jelas kebatilan dan kerusakannya karena kiyas tersebut telah membantah sunah Rasulullah saw. yang sahih dan jelas, yang justru menjadi saksi atas kebatilan kiyas seperti itu.

 

Kami telah menjelaskan tentang perbedaan antara tindakan mene. rima keislaman seorang kafir setelah orang kafir itu meninggal dunia, dengan diperolehnya manfaat oleh orang muslim dari apa yang dihadiahkan kepadanya oleh saudaranya sesama muslim dalam bentuk pahala puasa, sedekah atau shalat. Demi Allah, perbedaan antara kedua hal tersebut amatlah jelas sehingga tidak dapat disamarkan sedikit pun.

 

Apakah ada kiyas yang lebih jelek daripada kiyas yang dilakukan dengan menyamakan antara manfaat yang diperoleh orang muslim setelah kematiannya dari hadiah yang diberikan oleh saudaranya sesama muslim dalam bentuk pahala, dengan tindakan menerima keislaman seorang kafir setelah orang kafir itu mati? Atau dengan tindakan menerima tobat yang dilakukan atas nama seorang durjana setelah penjahat itu mati?


PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (16) : IBNU “ABBAS RA. MERUPAKAN SOSOK YANG MERIWAYATKAN HADIS-HADIS PUASA ATAS NAMA ORANG YANG SUDAH MATI.

PASAL : Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa Ibnu “Abbas ra. merupakan sosok yang meriwayatkan hadis-hadis puasa atas nama orang yang sudah mati.


Tetapi ternyata dia berpendapat bahwa tidak boleh ada seorangpun yang berpuasa atas nama orang lain; maka sebenarnya kesimpulan terjauh dari apa yang kalian sampaikan itu hanyalah kalangan sahabat terkadang mengeluarkan fatwa yang berbeda dari apa yang dia riwayatkan sendiri.

 

Hal seperti ini tidak merusak riwayat yang diriwayatkan oleh sahabat yang bersangkutan karena riwayatnya berstatus maksum, sementara fatwanya tidak berstatus maksum. Boleh jadi sahabat yang bersangkutan itu lupa hadis-hadis yang diriwayatkannya atau dia menakwil hadis-hadis itu atau dia meyakini bahwa hadis-hadis yang dia riwayatkan itu dibantah oleh riwayat lain yang lebih kuat menurut dugaannya atau ada sebab-sebab lagi selain itu.

 

Apabila diketahui bahwa sebenarnya fatwa Ibnu Abbas ra. tidak bertentangan dengan hadis-hadis tersebut. Oleh karena itu, Ibnu Abbas ra. berfatwa bahwa tidak boleh ada yang berpuasa atas nama orang lain, itu hanya berlaku pada puasa Ramadhan; adapun pada puasa nazar Ibnu Abbas ra. berfatwa bahwa boleh seseorang berpuasa atas nama orang lain. Alhasil, fatwa Ibnu Abbas ra. itu sebenarnya bukan bertentangan dengan riwayat yang dia riwayatkan, melainkan yang terjadi yaitu dia membawa hadis-hadis tersebut hanya berlaku pada perkara nazar.

 

Kemudian mengenai hadis, “Barang siapa yang meninggal dunia dengan menanggung puasa, hendaklah walinya berpuasa atas namanya ”, hadis-hadis itu statusnya tsabit (sahih) dari riwayat Aisyah ra. Kalaulah memang Ibnu Abbas ra. menyelisihi hadis-hadis itu, jantas apa? Tindakan Ibnu Abbas ra. menyelisihi hadis-hadis itu sama sekali tidak dapat menggugurkan riwayat dari Ummul Mukminin itu. Alih-alih, justru riwayat dari Aisyah ra. itulah yang lebih layak untuk membantah riwayat dari Ibnu Abbas ra. daripada riwayat Ibnu Abbas ra. yang membantah riwayat Aisyah ra.

 

Dan lagi, sebenarnya pendapat Ibnu Abbas ra. tentang masalah ini juga mengandung ikhtilaf, sebab ada dua riwayat darinya karena tidaklah pengguguran suatu hadis-hadis oleh sebuah riwayat yang menyelisihinya itu lebih utama daripada pengguguran riwayat tersebut oleh sebuah riwayat lain atau oleh sebuah hadis.

 


PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (15) : HADIS “BARANG SIAPA YANG MENINGGAL DENGAN MENANGGUNG PUASA, HENDAKLAH WALINYA YANG BERPUASA ATAS NAMANYA.”

PASAL : Berkenaan dengan bantahan yang kalian sampaikan terhadap hadis-hadis Rasulullah saw. yang berbunyi,

“Barang siapa yang meninggal dengan menanggung puasa, hendaklah walinya yang berpuasa atas namanya.”

 

Dengan beberapa sisi yang kalian sampaikan; maka kami ingin membela hadis-hadis Rasulullah saw. dan menjelaskan kesesuaiannya dengan bagian yang benar dari beberapa sisi itu. Adapun untuk bagian yang bathil dari apa yang kalian sampaikan, maka kami rasa cukuplah kebatilan itu bertentangan dengan hadis-hadis sahih yang jelas yang sama sekali tidak boleh disangkal dan tidak boleh disikapi dengan cara apa pun ketika kita menerima, kecuali hanya dengan mendengar, menaati, tunduk, dan menerimanya karena kita tidak memiliki hak untuk memilih lagi setelah adanya hadis-hadis sahih. Alih-alih, pilihan yang ada hanyalah dengan menerimanya, termasuk walaupun hadis-hadis itu ditentang oleh semua orang yang ada di antara timur dan barat.

 

Adapun berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa kalian akan menolak hadis-hadis itu dengan menggunakan pendapat Imam Malik dalam al-Muwaththa yang berbunyi, “Tidak boleh ada seorang pun yang berpuasa atas nama orang lain”, maka sebenarnya orang-orang yang membantah kalian menyatakan bahwa mereka akan membantah pernyataan Imam Malik itu dengan sabda Rasulullah saw. Kalau sudah seperti itu, maka kelompok manakah yang lebih benar dan lebih bagus bantahannya?

 

Adapun berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa Imam Malik menyatakan bahwa hal itu sudah menjadi ijmak yang tidak ada perselisihan lagi di dalamnya; maka sebenarnya Imam Malik rahimahullah tidak pernah menyampaikan ijmak umat ini dari semua muslim yang ada di antara timur bumi sampai baratnya karena yang Imam Malik sampaikan, yaitu pendapat penduduk Madinah yang sampai kepadanya dan memang tidak ada bantahan atas pendapat itu yang sampai kepadanya. Apalagi posisi Imam Malik rahimahullah yang tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat dalam hal itu tidak dapat menggugurkan hadis-hadis Rasulullah saw. Alih-alih, apabila semua penduduk Madinah berijmak atas sesuatu, maka mereka pasti akan berijmak bahwa mengambil hadis-hadis dari sosok yang maksum (yaitu Rasulullah saw.) jauh lebih utama daripada mengambil pendapat penduduk Madinah yang sama sekali tidak dijamin kemaksuman mereka dalam pendapat dan pernyataan mereka. Dan lagi, Allah swt. dan Rasulullah saw. tidak pernah menetapkan bahwa pendapat penduduk Madinah adalah hujah yang harus ditolak semua yang bertentangan dengannya. Allah swt. justru berfirman,

 

“..kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisa’ [4]: 59)

 

Apabila Imam Malik dan penduduk Madinah telah menyatakan bahwa tidak boleh ada seorang pun yang berpuasa atas nama orang lain, maka Hakam bin “Utaibah dan Salamah bin Kuhail telah meriwayatkan dari Said bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas, bahwa dia memfatwakan dalam, perkara qada’ puasa Ramadhan: Hendaklah diberikan makanan atas nama orang yang bersangkutan, sementara pada puasa nazar: Hendaklah dilakukan puasa atas nama orang yang bersangkutan. Ini menjadi mazhab Imam Ahmad dan mayoritas Ahli Hadis dan juga merupakan pendapat Abu’ Ubaid.

 

Abu Tsaur menyatakan bahwa puasa hendaklah dilakukan atas nama orang yang bersangkutan baik menyangkut puasa nazar (yang belum ditunaikan oleh orang yang terlanjur mati—Penj.) maupun puasa yang lainnya. Hasan bin Shalih menyatakan dalam perkara puasa nazar. Hendaklah walinya berpuasa atas nama orang yang bersangkutan.


PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (14) : IBADAH ADA DUA JENIS : IBADAH YANG DAPAT DIWAKILKAN DAN TIDAK DIWAKILKAN.

PASAL : Berkenaan dengan pendapat kalian yang menyatakan bahwa ibadah ada dua jenis : Ibadah yang dapat diwakilkan dan tidak diwakilkan.


Jenis pertama, yaitu ibadah-ibadah yang dapat diwakilkan sehingga hadiah pahala ibadah seperti itu akan dapat sampai kepada orang yang sudah mati. 


Jenis kedua, yaitu ibadah-ibadah yang tidak dapat diwakilkan, sehingga hadiah pahala ibadah seperti itu tidak akan dapat sampai kepada orang lain.

 

Apa yang kalian sampaikan itu merupakan pendapat yang sama-sama keliru seperti pendapat-pendapat kalian yang sebelumnya, jadi bagaimana mungkin kalian dapat berhujah dengan pendapat salah seperti itu? Dari manakah kalian menemukan pembagian ibadah seperti itu? Dari ayat al-Quran yang mana? Dari hadis-hadis yang mana? Atay dari hasil pemikiran yang manakah yang melahirkan pendapat seperti itu sehingga pendapat kalian itu harus diikuti?

 

Rasulullah saw. telah mensyariatkan puasa yang dilakukan atas nama orang yang sudah mati, padahal puasa termasuk ibadah yang tidak dapat diwakilkan kepada orang lain. Rasulullah saw. juga telah mensyariatkan bagi umat Islam untuk saling mewakilkan antar-sesama mereka dalam pelaksanaan ibadah-ibadah yang hukumnya fardu kifayah. Apabila ada satu orang saja yang sudah melaksanakan suatu ibadah fardu kifayah, maka orang itu sudah cukup mewakili semua muslim yang lain sehingga gugurlah dosa mereka semua berkat amalan satu orang itu.

 

Rasulullah saw. juga telah mensyariatkan bagi pengasuh anak kecil yang belum matang akalnya untuk mewakili si anak kecil ketika melaksanakan ibadah haji dalam pelaksanaan ihram dan manasik lainnya.

 

Bahkan beliau menyatakan bahwa si anak kecil tetap mendapatkan pahala atas apa yang dilakukan oleh pengasuh yang mewakilinya dalam ibadah itu.?

 

Abu Hanifah menyatakan bahwa seorang pendamping boleh melaksanakan ihram atas nama seseorang yang sedang pingsan. Para pengikut Mazhab Hanafi menyatakan bahwa ihram yang dilakukan si pendamping itu sama kedudukannya dengan ihram orang yang pinggall tersebut.

 

Syari’ (pemberi syariat) telah menetapkan bahwa keislaman kedua orang tua sama kedudukannya dengan keislaman anak-anak mereka. begitu pula halnya keislaman orang yang menawan tawanan dan orang yang memiliki budak, menurut pendapat yang umum.

 

Anda telah dapat melihat betapa syariat yang sempurna ini telah menetapkan bahwa berbagai perbuatan bajik yang dilakukan pelakunya dapat menjangkau orang lain. Jadi bagaimana mungkin dapat dinyatakan bahwa syariat menghalangi hamba Allah untuk dapat memberi manfaat bagi kedua orang tuanya, karib-kerabatnya, dan saudara-saudaranya sesama muslim di saat-saat mereka sedang sangat membutuhkan kebaikan dan kebajikan yang dilakukan si hamba, lalu pahalanya dihadiahkan kepada mereka?

 

Dan bagaimana mungkin pula seorang hamba dapat menghalangi dirinya sendiri atau dihalangi oleh orang lain atas seseorang, yang sydri’ sendiri tidak pernah menghalangi si hamba untuk mendapatkan pahala dari amal ibadah yang dilakukan si hamba itu, untuk kemudian dia alihkan sebagian dari pahala ibadah apa pun yang dia lakukan itu kepada siapa pun sekehendaknya dari kalangan umat Islam? Sementara hal yang menyebabkan sampainya pahala haji, sedekah, dan pemerdekaan budak (dari seseorang kepada orang lain—Penj.) adalah sesuatu yang ( sama dengan apa yang menyebabkan sampainya pahala puasa, shalat, membaca al-Quran, dan iktikaf; yaitu Islam yang dihidayahkan kepadanya, kerelaan pemberi hadiah dengan segala kebaikannya, dan tidak adanya halangan dari syari’ terhadap hamba untuk berbuat baik karena syari’ juga mendorong hamba untuk melakukan kebaikan dengan jalan apa pun.

 

Telah ada begitu banyak mimpi yang dialami oleh orang-orang mukmin yang diriwayatkan oleh begitu banyak orang dari generasi ke generasi, yang menunjukkan adanya pengabaran dari orang-orang yang sudah mati kepada orang-orang yang masih hidup mengenai sampainya hadiah yang diberikan oleh mereka yang masih hidup kepada mereka yang sudah mati, baik itu berupa bacaan al-Quran, shalat, sedekah, haji, maupun ibadah-ibadah lainnya.

 

Kalau saja semua yang diceritakan kepada kami oleh orang-orang di masa sekarang dan berbagai riwayat yang kami terima dari orang-orang terdahulu mengenai hal ini kami sampaikan di sini, pastilah pemaparannya akan menjadi sangat panjang.

 

Rasulullah saw. bersabda, “Aku melihat mimpi-mimpi kalian menunjukkan satu hal yang sama pada sepuluh yang terakhir.’’ Rupanya Rasulullah saw. mengambil iktibar dari mimpi-mimpi serupa yang dialami oleh orang-orang mukmin. Hal ini sama seperti ketika diambil iktibar dari riwayat-riwayat yang serupa yang kemudian me. reka riwayatkan beramai-ramai tentang apa yang mereka saksikan, Kaum muslimin mustahil berdusta dalam periwayatan—termasuk dalam perkara mimpi—apabila berbagai riwayat yang mereka riwayatkan itu bermiripan.

 


PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (13) : AMAL SESEORANG BERMANFAAT BAGI ORANG LAIN DAN TOBAT

PASAL : Berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa apabila amal seseorang bermanfaat bagi orang lain, berarti dapat bermanfaat pula tobat yang dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain dan keislaman yang dilakukan seseorang atas nama orang lain. 


Pernyataan seperti itu merupakan bentuk ketidakjelasan yang dapat disampaikan dengan dua bentuk sebagai berikut:

 

Bentuk yang menunjukkan adanya kepastian yang di dalamnya dinyatakan adanya kepastian antara dua hal, lalu dijelaskan mengenai gugurnya hal yang memastikan sehingga menjadi gugur pula hal yang dipastikan. Maksudnya, apabila seseorang dapat memperoleh manfaat dari amal yang dilakukan orang lain atas namanya, berarti seseorang juga dapat memperoleh manfaat dari keislaman atau tobat yang dilakukan orang lain atas nama dirinya. Ketika ternyata hal seperti itu tidak bermanfaat baginya, maka berarti tidak bermanfaat pula amal yang dilakukan orang lain itu.

 

Bentuk kedua yaitu dengan mengatakan bahwa keislaman dan tobat yang dilakukan orang lain tidak bermanfaat bagi seseorang sehingga kalau demikian maka tidak bermanfaat pula baginya shalat, puasa, dan bacaan al-Quran orang lain bagi diri seseorang itu.

 

Padahal telah diketahui dengan jelas bahwa hubungan kepastian dan keterkaitan seperti ini adalah batil berdasarkan beberapa alasan berikut ini:

 

Alasan pertama karena itu merupakan bentuk analogi yang berbenturan dengan apa yang sudah dijelaskan secara gamblang oleh nas dan berbenturan pula dengan ijmak umat Islam.

 

Alasan kedua karena pendapat di atas merupakan bentuk penggabungan antara hal-hal yang Allah swt. telah pisahkan. Allah swt. telah memisahkan antara keislaman seseorang atas nama orang lain dengan tindakan bersedekah, berhaji, dan memerdekakan budak atas nama lain. Kiyas yang menyamakan antara kedua perkara yang berbeda itu sama saja dengan kiyas yang dilakukan oleh orang-orang yang menyamakan antara binatang bangkai dengan binatang yang disembelih secara sah atau menyatakan antara riba dengan jual-beli.

 

Alasan ketiga karena Allah swt. telah menjadikan Islam sebagai jalan bagi kaum muslimin untuk saling memberi manfaat antara satu sama lain, baik dalam kehidupan maupun setelah kematian. Oleh karena itu, apabila seseorang tidak menempuh jalan manfaat yang didapat melalui amal perbuatan orang-orang muslim, tentu dia tidak dapat memperoleh manfaat tersebut. Hal inilah yang dinyatakan oleh Rasulullah saw. kepada ‘Amr ra., “Sesungguhnya ayahmu, apabila dia mengakui tauhid lalu engkau berpuasa dan bersedekah atas namanya, itu bermanfaat baginya.”

 

Hal ini serupa dengan tindakan Allah swt. yang telah menjadikan islam sebagai jalan menuju diperolehnya manfaat oleh hamba dari kebaikan yang dilakukannya. Apabila seorang hamba mengabaikan jalan ini, tidak akan bermanfaat amal perbuatannya dan tidak akan diterima kebaikan darinya.

 

Hal ini serupa dengan tindakan Allah swt. menjadikan ikhlas dan ittiba’ sebagai jalan bagi diterimanya amal ibadah. Apabila dua hal itu tidak dipenuhi, amal perbuatan hamba tentu tidak akan diterima. Hal ini serupa dengan tindakan Allah swt. yang telah menetapkan wudhu dan semua syarat sah shalat sebagai jalan bagi sahnya shalat. Apabila syarat-syarat sah shalat tidak dipenuhi, maka sahnya shalat tentu juga tidak akan tercapai.

 

Demikianlah seterusnya kondisi semua bentuk jalan dan tujuan yang dicapai melalui jalan-jalan tersebut baik dilihat dari segi syariat, akal, maupun perasaan. Siapa pun yang menyamakan antara dua kondisi ini, yaitu kondisi adanya jalan dan tidak adanya jalan, dapat dipastikan bahwa dia telah keliru.

 

“Kegilaan” ini sebanding dengan pendapat yang menyatakan bahwa apabila syafaat bagi para pemaksiat dapat diterima, pasti akan diterima pula syafaat bagi orang-orang musyrik. Apabila para pelaku dosa besar dari kalangan Ahli Tauhid (kaum mukminin) kelak akan dapat keluar dari neraka, berarti orang-orang kafir juga akan dapat keluar dari neraka.

 

Dan masih banyak bentuk-bentuk kiyas yang sebenarnya muncul dari kenajisan pikiran dan kebusukan mulut orang-orang yang melakukannya! Singkatnya, sebenarnya yang lebih utama dilakukan oleh para ulama adalah tidak menyibukkan diri untuk membantah berbagai bentuk racauan ini, kalau bukan karena orang-orang sesat itu telah mengotori lembaran-lembaran amal ibadah dan hubungan baik anta, warga masyarakat!

 


PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (12) : SEMUA TAKLIF MERUPAKAN UJIAN DAN COBAAN

PASAL : Adapun mengenai pernyataan kalian bahwa semua taklif merupakan ujian dan cobaan sehingga tidak boleh dibadalkan, sebab tujuan dari semua taklif, yaitu mukalaf yang bersangkutan.

 

Jawaban atas pernyataan itu, yaitu bahwa pendapat seperti itu tidak dapat menghalangi adanya izin dari syari’ bagi orang muslim untuk memberi manfaat kepada saudaranya dengan sesuatu dari amalnya Alih-alih, hal itu merupakan bentuk kesempurnaan kebaikan Allah serta rahmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya. Sebagaimana itu juga merupakan bentuk kesempurnaan syariat Islam yang telah ditetapkan bagi mereka, yang landasan syariat itu adalah keadilan, kebaikan dan Sikap saling tolong-menolong.

 

Allah swt. telah memerintahkan para malaikat dan para pemikul arsy-Nya untuk berdoa bagi hamba-hamba-Nya yang mukmin, ber. istighfar memohonkan ampunan bagi mereka semua, serta Meminta kepada-Nya agar melindungi mereka dari segala keburukan.

 

Allah swt. juga memerintahkan kepada Rasul terakhir-Nya saw. untuk beristighfar memohonkan ampunan bagi kaum mukminin dan muk. minat, serta menempatkan beliau di Hari Kiamat pada Tempat Terpuji (maqam mahmad), sehingga beliau dapat memberi syafaat kepada para pengikutnya dan para pemegang sunahnya yang melakukan kemasiatan.

 

Allah swt. juga telah memerintahkan kepada Rasulullah saw. untuk mendoakan para sahabat-sahabat beliau baik ketika mereka masih hidup maupun setelah mereka mati, sehingga Rasulullah saw. diketahui sering berdiri di dekat kuburan para sahabat dan mendoakan mereka.

 

Syariat dengan tegas telah menetapkan bahwa dosa yang harus ditanggung oleh semua orang akibat mereka semua meninggalkan suatu amalan fardu kifayah akan langsung gugur apabila ada orang yang melaksanakan amalan tersebut sesuatu yang dimaksud, meskipun yang melakukan itu hanya satu orang.

 

Allah swt. telah menghapuskan tanggungan dan rasa panas kulit orang mati di dalam kuburnya apabila ada orang yang masih hidup yang menanggung utang orang mati tersebut lalu melunasinya. Walaupun utang itu merupakan kewajiban yang menjadi ujian yang merupakan hak mukalaf.

 

Rasulullah saw. telah mengizinkan pelaksanaan haji dan puasa atas nama orang yang sudah mati, walaupun kewajiban-kewajiban seperti itu merupakan ujian pada haknya.

 

Rasulullah saw. juga menggugurkan kewajiban Sujud Sahwi dari makmum dengan sahnya shalat imam yang bersih dari kealpaan, sebagaimana beliau juga menggugurkan kewajiban membaca Surah al-Fatihah dari makmum dengan bacaan surah tersebut oleh imam. Jadi, imamlah yang menanggung kealpaan, bacaan, dan sutrah makmum karena bacaan dan sutrah imam menjadi bacaan dan sutrah bagi orang-orang yang bermakmum di belakangnya.

 

Bukankah kebaikan kepada mukalaf dengan menghadiahkan pahala kepadanya itu tidak lain merupakan bentuk pengharapan akan kebaikan Allah swt.? Karena Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. “Semua makhluk adalah keluarga Allah, maka yang paling Dia cintai di antara mereka adalah yang paling bermanfaat bagi keluarga-Nya.” Apabila Allah swt. mencintai orang yang bermanfaat bagi keluarga-Nya meski manfaat itu hanya berupa seteguk air, sececap susu atau secuil roti; lantas bagaimanakah kiranya kecintaan Allah kepada hamba-Nya yang bermanfaat bagi hamba-Nya yang lain di saat hamba-hamba-Nya yang lain itu berada dalam kondisi lemah, miskin, tidak dapat beramal lagi, dan mereka benar-benar membutuhkan hadiah pahala melebihi kebutuhan mereka sebelumnya! Orang yang paling Allah cintai adalah siapa yang paling bermanfaat bagi keluarga-Nya dalam kondisi seperti itu.

 

Atas dasar inilah kemudian muncul sebuah atsar dari kalangan salaf yang berbunyi, “Barang siapa yang setiap hari merapalkan tujuh puluh kali bacaan,

 

“Wahai Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku, kaum muslimin, kaum muslimat, kaum mukminin dan kaum mukminat”. Niscaya dia akan mendapatkan pahala sebanyak bilangan orang muslim, muslimat, mukmin, dan mukminat.

 

Anda tidak boleh menganggap mustahil hal seperti ini karena apabila seorang muslim beristighfar memohonkan ampunan bagi saudara-saudaranya, berarti dia sudah berbuat baik kepada mereka dan Allah swt. tidak mungkin menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.


PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (11) : BERARTI DIBOLEHKAN PULA PEMBERIAN HADIAH PAHALA AMALAN-AMALAN WAJIB YANG HARUS DILAKSANAKAN OLEH ORANG YANG MASIH HIDUP.

PASAL : Adapun berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa apabila pemberian hadiah dibolehkan, berarti dibolehkan pula pemberian hadiah pahala amalan-amalan wajib yang harus dilaksanakan oleh orang yang masih hidup.

 

Jawaban atas pernyataan itu, bahwa hal seperti itu hukumnya mustahil berdasarkan landasan yang digunakan oleh orang yang mensyaratkan sampainya (pahala kepada orang mati) harus disertai dengan niat amal atas nama orang mati yang bersangkutan karena sesungguhnya kewajiban tidak sah untuk dilakukan atas nama orang lain. Kewajiban itu merupakan kewajiban atas si pelaku yang bersangkutan dan wajib atas dirinya untuk meniatkan apa yang dilakukannya itu untuk bertakarub kepada Allah swt.

 

Adapun menurut orang yang tidak mensyaratkan niat amal atas nama orang lain, lalu apakah menurutnya dibolehkan untuk menjadikan pahala kewajiban sebagai milik orang yang sudah mati?

 

Jawaban atas pertanyaan ini ada dua:

 

Abu ‘Abdullah bin Hamdan berkata, “Telah dikatakan bahwa apabila yang dihadiahkan oleh pelaku amal merupakan pahala ibadah wajibnya seperti shalat, puasa, dan sebagainya; hal itu boleh dan amalan tersebut sah bagi si pelaku.”

 

Saya nyatakan bahwa telah dinukil dari sekelompok orang bahwa mereka telah menjadikan pahala amal-amal mereka yang berupa amalan wajib dan amalan sunah, untuk kaum muslimin. Mereka lalu menyatakan bahwa mereka akan menghadap Allah dalam keadaan miskin dan bangkrut total!

 

Syariat tentu tidak dapat melarang sikap seperti itu karena pahala adalah milik pelaku amal. Apabila dia mau, dia dapat menyerahkannya kepada orang lain karena memang tidak ada larangan atas itu. Walléhu a’lam.

 


PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (10) : DIBOLEHKAN PULA PENGHADIAHANNYA KEPADA ORANG LAIN SETELAH SI PELAKU MELAKSANAKAN AMAL YANG BERSANGKUTAN ITU UNTUK DIRINYA SENDIRI.

PASAL : Kalian berpendapat bahwa apabila hal itu dibolehkan, maka dibolehkan pula penghadiahannya kepada orang lain setelah si pelaku melaksanakan amal yang bersangkutan itu untuk dirinya sendiri. 


Kalian juga berpendapat bahwa si pelaku harus berniat menghadiahkan pahala amalnya kepada orang mati ketika dia melaksanakan amal ibadah yang dilakukannya karena jika itu tidak dilakukan, maka pahalanya tidak akan sampai.

 

Jawaban atas pernyataan kalian itu, yaitu bahwa masalah tersebut tidak pernah dinukil dari Imam Ahmad dan tidak pula terdapat dalam pernyataan orang-orang kalangan awal di antara para pengikut Imam Ahmad. Yang menyampaikan pendapat seperti itu, yaitu al-Qadhi dan para pengikutnya.

 

Ibnu ‘Aqil menyatakan bahwa, apabila seseorang melaksanakan suatu ibadah berupa shalat, puasa atau membaca al-Quran, lalu dia menghadiahkan pahalanya kepada orang muslim yang sudah meninggal dunia. Pahala itu akan sampai kepada si orang mati dan akan permanfaat baginya, dengan syarat orang yang melakukan ibadah itu harus mengawali ibadahnya dengan niat memberikan pahala amalnya sebagai hadiah (bagi orang lain) atau niat itu dilekatkan bersama ibadah yang bersangkutan.

 

Abu “’Abdullah bin Hamdan menyatakan dalam ar-Ri’ayah bahwa parang siapa yang melakukan ibadah secara tathawwu’ (sunah) berupa sedekah, shalat, puasa, haji, umrah, membaca al-Quran, pemerdekaan pudak dan berbagai bentuk ibadah fisik lain yang dapat diwakilkan oleh orang lain atau ibadah material. Setelah itu, orang yang melakukannya akan menyerahkan seluruh pahalanya atau sebagiannya kepada seorang muslim yang sudah meninggal. Bahkan seandainya orang mati itu adalah Rasulullah saw. dan dia mendoakan orang mati itu, memohonkan ampunan baginya, atau menunaikan hak syariat yang ditanggung orang mati itu, atau yang dilakukan oleh si pelaku ibadah itu adalah ibadah wajib yang sah diwakilkan, maka semua itu akan bermanfaat bagi si orang mati dan pahala ibadah itu juga akan sampai kepadanya.

 

Akan tetapi, ada yang menyatakan bahwa apabila si pelaku ibadah meniatkannya (penyerahan pahala kepada orang lain—Penj.) ketika dia sedang melaksanakan ibadah yang bersangkutan atau sebelum itu; pahala ibadah itu akan sampai kepada orang lain yang dimaksud; namun apabila tidak seperti itu, pahala ibadah tersebut tidak akan sampai kepada orang lain itu.

 

Satu hal yang tersembunyi dari masalah ini, yaitu apakah disyaratkan dicapainya pahala secara langsung oleh orang yang menerima hadiah pahala itu ataukah pahala itu akan diberikan terlebih dulu kepada si pelaku ibadah lalu darinya pahala itu berpindah kepada orang lain?

 

Orang yang mensyaratkan pelaku untuk berniat sebelum melaksanakan ibadah yang dilakukannya atau setelah dia selesai melaksanakan ibadah itu menyatakan bahwa apabila si pelaku ibadah tidak meniatkan hal itu (pengalihan pahalanya kepada orang lain—Penj.), maka pahala ibadahnya adalah untuk si pelaku itu sendiri. Pahala itu tidak dapat dialihkan darinya kepada orang lain karena sesungguhnya pahala mengikuti amal, seperti ikutnya akibat pada penyebabnya.

 

Oleh karena itulah, apabila seseorang memerdekakan Seorang budak atas nama dirinya sendiri, maka hak perwalian (wala’) buda itu melekat padanya. Apabila dia (pemerdeka budak) mengalihkan hak wala’ itu kepada orang lain setelah pemerdekaan dilakukan, maka hak wala’ itu tidak dapat berpindah. Hal ini berbeda apabila seseorang memerdekakan seorang budak atas nama orang lain, hak perwalian (wala’) budak itu melekat pada orang lain itu yang si budak dimerdekakan atas namanya.

 

Begitu pula apabila seseorang melunasi utang atas nama dirinya lalu setelah pelunasan dilakukan dia ingin mengalihkan pelunasan itu kepada orang lain, dia tidak boleh melakukan hal itu. Demikian pula, halnya apabila seseorang melakukan ibadah haji, puasa atau shalat atau nama dirinya sendiri, setelah itu dia ingin menjadikan pahala ibadah, nya itu untuk orang lain, dia tidak boleh melakukan hal itu.

 

Ketentuan ini ditegaskan oleh orang-orang yang bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hal ini tidak pernah bertanya kepada beliau tentang menghadiahkan pahala suatu amal ibadah setelah amal yang bersangkutan itu selesai dilakukan. Yang mereka tanyakan adalah tentang amal ibadah yang akan mereka lakukan atas nama orang yang sudah meninggal dunia.

 

Contohnya seperti ucapan Sa‘d, “Apakah bermanfaat baginya apabila aku bersedekah atas namanya?” Saat itu Sa‘d tidak bertanya, “Apakah aku dapat menghadiahkan kepadanya pahala dari apa yang sudah kusedekahkan atas namaku sendiri?”

 

Demikian pula halnya pertanyaan seorang perempuan kepada Rasulullah saw., “Apakah aku dapat melaksanakan haji atas namanya?” dan ucapan seorang lelaki lain, “Apakah aku dapat melaksanakan haji atas nama ayahku?”

 

Rasulullah saw. lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka itu dengan izin untuk melaksanakan perbuatan atas nama orang-orang yang sudah mati itu, bukan dengan menghadiahkan pahala dari apa-apa yang mereka amalkan untuk diri mereka sendiri kepada orang-orang yang sudah mati itu. Hal seperti ini tidak pernah sekalipun diketahui bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya tentang itu dan tidak pernah diketahui bahwa ada seorang sahabat beliau yang pernah melakukannya dan berkata, “Wahai Allah, jadikanlah untuk si Fulan pahala amal saya yang terdahulu!” atau “…pahala apa yang sudah saya lakukan untuk diri saya!”.

 

Ini merupakan rahasia dari syarat dan dia lebih memahami. Orang yang tidak mensyaratkan hal itu berkata bahwa pahala adalah milik orang yang melakukan. Apabila kemudian dia menghadiahkannya kepada orang lain, maka itu sama seperti dia menghadiahkan sesuatu dari hartanya.


PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (9) : PENGHADIAHAN SETENGAH ATAU SEPEREMPAT PAHALA ORANG YANG MASIH HIDUP KEPADA ORANG YANG SUDAH MATI.

PASAL : Adapun berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa hal itu di bolehkan, maka menjadi boleh pula penghadiahan setengah atau seperempat pahala orang yang masih hidup kepada orang yang sudah mati.


kami akan menjawabnya dari dua sisi:

 

Pertama, pernyataan itu tidak dapat dipastikan karena kalian tidak, menyebutkan dalil apa pun atas pendapat kalian itu, selain hanya berupa anggapan.

 

Kedua, pernyataan itu dapat dipastikan sehingga pendapat itu dapat diikuti. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Ahmad dalam riwayat dari Muhammad bin Yahya al-Kahbhal. Dalih pendapat ini yaitu bahwa pahala merupakan miliknya (si pelaku) sehingga dia dapat menghadiahkan seluruhnya, sebagaimana dia juga dapat menghadiahkan sebagiannya. Penjelasannya, apabila si pelaku ibadah menghadiahkan pahala ibadahnya untuk—misalnya—empat orang, berarti masing-masing orang akan mendapatkan seperempat. Apabila si pelaku ibadah menghadiah. kan seperempat dari pahala amalnya, lalu dia tetap mengambil pahala yang sisanya, itu boleh, seperti halnya apabila dia menghadiahkan seluruhnya untuk orang lain.


PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (8) : PEMBERIAN HADIAH KEPADA ORANG MATI DIBOLEHKAN.

PASAL : Adapun berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa apabila pemberian hadiah kepada orang mati dibolehkan. 


Sehingga berarti dibolehkan pula pemberian hadiah kepada orang hidup; maka jawaban atas pernyataan itu dapat disampaikan melalui dua sisi sebagai berikut:

 

Pertama: Sebagian ahli fikih pengikut Imam Ahmad dan lainnya memilih pendapat ini. Qadhi menyatakan bahwa pernyataan Ahmad tidak berkonsekuensi pada terjadinya takhsis pada orang mati karena dia menyatakan, “Dia melakukan kebaikan lalu menyerahkan setengahnya kepada ayah dan ibunya” tanpa membedakan semua itu.

 

Abul Wafa’ bin ‘Aqil membantah ucapan Ahmad itu dengan menyatakan bahwa di dalamnya terdapat pengertian yang jauh dari kebenaran, bahkan merupakan bentuk sikap main-main terhadap syariat, penyimpangan dari amanat Allah dan penantangan terhadap Allah swt. dengan pahala amal yang dialihkan kepada orang lain. Setelah kematian, Allah swt. telah membuatkan untuk manusia suatu jalan yang menghantarkan manfaat kepada orang mati seperti istigfar permohonan ampun dan shalat terhadap mayat.

 

Setelah itu disampaikan sebuah pertanyaan kepada dirinya, yaitu: Apabila ditanyakan bahwa bukankah tindakan melunasi utang dan memikul beban yang dilakukan di saat masih hidup sama seperti ketika tindakan-tindakan seperti itu dilakukan setelah mati? Tanggungan orang hidup sama dengan tanggungan orang mati; yaitu bahwa keduanya dapat menghilangkan tuntutan darinya. Apabila pelunasan utang setelah kematian terjadi dan ketika orang yang bersangkutan masih hidup sama-sama “sampai” (maksudnya, sampai kepada pemilik piutang), berarti kalian harus menetapkan bahwa pahala yang dihadiahkan juga sampai baik di saat masih hidup maupun di saat sudah meninggal.

 

Pernyataan ini lalu dijawab dengan dinyatakan bahwa apabila pernyataan ini benar, berarti dosa-dosa yang dimiliki seseorang yang masih hidup dapat dihapuskan dengan tobat yang dilakukan oleh orang lain yang bertobat atas nama si pemilik dosa itu, sebagaimana seseorang juga dapat terhindar dari dosa-dosa di akhirat berkat amal perbuatan dan istigfar yang dilakukan orang lain.

 

Saya katakan di sini bahwa hal seperti itu tidak pasti akan terjadi seperti itu. Alih-alih hal itu dikembalikan kepada manfaat yang didapatkan orang hidup berkat doa orang lain untuknya, istigfar orang lain untuknya, sedekah atas namanya, dan pelunasan utang-utangnya. ini benar adanya. Rasulullah saw. telah mengizinkan penunaian ibadah haji atas nama orang yang masih hidup tetapi cacat dan lemah, padahal mereka masih hidup.

 

Sahabat-sahabatnya yang lain menanggapi bahwa kondisi Orang yang masih hidup tidak dapat membuat kita yakin bahwa orang hidup yang bersangkutan pasti selamat hingga akhir hayatnya. Dikarenakan ada kekhawatiran orang yang menerima suatu hadiah ternyata murtad, sehingga menjadi tidak berguna apa yang dihadiahkan kepadanya.

 

Ibnu ‘Aqil menyatakan bahwa ini merupakan bentuk dalih yang batil dengan adanya hadiah orang yang masih hidup ini karena dia tidak dapat dijamin akan murtad lalu mati, sehingga seluruh amalnya menjadi gugur yang termasuk di antaranya adalah pahala dari apa yang dia hadiahkan kepada orang yang sudah mati.

 

Saya nyatakan bahwa ini tidak pasti bagi mereka karena maksud dari nas dan ijmak membatalkannya dan menolaknya. Juga sesungguhnya Rasulullah saw. mengizinkan haji dan puasa atas nama orang mati, Semua orang juga sudah berijmak akan terbebasnya tanggungan orang yang berutang dari utangnya apabila ada orang hidup yang melunasi utang tersebut, dengan segala kemungkinan yang sudah disebutkan tadi.

 

Jawaban atas pernyataan di atas, yaitu dengan mengatakan bahwa apa yang dihadiahkan berupa amal kebajikan kepada orang mati, sudah menjadi miliknya sehingga tidak akan menjadi batal disebabkan kemurtadan orang yang melakukannya setelah sesuatu itu (yaitu hadiah pahala—Penj.) keluar dari kepemilikannya, sebagaimana halnya semua tindakannya yang dia lakukan sebelum murtad semisal tindakan pemerdekaan budak atau kafarat.

 

Bahkan apabila seseorang melakukan haji atas nama seseorang yang cacat, kemudian orang itu murtad. Setelah itu, maka bagi si orang cacat itu tidak perlu ada orang lain lagi yang melaksanakan haji lagi (selain haji yang sudah dilaksanakan oleh orang yang kemudian murtad) atas namanya, Bahkan hal seperti itu tidak dapat dijamin pada yang kedua atau yang ketiga.

 

Perbedaan antara orang hidup dan orang mati adalah bahwa orang hidup tidak membutuhkan hal-hal yang dibutuhkan oleh orang yang sudah mati. Hal itu karena memungkinkan baginya untuk melakukan amalan yang bersangkutan atau yang sepadan dengannya, sehingga dia dapat meraih pahala sendiri dengan usahanya sendirian, berbeda dengan orang yang sudah mati.

 

Selain itu, pendapat seperti itu akan menyebabkan terjadinya sikap mengandalkan orang lain oleh orang-orang tertentu yang masih hidup. Hal ini merupakan bentuk kerusakan yang besar. Apabila kemudian orang-orang kaya yang memiliki banyak harta memiliki pemahaman seperti itu dan mereka meyakininya, mereka pasti akan menyewa orang untuk melakukan ibadah atas nama mereka. Kalau sudah demikian, maka berarti ketaatan kepada Allah dapat dipertukarkan dan hal itu akan menyebabkan gugurnya segala bentuk ibadah dan berbagai amalan sunah. Bahkan berbagai ibadah yang semula diniatkan sebagai bentuk takarub kepada Allah akan berubah menjadi bentuk takarub kepada manusia, sehingga nilai keikhlasan pun dilanggar dan akhirnya tidak ada satu pun di antara keduanya yang mendapatkan pahala.

 

Kami melarang tindakan mengambil upah atas setiap pelaksanaan takarub atau ibadah. Bahkan kami nyatakan bahwa ibadah apa pun yang dilakukan dengan upah pahalanya menjadi gugur. Termasuk ibadah dalam bentuk pemberian putusan, fatwa, pengajaran, shalat, baca al-Quran, dan sebagainya. Allah tidak akan memberi pahala pada semua ibadah seperti itu, kecuali hanya bagi orang yang ikhlas dan menyerahkan amal ibadah mereka semata-mata hanya untuk keridhaan Allah swt. Apabila seseorang melakukan ibadah semata-mata hanya untuk mendapatkan upah, maka padahal tidak akan didapat baik oleh si pelaku maupun oleh si pemberi upah.

 

Amatlah tidak selaras dengan nilai-nilai kebaikan syariat jika seseorang menjadikan amal ibadah yang seharusnya dilakukan ikhlas hanya demi Allah, lalu diubah menjadi pekerjaan yang tujuannya hanya upah dan imbalan duniawi. Kemudian hal itu dibedakan dengan pelunasan utang yang merupakan hak manusia (haqq adamiy) yang dapat diwakilkan antara satu dengan lainnya. Itulah sebabnya hal itu hukumnya boleh baik ketika orang yang bersangkutan masih hidup maupun setelah Mati


PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (7) : HUKUM MENDAHULUKAN ORANG LAIN ATAS JALAN PAHALA HUKUMNYA MAKRUH

PASAL : Adapun berkenaan dengan pendapat kalian yang menyatakan, bahwa hukum mendahulukan orang lain atas jalan pahala hukumnya makruh


Hal ini termasuk dalam ranah tindakan mendahulukan orang lain pada tindakan takarub—jadi apa lagi dengan tindakan mendahulukan orang lain atas pahala yang menjadi tujuan amal. Saya telah menanggapi pendapat ini dengan beberapa jawaban sebagai berikut:

 

Jawaban pertama: Kondisi kehidupan seseorang merupakan suatu kondisi yang di dalamnya tidak dapat dijamin adanya keselamatan sampai akhir hayat. itulah sebabnya ada orang hidup yang melakukan kemurtadan, padahal hal itu. sama saja dengan mendahulukan orang lain untuk bertakarub (kepada Allah) yang mungkin tidak layak menerimanya; sementara orang ini menjadi aman karena kematian.

 

Apabila ada yang mengatakan bahwa orang yang diberi hadiah juga mungkin saja tidak mati dalam Islam secara batiniah, sehingga tidaklah berguna hadiah yang disampaikan kepadanya; sebenarnya pertanyaan seperti ini merupakan pertanyaan yang benar-benar batil karena hadiah yang diberikan kepada orang lain, seperti yang dilakukan berupa shalat atas jenazahnya, permohonan ampunan baginya dan doa untuknya; jika orang mati itu memang layak menerimanya (maka dia akan mendapatkan manfaat dari semua itu) tetapi jika tidak, yang mendapatkan manfaatnya yaitu orang yang melakukan amalan-amalan itu sendiri.

 

Jawaban kedua: Tindakan mendahulukan orang lain dalam ranah takarub, menunjukkan minimnya keinginan orang yang bersangkutan untuk meraih takarub itu sendiri dan kecenderungan untuk menunda pengamalannya. Apabila tindakan mendahulukan orang lain dalam ranah ini dibolehkan, hal itu pasti akan menyebabkan malasnya semua orang untuk melakukan takarub dan kecenderungan untuk menunda-nundanya. Hal ini berbeda dengan pemberian hadiah pahala suatu tindakan takarub. Orang yang melakukan takarub itu memang sangat ingin melakukan takarub demi memperoleh pahala darinya, agar kemudian dia mendapatkan manfaat darinya atau dia memberi manfaat dari pahala itu kepada saudaranya sesama muslim. Tentu saja di antara kedua hal ini terdapat perbedaan yang jelas.

 

Jawaban ketiga: Allah swt. selalu menyukai kesegeraan dalam khidmat hamba kepada-Nya, bahkan para hamba diminta-Nya untuk berlomba dalam hal itu. Sebab itu merupakan bentuk ubudiah tertinggi, sebagaimana lazimnya para raja selalu menyukai kesegeraan dan berlomba-lombanya rakyatnya untuk patuh dan berkhidmat kepada mereka. Oleh Karena itu, tindakan mendahulukan orang lain dalam hal ini tentu telah memupus maksud dari ubudiah.

 

Allah swt. telah memerintahkan hamba-Nya untuk bertakarub kepada-Nya, baik sebagai suatu kewajiban maupun sebagai bentuk kecintaan. Itulah sebabnya, jika kemudian hamba-Nya mendahulukan orang lain untuk melakukan takarub itu, maka berarti dia telah mengabaikan apa yang Allah perintahkan kepadanya, untuk kemudian dilakukan Oleh orang lain.

 

Hal ini tentu berbeda dengan kondisi ketika si hamba melakukanya apa yang diperintahkan Allah kepadanya sebagai bentuk ketaatan dan takarub pada-Nya, lalu dia mengirimkan pahala apa yang dilakukannya itu kepada saudaranya sesama muslim.

 

Allah swt. berfirman,

 

“Berlomba-lombalah kalian kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. al-Hadid [57]: 21)

 

Allah swt. juga berfirman, “…Maka berlomba-lombalah kalian (dalam berbuat) kebaikan…” (QS. al-Baqarah [2]: 148) Padahal telah diketahui bahwa tindakan mendahulukan orang lain dalam kebaikan pasti akan memupus perlombaan dan kesegeraan dalam pelaksanaannya.

 

Dulu, para sahabat selalu berlomba-lomba antara satu dengan lainnya dalam ranah takarub tanpa ada satu pun di antara mereka yang mendahulukan orang lain dalam hal ini. ‘Umar ra. pernah berkata, “Demi Allah, Abu Bakar tidak pernah mendahuluiku dalam suatu kebaikan, kecuali dia memintaku berlomba mengejar kebaikan itu.” Sampai-sampai ‘Umar ra. pernah berkata, “Demi Allah aku tidak mampu berlomba denganmu menuju kebaikan sampai kapan pun.”

 

Allah swt. berfirman,

 

“Laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. al-Muthaffifin [83]: 26)

 

Kata na-fa-sa, munafasah dan nifas digunakan ketika seseorang ingin menyampaikan “perlombaan” (mubarah). Itulah sebabnya.

 

sesuatu yang mahal harganya selalu disebut “nafis” karena semua orang selalu berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Orang Arab juga biasa menyebut “anfas mali” (harta saya yang paling berharga) untuk menyebut sesuatu yang paling disukai. Semua kata ini merupakan antonim dari kata itsar (mendahulukan orang lain) dan ketidaksukaan.

 


PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (6) : PEMBERIAN HADIAH MERUPAKAN BENTUK PENGALIHAN.

PASAL : Adapun berkenaan dengan pernyataan kalian bahwa pemberian hadiah merupakan bentuk pengalihan. 


Sementara pengalihan hanya berlaku pada suatu hak yang harus ditunaikan; maka sebenarnya pengalihan yang Anda maksud itu jika terjadi antara seseorang makhluk yang satu dengan seseorang makhluk yang lain. Adapun ketika yang terjadi yaitu pengalihan dari seseorang makhluk atas Allah sang Khalik, itu merupakan sesuatu perkara lain yang tidak dapat dikiyaskan dengan pengalihan yang terjadi antar-sesama hamba. Bukankah ini merupakan kiyas (analogi)yang paling dan rusak?

 

Yang membatalkan kiyas itu adalah ijmak umat Islam atas diraihnya manfaat oleh orang mati yang utangnya dilunasi oleh orang hidup atau dilakukan penunaian oleh orang yang masih hidup atas hak apa pun yang ditanggung oleh orang yang sudah mati; atau ketika terjadi pembebasan seorang pemilik hak (yang masih hidup) terhadap suatu tanggungan yang harus ditanggung olehnya (orang yang sudah mati); atau ketika dilakukan sedekah atau haji (oleh orang hidup atas nama orang mati); yang semua itu didasari oleh nas yang sama sekali tidak dapat ditolak dan dibantah; sebagaimana pula halnya puasa. Berbagai bentuk kiyas yang rusak ini tentu saja tidak dapat membantah berbagai nas dan kaidah syariat.


PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (5) : SABDA RASULULLAH SAW., “APABILA SEORANG HAMBA MENINGGAL DUNIA MAKA TERPUTUSLAH AMALNYA…DST.”.

PASAL : Adapun mengenai pengambilan dalil yang kalian lakukan dari sabda Rasulullah saw., “Apabila seorang hamba meninggal dunia maka terputuslah amalnya…dst.”.


Itu merupakan bentuk pengambilan dalil yang salah karena Rasulullah saw. tidak menyatakan “terputuslah manfaat baginya” (inqath’a intifa’uhu). 


Rasulullah saw. hanya mengabarkan bahwa yang terputus adalah “amal perbuatannya” (inqatha’a ‘amaluhu). Sementara amal perbuatan yang dilakukan orang lain menjadi milik orang lain itu. Jika kemudian orang lain itu menghibahkannya kepadanya (si orang yang sudah terputus amal perbuatannya karena sudah mati—Penj.) maka pahala amal perbuatan orang lain yang mengamalkan perbuatan itu akan sampai kepadanya (si orang mati) dan itu bukanlah pahala orang mati itu sendiri. Jadi, yang terputus adalah sesuatu hal dan yang sampai adalah sesuatu hal yang lain.

 

Demikian pula halnya dengan sebuah hadis lain, yaitu sabda Rasulullah saw… “Sesungguhnya di antara yang mencapai orang mat; dari kebaikan-kebaikannya dan amal perbuatannya…dst.”, Hadis-hadig ini sama sekali tidak menafikan sampainya pahala dari amal perbuatan dan kebaikan-kebaikan orang lain (yang masih hidup kepada orang yang sudah mati—Penj.).


PERTANYAAN KEENAM BELAS PASAL (4) : PAHALA HAJI ORANG HIDUP KEPADA SI MATI.

PASAL : Berkenaan dengan sampainya pahala haji kepada orang yang sudah mati.


Disebutkan dalam Sahih al-Bukhari sebuah riwayat.

 

Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang perempuan asal Juhainah mendatangi Rasulullah saw. lalu berkata, “Sesungguhnya ibuku bernazar untuk berhaji tetapi dia tidak sempat berhaji sampai meninggalnya. Apakah aku boleh berhaji atas namanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Berhajilah atas namanya. Tidakkah engkau melihat apabila ibumu menanggung utang, engkau harus melunasinya? Lakukanlah qada untuk Allah karena Allah paling berhak atas qada.”

 

Telah disampaikan sebelumnya hadis-hadis dari Buraidah yang di dalamnya disebutkan, “Sesungguhnya ibuku belum berhaji sama sekali. Apakah aku boleh berhaji atas namanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Berhajilah atas namanya.”

 

Diriwayatkan dari Ibnu “Abbas ra. dia berkata, “Sesungguhnya istri Sinan bin Salamah al-Juhani bertanya kepada Rasulullah saw. bahwa ibunya meninggal dunia dan belum berhaji. Dia lalu bertanya apakah dia sah melaksanakan haji atas nama ibunya itu. Rasulullah saw. menjawab, “Ya. Apabila ibunya menanggung utang, lalu dia melunasi utang itu atas nama ibunya, bukankah itu sah atas namanya?” (HR. Nasa’i).

 

Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang perempuan pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji. Rasulullah saw. bersabda, “Berhajilah atas nama ayahmu!”.

 

Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang lelaki berkata, “Wahai Nabiyullah! Sesungguhnya ayahku meninggal dunia dan dia belum berhaji. Apakah aku boleh berhaji atas namanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Tidakkah engkau melihat apabila ayahmu menanggung utang, apakah engkau akan melunasinya?” Orang itu menjawab, “Ya!” Rasulullah saw. lalu bersabda, “Utang kepada Allah Lebih berhak (untuk dilunasi).”

 

############

Kaum muslimin telah bersepakat bahwa pelunasan hutang akan menggugurkan penanggung hutang dari tanggungannya.


Termasuk walaupun yang melunasi hutang itu adalah orang asing (bukan keluarga Penj.); atau hutang itu dilunasi menggunakan harta yang bukan berasal dari warisannya.

 

Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis-hadis Abu Qatadah, yang menanggung dua dinar atas nama seorang mayat. Ketika dia melunasi dua dinar itu, Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Sekarang telah dinginlah baginya kulitnya.”


######

Kaum muslimin juga telah ber ijmak bahwa apabila seseorang yang masih hidup memiliki hak tertentu yang menjadi tanggungan seorang mayat, lalu dia menghalalkan haknya itu, maka itu akan bermanfaat bagi si mayat karena ia akan terbebas dari tanggungan hak tersebut, sebagaimana halnya tanggungan seperti itu dapat gugur dari orang yang masih hidup.

 

Apabila tanggungan orang yang masih hidup dapat gugur berdasarkan al-Quran dan ijmak, padahal orang yang masih hidup dapat menunaikan hak itu sendiri, walaupun dia tidak merelakannya dan menolaknya; maka tentu saja tanggungan yang gugur dari orang yang sudah mati dengan pembebasan (pemilik hak) terhadap orang mati yang sudah tidak dapat menunaikan hak itu lagi jauh lebih utama dan lebih layak.

 

Apabila pembebasan dan pengguguran hak dapat bermanfaat bagi orang mati, berarti seperti itulah pula halnya hibah dan hadiah dapat bermanfaat baginya; tidak ada perbedaan antara keduanya karena pahala amal merupakan hak bagi pemberi hadiah (muhdi) dan pemberi hibah (wahib) sehingga apabila dia memindahkannya bagi orang mat; pahala itu pun berpindah kepada si orang mati.

 

Hal ini sama seperti ketika seorang mayat menanggung hak-hak tertentu berupa hutang atau lainnya dan itu merupakan hak penuh bagi orang yang masih hidup. Apabila kemudian orang hidup itu membebaskan hak tersebut, pembebasan itu akan sampai kepada si orang mati sehingga gugurlah tanggungan itu darinya (si orang mati) dan keduanya, merupakan hak bagi orang yang masih hidup. Alhasil, apakah ada Nas kiyas atau kaidah syariat tertentu yang memastikan sampainya Salah satu di antara kedua hal tersebut, tetapi kemudian menafikan sampai, kan hal yang satu lagi?

 

Nas-nas tersebut di atas menunjukkan pada sampainya pahala berbagai amal perbuatan kepada orang mati apabila ada orang hidup yang melakukan amal perbuatan yang bersangkutan atas nama Si orang mati. Ini merupakan bentuk kiyas penuh karena sebenarnya pahala merupakan hak bagi pelaku suatu amal. Apabila dia kemudian meng. hibahkan pahala itu kepada saudaranya sesama muslim, tidak ada yang dapat menghalangi hal itu. Sebagaimana halnya tidak dapat pula ada yang menghalangi orang tersebut untuk menghibahkan hartanya di saat hidupnya dan pembebasannya baginya (penanggung hak) dari hak tersebut setelah kematiannya (penanggung hak).

 

Dengan sampainya pahala puasa yang dilaksanakan hanya dengan meninggalkan (hal-hal yang membatalkan puasa) dan niat yang dilakukan dalam hati, tanpa ada yang melihatnya kecuali hanya Allah swt., yang bukan merupakan amal perbuatan anggota tubuh, Rasulullah saw. telah mengingatkan atas sampainya pahala bacaan al-Quran yang merupakan amal perbuatan lisan yang didengar oleh telinga dan dilihat oleh mata dengan cara yang lebih utama.

 

Dijelaskan bahwa puasa merupakan niat penuh dan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Allah swt. menyampaikan pahalanya kepada orang mati. Jadi apatah lagi dengan bacaan al-Quran yang berupa perbuatan dan niat. Bahkan tidak membutuhkan niat! Sampainya pahala puasa ke orang mati mengandung peringatan atas sampainya pahala semua amal.

 

Ibadah dapat dibagi menjadi dua, yaitu ibadah material (al-’ibadat al-maliyyah) dan ibadah fisik (al-’ibadat al-badaniyyah). 


Dengan sampainya pahala sedekah, sydri’ (Allah swt. dan Rasulullah saw.—Penj.) telah mengingatkan atas sampainya pahala semua ibadah material. Dan dengan sampainya pahala puasa, syari’ mengingatkan atas sampainya pahala semua ibadah fisik. Sebagaimana syari’ juga telah mengabarkan tentang sampainya pahala haji yang merupakan bentuk ibadah perpaduan antara ibadah material dan ibadah fisik. Ketiga jenis ibadah ini memang pasti adanya berdasarkan nas dan pengambilan kesimpulan. wa billahit taufiq.


###########

Sementara itu, orang-orang yang menyatakan tidak sampainya pahala perbuatan orang hidup kepada orang mati 


Dinyatakan bahwa Allah swt. berfirman,

 

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm [53]: 39)

 

Allah swt. berfirman,

 

“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kalian tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kalian kerjakan.” (QS. Yasin [36]: 54)

 

Allah swt. berfirman,

 

“…ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. al-Baqarah [2]: 286)

 

Sebuah hadis tsabit (sahih) telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Apabila seorang hamba meninggal dunia, amalnya putus kecuali tiga: Sedekah jariah, anak saleh berdoa untuknya, atau ilmu yang dimanfaatkan sepeninggalnya.”

 

Rasulullah saw. mengabarkan bahwa yang bermanfaat bagi seorang hamba hanyalah apa yang dapat sampai kepadanya dari apa-apa yang dilakukannya semasa hidup, sementara yang tidak sampai kepadanya pasti akan terputus.

 

Dan ada pula hadis-hadis dari Abu Hurairah ra. yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu sabda Rasulullah saw., 

“Sesungguhnya di antara yang dapat sampai kepada mayat dari amal dan kebaikan-kebaikan, nya setelah kematiannya adalah amal yang dia sebarkan.” (al-Hadis). Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa yang bermanfaat bagi seorang hamba hanyalah apa yang dapat sampai kepadanya (dari apa-apa yang dilakukannya semasa hidup).

 

Demikian pula hadis-hadis marfa’ dari Anas ra., “Tujuh perkara pahala kesemuanya tetap mengalir pada hamba ketika dia berada dalam kuburnya setelah meninggalnya: Orang yang mengajarkan ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanam kurma, membangun masjid, mewariskan musaf, meninggalkan anak saleh yang memohon. kan ampunan untuknya setelah dia meninggal dunia.”

 

Semua ini menunjukkan bahwa semua amalan selain yang disebutkan Rasulullah saw. itu tidak akan dapat sampai pahalanya kepada orang yang bersangkutan karena kalau tidak demikian, maka pembatasan yang dilakukan beliau itu menjadi tiada artinya.

 

Mereka juga menyatakan bahwa pemberian hadiah dalam bentuk pengalihan, padahal pengalihan hanya dapat dilakukan pada suatu hak yang pasti. 


Sementara amal perbuatan tidak pasti melahirkan pahala karena pahala semata-mata merupakan anugerah Allah swt. berkat kebaikan-Nya. 


Jadi bagaimana mungkin seorang hamba dapat mengalihkan sesuatu yang semata-mata merupakan anugerah Allah yang bukan merupakan kewajiban Allah untuk memberikannya karena jika Allah berkenan, Dia akan memberikan pahala itu. Akan tetapi, kalau Dia tidak berkenan, maka Dia tidak akan memberikannya. Jadi hal ini sebenarnya sama dengan pengalihan pemberian dari seorang miskin kepada orang yang memohon untuk diberi sedekah. Tentu saja orang miskin seperti itu tidak dapat menghadiahkan dan menghibahkan apa yang tidak dia miliki. Atau seperti sebuah pemberian dari orang yang memiliki sesuatu tetapi tidak dapat tercapai.

 

Mereka menyatakan bahwa alasan lain (tidak sampainya pahala orang hidup kepada orang mati—Penj.) yaitu 


karena tindakan mendahulukan orang lain untuk mendapatkan jalan untuk meraih pahala hukumnya makruh karena itu merupakan bentuk tindakan mendahulukan orang lain untuk bertaqarrub. Kalau memang demikian, bukankah jika tindakan mendahulukan orang lain itu dilakukan demi mendapat pahala itu sendiri, yang merupakan tujuan amal? Ketika sikap mendahulukan orang lain atas jalan untuk meraih pahala hukumnya makruh maka, hukum makruh terhadap sikap mendahulukan orang lain untuk mendapatkan pahala atas amal kita jauh lebih layak untuk menjadi makruh.

 

Atas dasar inilah, Imam Ahmad memakruhkan tindakan seseorang yang mundur dari saf pertama dalam shalat untuk memberi kesempatan kepada orang lain menempati saf pertama itu dikarenakan di saf pertama lebih dapat diharapkan diraihnya pahala yang lebih besar.

 

Ahmad menyatakan dalam riwayat Hanbal, ketika dia ditanya tentang seseorang yang mundur dari saf pertama lalu meminta ayahnya agar menempati tempat di saf pertama yang ditinggalkannya itu. Imam Ahmad menjawab, “Itu tidaklah aneh, tetapi dia dapat berbakti kepada ayahnya dengan cara selain itu!”

 

Mereka menyatakan bahwa alasan lain (tidak sampainya pahala orang hidup kepada orang mati—Penj.) yaitu


Apabila pemberian hadiah kepada orang mati dibolehkan, maka berarti harus dibolehkan pula pengalihan pahala dan pemberian hadiah kepada orang yang masih hidup. Dan lagi, apabila hal seperti itu dibolehkan, berarti boleh pula pemberian hadiah setengah dari pahala atau seperempatnya atau setumpukannya. Dan lagi, apabila hal seperti itu dibolehkan, berarti boleh pula pemberian pahala kepada orang lain setelah orang yang bersangkutan melakukan suatu amalan untuk dirinya sendiri.

 

Mereka menyatakan, bahwa kami telah menyatakan, bahwa orang yang bersangkutan harus berniat ketika melaksanakan suatu amal yang ingin dia hadiahkan kepada seseorang yang sudah mati, kalau tidak seperti itu, maka pahala amal tersebut tidak akan sampai kepada si mayat. Jika memang pengalihan pahala seperti itu dibolehkan, lantas apakah perbedaan antara kondisi ketika orang yang melakukan amal itu meniatkannya sebelum atau sesudah dia melakukan amal yang bersangkutan?

 

Dan lagi, apabila pemberian hadiah kepada orang mati itu dibolehkan, berarti boleh pula pemberian pahala dari berbagai ibadah wajib kepada orang yang masih hidup, sebagaimana dibolehkannya pula pemberian hadiah pahala dari berbagai ibadah sunah yang dilakukan oleh yang bersangkutan secara suka rela.

 

Mereka menyatakan bahwa semua pembebanan merupakan bentuk ujian dan cobaan yang tidak dapat digantikan oleh orang lain karena sesungguhnya yang disasar oleh semua kewajiban pembebanan yaitu si mukalaf itu sendiri yang mengamalkan berbagai perintah dan larangan Seorang mukalaf yang diuji itu tidak boleh dibadalkan oleh orang lain, sebagaimana tidak boleh ada orang lain yang menggantikannya memikul taklif itu. karena hal ini tujuan dari taklif, yaitu agar orang yang bersangkutan menjadi taat dalam penghambaannya.

 

Kalau memang seseorang dapat memperoleh manfaat dari hadiah yang diberikan oleh orang lain kepadanya tanpa dia sendiri yang harus beramal melakukannya, tentulah Rasulullah Akram al-Akramin yaitu orang yang paling layak melakukan itu. Sementara Allah telah menetapkan ketentuan hukum bahwa tidak ada seorang pun yang beroleh manfaat apa pun, kecuali hanya dengan usahanya sendiri. Hal ini telah menjadi Sunnatullah pada segenap makhluk-Nya dan pada seluruh ke. tetapan-Nya, sebagaimana hal ini juga menjadi sunah-Nya dalam semua perintah dan syariat-Nya.

 

Seseorang yang sedang sakit tidak dapat digantikan atau diwakili oleh orang lain ketika dia harus meminum obat. 


Seseorang yang kelaparan, kehausan dan telanjang tidak dapat digantikan oleh orang lain ketika dia harus makan, minum, dan mengenakan pakaian.

 

Mereka menyatakan bahwa apabila orang mati dapat memperoleh manfaat dari amal orang lain, pastilah bermanfaat pula baginya tobat orang lain yang dilakukan atas namanya.

 

Mereka menyatakan bahwa atas dasar semua itulah Allah tidak mungkin menerima keislaman seseorang yang dilakukan atas nama orang lain dan tidak mungkin menerima shalat seseorang yang dilakukan atas nama orang lain. Apabila pokok ibadah dasar tidak boleh dihadiahkan pahalanya kepada orang, apalagi kiranya dengan ibadah-ibadah cabang?

 

Mereka menyatakan bahwa berkenaan dengan doa, maka itu merupakan bentuk permintaan dan pengharapan kepada Allah swt. untuk memberi anugerah kepada si mayat dengan memberinya pengampunan dan pemaafan. Tentu saja hal seperti itu bukan merupakan pemberian hadiah pahala amal orang hidup kepada orang mati.

 

Orang-orang yang tidak mengakui sampainya ibadah yang dapat diwakilkan oleh orang lain (seperti sedekah dan haji) kepada orang mati menyatakan bahwa ibadah terbagi menjadi dua macam:


1. Jenis ibadah yang sama sekali tidak dapat diwakilkan oleh orang lain. Contohnya seperti pernyataan masuk Islam, shalat, membaca al-Quran, dan puasa. Ibadah-ibadah jenis pertama ini pahalanya secara khusus hanya dimiliki oleh pelakunya, tidak dapat melampaui itu dan tidak dapat dialihkan darinya. Sebagaimana halnya dalam hidup ibadah jenis pertama ini tidak dapat dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain dan tidak dapat diwakilkan pelakunya oleh orang lain.

 

2. Jenis ibadah yang dapat digantikan atau diwaliki oleh orang lain. Contohnya seperti tindakan mengembalikan barang titipan, melunasi utang, membayar sedekah, dan berhaji. Ibadah-ibadah jenis kedua ini pahalanya dapat sampai kepada orang mati karena semua itu boleh diwakilkan dan seseorang boleh melaksanakannya atas nama orang lain semasa hidupnya, apalagi jika dilakukan setelah kematiannya.

 

Mereka menyatakan bahwa berkenaan dengan hadis-hadis yang berbunyi “Barang siapa yang meninggal dengan menanggung puasa, hendaklah walinya berpuasa atas namanya”, tanggapan atas Hadis-hadis itu adalah sebagai berikut:

 

Pertama: Pernyataan Imam Malik dalam al-Muwaththa’. Dia menyatakan bahwa seseorang tidak boleh berpuasa atas nama orang lain. Dia menyatakan bahwa itu adalah sesuatu yang sudah disepakati tanpa ada perbedaan pendapat di dalamnya.

 

Kedua: Ibnu ‘Abbas ra. adalah sosok yang meriwayatkan hadis-hadis puasa atas nama orang yang sudah mati. Hadis-hadis ini kemudian diriwayatkan oleh Nasa’i Muhammad bin ‘Abdul A’la menuturkan kepada kami, Yazid bin Zurai’ menuturkan kepada kami, Hajjaj al-Ahwal menuturkan kepada kami, Ayyub bin Musa menuturkan kepada kami, dari ‘Atha bin Abu Rabah, dari Ibnu ‘Abbas ra., dia berkata, “Tidak boleh seseorang melaksanakan shalat atas nama orang lain dan tidak boleh seseorang melaksanakan puasa atas nama orang lain.”

 

Ketiga: Hadis-hadis tersebut merupakan sebuah hadis yang terdapat ikhtilaf dalam sanadnya. Demikian yang dikatakan dalam Syarh Muslim.

 

Keempat: Hadis-hadis tersebut bertentangan dengan nas al-Quran seperti yang telah disampaikan sebelumnya; yaitu firman Allah swt.,

 

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm [53]: 39)

 

Kelima: Hadis-hadis tersebut bertentangan dengan riwayat Yang diriwayatkan oleh Nasa‘i dari Ibnu ‘Abbas ra., dari Rasulullah Saw. bahwa beliau bersabda, “Tidaklah seseorang dapat melakukan shalat atas nama orang lain dan tidaklah seseorang dapat melakukan puasa atas nama orang lain. Akan tetapi, hendaklah diberikan makanan atgs namanya untuk menggantikan setiap satu hari sebanyak satu mug gandum hinthah.”

 

Keenam: Hadis-hadis tersebut bertentangan dengan hadis-hadis Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abu Laila, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi saw., “Barang siapa yang meninggal dengan menang. gung puasa Ramadhan, hendaklah diberikan makanan atas namanya.”

 

Ketujuh: Hadis-hadis tersebut bertentangan dengan kiyas jaliy terhadap shalat, pernyataan masuk Islam dan tobat; yang kesemua itu tidak dapat dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain.

 

Imam Syafi’i menyatakan tentang penjelasannya mengenai riwayat dari Ibnu “Abbas ra., “Ibnu ‘Abbas ra. tidak pernah menyebutkan nazar Umm Sa‘d sehingga ada kemungkinan bahwa yang dinazarkan adalah haji, umrah atau sedekah, yang kemudian diperintahkan qada atas nama Umm Sa‘d. Adapun bagi orang yang bernazar berupa shalat atau puasa, lalu ternyata meninggal dunia (sebelum sempat melaksanakan nazarnya—Penj.), maka yang dapat dilakukan adalah pelaksanaan kafarat atas namanya dari puasa itu, bukan dengan dilakukan puasa atas namanya. Sebagaimana shalat tidak dapat dilakukan atas namanya dan tidak dapat pula dilakukan kafarat atas namanya pada shalat tersebut.

 

Lalu dia menyatakan bahwa apabila ada yang bertanya bahwa telah diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. telah memerintahkan seseorang untuk berpuasa atas nama seseorang, maka tanggapan atas itu adalah bahwa memang hal itu benar adanya. Ibnu “Abbas ra. telah meriwayatkan itu dari Rasulullah saw.

 

Apabila ditanyakan lagi mengapa dalil itu tidak diambil, jawabannya yaitu hadis-hadis dari Zuhri, dari ‘Ubaidullah, dari Ibnu ‘Abbas ra., dari Rasulullah saw. yang menyebut “nazar” tanpa menyebutkan nazar apakah itu. Padahal Zuhri dikenal dengan kekuatan hafalannya dan lamanya ‘Ubaidullah bersama Ibnu ‘Abbas ra. sehingga ketika datang riwayat lain dari seseorang yang meriwayatkannya dari Ibnu ‘Abbas ra. yang isinya berbeda dengan apa yang terdapat di dalam hadis-hadis ‘Ubaidullah, maka tampaknya riwayat tersebut tidak dihafal.

 

Apabila ditanyakan apakah saya mengetahui orang yang meriwayatkan hadis-hadis ini dari Ibnu ‘Abbas ra. telah melakukan kekeliruan? Jawaban atas itu adalah ya, para sahabat Ibnu ‘Abbas telah meriwayatkan hadis-hadis ini dari Ibnu Abbas ra., dia berkata kepada Ibnu Zubair ra. bahwa Zubair sudah halal dari mut’ah haji, lalu dia meriwayatkan hadis-hadis ini dari Ibnu Abbas ra. bahwa itu merupakan mut’ah perempuan. Tentu saja ini sebuah kekeliruan yang fatal.

 

Ini juga merupakan jawaban atas tindakan puasa. Adapun mengenai tindakan haji yang sampai darinya, yaitu pahala infak. Sementara semua rangkaian kegiatan manasik hajinya kedudukannya sama dengan gerakan shalat yang hanya dapat dilakukan atas nama orang yang melakukannya.

 

Orang-orang yang menyatakan sampainya pahala perbuatan orang hidup kepada orang mati (ashhab al-wushal) menyatakan bahwa tidak ada sedikit pun dari apa yang telah kami jelaskan yang bertentangan dengan dalil-dalil Kitabullah dan sunah, serta kesepakatan kalangan salaf dan juga tuntunan kaidah-kaidah syariat. Berikut ini merupakan tanggapan mereka atas setiap poin yang telah kami sampaikan di atas dengan penuh keadilan dan keseimbangan.

 

Berkenaan dengan firman Allah swt. “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm [53]: 39)

 

Orang-orang berbeda pendapat mengenai maksud ayat tersebut. Segolongan orang menyatakan bahwa yang dimaksud “manusia” dalam ayat ini adalah ‘orang Kafir’ karena bagi orang mukmin, dia dapat memiliki apa yang telah diusahakannya sendiri dan juga apa yang diusahakan oleh orang lain untuk dirinya, berdasarkan dalil-dalil yang telah kami sebutkan. Mereka menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah pengkhususan dan itu memang boleh apabila ada dalil yang menunjukkan itu.

 

Akan tetapi, jawaban seperti itu amatlah lemah karena ayat seperti tersebut di atas itu bersifat umum dan tidak dimaksudkan hanya untuk orang kafir semata. Alih-alih, ia berlaku bagi orang muslim dan juga Orang kafir. Ayat ini sama seperti ayat sebelumnya yang juga bersifat umum:; yaitu firman Allah swt., “Bahwasanya seorang yang berdosa, tidak akan memikul dosa orang lain,” (QS. an-Najm [53]: 38)

 

Susunan kalimat ini dari awal sampai akhir secara gamblang menunjukkan maksud umum (amm), berdasarkan firman Allah swt.,

 

“Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna,” (QS. an-Najm [53]: 40-41)

 

Secara tegas isi ayat ini berlaku umum meliputi segala kebaikan dan juga segala keburukan, yang ditujukan terhadap orang bijak dan orang durhaka, orang mukmin dan orang kafir; seperti firman Allah swt,

 

“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.” (QS. az-Zalzalah [99]: 7-8)

 

Atau seperti firman Allah swt. dalam sebuah hadis Ilahi (Hadis-hadis Qudsi), “Wahai hamba-hamba-Ku sesungguhnya itu adalah amal perbuatan kalian, Aku hitung untuk kalian lalu kugenapi bagi kalian. Barang siapa yang mendapatkan kebaikan, hendaklah dia memuji Allah; dan barang siapa yang mendapatkan yang selain itu janganlah dia mencela kecuali dirinya sendiri.”

 

Itu juga seperti firman Allah swt.,

 

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. al-Insyiqaq [84]: 6)

 

Jadi janganlah Anda tertipu oleh pernyataan banyak mufasir yang menjelaskan tentang lafal “manusia” (al-inaGn) di dalam al-Quran bahwa yang dimaksud di situ adalah “Abu Jahal” atau bahwa lafal “manusia” dalam ayat anu maksudnya adalah ‘Uqbah bin Abu Mu’aith” atau pahwa lafal “manusia” dalam ayat anu maksudnya adalah “Walid bin Mughirah”. Al-Quran terlalu mulia untuk sekadar itu. Alih-alih diartikan seperti itu, pengertian lafal “‘manusia” di dalam al-Quran adalah sebagaimana adanya tanpa dikhususkan bagi seseorang tertentu saja. Contohnya adalah firman Allah swt.

 

“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.” (QS. al-Ashr [103]: 2)

 

Firman Allah swt.,

 

“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya.” (QS. al-’Adiyat [100]: 6)

 

Firman Allah swt.,

 

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.” (QS. al-Ma’arij [70]: 19)

 

Firman Allah swt.,

 

“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. al-’ Alag [96]: 6-7)

 

Firman Allah swt.,

 

“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya, Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim [14]: 34)

 

Firman Allah swt.,

 

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,” (QS. al-Ahzab [33]: 72)

 

Seperti yang disebutkan di atas itulah kondisi manusia dengan jati dirinya yang asli. Ketika manusia berhasil keluar dari sifat-sifat buruk itu, maka itu terjadi berkat anugerah, taufik, dan nikmat yang Allah berikan kepada manusia; bukan dari diri manusia itu sendiri karena manusia tidak memiliki apa-apa di dalam jati dirinya kecuali hanya sifat-sifat tersebut. Apa pun nikmat yang ada pada diri manusia, maka itu pasti dari Allah swt. semata. Allah-lah yang telah mengembuskan iman kepada hamba-Nya, menghiasnya dalam hatinya, membuat manusia membenci kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan. Allah pulalah yang menetapkan iman di dalam kalbu manusia.

 

Allah swt. telah meneguhkan para nabi, para rasul, dan para wali-Nya di atas agama-Nya. Dialah yang telah menghindarkan segala keburukan dan kekejian dari mereka.

 

Sebuah syair pernah dituturkan di hadapan Rasulullah saw.:

 

Allah. Kalau bukan Allah Kita takkan dapat petunjuk Tidak pula Kita akan bersedekah, tidak pula shalat

 

Allah swt. berfirman,

 

“Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (QS. Yunus [10]: 100)

 

Allah swt. berfirman,

 

“Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran daripadanya kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun.” (QS. al-Muddatstsir [74]: 56)

 

Allah swt. berfirman,

 

“Dan kalian tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. at-Takwir [81]: 29)

 

Allah swt. adalah tuhan seluruh alam semesta dengan mengatur segala yang ada di alam semesta, baik itu berupa zat, perbuatan, maupun keadaan.

 

Segolongan orang berpendapat bahwa ayat tersebut di atas merupakan informasi tentang syariat orang-orang sebelum kita karena Syariat kita telah menunjukkan, bahwa manusia memiliki apa yang diusahakannya sendiri dan juga apa yang diusahakan orang lain untuknya. Akan tetapi, pendapat ini justru lebih lemah daripada pendapat, yang pertama di atas atau setidaknya setara dengan pendapat pertama,

 

Allah swt. telah mengabarkan tentang hal itu dengan informasi yang mengukuhkannya dan menjadi hujah, bukan informasi yang membatalkannya. Itulah sebabnya Allah swt. berfirman,

 

“Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa?,” (QS. an-Najm [53]: 36)

 

Apabila hal ini batil di dalam syariat, tentu Allah tidak akan mengabarkan hal ini dengan pengabaran yang mengukuhkannya dan menjadi hujah.

 

Segolongan yang lain menyatakan bahwa huruf lam dalam ayat tersebut di atas (QS. an-Najm [53]: 39), memiliki arti “’ala” sehingga pengertian ayat itu menjadi “Dan bahwasanya seorang manusia tiada menanggung (‘ala-l-insan) selain apa yang telah diusahakannya.”

 

Tentu saja pendapat ini yang paling batil di antara ketiga pendapat tersebut dan jauh lebih batil daripada dua pendapat yang sebelumnya karena pengertian seperti itu telah membalikkan isi ayat tersebut seratus delapan puluh derajat dari pengertian aslinya. Hal semacam ini tidak boleh dan sama sekali tidak ada kemungkinan pengertian seperti itu menurut bahasa. Adapun firman yang berbunyi

 

“(Yaitu) hari yang tiada berguna bagi orang-orang zalim permintaan maafnya dan bagi merekalah laknat (wa ‘alaihim al-la’nah dan bagi merekalah tempat tinggal yang buruk.” (QS. al-Mu’min [40]: 52) hanya dapat diartikan sesuai konteksnya; yaitu bahwa laknat itulah yang menjadi bagian atau jatah mereka.

 

Adapun berkenaan dengan orang-orang Arab yang mengetahui dalam bahasa mereka bahwa arti kalimat “Bagi saya satu dirham” (Ii dirham) yaitu “Saya menanggung satu dirham” (‘alayya dirham), maka pengertian seperti itu tidaklah mungkin!

 

Segolongan orang lagi menyatakan bahwa dalam kalimat ayat tersebut di atas terdapat kata yang tidak tampak (mahdzaf) karena ayat itu semestinya berbunyi “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya dan apa yang diusapakan (orang lain) untuknya .”

 

Tentu saja pendapat ini sama salahnya dengan pendapat yang sebelumnya karena sama sekali tidak ada isyarat yang menunjukkan bahwa ada kalimat yang tidak tampak itu. Bahkan ini adalah bentuk pendapat mengenai Allah dan mengenai Kitabullah yang tidak didasarkan pada ilmu!

 

Segolongan orang yang lain lagi menyatakan bahwa ayat tersebut di atas (QS. an-Najm [53]: 39) sudah dinasakh oleh firman Allah swt.,

 

“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. ath-Thur [52]: 21)

 

Pendapat ini konon dinukil dari Ibnu ‘Abbas ra., tetapi pendapat ini amatlah lemah (daif) karena ketetapan hukum suatu ayat tidak dapat dihapuskan begitu saja hanya dengan ucapan Ibnu Abbas ra. atau siapa pun juga yang menyatakan bahwa suatu ayat sudah dinasakh.

 

Sementara itu, untuk mempertemukan pengertian kedua ayat ini (maksudnya, QS. an-Najm [53]: 39 dan QS. ath-Thur [53]: 21—Penj.) juga sama sekali tidak sukar dan tidak terlarang karena”anak cucu” memang selalu mengikuti “leluhur” di akhirat, sebagaimana mereka (anak cucu) selalu mengikuti mereka (para leluhur) ketika masih hidup di dunia. Ikutnya para anak cucu dengan para leluhur ini merupakan bentuk kemuliaan para leluhur dan menjadi imbalan bagi mereka yang mereka terima berkat usaha mereka.

 

Adapun jika dikatakan bahwa para anak cucu dapat meraih derajat tertentu tanpa usaha yang mereka lakukan, pendapat itu tentu Saja keliru karena derajat seperti itu menjadi hak para leluhur. Allah swt menyenangkan hati mereka dengan mengajak keturunan mereka untuk bergabung dengan mereka di surga, sebab mereka memang memiliki keutamaan melebihi para anak cucu yang tidak dimiliki para anak cucu itu.

 

Hal ini (keutamaan yang dimiliki para leluhur) serupa dengan keutamaan yang dimiliki oleh “anak-anak surga” (wildan), para bidadar; Har ‘fn dan semua makhluk yang Allah ciptakan untuk tinggal di surga, tanpa melakukan amalan apa pun; atau orang-orang yang memasuki surga tanpa melakukan kebaikan atau amal apa pun juga.

 

Firman Allah swt., “Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,” (QS. an-Najm [53]: 38)

 

Dan firman Allah swt., “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm [53]: 39)

 

Dua ayat yang bersifat muhkam (jelas maknanya karena bukan termasuk ayat mutasyabihat—Penj.). Kedua ayat tersebut menunjukkan keadilan Allah swt. dengan segala hikmah kebijaksanaan dan kesem. purnaan-Nya yang Mahakudus. Akan sehat dan fitrah kita telah menjadi saksi atas kedua ayat tersebut.

 

Ayat pertama menunjukkan bahwa Allah tidak akan menghukum siapa pun disebabkan dosa yang dilakukan orang lain, sementara ayat kedua menunjukkan bahwa siapa pun tidak akan dapat meraih apa-apa kecuali hanya dengan amal dan usahanya sendiri.

 

Ayat pertama memberikan jaminan keamanan kepada hamba dari kemungkinan dijatuhkannya hukuman disebabkan dosa orang lain seperti kesalahan yang sering dilakukan oleh para raja di dunia. Ayat kedua memupus ketamakan hamba atas keselamatan dirinya dengan amal perbuatan para leluhur, pendahulu dan guru-gurunya; seperti yang dilakukan oleh orang-orang tamak pendusta. Silakan Anda renungkan kebaikan dari dipadukannya kedua ayat ini!

 

Pembanding ayat tersebut di atas adalah firman Allah swt.,

 

“Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri: dan barang siapa yang sesat, sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. al-Isra’ [17]: 15)

 

Allah swt. menetapkan bagi hamba-hamba-Nya empat ketetapan yang menjadi puncak keadilan dan hikmah kebijaksanaan-Nya:

 

Pertama: Hidayah yang diraih hamba dengan keimanan dan amal saleh adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain.

 

Kedua: Kesesatan yang menimpa hamba disebabkan pengabaiannya terhadap iman dan amal saleh pasti akan menimpa dirinya sendiri, bukan menimpa orang lain.

 

Ketiga: Setiap orang tidak akan dihukum karena dosa orang lain.

 

Keempat: Setiap orang tidak akan diazab, kecuali setelah ditegakkannya hujah atas dirinya melalui para rasul.

 

Silakan Anda renungkan isi keempat ketetapan tersebut di atas yang menunjukkan hikmah kebijaksanaan Allah swt. serta keadilan dan anugerah-Nya; serta sekaligus membantah orang-orang yang tertipu, tamak, dan orang-orang yang tidak mengenal Allah, asma dan sifat-Nya.

 

Segolongan orang lagi menyatakan bahwa yang dimaksud “manusia” dalam ayat ini (QS. an-Najm [53): 39) yaitu “manusia hidup” bukan “manusia mati”. Pendapat ini juga sama seperti pendapat keliru yang sebelumnya.

 

Semua pendapat salah seperti ini muncul disebabkan kekeliruan dalam memahami peralihan lafal yang bermakna umum, sementara orang yang salah dalam pemahaman lafal ini tidak membiarkan peralihan lafal tersebut untuk tetap mengikuti berbagai petunjuk yang melekat pada lafal tetapi kemudian membawanya pada pengertian yang bukan pada tempatnya dan pengertian yang dapat langsung dipahami dari lafal yang bersangkutan. Ini merupakan bentuk peralihan lafal yang jelas keliru dan menjadi batal oleh susunan kalimat, ungkapan, kaidah syariat, dalil syariat dan tradisi syariat.

 

Sebab munculnya peralihan lafal yang salah ini karena orang yang melakukannya meyakini suatu pendapat tunggal lalu dia menolak semua yang menunjukkan ke arah yang bertentangan dengan pendapat itu dengan cara apa pun yang selaras dengannya. Jadi menurut orang inj, dalil-dalil yang bertentangan dengan pendapatnya termasuk ranah yang dapat dibantah secara sewenang-wenang, tanpa dia peduli dengan apa dia membantah dalil-dalil itu!

 

Padahal semua dalil kebenaran tidak ada yang saling bertentangan dan tidak ada yang saling berlawanan. Alih-alih, semuanya justru saling membenarkan antara satu dengan yang lain.

 

Segolongan lagi menyatakan—ini menjadi jawaban bagi Abul Wafa’ bin ‘Aqil—bahwa jawaban yang menurut saya sangat baik yaitu dengan dikatakan bahwa “manusia” dengan “apa yang diusahakannya” dan bagusnya pergaulannya akan mendapatkan banyak teman, melahirkan anak, menikahi pasangan, melakukan kebaikan, dan berkasih sayang kepada semua orang, sehingga semua orang sayang Kepadanya serta menghadiahkan berbagai ibadah untuknya. Semua itu merupakan buah dari “apa yang diusahakannya”.

 

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya makanan terbaik yang dimakan oleh seseorang yaitu yang berasal dari kerjanya. Sesungguhnya anaknya merupakan dari kerjanya.”

 

Hal ini juga ditunjukkan oleh hadis-hadis lain yang berbunyi, “Apabila seorang hamba meninggal dunia, terputuslah darinya amalnya kecuali tiga: Ilmu yang dimanfaatkan sepeninggalnya, sedekah jariah, atau anak saleh yang berdoa untuknya.”

 

Dari sini Imam Syafi’i berkata, “Apabila anak dari seseorang memberinya biaya untuk perjalanan haji, itu menjadi sebab bagi wajibnya haji atas diri orang tersebut, sampai-sampai seakan itu merupakan bagian dari hartanya sebagai bekal dan ongkos perjalanan. Hal ini berbeda ketika biaya itu diberikan oleh orang asing.”

 

Ini merupakan jawaban tengah-tengah yang masih membutuhkan penyelesaian. Sesungguhnya seorang hamba dengan keimanan dan ketaatannya kepada Allah dan Rasulullah telah berusaha untuk meraih manfaat dengan amal perbuatan saudara-saudaranya sesama mukmin, di samping juga dengan amalnya sendiri; sebagaimana dia meraih manfaat dengan amal perbuatan mereka di kehidupan dunia, di samping juga dengan amalnya sendiri (di dunia).

 

Sesungguhnya semua mukmin dapat memperoleh manfaat antara satu sama lain pada semua amal perbuatan yang mereka lakukan bersama-sama. Contohnya, shalat berjemaah. Dalam shalat berjemaah, setiap orang yang ikut serta di dalamnya telah melipatgandakan pahala shalatnya menjadi dua puluh tujuh kali lipat dengan kebersamaan yang dilakukannya bersama mukmin lain dalam shalat tersebut. Dengan demikian, amal perbuatan orang lain telah menjadi sebab bagi bertambahnya pahala orang tersebut. Sebagaimana pula amal perbuatan orang itu menjadi sebab bagi bertambahnya pahala orang lain. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pahala shalat dilipatgandakan sejumlah orang yang ikut dalam jemaah yang bersangkutan.

 

Hal ini juga terjadi dalam kebersamaan yang dilakukan orang-orang mukmin dalam jihad, haji, amar makruf nahi mungkar, serta bertolong-tolongnya mereka dalam kebajikan dan takwa. Rasululullah saw. bersabda, “Orang mukmin satu dengan orang mukmin lain seperti bangunan yang saling topang antara satu dengan yang lain.”

 

Karena mereka semua menjalin jari-jemarinya. Dan sudah diketahui bahwa hal seperti ini lebih utama dilakukan dalam urusan agama daripada urusan dunia.

 

Masuknya orang muslim bersama jamaah umat Islam dalam ikatan keislaman merupakan salah satu sebab paling besar bagi sampainya manfaat dari setiap muslim kepada saudara sesama muslim, baik di dalam kehidupan dunia maupun setelah kematian tiba. Doa semua kaum muslimin terus menaungi seluruh umat Islam termasuk mereka yang sudah meninggal dunia. Allah swt. telah mengabarkan tentang para malaikat pemikul Arsy dan yang di sekeliling mereka, bahwa mereka selalu memohonkan ampunan serta berdoa bagi kaum mukminin. Allah swt. juga mengabarkan ihwal doa dan istigfar permohonan ampun para rasul utusan-Nya bagi kaum mukminin, seperti yang dilakukan oleh Nuh as. dan Muhammad saw. Oleh karena itu, dengan keimanannya seorang hamba telah membuka jalan untuk mencapai doa-doa tersebut sehingga pencapaian itu seakan-akan dari usahanya sendiri.

 

Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa Allah swt. telah menjadikan keimanan sebagai sebab atau jalan bagi siapa pun yang memilikinya (yaitu orang beriman) untuk memperoleh manfaat dari doa saudara-saudaranya sesama mukmin, sebagaimana pula dari berbagai usaha yang mereka lakukan. Ketika manfaat itu mendatanginya, maka sebenarnya dia sudah berusaha menempuh sebab atau jalan yang menghantarkannya kepada pencapaian itu.

 

Hal ini telah ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw. kepada ‘Amr bin ‘Ash ra., “Sesungguhnya kalau ayahmu mengakui tauhid, maka itu bermanfaat baginya.” Maksudnya, pemerdekaan budak yang dilakukan oleh ‘Amr bin ‘Ash ra. setelah ayahnya meninggal dunia.

 

Apabila dia (ayah ‘Amr bin ‘Ash) telah menempuh sebab atau jalan (yaitu bertauhid), berarti dia sudah berusaha melakukan suatu amalan yang menghantarkannya menuju pencapaian pahala atas pemerdekaan budak (yang dilakukan anaknya—Penj.). Ini adalah sebuah cara peraihan pahala yang sangat baik.

 

Segolongan orang lagi menyatakan bahwa al-Quran tidak pernah menafikan diperolehnya manfaat oleh seseorang dari apa yang dilaku. kan oleh orang lain. Al-Quran hanya menafikan kepemilikan seseorang yang bukan karena usahanya. Al-Quran telah menjelaskan perbedaan antara semua itu secara gamblang. Allah swt. telah mengabarkan bahwa manusia tidak dapat memiliki apa pun kecuali hanya usahanya sendiri (La yamlik illa sa’yah), sementara usaha yang dilakukan orang lain menjadi milik orang tersebut. Akan tetapi, jika orang itu mau, dia dapat memberikannya kepada orang lain; atau jika dia mau, dia juga dapat tetap memiliki apa yang dimilikinya itu. Itulah sebabnya Allah swt. tidak menyatakan “tidak ada yang bermanfaat (bagi manusia) kecuali hanya dari apa yang dia usahakan” (La yantafi’ illa ma sa’a). Pasal Begitu pula halnya dengan firman Allah swt.,

 

“..Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya….” (QS. al-Baqarah [2]: 286)

 

Dan firman Allah swt.,

 

“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kalian tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kalian kerjakan.” (QS. Yasin [36]: 54)

 

Ayat ini menjadi dalil yang paling gamblang menunjukkan bahwa isinya dimaksudkan untuk menafikan adanya hukuman terhadap seorang hamba akibat amal perbuatan orang lain. Allah swt. berfirman, “Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kalian tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kalian kerjakan.” (QS. Yasin [36]: 54)

 

Dalam ayat ini Allah swt. menafikan kemungkinan hamba-Nya akan dizalimi dengan ditambahkan keburukan lain pada keburukan-keburukan dirinya sendiri atau dikurangi kebaikan dari kebaikan-kebaikannya atau dihukum akibat perbuatan orang lain. Akan tetapi, dalam ayat ini Allah swt. tidak menafikan kemungkinan diraihnya manfaat oleh seorang hamba dari amal perbuatan orang lain, termasuk pula jika itu berupa pahala karena manfaat yang diraih oleh seorang hamba sesuai hidayah yang diikutinya bukan sebagai pahala atas amalnya. Itu menjadi semacam sedekah yang Allah swt. berikan kepadanya dan Dia anugerahkan kepadanya tanpa ada usaha apa pun dari si hamba itu sendiri, melainkan menjadi hibah bagi si hamba itu dari tangan hamba-hamba-Nya yang lain, bukan sebagai pahala.