Catatan Popular

Ahad, 25 Ogos 2013

RAHSIA TAKDIR ILLAHI



Suatu saat seorang sahabat bertanya kepada Baginda Nabi s.a.w tentang takdir. 

Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah s.a.w, aku mengerjakan shalat, shalat yang sedang aku kerjakan itu, adakah urusan yang sudah rampung dan sudah ditentukan Allah sejak zaman azali ataukah yang ditakdirkan baru pada saat kejadian itu?”, Rasul s.a.w menjawab: “Bahkan itu adalah urusan yang sudah rampung dan sudah ditentukan pada zaman azali“. Kemudian sahabat bertanya lagi: “Lantas apa arti pekerjaan yang aku kerjakan itu?” Baginda Nabi s.a.w menjawab dengan sabdanya:
“Berbuatlah, maka sesungguhnya segala sesuatu akan dimudahkan bagi apa yang akan diciptakan baginya”
Lalu Beliau s.a.w meneruskan: “Apabila dari golongan orang-orang yang akan mendapatkan kebahagiaan, maka ia dimudahkan untuk berbuat amal kebaikan dan apabila dari golongan yang akan mendapat kecelakaan ia akan dimudahkan untuk berbuat sesuatu yang menjadikan sebab celaka”.
Kemudian Beliau s.aw membaca ayat (QS. al-Lail; 92/5-10):
 “Adapun yang memberikan dan bertakwa  dan membenarkan kebaikan maka akan Kami mudahkan kepada jalan kemudahan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup  dan mendustakan kebaikan maka akan Kami sukarkan dari jalan kemudahan”(QS. al-Lail.92/5-10) (HR. Muslim)
Apa saja yang sedang dikerjakan oleh seseorang, sesungguhnya itu merupakan takdir Allah s.w.t yang sudah ditentukan sejak zaman azali. Hadits di atas merupakan penegasan, jika orang ingin mengetahui takdir Allah untuk dirinya, hendaknya mereka mencarinya di dalam usaha atau amal.
Apabila ada takdir, berarti mereka akan dimudahkan di dalam jalan kemudahan, namun jika tidak, berarti mereka akan dimudahkan di dalam jalan kesulitan, dan jika orang tersebut ingin mendapatkan kemudahkan, maka ia harus menempuh tiga hal, yakni memberi, bertakwa dan membenarkan kebenaran.
Sungguh, betapa sabda Nabi s.a.w di atas ternyata merupakan konsep dasar untuk menguak tabir misteri alam takdir yang selama ini seakan-akan hanya menjadi teka-teki. Konsep tersebut mampu menjadi kunci rahasia untuk membuka pintu rahasia kehendak Allah yang azaliah.
Bahkan membuka gerbang pertama untuk memasuki kebun-kebun surga yang dibentangkan di dunia. Dengan memahami bagian dari alam takdir ini, dengan izin Allah hati seorang hamba selamanya tidak akan menjadi bingung dalam mensikapi tantangan hidup yang harus dijalani.
Kunci rahasianya ternyata terselip dalam kata ‘usaha’. Konkritnya, manakala seseorang mempunyai kemauan kuat untuk berbuat kebajikan dan ditindaklanjuti dengan usaha, apabila kemudian Allah menurunkan pertolongan baginya sehingga usaha itu dapat dilaksanakan dengan mudah, maka berarti orang tersebut mendapatkan takdir baik dari-Nya.
Namun sebaliknya, jika manusia tidak mempunyai kehendak baik, hidupnya hanya diisi dengan kejelekan-kejelekan, bahkan selalu berbuat kejahatan kepada sesame manusia, maka itulah pertanda bahwa takdir yang berlaku bagi dirinya adalah takdir jelek.
Meskipun demikian, apabila kemudian ia mau sadar dan bertaubat dengan taubatan nasuha serta memperbaiki kejelekan-kejelekan itu dengan kabaikan, dan Allah menerima taubat serta menolongnya untuk melaksanakan kebaikan sehingga benar-benar ia menjadi orang yang mampu berbuat kebaikan, maka berarti ia telah kembali mendapatkan takdir baik.
Kalau anda bertanya, seakan-akan takdir itu bergantung kepada kemauan kita, memang demikianlah adanya, jika tidak percaya silahkan mencoba. Seperti ketika anda melihat orang melakukan sholat malam dengan tekun dan istiqamah misalnya, coba lakukan yang seperti itu. Tentunya terlebih dahulu anda harus mempelajari ilmunya supaya jalan yang anda lalui tidak berbeda dengan jalan orang tersebut.
Kalau ternyata anda bisa melakukannya berarti takdir untuk anda sama dengan takdir untuk orang tersebut, kalau ternyata tidak, berarti yang berbeda memang takdirnya, bukan ilmu dan usahanya. Manusia boleh berusaha, namun Allah yang akan menentukan keberhasilan usaha itu.
Di balik keberhasilan itulah rahasia takdir disembunyikan. Jadi, meski “rahasia takdir” itu sudah ditentukan Allah s.w.t sejak zaman azali, namun pintunya sesungguhnya dapat dibuka manusia sejak di dunia, yakni melalui usaha.
Apabila ada orang hidupnya hanya diam saja. Malas dan tidak mau bekerja, tidak mau menuntut ilmu dan berusaha, sehingga nasibnya menjadi terlunta-lunta penuh derita. Dia tertolak di mana-mana karena tidak mempunyai dasar kemampuan apa-apa. Jika demikian, maka orang tersebut jangan menyalahkan siapa-siapa, barangkali rahasia takdir jelek itu bermula dari sifat malas yang tidak mampu dia perangi.
Oleh karena itu, di samping kita harus mampu mengusir sifat malas yang memang seringkali datang dengan tiba-tiba, kita juga harus mampu menempatkan diri pada lingkungan yang baik, karena terkadang dari lingkungan baik itu dapat mencetak karakter manusia. Barangkali dari usaha itu pintu takdir baik tersebut sedikit demi sedikit akan terbuka bagi kita.
Jadi, ketika kita terlanjur berbuat kejahatan, berarti sejak itu kita telah menggoreskan catatan untuk terjadinya sebuah proses takdir buruk bagi kita sendiri. Jika kita tidak berusaha cepat-cepat menghapusnya kembali dengan melaksanakan taubat kepada Allah sampai bekas-bekas goresan itu benar-benar bersih dari lembaran kehidupan kita, maka berarti kita telah membiarkan takdir jelek itu berangsur-angsur akan menghancurkan hidup kita sendiri.
 Satu  rahasia takdir adalah apa yang telah disampaikan Rasulullah s.a.w 
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a berkata: Rasulullah s.a.w adalah seorang yang benar serta dipercaya telah bersabda: Kejadian seseorang itu dikumpulkan di dalam perut ibunya selama 40 hari. Setelah genap 40 hari yang kedua terbentuklah segumpal darah. Kemudian setelah genap 40 hari ketiga menjadi menjadi segumpal daging. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh serta memerintahkan menulis empat perkara yaitu ditentukan rizkinya, ajal kematiannya, amalan serta nasibnya, yaitu akan mendapat kecelakaan atau kebahagiaan. Maha suci Allah tiada Tuhan selain-Nya.
Seandainya seseorang mengerjakan amal sebagaimana yang dilakukan penghuni surga sehingga kehidupannya hanya tinggal satu langkah menuju ke surga, tetapi disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu, niscaya dia akan melakukan amalan sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni Neraka sehingga dia memasukinya. Begitu juga dengan mereka yang melakukan amalan ahli Neraka, disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu niscaya dia akan melakukan amal sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni surga sehingga dia memasukinya.
Di dalam sabdanya di atas, Rasulullah s.a.w menyatakan, bahwa jalan hidup seseorang sudah ditentukan Allah s.w.t semenjak proses kejadiannya di rahim ibunya. Yakni sejak malaikat diutus meniupkan ruh kehidupan, sekaligus juga diutus menulis empat perkara yang akan terjadi dalam kehidupan anak manusia tersebut. Ditentukan rizkinya, ajal kematiannya, amal perbuatan serta nasib hidupnya. Menjadi orang yang celaka atau orang yang beruntung.

Rasulullah s.a.w bahkan menegaskan: “Maha suci Allah yang tiada Tuhan selain-Nya. Seandainya seseorang mengerjakan amal kebaikan sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni surga sehingga hanya tinggal satu langkah dia menuju ke surga, tetapi disebabkan ketentuan takdir yang terdahulu, niscaya dia akan melakukan amalan kejelekan sebagaimana yang dilakukan oleh penghuni Neraka sehingga mengakibatkan dimasukkan ke neraka, dan begitu pula sebaliknya”.
Dalam kaitan takdir tersebut, ketika suatu saat Nabi Musa a.s bertanya kepada Nabi Adam a.s atas kekhilafan yang diperbuat oleh Nabi Adam di surga hingga menyebabkan umat manusia harus menjalani kehidupan di dunia untuk sementara waktu, Nabi Adam a.s berhujjah kepada Nabi Musa. Allah mengabadikan dialog tersebut melalui sebuah hadits Nabi, Rasulullah s.a.w bersabda:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a berkata: “Rasulullah s.a.w bersabda: “Nabi Adam berhujjah kepada Nabi Musa a.s, Nabi Musa a.s berkata: “Wahai Adam, engkau adalah bapakku. Engkau telah menyia-nyiakan aku dan engkau keluarkan aku dari surga”. Nabi Adam menjawab: “Kamu hai Musa. Allah telah memilihmu dengan kalam-Nya. Allah menulis untukmu dengan tangan-Nya (kuasa). Apakah kamu akan mencela aku terhadap sesuatu yang telah ditetapkan Allah sejak empat puluh tahun sebelum aku diciptakan?. Nabi s.a.w bersabda: “Akhirnya Nabi Adam a.s tetap berhujjah (mengemukakan dalil) dengan Nabi Musa a.s Akhirnya Nabi Adam a.s tetap berhujah (mengemukakan dalil) dengan Nabi Musa a.s
Jauh sebelum diciptakan, manusia sudah ditentukan oleh Allah —sebagai qodlo’-Nya—menjadi kholifah-Nya di muka bumi. Allah telah menegaskan hal tersebut dengan Firman-Nya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”
Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. QS:2/30
Padahal saat penciptaannya, kehidupan manusia pertama itu oleh Allah—sebagai qodar-Nya—ditempatkan di surga. Dengan demikian, maka tidak bisa tidak, Nabi Adam a.s dan istrinya pada saatnya pasti harus turun ke bumi, hal tersebut karena mengikuti suratan takdir yang sudah ditetapkan sejak zaman azali.
Adapun penyebab seseorang harus turun dari kebahagiaan menuju kesengsaraan dan penderitaan panjang, oleh karena Allah tidak berbuat dzolim kepada hamba-Nya, maka proses kejadian tersebut tentunya harus mengikuti perbuatan manusia itu sendiri, yakni melalui hak “hurriyatul irodah” (kebebasan memilih) yang telah diberikan kepadanya. 
Artinya, dengan kesadaran penuh (nafsu dan akalnya atau rasional dan emosional) manusia telah menentukan pilihan hidupnya, namun oleh karena pilihan hidup itu ternyata salah, maka manusia akan menanggung akibat dari kesalahan itu. Yang demikian itu sunatullah, sejak sunnah itu ditetapkan tidak akan ada perubahan lagi untuk selama-lamanya. Sedikitpun Allah s.w.t tidak berbuat dzalim kepada hamba-Nya.
Kalau kemudian turunnya Nabi Adam a.s dan istrinya Siti Hawa dari surga ke bumi ternyata akibat perbuatan dosa, meski perbuatan tersebut kemudian menyebabkan keduanya menerima musibah, namun demikian, kalau dengan penderitaan itu ternyata manusia mampu mengambil pelajaran sehingga dapat menjadikan hidupnya lebih baik, dalam arti pengalaman pahit itu menjadikan dirinya dapat lebih meningkatkan ketakwaan kepada Allah, maka berarti kehilafan tersebut hakekatnya adalah kebaikan bukan keburukan.
Terlebih apabila ternyata penderitaan hidup akibat kesalahan itu mampu menempa jiwanya menjadi dewasa dan mapan, maka penderitaan itu bukan musibah tapi pelatihan atau tarbiyah. Hal itu disebabkan, karena nilai sebuah amal bergantung kepada hasil akhirnya. Jika hasil akhirnya berupa kebaikan, maka apapun bentuknya, berarti amal itu adalah kebaikan, kalau hasil akhirnya buruk, maka apapun bentuknya, berarti amal itu adalah kejelekan.
 Sejak di surga sesungguhnya Nabi Adam a.s sudah dibekali oleh Allah ilmu yang tinggi bahkan lebih tinggi dibanding ilmu yang diberikan kepada sebagian malaikat. Allah s.w.t menyatakan hal itu dengan firman-Nya:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman : “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!” – Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqoroh(2)31-32).
Ilmu yang pertama itu adalah ilmu teori atau ilmu rasionalitas, namun ilmu tersebut sesungguhnya belum cukup untuk menjadikan manusia berbuat taat kepada Tuhannya, ternyata ilmu pengalaman juga harus dimiliki. Dalam kaitan agama ilmu pengalaman itu disebut ilmu rasa atau ilmu spiritual. Dengan ilmu spiritual inilah, ilmu teori yang sudah ada diharapkan dapat menghasilkan kemanfaatan yang optimal bagi manusia.
Yakni meningkatkan kualitas iman sehingga mampu menghasilkan keyakinan yang kuat untuk mencapai kedewasaan jiwa. Dengan kedua ilmu tersebut manusia harus mampu menjalani suratan takdir yang sudah ditentukan Allah sejak zaman azali, baik dari aspek jelek maupun aspek baiknya. Dengan kedua ilmu itu manusia harus mampu mensiasati nafsu syahwat dan menjaga diri dari setiap godaan kehidupan, baik dari tipu daya kehidupan duniawi maupun setan.
Barangkali untuk mendapatkan ilmu rasa tersebut, maka Nabi Adam a.s—oleh suratan takdir hidupnya—memang terlebih dahulu harus mencicipi pahitnya kehidupan di dunia. Dengan itu supaya kemudian beliau mampu merasakan manisnya pahala di akhirat, ketika beliau telah dikembalikan lagi di surga.
Penderitaan hidup akibat perbuatan dosa tersebut supaya bisa dijadikan pembelajaran bagi jiwa sehingga hati manusia menjadi yakin akan hukum-hukum yang harus ditaati dalam hidupnya. Peristiwa sejarah kemanusiaan tersebut merupakan contoh pertama dalam lembaran sejarah kehidupan manusia pertama yang dapat menjadikan pelajaran yang sangat berharga bagi orang yang mampu memperhatikan dan menelaah serta mengambil pelajaran darinya.
Kalau kemudian Nabi Adam a.s ternyata mampu menjalani awal kehidupannya di dunia, walau perjalanan itu penuh dengan penderitaan dan kesulitan. Yakni dengan sendirian mencari lahan yang terbentang luas dan sekaligus membukanya untuk bercocok tanam. Menanam bibit di tanah garapan dan baru dapat dimakan hasilnya ketika saat panennya telah tiba. Dan berbagai macam tantangan kehidupan yang harus dihadapi. Hal itu disebabkan, karena sejatinya Nabi Adam a.s telah terlebih dahulu mengenali jalan hidup yang harus ditempuh itu.
Yakni, bahwa akibat dosa yang telah diperbuat sehingga manusia harus diturunkan dari kebahagiaan ke dalam jurang penderitaan, namun dengan itu manusia harus mengetahui, apabila mereka ingin dikembalikan kepada kebahagian yang abadi, dimasukkan surga yang dahulu pernah ditinggalkan, maka tidak ada jalan lain kecuali terlebih dahulu mareka harus mampu bertaubat dari segala dosa dan kesalahan.
Bahkan tidak culup itu saja, mereka juga harus memperbaiki perilaku, membangun diri dengan amal bakti, dengan itu supaya tidak kembali terjebak tipu daya setan yang pernah menurunkannya dari surga.
Jika hal tersebut harus terjadi, maka supaya di dalam lembaran hidup manusia tidak hanya ada ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup saja, namun juga karya utama yang dapat dibanggakan di kemudian hari di hadapan Tuhannya. Lalu Allah menurunkan pelajaran bagi Nabi Adam a.s dengan apa yang telah dinyatakan di dalam Firman-Nya:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. QS. al-Baqoroh; 2/37.
Nabi Adam a.s kemudian menindaklanjuti pelajaran itu dengan amal bakti dan taubatan nasuha, Beliau bermunajat dengan kalimat:

“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. QS. al-A’raaf; 7/23.
Untuk meningkatkan kedewasaan jiwa itu ternyata tidak cukup hanya dengan melahirkan penyesalan dalam hati saja, namun juga harus mampu diaktualisasikan di dalam amal ibadah kongkrit. Yakni berzikir, bermunajat, memohon ampun dan bertaubat dengan taubatan nasuha serta memperbaiki diri dari setiap kesalahan yang sudah diperbuat, sampai Allah yang Maha Pengampun benar-benar menerima taubat hamba-Nya.
Penerimaan mana yang tanda-tanda dapat dirasakan dalam hati, yaitu dengan kedamaian dan kesejukan yang meresap dalam sanubari yang mampu mengusir keraguan sehingga menciptakan gairah baru untuk berbuat amal sholeh dan pengabdian. Seperti tanah kering karena lama tidak turun hujan, ketika hujan datang, tidak hanya kesejukan yang dirasakan, namun juga, tanah yang asalnya tandus itu menjadi subur dan siap tanam.
Inilah pelajaran pertama yang diturunkan Allah Rabbul ‘Alamin kepada umat manusia. Dari peristiwa yang asalnya sudah ghaib kemudian dinyatakan kembali dengan Firman-Nya. Diabadikan di dalam kitab suci yang abadi sepanjang masa, al-Qur’an al-Karim. Yaitu sejarah perjalanan hidup manusia pertama yang di dalamnya ada mutiara hikmah yang dapat dijadikan pelajaran dasar dan suri tauladan oleh umat selanjutnya. Dengan itu supaya manusia dapat mengambil pelajaran darinya.
Mutiara hikmah itu ialah, bahwa manusia memang selamanya tidak akan sepi dari kesalahan dan dosa. Meski manusia telah memulai hidupnya dengan kesalahan dan dosa sehingga mengakibatkan duka dan derita, namun apabila dengan penyesalan yang mendalam ternyata dosa dan kesalahan itu mampu menjadikan sebab mereka melaksanakan taubatan nasuha yang diterima di sisi Allah serta merubah kebiasaan buruk, baik karakter maupun perbuatan, menjadi kebaikan dan akhlakul karimah yang dapat meningkatkan ketakwaan dalam hati, maka disinilah letak rahasia “mutiara hikmah” yang sangat berharga itu. Mutiara hikmah yang terpendam itu harsu menjadi pembelajaran hidup yang akan bermanfaat bagi pendewasaan jiwa manusia.
Walhasil, barangsiapa mampu menelaah dan meneladani peristiwa sejarah manusia pertama itu, kemudian menerapkannya dalam kehidupan dengan benar dan arif, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan sebagaimana yang didapatkan pendahulunya.
Dalam arti bukan dosa dan kesalahannya yang diteladani, namun bagaimana cara menyikapi dosa-dosa dan kesalahan itu. Dosa dan kesalahan tersebut memang terkadang suka memaksa manusia untuk mengerjakannya. Karena yang pasti, tidak selamanya manusia mampu menghindarkan diri dari berbuat kesalahan dan dosa. Maha Besar Allah dengan segala penciptaan-Nya.


Tiada ulasan: