Catatan Popular

Isnin, 5 Ogos 2013

KITAB AL MINAH AL SANIYAH FASAL 3:MENGHINDARI RIYA’ (DARI KITAB MENJADI KEKASIH ALLAH)



Oleh Syeikh Abdul Wahhab As-Sya'rani (Tokoh Sufi Mesir)

MENGHINDARAI RIYA’

Orang yang ingin mencapai Tuhan harus menghindarkan diri dari riya'.
"Riya adalah racun yang mematikan dan melebur pahala", kata Ibrahim Al-
Matbuli. Riya mensia-siakan pahala amal dan mematikan hati.

Termasuk tanda-tanda riya, adalah menganggap enak dalam melakukan
ibadah. Ini bertentangan dengan watak asli manusia. Manusia, pada umumnya,
tidak akan menganggap enak dalam melakukan ibadah, kecuali bila perbuatan
tersebut sesuai dengan seleranya. Bila tidak, pelaksanaan ibadah akan terasa
sangat berat.Termasuk riya' adalah melakukan amal untuk Allah tapi --masih--
dikerjakan dengan tujuan-tujuan lain.

Abdul Qodir Ad-Dasthuthi, "Murnikantujuan amalmu hanya kepada Allah). Jangan
 ringankan masalah ini dengan membaurkannya bersama hasrat-hasrat nafsumu. Bila tidak, amal ibadahmu akanrusak".

Pendorong amal perbuatan manusia biasanya ada dua; kepentingan dunia
dan akherat. Ini sesungguhnya juga termasuk jalan menuju riya yang sangat sulit
dihindarikan. Bila kepentingan akherat mengalahkan kepentingan duniawi,
berarti amalnya masih bercampur dengan riya. Namun, sebahagian ulama
menyatakan, kepentingan akherat yang mengalahkan kepentingan duniawi masih
sama artinya pekerjaan yang melulu didorong oleh kepentingan duniawi. Ertinya,
amal tersebut tidak termaafkan; tidak diterima.

Contoh perbuatan yang didorong kepentingan ukhrowi dan duniawi.
Misalnya, seseorang punya kepentingan dengan pembesar. Kebetulan pembesar
tersebut melakukan sholat jamaah di suatu masjid pada barisan terdepan. Orang
itupun melakukan jamaah di masjid yang sama dan pada barisan terdepan.
Niatnya, selain untuk memenuhi kewajiban, juga agar kepentingannya dengan
pembesar tersebut dapat tercapai.

Jelas, niat ibadahnya bukan sedekar untuk Tuhan; masih ada tujuan tujuan
lain. Bahkan tujuan lain yang bersifat duniawi justru tampak lebih
dominan. Karena itu, para ulama menyatakan, mentauhidkan niat adalah wajib,
agar manusia tidak terpengaruh; boleh menyatukan fikiran dan hatinya hanya
untuk berhubungan kepada Tuhan.

Contoh lain, orang yang melakukan ibadah agar dapat dekat kepada Tuhan.
Ini seperti melakukan pekerjaan yang bertujuan untuk mencari upah. Ini juga
termasuk riya yang sangat halus. Sedemikian, sehingga para ulama menyatakan,
penyakit ibadah ini sangat sulit dirasakan. Terkadang ada orang yang telah
melakukan ibadah demikian lama dan mencapai kedudukan di sisi Tuhan. Akan
tetapi, kemudian ditolak, "Kembalilah! Kamu bukan termasuk ahli ibadah".

Sesungguhnya, ibadah yang benar adalah melakukan amal perbuatan semata-mata
hanya untuk memenuhi perintah dan hak-hak Allah swt.

Contoh lain dari riya adalah orang yang mengaku punya kedudukan
tertentu di sisi Tuhan, padahal ia sebenarnya belum mencapai derajat itu. Atau,
telah mencapai derajat yang dikatakan namun belum boleh diberitahukan.
Pengakuan ini akan mendatangkan siksaan dan menghalangi orang tersebut dari
kedudukan yang diklaimnya. Selamanya, ia tidak akan bisa mencapai derajat yang
dikatakan.

Yang lain lagi adalah merasa senang bila amalnya dapat dilihat orang.
Perasaan ini adalah penyakit yang sangat berbahaya. Menurut Abu Hasan As-
Syadzili, amal yang disertai perasaan senang seperti ini tidak bisa menambah
kedudukannya di sisi Tuhan, melainkan justru mendatangkan murka dan semakin
menjauhkan dari-Nya.
Persoalan ini jarang disadari dan dimengerti oleh manusia. Karena itu, para
ulama mewajibkan seseorang untuk senantiasa merahasiakan amal perbuatan
baiknya, sehingga ia kuat dan siap untuk melakukan perbuatan dengan ikhlas.

Terkadang memang ada seseorang yang melakukan perbuatan tertentu sehingga
dia dipuji masyarakat; dan dia tidak menghendaki pujian itu. Dengan itu, ia
mengira bahwa dirinya sudah termasuk orang yang ikhlas. Maka, hal inipun
termasuk juga riya'.

Atau, ada orang yang menolak pemberian demi menjaga kehormatan
dirinya. Dia kemudian dipuji masyarakat. Ia sendiri tidak menghendaki pujian itu,
tetapi kemudian memperhatikannya. Maka perbuatan inipun kembali kepada riya',
walau pada asalnya tidak ada maksud demikian.
Contoh model riya lain yang samar adalah meninggalkan amal ibadah
karena manusia. Fudail ibn Iyadh berkata;
“Meninggalkan amal karena manusia adalah riya dan melakukan amal karena
manusia adalah syirik. Apa yang dinamakan ahlas adalah kamu menjaga dari
keduanya".

Maksudnya, orang yang hendak melakukan ibadah kemudian diurungkan
karena khawatir pujian manusia, maka itu termasuk riya’. Sebab, ia berarti telah
meninggalkan sesuatu karena manusia; bukan karena Allah. Akan tetapi, bila
meninggalkan ibadah tersebut untuk kemudian melakukannya di tempat yang sepi
agar tidak diketahui orang maka itu adalah lebih baik. Namun, untuk ibadah ibadah
wajib, atau bila orang yang bersangkutan termasuk pembesar atau pemuka
masyarakat yang selalu diikuti, maka hal itu lebih baik dilakukan secara terang terangan.
Contoh lain dari riya adalah menceritakan kebaikan-kebaikan dimasa lalu,
tanpa ada maksud-maksud tertentu yang boleh dibenarkan menurut agama.
Sesungguhnya, mengungkap kembali kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan
dimasa lalu tanpa ada tujuan yang boleh dibenarkan, boleh merubah amal tersebut
dalam bentuk riya.

Ali al-Khowash menyatakan, jangan sampai seseorang mengungkit-ungkit
kembali atau menceritakan amal baik yang pernah dilakukan. Sebab, hal itu sama
artinya dengan riya. Ia boleh melebur pahala amalnya yang telah lalu. Namun,
kesalahan ini bisa dipulihkan; dengan taubat. Bila seseorang bertaubat dengan
benar dan sungguh-sungguh, maka amal yang telah dilakukan akan kembali
menjadi amal yang sah, dengan kehendak Allah.

Termasuk bentuk riya lain yang amat samar adalah menghentikan senda
gurau yang diperbolehkan agama, karena munculnya orang yang disegani.

Fudail ibn Iyadh berkata, "Seandainya dikabarkan padaku bahwa seorang pemimpin
tinggi akan datang, kemudian aku merapikan rambut dan jenggotku, sungguh aku
takut bahwa hal itu akan menyebabkan aku ditulis sebagai orang yang munafiq".

Karena itu, hendaknya seseorang tidak menghentikan senda-guraunya yang
diperbolehkan agama hanya karena masuknya orang yang disegani, kecuali dengan
niat baik. Sesungguhnya, terbukanya rahasia seseorang ditangan pemimpin atau
orang yang disegani adalah lebih baik daripada berlaku munafiq.
Yang termasuk riya halus yang lain lagi, adalah menundukkan kepala dan
berlaku khusyuk karena munculnya seseorang. 

Ali Al-Khowash berkata,
"Bila seorang pemimpin datang dan kalian sedang bertasbih, maka jangan
kamu teruskan bacaan tasbihmu kecuali dengan niat baik. Hati-hatilah, jangan
bersendagurau melupakan Allah, tetapi buru-buru membaca tasbih begitu
seseorang yang disegani muncul. Tanpa didasari niat baik, maka perbuatan seperti
itu justru akan menghancurkan semua amal perbuatan".

Tiada ulasan: