PASAL : Berkenaan dengan sampainya pahala haji kepada orang yang sudah mati.
Disebutkan dalam Sahih al-Bukhari sebuah riwayat.
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang perempuan asal Juhainah mendatangi Rasulullah saw. lalu berkata, “Sesungguhnya ibuku bernazar untuk berhaji tetapi dia tidak sempat berhaji sampai meninggalnya. Apakah aku boleh berhaji atas namanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Berhajilah atas namanya. Tidakkah engkau melihat apabila ibumu menanggung utang, engkau harus melunasinya? Lakukanlah qada untuk Allah karena Allah paling berhak atas qada.”
Telah disampaikan sebelumnya hadis-hadis dari Buraidah yang di dalamnya disebutkan, “Sesungguhnya ibuku belum berhaji sama sekali. Apakah aku boleh berhaji atas namanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Berhajilah atas namanya.”
Diriwayatkan dari Ibnu “Abbas ra. dia berkata, “Sesungguhnya istri Sinan bin Salamah al-Juhani bertanya kepada Rasulullah saw. bahwa ibunya meninggal dunia dan belum berhaji. Dia lalu bertanya apakah dia sah melaksanakan haji atas nama ibunya itu. Rasulullah saw. menjawab, “Ya. Apabila ibunya menanggung utang, lalu dia melunasi utang itu atas nama ibunya, bukankah itu sah atas namanya?” (HR. Nasa’i).
Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang perempuan pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang ayahnya yang meninggal dunia dan belum berhaji. Rasulullah saw. bersabda, “Berhajilah atas nama ayahmu!”.
Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang lelaki berkata, “Wahai Nabiyullah! Sesungguhnya ayahku meninggal dunia dan dia belum berhaji. Apakah aku boleh berhaji atas namanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Tidakkah engkau melihat apabila ayahmu menanggung utang, apakah engkau akan melunasinya?” Orang itu menjawab, “Ya!” Rasulullah saw. lalu bersabda, “Utang kepada Allah Lebih berhak (untuk dilunasi).”
############
Kaum muslimin telah bersepakat bahwa pelunasan hutang akan menggugurkan penanggung hutang dari tanggungannya.
Termasuk walaupun yang melunasi hutang itu adalah orang asing (bukan keluarga Penj.); atau hutang itu dilunasi menggunakan harta yang bukan berasal dari warisannya.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis-hadis Abu Qatadah, yang menanggung dua dinar atas nama seorang mayat. Ketika dia melunasi dua dinar itu, Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Sekarang telah dinginlah baginya kulitnya.”
######
Kaum muslimin juga telah ber ijmak bahwa apabila seseorang yang masih hidup memiliki hak tertentu yang menjadi tanggungan seorang mayat, lalu dia menghalalkan haknya itu, maka itu akan bermanfaat bagi si mayat karena ia akan terbebas dari tanggungan hak tersebut, sebagaimana halnya tanggungan seperti itu dapat gugur dari orang yang masih hidup.
Apabila tanggungan orang yang masih hidup dapat gugur berdasarkan al-Quran dan ijmak, padahal orang yang masih hidup dapat menunaikan hak itu sendiri, walaupun dia tidak merelakannya dan menolaknya; maka tentu saja tanggungan yang gugur dari orang yang sudah mati dengan pembebasan (pemilik hak) terhadap orang mati yang sudah tidak dapat menunaikan hak itu lagi jauh lebih utama dan lebih layak.
Apabila pembebasan dan pengguguran hak dapat bermanfaat bagi orang mati, berarti seperti itulah pula halnya hibah dan hadiah dapat bermanfaat baginya; tidak ada perbedaan antara keduanya karena pahala amal merupakan hak bagi pemberi hadiah (muhdi) dan pemberi hibah (wahib) sehingga apabila dia memindahkannya bagi orang mat; pahala itu pun berpindah kepada si orang mati.
Hal ini sama seperti ketika seorang mayat menanggung hak-hak tertentu berupa hutang atau lainnya dan itu merupakan hak penuh bagi orang yang masih hidup. Apabila kemudian orang hidup itu membebaskan hak tersebut, pembebasan itu akan sampai kepada si orang mati sehingga gugurlah tanggungan itu darinya (si orang mati) dan keduanya, merupakan hak bagi orang yang masih hidup. Alhasil, apakah ada Nas kiyas atau kaidah syariat tertentu yang memastikan sampainya Salah satu di antara kedua hal tersebut, tetapi kemudian menafikan sampai, kan hal yang satu lagi?
Nas-nas tersebut di atas menunjukkan pada sampainya pahala berbagai amal perbuatan kepada orang mati apabila ada orang hidup yang melakukan amal perbuatan yang bersangkutan atas nama Si orang mati. Ini merupakan bentuk kiyas penuh karena sebenarnya pahala merupakan hak bagi pelaku suatu amal. Apabila dia kemudian meng. hibahkan pahala itu kepada saudaranya sesama muslim, tidak ada yang dapat menghalangi hal itu. Sebagaimana halnya tidak dapat pula ada yang menghalangi orang tersebut untuk menghibahkan hartanya di saat hidupnya dan pembebasannya baginya (penanggung hak) dari hak tersebut setelah kematiannya (penanggung hak).
Dengan sampainya pahala puasa yang dilaksanakan hanya dengan meninggalkan (hal-hal yang membatalkan puasa) dan niat yang dilakukan dalam hati, tanpa ada yang melihatnya kecuali hanya Allah swt., yang bukan merupakan amal perbuatan anggota tubuh, Rasulullah saw. telah mengingatkan atas sampainya pahala bacaan al-Quran yang merupakan amal perbuatan lisan yang didengar oleh telinga dan dilihat oleh mata dengan cara yang lebih utama.
Dijelaskan bahwa puasa merupakan niat penuh dan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Allah swt. menyampaikan pahalanya kepada orang mati. Jadi apatah lagi dengan bacaan al-Quran yang berupa perbuatan dan niat. Bahkan tidak membutuhkan niat! Sampainya pahala puasa ke orang mati mengandung peringatan atas sampainya pahala semua amal.
Ibadah dapat dibagi menjadi dua, yaitu ibadah material (al-’ibadat al-maliyyah) dan ibadah fisik (al-’ibadat al-badaniyyah).
Dengan sampainya pahala sedekah, sydri’ (Allah swt. dan Rasulullah saw.—Penj.) telah mengingatkan atas sampainya pahala semua ibadah material. Dan dengan sampainya pahala puasa, syari’ mengingatkan atas sampainya pahala semua ibadah fisik. Sebagaimana syari’ juga telah mengabarkan tentang sampainya pahala haji yang merupakan bentuk ibadah perpaduan antara ibadah material dan ibadah fisik. Ketiga jenis ibadah ini memang pasti adanya berdasarkan nas dan pengambilan kesimpulan. wa billahit taufiq.
###########
Sementara itu, orang-orang yang menyatakan tidak sampainya pahala perbuatan orang hidup kepada orang mati
Dinyatakan bahwa Allah swt. berfirman,
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm [53]: 39)
Allah swt. berfirman,
“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kalian tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kalian kerjakan.” (QS. Yasin [36]: 54)
Allah swt. berfirman,
“…ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. al-Baqarah [2]: 286)
Sebuah hadis tsabit (sahih) telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Apabila seorang hamba meninggal dunia, amalnya putus kecuali tiga: Sedekah jariah, anak saleh berdoa untuknya, atau ilmu yang dimanfaatkan sepeninggalnya.”
Rasulullah saw. mengabarkan bahwa yang bermanfaat bagi seorang hamba hanyalah apa yang dapat sampai kepadanya dari apa-apa yang dilakukannya semasa hidup, sementara yang tidak sampai kepadanya pasti akan terputus.
Dan ada pula hadis-hadis dari Abu Hurairah ra. yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu sabda Rasulullah saw.,
“Sesungguhnya di antara yang dapat sampai kepada mayat dari amal dan kebaikan-kebaikan, nya setelah kematiannya adalah amal yang dia sebarkan.” (al-Hadis). Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa yang bermanfaat bagi seorang hamba hanyalah apa yang dapat sampai kepadanya (dari apa-apa yang dilakukannya semasa hidup).
Demikian pula hadis-hadis marfa’ dari Anas ra., “Tujuh perkara pahala kesemuanya tetap mengalir pada hamba ketika dia berada dalam kuburnya setelah meninggalnya: Orang yang mengajarkan ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanam kurma, membangun masjid, mewariskan musaf, meninggalkan anak saleh yang memohon. kan ampunan untuknya setelah dia meninggal dunia.”
Semua ini menunjukkan bahwa semua amalan selain yang disebutkan Rasulullah saw. itu tidak akan dapat sampai pahalanya kepada orang yang bersangkutan karena kalau tidak demikian, maka pembatasan yang dilakukan beliau itu menjadi tiada artinya.
Mereka juga menyatakan bahwa pemberian hadiah dalam bentuk pengalihan, padahal pengalihan hanya dapat dilakukan pada suatu hak yang pasti.
Sementara amal perbuatan tidak pasti melahirkan pahala karena pahala semata-mata merupakan anugerah Allah swt. berkat kebaikan-Nya.
Jadi bagaimana mungkin seorang hamba dapat mengalihkan sesuatu yang semata-mata merupakan anugerah Allah yang bukan merupakan kewajiban Allah untuk memberikannya karena jika Allah berkenan, Dia akan memberikan pahala itu. Akan tetapi, kalau Dia tidak berkenan, maka Dia tidak akan memberikannya. Jadi hal ini sebenarnya sama dengan pengalihan pemberian dari seorang miskin kepada orang yang memohon untuk diberi sedekah. Tentu saja orang miskin seperti itu tidak dapat menghadiahkan dan menghibahkan apa yang tidak dia miliki. Atau seperti sebuah pemberian dari orang yang memiliki sesuatu tetapi tidak dapat tercapai.
Mereka menyatakan bahwa alasan lain (tidak sampainya pahala orang hidup kepada orang mati—Penj.) yaitu
karena tindakan mendahulukan orang lain untuk mendapatkan jalan untuk meraih pahala hukumnya makruh karena itu merupakan bentuk tindakan mendahulukan orang lain untuk bertaqarrub. Kalau memang demikian, bukankah jika tindakan mendahulukan orang lain itu dilakukan demi mendapat pahala itu sendiri, yang merupakan tujuan amal? Ketika sikap mendahulukan orang lain atas jalan untuk meraih pahala hukumnya makruh maka, hukum makruh terhadap sikap mendahulukan orang lain untuk mendapatkan pahala atas amal kita jauh lebih layak untuk menjadi makruh.
Atas dasar inilah, Imam Ahmad memakruhkan tindakan seseorang yang mundur dari saf pertama dalam shalat untuk memberi kesempatan kepada orang lain menempati saf pertama itu dikarenakan di saf pertama lebih dapat diharapkan diraihnya pahala yang lebih besar.
Ahmad menyatakan dalam riwayat Hanbal, ketika dia ditanya tentang seseorang yang mundur dari saf pertama lalu meminta ayahnya agar menempati tempat di saf pertama yang ditinggalkannya itu. Imam Ahmad menjawab, “Itu tidaklah aneh, tetapi dia dapat berbakti kepada ayahnya dengan cara selain itu!”
Mereka menyatakan bahwa alasan lain (tidak sampainya pahala orang hidup kepada orang mati—Penj.) yaitu
Apabila pemberian hadiah kepada orang mati dibolehkan, maka berarti harus dibolehkan pula pengalihan pahala dan pemberian hadiah kepada orang yang masih hidup. Dan lagi, apabila hal seperti itu dibolehkan, berarti boleh pula pemberian hadiah setengah dari pahala atau seperempatnya atau setumpukannya. Dan lagi, apabila hal seperti itu dibolehkan, berarti boleh pula pemberian pahala kepada orang lain setelah orang yang bersangkutan melakukan suatu amalan untuk dirinya sendiri.
Mereka menyatakan, bahwa kami telah menyatakan, bahwa orang yang bersangkutan harus berniat ketika melaksanakan suatu amal yang ingin dia hadiahkan kepada seseorang yang sudah mati, kalau tidak seperti itu, maka pahala amal tersebut tidak akan sampai kepada si mayat. Jika memang pengalihan pahala seperti itu dibolehkan, lantas apakah perbedaan antara kondisi ketika orang yang melakukan amal itu meniatkannya sebelum atau sesudah dia melakukan amal yang bersangkutan?
Dan lagi, apabila pemberian hadiah kepada orang mati itu dibolehkan, berarti boleh pula pemberian pahala dari berbagai ibadah wajib kepada orang yang masih hidup, sebagaimana dibolehkannya pula pemberian hadiah pahala dari berbagai ibadah sunah yang dilakukan oleh yang bersangkutan secara suka rela.
Mereka menyatakan bahwa semua pembebanan merupakan bentuk ujian dan cobaan yang tidak dapat digantikan oleh orang lain karena sesungguhnya yang disasar oleh semua kewajiban pembebanan yaitu si mukalaf itu sendiri yang mengamalkan berbagai perintah dan larangan Seorang mukalaf yang diuji itu tidak boleh dibadalkan oleh orang lain, sebagaimana tidak boleh ada orang lain yang menggantikannya memikul taklif itu. karena hal ini tujuan dari taklif, yaitu agar orang yang bersangkutan menjadi taat dalam penghambaannya.
Kalau memang seseorang dapat memperoleh manfaat dari hadiah yang diberikan oleh orang lain kepadanya tanpa dia sendiri yang harus beramal melakukannya, tentulah Rasulullah Akram al-Akramin yaitu orang yang paling layak melakukan itu. Sementara Allah telah menetapkan ketentuan hukum bahwa tidak ada seorang pun yang beroleh manfaat apa pun, kecuali hanya dengan usahanya sendiri. Hal ini telah menjadi Sunnatullah pada segenap makhluk-Nya dan pada seluruh ke. tetapan-Nya, sebagaimana hal ini juga menjadi sunah-Nya dalam semua perintah dan syariat-Nya.
Seseorang yang sedang sakit tidak dapat digantikan atau diwakili oleh orang lain ketika dia harus meminum obat.
Seseorang yang kelaparan, kehausan dan telanjang tidak dapat digantikan oleh orang lain ketika dia harus makan, minum, dan mengenakan pakaian.
Mereka menyatakan bahwa apabila orang mati dapat memperoleh manfaat dari amal orang lain, pastilah bermanfaat pula baginya tobat orang lain yang dilakukan atas namanya.
Mereka menyatakan bahwa atas dasar semua itulah Allah tidak mungkin menerima keislaman seseorang yang dilakukan atas nama orang lain dan tidak mungkin menerima shalat seseorang yang dilakukan atas nama orang lain. Apabila pokok ibadah dasar tidak boleh dihadiahkan pahalanya kepada orang, apalagi kiranya dengan ibadah-ibadah cabang?
Mereka menyatakan bahwa berkenaan dengan doa, maka itu merupakan bentuk permintaan dan pengharapan kepada Allah swt. untuk memberi anugerah kepada si mayat dengan memberinya pengampunan dan pemaafan. Tentu saja hal seperti itu bukan merupakan pemberian hadiah pahala amal orang hidup kepada orang mati.
Orang-orang yang tidak mengakui sampainya ibadah yang dapat diwakilkan oleh orang lain (seperti sedekah dan haji) kepada orang mati menyatakan bahwa ibadah terbagi menjadi dua macam:
1. Jenis ibadah yang sama sekali tidak dapat diwakilkan oleh orang lain. Contohnya seperti pernyataan masuk Islam, shalat, membaca al-Quran, dan puasa. Ibadah-ibadah jenis pertama ini pahalanya secara khusus hanya dimiliki oleh pelakunya, tidak dapat melampaui itu dan tidak dapat dialihkan darinya. Sebagaimana halnya dalam hidup ibadah jenis pertama ini tidak dapat dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain dan tidak dapat diwakilkan pelakunya oleh orang lain.
2. Jenis ibadah yang dapat digantikan atau diwaliki oleh orang lain. Contohnya seperti tindakan mengembalikan barang titipan, melunasi utang, membayar sedekah, dan berhaji. Ibadah-ibadah jenis kedua ini pahalanya dapat sampai kepada orang mati karena semua itu boleh diwakilkan dan seseorang boleh melaksanakannya atas nama orang lain semasa hidupnya, apalagi jika dilakukan setelah kematiannya.
Mereka menyatakan bahwa berkenaan dengan hadis-hadis yang berbunyi “Barang siapa yang meninggal dengan menanggung puasa, hendaklah walinya berpuasa atas namanya”, tanggapan atas Hadis-hadis itu adalah sebagai berikut:
Pertama: Pernyataan Imam Malik dalam al-Muwaththa’. Dia menyatakan bahwa seseorang tidak boleh berpuasa atas nama orang lain. Dia menyatakan bahwa itu adalah sesuatu yang sudah disepakati tanpa ada perbedaan pendapat di dalamnya.
Kedua: Ibnu ‘Abbas ra. adalah sosok yang meriwayatkan hadis-hadis puasa atas nama orang yang sudah mati. Hadis-hadis ini kemudian diriwayatkan oleh Nasa’i Muhammad bin ‘Abdul A’la menuturkan kepada kami, Yazid bin Zurai’ menuturkan kepada kami, Hajjaj al-Ahwal menuturkan kepada kami, Ayyub bin Musa menuturkan kepada kami, dari ‘Atha bin Abu Rabah, dari Ibnu ‘Abbas ra., dia berkata, “Tidak boleh seseorang melaksanakan shalat atas nama orang lain dan tidak boleh seseorang melaksanakan puasa atas nama orang lain.”
Ketiga: Hadis-hadis tersebut merupakan sebuah hadis yang terdapat ikhtilaf dalam sanadnya. Demikian yang dikatakan dalam Syarh Muslim.
Keempat: Hadis-hadis tersebut bertentangan dengan nas al-Quran seperti yang telah disampaikan sebelumnya; yaitu firman Allah swt.,
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm [53]: 39)
Kelima: Hadis-hadis tersebut bertentangan dengan riwayat Yang diriwayatkan oleh Nasa‘i dari Ibnu ‘Abbas ra., dari Rasulullah Saw. bahwa beliau bersabda, “Tidaklah seseorang dapat melakukan shalat atas nama orang lain dan tidaklah seseorang dapat melakukan puasa atas nama orang lain. Akan tetapi, hendaklah diberikan makanan atgs namanya untuk menggantikan setiap satu hari sebanyak satu mug gandum hinthah.”
Keenam: Hadis-hadis tersebut bertentangan dengan hadis-hadis Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Abu Laila, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi saw., “Barang siapa yang meninggal dengan menang. gung puasa Ramadhan, hendaklah diberikan makanan atas namanya.”
Ketujuh: Hadis-hadis tersebut bertentangan dengan kiyas jaliy terhadap shalat, pernyataan masuk Islam dan tobat; yang kesemua itu tidak dapat dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain.
Imam Syafi’i menyatakan tentang penjelasannya mengenai riwayat dari Ibnu “Abbas ra., “Ibnu ‘Abbas ra. tidak pernah menyebutkan nazar Umm Sa‘d sehingga ada kemungkinan bahwa yang dinazarkan adalah haji, umrah atau sedekah, yang kemudian diperintahkan qada atas nama Umm Sa‘d. Adapun bagi orang yang bernazar berupa shalat atau puasa, lalu ternyata meninggal dunia (sebelum sempat melaksanakan nazarnya—Penj.), maka yang dapat dilakukan adalah pelaksanaan kafarat atas namanya dari puasa itu, bukan dengan dilakukan puasa atas namanya. Sebagaimana shalat tidak dapat dilakukan atas namanya dan tidak dapat pula dilakukan kafarat atas namanya pada shalat tersebut.
Lalu dia menyatakan bahwa apabila ada yang bertanya bahwa telah diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. telah memerintahkan seseorang untuk berpuasa atas nama seseorang, maka tanggapan atas itu adalah bahwa memang hal itu benar adanya. Ibnu “Abbas ra. telah meriwayatkan itu dari Rasulullah saw.
Apabila ditanyakan lagi mengapa dalil itu tidak diambil, jawabannya yaitu hadis-hadis dari Zuhri, dari ‘Ubaidullah, dari Ibnu ‘Abbas ra., dari Rasulullah saw. yang menyebut “nazar” tanpa menyebutkan nazar apakah itu. Padahal Zuhri dikenal dengan kekuatan hafalannya dan lamanya ‘Ubaidullah bersama Ibnu ‘Abbas ra. sehingga ketika datang riwayat lain dari seseorang yang meriwayatkannya dari Ibnu ‘Abbas ra. yang isinya berbeda dengan apa yang terdapat di dalam hadis-hadis ‘Ubaidullah, maka tampaknya riwayat tersebut tidak dihafal.
Apabila ditanyakan apakah saya mengetahui orang yang meriwayatkan hadis-hadis ini dari Ibnu ‘Abbas ra. telah melakukan kekeliruan? Jawaban atas itu adalah ya, para sahabat Ibnu ‘Abbas telah meriwayatkan hadis-hadis ini dari Ibnu Abbas ra., dia berkata kepada Ibnu Zubair ra. bahwa Zubair sudah halal dari mut’ah haji, lalu dia meriwayatkan hadis-hadis ini dari Ibnu Abbas ra. bahwa itu merupakan mut’ah perempuan. Tentu saja ini sebuah kekeliruan yang fatal.
Ini juga merupakan jawaban atas tindakan puasa. Adapun mengenai tindakan haji yang sampai darinya, yaitu pahala infak. Sementara semua rangkaian kegiatan manasik hajinya kedudukannya sama dengan gerakan shalat yang hanya dapat dilakukan atas nama orang yang melakukannya.
Orang-orang yang menyatakan sampainya pahala perbuatan orang hidup kepada orang mati (ashhab al-wushal) menyatakan bahwa tidak ada sedikit pun dari apa yang telah kami jelaskan yang bertentangan dengan dalil-dalil Kitabullah dan sunah, serta kesepakatan kalangan salaf dan juga tuntunan kaidah-kaidah syariat. Berikut ini merupakan tanggapan mereka atas setiap poin yang telah kami sampaikan di atas dengan penuh keadilan dan keseimbangan.
Berkenaan dengan firman Allah swt. “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm [53]: 39)
Orang-orang berbeda pendapat mengenai maksud ayat tersebut. Segolongan orang menyatakan bahwa yang dimaksud “manusia” dalam ayat ini adalah ‘orang Kafir’ karena bagi orang mukmin, dia dapat memiliki apa yang telah diusahakannya sendiri dan juga apa yang diusahakan oleh orang lain untuk dirinya, berdasarkan dalil-dalil yang telah kami sebutkan. Mereka menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah pengkhususan dan itu memang boleh apabila ada dalil yang menunjukkan itu.
Akan tetapi, jawaban seperti itu amatlah lemah karena ayat seperti tersebut di atas itu bersifat umum dan tidak dimaksudkan hanya untuk orang kafir semata. Alih-alih, ia berlaku bagi orang muslim dan juga Orang kafir. Ayat ini sama seperti ayat sebelumnya yang juga bersifat umum:; yaitu firman Allah swt., “Bahwasanya seorang yang berdosa, tidak akan memikul dosa orang lain,” (QS. an-Najm [53]: 38)
Susunan kalimat ini dari awal sampai akhir secara gamblang menunjukkan maksud umum (amm), berdasarkan firman Allah swt.,
“Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna,” (QS. an-Najm [53]: 40-41)
Secara tegas isi ayat ini berlaku umum meliputi segala kebaikan dan juga segala keburukan, yang ditujukan terhadap orang bijak dan orang durhaka, orang mukmin dan orang kafir; seperti firman Allah swt,
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.” (QS. az-Zalzalah [99]: 7-8)
Atau seperti firman Allah swt. dalam sebuah hadis Ilahi (Hadis-hadis Qudsi), “Wahai hamba-hamba-Ku sesungguhnya itu adalah amal perbuatan kalian, Aku hitung untuk kalian lalu kugenapi bagi kalian. Barang siapa yang mendapatkan kebaikan, hendaklah dia memuji Allah; dan barang siapa yang mendapatkan yang selain itu janganlah dia mencela kecuali dirinya sendiri.”
Itu juga seperti firman Allah swt.,
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. al-Insyiqaq [84]: 6)
Jadi janganlah Anda tertipu oleh pernyataan banyak mufasir yang menjelaskan tentang lafal “manusia” (al-inaGn) di dalam al-Quran bahwa yang dimaksud di situ adalah “Abu Jahal” atau bahwa lafal “manusia” dalam ayat anu maksudnya adalah ‘Uqbah bin Abu Mu’aith” atau pahwa lafal “manusia” dalam ayat anu maksudnya adalah “Walid bin Mughirah”. Al-Quran terlalu mulia untuk sekadar itu. Alih-alih diartikan seperti itu, pengertian lafal “‘manusia” di dalam al-Quran adalah sebagaimana adanya tanpa dikhususkan bagi seseorang tertentu saja. Contohnya adalah firman Allah swt.
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.” (QS. al-Ashr [103]: 2)
Firman Allah swt.,
“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya.” (QS. al-’Adiyat [100]: 6)
Firman Allah swt.,
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.” (QS. al-Ma’arij [70]: 19)
Firman Allah swt.,
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. al-’ Alag [96]: 6-7)
Firman Allah swt.,
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya, Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim [14]: 34)
Firman Allah swt.,
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,” (QS. al-Ahzab [33]: 72)
Seperti yang disebutkan di atas itulah kondisi manusia dengan jati dirinya yang asli. Ketika manusia berhasil keluar dari sifat-sifat buruk itu, maka itu terjadi berkat anugerah, taufik, dan nikmat yang Allah berikan kepada manusia; bukan dari diri manusia itu sendiri karena manusia tidak memiliki apa-apa di dalam jati dirinya kecuali hanya sifat-sifat tersebut. Apa pun nikmat yang ada pada diri manusia, maka itu pasti dari Allah swt. semata. Allah-lah yang telah mengembuskan iman kepada hamba-Nya, menghiasnya dalam hatinya, membuat manusia membenci kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan. Allah pulalah yang menetapkan iman di dalam kalbu manusia.
Allah swt. telah meneguhkan para nabi, para rasul, dan para wali-Nya di atas agama-Nya. Dialah yang telah menghindarkan segala keburukan dan kekejian dari mereka.
Sebuah syair pernah dituturkan di hadapan Rasulullah saw.:
Allah. Kalau bukan Allah Kita takkan dapat petunjuk Tidak pula Kita akan bersedekah, tidak pula shalat
Allah swt. berfirman,
“Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (QS. Yunus [10]: 100)
Allah swt. berfirman,
“Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran daripadanya kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun.” (QS. al-Muddatstsir [74]: 56)
Allah swt. berfirman,
“Dan kalian tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. at-Takwir [81]: 29)
Allah swt. adalah tuhan seluruh alam semesta dengan mengatur segala yang ada di alam semesta, baik itu berupa zat, perbuatan, maupun keadaan.
Segolongan orang berpendapat bahwa ayat tersebut di atas merupakan informasi tentang syariat orang-orang sebelum kita karena Syariat kita telah menunjukkan, bahwa manusia memiliki apa yang diusahakannya sendiri dan juga apa yang diusahakan orang lain untuknya. Akan tetapi, pendapat ini justru lebih lemah daripada pendapat, yang pertama di atas atau setidaknya setara dengan pendapat pertama,
Allah swt. telah mengabarkan tentang hal itu dengan informasi yang mengukuhkannya dan menjadi hujah, bukan informasi yang membatalkannya. Itulah sebabnya Allah swt. berfirman,
“Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa?,” (QS. an-Najm [53]: 36)
Apabila hal ini batil di dalam syariat, tentu Allah tidak akan mengabarkan hal ini dengan pengabaran yang mengukuhkannya dan menjadi hujah.
Segolongan yang lain menyatakan bahwa huruf lam dalam ayat tersebut di atas (QS. an-Najm [53]: 39), memiliki arti “’ala” sehingga pengertian ayat itu menjadi “Dan bahwasanya seorang manusia tiada menanggung (‘ala-l-insan) selain apa yang telah diusahakannya.”
Tentu saja pendapat ini yang paling batil di antara ketiga pendapat tersebut dan jauh lebih batil daripada dua pendapat yang sebelumnya karena pengertian seperti itu telah membalikkan isi ayat tersebut seratus delapan puluh derajat dari pengertian aslinya. Hal semacam ini tidak boleh dan sama sekali tidak ada kemungkinan pengertian seperti itu menurut bahasa. Adapun firman yang berbunyi
“(Yaitu) hari yang tiada berguna bagi orang-orang zalim permintaan maafnya dan bagi merekalah laknat (wa ‘alaihim al-la’nah dan bagi merekalah tempat tinggal yang buruk.” (QS. al-Mu’min [40]: 52) hanya dapat diartikan sesuai konteksnya; yaitu bahwa laknat itulah yang menjadi bagian atau jatah mereka.
Adapun berkenaan dengan orang-orang Arab yang mengetahui dalam bahasa mereka bahwa arti kalimat “Bagi saya satu dirham” (Ii dirham) yaitu “Saya menanggung satu dirham” (‘alayya dirham), maka pengertian seperti itu tidaklah mungkin!
Segolongan orang lagi menyatakan bahwa dalam kalimat ayat tersebut di atas terdapat kata yang tidak tampak (mahdzaf) karena ayat itu semestinya berbunyi “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya dan apa yang diusapakan (orang lain) untuknya .”
Tentu saja pendapat ini sama salahnya dengan pendapat yang sebelumnya karena sama sekali tidak ada isyarat yang menunjukkan bahwa ada kalimat yang tidak tampak itu. Bahkan ini adalah bentuk pendapat mengenai Allah dan mengenai Kitabullah yang tidak didasarkan pada ilmu!
Segolongan orang yang lain lagi menyatakan bahwa ayat tersebut di atas (QS. an-Najm [53]: 39) sudah dinasakh oleh firman Allah swt.,
“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. ath-Thur [52]: 21)
Pendapat ini konon dinukil dari Ibnu ‘Abbas ra., tetapi pendapat ini amatlah lemah (daif) karena ketetapan hukum suatu ayat tidak dapat dihapuskan begitu saja hanya dengan ucapan Ibnu Abbas ra. atau siapa pun juga yang menyatakan bahwa suatu ayat sudah dinasakh.
Sementara itu, untuk mempertemukan pengertian kedua ayat ini (maksudnya, QS. an-Najm [53]: 39 dan QS. ath-Thur [53]: 21—Penj.) juga sama sekali tidak sukar dan tidak terlarang karena”anak cucu” memang selalu mengikuti “leluhur” di akhirat, sebagaimana mereka (anak cucu) selalu mengikuti mereka (para leluhur) ketika masih hidup di dunia. Ikutnya para anak cucu dengan para leluhur ini merupakan bentuk kemuliaan para leluhur dan menjadi imbalan bagi mereka yang mereka terima berkat usaha mereka.
Adapun jika dikatakan bahwa para anak cucu dapat meraih derajat tertentu tanpa usaha yang mereka lakukan, pendapat itu tentu Saja keliru karena derajat seperti itu menjadi hak para leluhur. Allah swt menyenangkan hati mereka dengan mengajak keturunan mereka untuk bergabung dengan mereka di surga, sebab mereka memang memiliki keutamaan melebihi para anak cucu yang tidak dimiliki para anak cucu itu.
Hal ini (keutamaan yang dimiliki para leluhur) serupa dengan keutamaan yang dimiliki oleh “anak-anak surga” (wildan), para bidadar; Har ‘fn dan semua makhluk yang Allah ciptakan untuk tinggal di surga, tanpa melakukan amalan apa pun; atau orang-orang yang memasuki surga tanpa melakukan kebaikan atau amal apa pun juga.
Firman Allah swt., “Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,” (QS. an-Najm [53]: 38)
Dan firman Allah swt., “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm [53]: 39)
Dua ayat yang bersifat muhkam (jelas maknanya karena bukan termasuk ayat mutasyabihat—Penj.). Kedua ayat tersebut menunjukkan keadilan Allah swt. dengan segala hikmah kebijaksanaan dan kesem. purnaan-Nya yang Mahakudus. Akan sehat dan fitrah kita telah menjadi saksi atas kedua ayat tersebut.
Ayat pertama menunjukkan bahwa Allah tidak akan menghukum siapa pun disebabkan dosa yang dilakukan orang lain, sementara ayat kedua menunjukkan bahwa siapa pun tidak akan dapat meraih apa-apa kecuali hanya dengan amal dan usahanya sendiri.
Ayat pertama memberikan jaminan keamanan kepada hamba dari kemungkinan dijatuhkannya hukuman disebabkan dosa orang lain seperti kesalahan yang sering dilakukan oleh para raja di dunia. Ayat kedua memupus ketamakan hamba atas keselamatan dirinya dengan amal perbuatan para leluhur, pendahulu dan guru-gurunya; seperti yang dilakukan oleh orang-orang tamak pendusta. Silakan Anda renungkan kebaikan dari dipadukannya kedua ayat ini!
Pembanding ayat tersebut di atas adalah firman Allah swt.,
“Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri: dan barang siapa yang sesat, sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. al-Isra’ [17]: 15)
Allah swt. menetapkan bagi hamba-hamba-Nya empat ketetapan yang menjadi puncak keadilan dan hikmah kebijaksanaan-Nya:
Pertama: Hidayah yang diraih hamba dengan keimanan dan amal saleh adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain.
Kedua: Kesesatan yang menimpa hamba disebabkan pengabaiannya terhadap iman dan amal saleh pasti akan menimpa dirinya sendiri, bukan menimpa orang lain.
Ketiga: Setiap orang tidak akan dihukum karena dosa orang lain.
Keempat: Setiap orang tidak akan diazab, kecuali setelah ditegakkannya hujah atas dirinya melalui para rasul.
Silakan Anda renungkan isi keempat ketetapan tersebut di atas yang menunjukkan hikmah kebijaksanaan Allah swt. serta keadilan dan anugerah-Nya; serta sekaligus membantah orang-orang yang tertipu, tamak, dan orang-orang yang tidak mengenal Allah, asma dan sifat-Nya.
Segolongan orang lagi menyatakan bahwa yang dimaksud “manusia” dalam ayat ini (QS. an-Najm [53): 39) yaitu “manusia hidup” bukan “manusia mati”. Pendapat ini juga sama seperti pendapat keliru yang sebelumnya.
Semua pendapat salah seperti ini muncul disebabkan kekeliruan dalam memahami peralihan lafal yang bermakna umum, sementara orang yang salah dalam pemahaman lafal ini tidak membiarkan peralihan lafal tersebut untuk tetap mengikuti berbagai petunjuk yang melekat pada lafal tetapi kemudian membawanya pada pengertian yang bukan pada tempatnya dan pengertian yang dapat langsung dipahami dari lafal yang bersangkutan. Ini merupakan bentuk peralihan lafal yang jelas keliru dan menjadi batal oleh susunan kalimat, ungkapan, kaidah syariat, dalil syariat dan tradisi syariat.
Sebab munculnya peralihan lafal yang salah ini karena orang yang melakukannya meyakini suatu pendapat tunggal lalu dia menolak semua yang menunjukkan ke arah yang bertentangan dengan pendapat itu dengan cara apa pun yang selaras dengannya. Jadi menurut orang inj, dalil-dalil yang bertentangan dengan pendapatnya termasuk ranah yang dapat dibantah secara sewenang-wenang, tanpa dia peduli dengan apa dia membantah dalil-dalil itu!
Padahal semua dalil kebenaran tidak ada yang saling bertentangan dan tidak ada yang saling berlawanan. Alih-alih, semuanya justru saling membenarkan antara satu dengan yang lain.
Segolongan lagi menyatakan—ini menjadi jawaban bagi Abul Wafa’ bin ‘Aqil—bahwa jawaban yang menurut saya sangat baik yaitu dengan dikatakan bahwa “manusia” dengan “apa yang diusahakannya” dan bagusnya pergaulannya akan mendapatkan banyak teman, melahirkan anak, menikahi pasangan, melakukan kebaikan, dan berkasih sayang kepada semua orang, sehingga semua orang sayang Kepadanya serta menghadiahkan berbagai ibadah untuknya. Semua itu merupakan buah dari “apa yang diusahakannya”.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya makanan terbaik yang dimakan oleh seseorang yaitu yang berasal dari kerjanya. Sesungguhnya anaknya merupakan dari kerjanya.”
Hal ini juga ditunjukkan oleh hadis-hadis lain yang berbunyi, “Apabila seorang hamba meninggal dunia, terputuslah darinya amalnya kecuali tiga: Ilmu yang dimanfaatkan sepeninggalnya, sedekah jariah, atau anak saleh yang berdoa untuknya.”
Dari sini Imam Syafi’i berkata, “Apabila anak dari seseorang memberinya biaya untuk perjalanan haji, itu menjadi sebab bagi wajibnya haji atas diri orang tersebut, sampai-sampai seakan itu merupakan bagian dari hartanya sebagai bekal dan ongkos perjalanan. Hal ini berbeda ketika biaya itu diberikan oleh orang asing.”
Ini merupakan jawaban tengah-tengah yang masih membutuhkan penyelesaian. Sesungguhnya seorang hamba dengan keimanan dan ketaatannya kepada Allah dan Rasulullah telah berusaha untuk meraih manfaat dengan amal perbuatan saudara-saudaranya sesama mukmin, di samping juga dengan amalnya sendiri; sebagaimana dia meraih manfaat dengan amal perbuatan mereka di kehidupan dunia, di samping juga dengan amalnya sendiri (di dunia).
Sesungguhnya semua mukmin dapat memperoleh manfaat antara satu sama lain pada semua amal perbuatan yang mereka lakukan bersama-sama. Contohnya, shalat berjemaah. Dalam shalat berjemaah, setiap orang yang ikut serta di dalamnya telah melipatgandakan pahala shalatnya menjadi dua puluh tujuh kali lipat dengan kebersamaan yang dilakukannya bersama mukmin lain dalam shalat tersebut. Dengan demikian, amal perbuatan orang lain telah menjadi sebab bagi bertambahnya pahala orang tersebut. Sebagaimana pula amal perbuatan orang itu menjadi sebab bagi bertambahnya pahala orang lain. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pahala shalat dilipatgandakan sejumlah orang yang ikut dalam jemaah yang bersangkutan.
Hal ini juga terjadi dalam kebersamaan yang dilakukan orang-orang mukmin dalam jihad, haji, amar makruf nahi mungkar, serta bertolong-tolongnya mereka dalam kebajikan dan takwa. Rasululullah saw. bersabda, “Orang mukmin satu dengan orang mukmin lain seperti bangunan yang saling topang antara satu dengan yang lain.”
Karena mereka semua menjalin jari-jemarinya. Dan sudah diketahui bahwa hal seperti ini lebih utama dilakukan dalam urusan agama daripada urusan dunia.
Masuknya orang muslim bersama jamaah umat Islam dalam ikatan keislaman merupakan salah satu sebab paling besar bagi sampainya manfaat dari setiap muslim kepada saudara sesama muslim, baik di dalam kehidupan dunia maupun setelah kematian tiba. Doa semua kaum muslimin terus menaungi seluruh umat Islam termasuk mereka yang sudah meninggal dunia. Allah swt. telah mengabarkan tentang para malaikat pemikul Arsy dan yang di sekeliling mereka, bahwa mereka selalu memohonkan ampunan serta berdoa bagi kaum mukminin. Allah swt. juga mengabarkan ihwal doa dan istigfar permohonan ampun para rasul utusan-Nya bagi kaum mukminin, seperti yang dilakukan oleh Nuh as. dan Muhammad saw. Oleh karena itu, dengan keimanannya seorang hamba telah membuka jalan untuk mencapai doa-doa tersebut sehingga pencapaian itu seakan-akan dari usahanya sendiri.
Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa Allah swt. telah menjadikan keimanan sebagai sebab atau jalan bagi siapa pun yang memilikinya (yaitu orang beriman) untuk memperoleh manfaat dari doa saudara-saudaranya sesama mukmin, sebagaimana pula dari berbagai usaha yang mereka lakukan. Ketika manfaat itu mendatanginya, maka sebenarnya dia sudah berusaha menempuh sebab atau jalan yang menghantarkannya kepada pencapaian itu.
Hal ini telah ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw. kepada ‘Amr bin ‘Ash ra., “Sesungguhnya kalau ayahmu mengakui tauhid, maka itu bermanfaat baginya.” Maksudnya, pemerdekaan budak yang dilakukan oleh ‘Amr bin ‘Ash ra. setelah ayahnya meninggal dunia.
Apabila dia (ayah ‘Amr bin ‘Ash) telah menempuh sebab atau jalan (yaitu bertauhid), berarti dia sudah berusaha melakukan suatu amalan yang menghantarkannya menuju pencapaian pahala atas pemerdekaan budak (yang dilakukan anaknya—Penj.). Ini adalah sebuah cara peraihan pahala yang sangat baik.
Segolongan orang lagi menyatakan bahwa al-Quran tidak pernah menafikan diperolehnya manfaat oleh seseorang dari apa yang dilaku. kan oleh orang lain. Al-Quran hanya menafikan kepemilikan seseorang yang bukan karena usahanya. Al-Quran telah menjelaskan perbedaan antara semua itu secara gamblang. Allah swt. telah mengabarkan bahwa manusia tidak dapat memiliki apa pun kecuali hanya usahanya sendiri (La yamlik illa sa’yah), sementara usaha yang dilakukan orang lain menjadi milik orang tersebut. Akan tetapi, jika orang itu mau, dia dapat memberikannya kepada orang lain; atau jika dia mau, dia juga dapat tetap memiliki apa yang dimilikinya itu. Itulah sebabnya Allah swt. tidak menyatakan “tidak ada yang bermanfaat (bagi manusia) kecuali hanya dari apa yang dia usahakan” (La yantafi’ illa ma sa’a). Pasal Begitu pula halnya dengan firman Allah swt.,
“..Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya….” (QS. al-Baqarah [2]: 286)
Dan firman Allah swt.,
“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kalian tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kalian kerjakan.” (QS. Yasin [36]: 54)
Ayat ini menjadi dalil yang paling gamblang menunjukkan bahwa isinya dimaksudkan untuk menafikan adanya hukuman terhadap seorang hamba akibat amal perbuatan orang lain. Allah swt. berfirman, “Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kalian tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kalian kerjakan.” (QS. Yasin [36]: 54)
Dalam ayat ini Allah swt. menafikan kemungkinan hamba-Nya akan dizalimi dengan ditambahkan keburukan lain pada keburukan-keburukan dirinya sendiri atau dikurangi kebaikan dari kebaikan-kebaikannya atau dihukum akibat perbuatan orang lain. Akan tetapi, dalam ayat ini Allah swt. tidak menafikan kemungkinan diraihnya manfaat oleh seorang hamba dari amal perbuatan orang lain, termasuk pula jika itu berupa pahala karena manfaat yang diraih oleh seorang hamba sesuai hidayah yang diikutinya bukan sebagai pahala atas amalnya. Itu menjadi semacam sedekah yang Allah swt. berikan kepadanya dan Dia anugerahkan kepadanya tanpa ada usaha apa pun dari si hamba itu sendiri, melainkan menjadi hibah bagi si hamba itu dari tangan hamba-hamba-Nya yang lain, bukan sebagai pahala.