Catatan Popular

Isnin, 7 September 2015

MAHKOTA SUFI IDRIES SHAH : (3) LATAR BELAKANG DUA : GAJAH DI KEGELAPAN



OLEH IDRIES SHAH (Sang Juru Bicara Tashawwuf di Barat)

 
Seseorang yang belum pernah melihat air, ia dilempar ke dalamnya dengan mata tertutup, maka ia akan merasakannya. Ketika tutupnya dibuka, ia akan tahu apa itu air. Selanjutnya ia cukup mengetahuinya melalui dampaknya.
(Rumi, Fihi Ma Fihi)


Dengan ekspansi ilmu pengetahuan dan seni pada Abad Pertengahan Islam-Spanyol, para Sufi genius lahir sebagai tabib dan ilmuwan. Mereka meninggalkan simbol dalam seni bangunan dan dekoratif (beberapa diantaranya kini disebut seni arabesque), yang dirancang untuk melestarikan secara visual beberapa kebenaran abadi yang diyakini oleh para Sufi sebagai menyimpulkan pencarian jiwa manusia, kemajuan, keselarasan terakhir dan integrasi dengan semua makhluk.1
Meski seringkali membingungkan para pengamat karena ketidaktahuan mereka tentang sistem makna yang sebenarnya, hasil sistem praktis yang mendalam dari para Sufi ditemukan dalam pemikiran, seni dan fenomena magis-okultis baik di Timur maupun di Barat. Untuk mendekati pengalaman Sufi secara lebih jelas, kita harus melihat sekilas metode pemikiran dan gagasan dasar para mistikus ini. Kita bisa mulai dari sebuah syair, humor atau sebuah simbol.
Memasuki pemikiran Sufistik secara tradisional hampir seberagam eksistensi para Sufi. Sebagai contoh, agama tidak bisa diterima atau ditolak begitu saja, sampai murid mengetahui dengan tepat apa makna agama itu. Menurut para Sufi, kesatuan hakiki dari semua agama tidak diterima di seluruh dunia karena kebanyakan para penganut agama tidak mengetahui apa esensi agama itu. Agama bukanlah seperti apa yang pada umumnya diasumsikan.
Bagi Sufi, agamawan dan pencela agama (kafir) diumpamakan seperti orang yang percaya bahwa bentuk bumi datar dan orang yang percaya bahwa bentuk bumi tabung tengah berdebat sementara keduanya tidak mempunyai pengalaman apa pun tentangnya.
Hal ini menunjukkan perbedaan mendasar antara metode Sufi dengan sistem metafisik lainnya. Terlalu sering diterima begitu saja bahwa seseorang harus percaya atau tidak, atau mungkin bersikap agnostik saja. Jika ia percaya, maka seharusnya menerima suatu kepercayaan atau sebuah sistem yang mungkin memenuhi apa yang dibutuhkannya. Sebagian kecil orang mengatakan kepadanya bahwa ia mungkin tidak mengerti apa yang dibutuhkannya.
Dunia para Sufi adalah dunia ekstra dimensi. Segala sesuatu bagi Sufi bermakna, dalam pengertian mereka bukanlah orang-orang yang hanya mengikuti latihan yang dipaksakan oleh masyarakat umum.
Beberapa orang "terpaku pada suatu hal". "Seseorang yang lapar, ketika ditanya jumlah dua ditambah dua, ia akan menjawab, 'Empat (bahkan delapan) potong roti'."
Totalitas kehidupan ini tidak bisa dipahami, demikian pula ajaran Sufi jika hanya dikaji melalui metode-metode yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sebagian karena, meskipun pertanyaan, "Apa makna semua itu?" dapat dikemukakan dengan ungkapan rasional, tentu saja jawabannya tidak harus dikemukakan sejalan dengan pertanyaan itu. Sufisme datang melalui pengalaman dan pencerahan. Sebuah alat yang digunakan untuk mengukur benda-benda kecil tentu saja tidak bisa digunakan untuk mengukur benda-benda besar. "Praktekkan ilmu pengetahuanmu, karena pengetahuan tanpa praktek seperti tubuh tanpa jiwa" -Abu Hanifah.2 Seorang ilmuwan mungkin mengatakan kepada Anda bahwa ruang dan waktu adalah sama, atau bahwa materi sama sekali tidak solid. Ia mungkin bisa membuktikannya melalui metodenya sendiri. Namun pembuktian ini akan menjadi agak sulit Anda pahami dan sama sekali tidak Anda alami. Setiap materi dapat dibagi-bagi sampai tak terhingga bukan? Namun untuk tujuan praktis, biasanya ada batas pembagian, misalnya Anda memotong-motong sebatang coklat. Dengan demikian, di satu sisi Anda melihat sebatang coklat, di sisi lain Anda melihat sebuah obyek yang dapat dibagi sebanyak mungkin. Pikiran manusia cenderung membuat generalisasi atas bukti parsial. Para Sufi yakin bahwa mereka bisa mengalami sesuatu yang lebih kompleks.
Sebuah kisah tradisional Sufi menggambarkan persoalan ini dalam salah satu aspeknya dan menunjukkan berbagai kendala yang dihadapi kalangan terpelajar ketika mereka mendekati para Sufi dengan menerapkan metode kajian mereka yang terbatas.
Seekor gajah mengadakan perjalanan dalam sebuah rombongan sirkus. Ia berada di dalam kandang dekat sebuah kota di mana penduduknya belum pernah melihat apa itu gajah. Mendengar hal yang menakjubkan itu, empat warga kota pergi melihatnya agar mereka bisa mengetahui seperti apa gajah itu. Ketika mereka tiba di kandang gajah, tiba-tiba lampu padam. Jadi penyelidikan berlangsung dalam keadaan gelap.
Orang pertama menyentuh belalainya, sehingga ia mengira bahwa makhluk ini pasti seperti sebatang pipa. Orang kedua menyentuh telinganya dan menyimpulkan bahwa ia adalah kipas. Orang ketiga memegang kakinya sehingga ia berkesimpulan bahwa gajah itu adalah binatang seperti pilar. Akhirnya orang keempat menyentuh punggungnya sehingga ia yakin bahwa ia adalah semacam singgasana. Tidak seorang pun bisa menggambarkan gajah dengan sempurna. Lantaran menyentuh sebagian makhluk itu, maka setiap orang hanya mengacu pada apa yang telah diketahuinya. Hasil penyelidikan itu membingungkan. Setiap orang merasa yakin bahwa dirinya benar sehingga tidak ada warga kota yang bisa memahami apa yang terjadi, apa yang sebenarnya dialami oleh para penyelidik itu.
Ketika orang biasa ingin mengetahui pemikiran Sufi, ia biasanya merujuk buku-buku referensi. Ia mungkin mencari kata "Sufi" dalam ensiklopedia atau mengacu pada buku-buku yang dikarang para sarjana dan peneliti yang ahli dalam bidang agama dan mistisisme.
Bila ia melakukan itu, ia akan menjumpai sejumlah besar contoh tentang mentalitas "gajah di kegelapan" itu.
Menurut seorang sarjana dari Persia, Sufisme adalah sebuah penyimpangan dari ajaran Kristen. Seorang profesor dari Universitas Oxford berpendapat bahwa Sufisme dipengaruhi oleh Hindu-Vedanta. Seorang profesor Arab-Amerika menyatakan bahwa Sufisme semacam reaksi terhadap intelektualisme dalam Islam. Seorang profesor di bidang kesusastraan Semit menandaskan adanya jejak-jejak Sufisme dalam Shamanisme Asia Tengah. Seorang Jerman menyatakan bahwa Sufisme adalah Kristianitas plus Budhisme. Sementara dua orientalis Inggris terkemuka telah menyediakan dana untuk meneliti pengaruh kuat Neoplatonisme atas Sufisme, namun salah seorang kemudian mengakui bahwa Sufisme mungkin lahir secara independen. Dengan mempublikasikan opininya melalui sebuah universitas di Amerika, seorang Arab meyakinkan para pembacanya bahwa Neoplatonisme sendiri adalah pemikiran Yunani plus Persia (dengan berdasar pada sebuah sumber Sufi). Salah seorang ahli kajian Arab terkemuka berkebangsaan Spanyol mengklaim bahwa Sufisme bersumber pada monastisisme Kristen dan menyatakan bahwa Manichaeisme adalah salah satu sumber Sufisme. Akademisi lain yang tak kalah reputasinya menemukan Gnostisisme diantara para Sufi. Sementara seorang profesor Inggris, penterjemah sebuah buku Sufi, lebih suka menyatakan bahwa Sufisme adalah "sebuah sekte kecil Persia". Namun penterjemah lainnya menemukan tradisi mistik para Sufi "di dalam al-Qur'an sendiri". "Meskipun banyak definisi yang mengacu pada buku-buku Arab dan Persia secara historis menarik kesimpulan pokoknya ternyata menunjukkan bahwa Sufisme tidak dapat didefinisikan."3
Seorang pengamat Rumi (1207-1273), asal Pakistan menganggap bahwa Rumi adalah ahli waris yang sebenarnya dari semua aliran pemikiran kuno sebagaimana direpresentasikan di Timur Dekat. Namun mereka yang telah mengadakan hubungan langsung dengan para Sufi dan pernah menghadiri majelis mereka, tidak memerlukan penyesuaian mental dan kehendak untuk memahami bahwa Sufisme sendiri mengandung berbagai unsur dari sistem non-Sufi seperti Gnostisisme, Neoplatonisme, Aristotelianisme dan lain-lain. "Tidak banyak gelombang yang memintal-mintal dan sekilas memantulkan sinar mentari -- semua berasal dari laut yang sama," kata guru Sufi Halki. Disamping itu, pikiran yang telah dilatih untuk percaya pada ciri khas dan monopoli pemikiran madzhab tertentu tidak akan mudah memasukkan pemahaman sintetis itu ke dalam kontemplasi Sufisme.
Dr. Khalifa Abdul Hakim menunjukkan bahwa ia bisa mengacu pada setiap madzhab filsafat yang dirujuk Rumi tanpa harus menganggap pemikiran tertentu diturunkan dan pemikiran lain. Ia menyatakan, "Matsnawi-nya adalah sebuah kristal dari berbagai unsur. Di dalamnya kita melihat refleksi dan cahaya monotheisme Semitik yang terputus-putus, intelektualisme Yunani, teori idea Plato, teori sebab-akibat Aristoteles, Yang Esa dari Plotinus dan pengalaman ekstase ketika menyatu dengan Yang Esa, berbagai persoalan kontroversial para mutakallimun, teori emanasi Ibnu Sina dan al-Farabi, teori kesadaran nubuwah al-Ghazali dan monisme Ibnu Arabi."
Namun perlu dicatat bahwa pernyataan ini bukan berarti Rumi telah membangun sebuah sistem mistisisme dari berbagai unsur itu. "Buah pir tidak hanya ditemukan di Samarkand."
Kepustakaan tentang Sufisme sangat banyak -- sejumlah besar naskah-naskah Sufi telah diterjemahkan oleh para sarjana Barat. Beberapa sarjana, jika memang ada, telah memperoleh manfaat setelah memahami Sufisme, mengetahui tradisi lisannya atau bahkan tarekat Sufi sebagai sumber kajian formalnya. Ini bukan berarti bahwa karya mereka tidak bermanfaat. Karya-karya itu sangat berguna bagi Orientalis, namun mungkin cenderung inkoheren. Seperti penulis dongeng yang harus menyertai tulisannya dan membacakannya sendiri karena tulisannya tidak dapat dibaca. Karya-karya itu membutuhkan ulasan sang Sufi sendiri.
Pengaruh terjemahan dan buku diskursif tentang Sufisme terhadap murid yang belum mengenalnya pasti sangat kuat dan niscaya akan sulit dilupakan. Metode pendekatan melalui penterjemahan itu akan menghadapi masalah yang pelik. Dengan menyisihkan masalah perbedaan tingkat akurasi dan makna yang ditangkap para penterjemah (masalah yang mengandung berbagai kekaburan meskipun sebenarnya merupakan kegiatan yang tidak relevan), kita akan tahu bahwa karya sastra dalam bentuk terjemahan itu mungkin membuat pembaca terpesona dan mengalami petualangan yang asing.
Kadangkala mereka menterjemahkan irama dan rima orisinil dari puisi Timur ke dalam bahasa Inggris, karena mereka merasa bahwa kiat ini membantu untuk menyampaikan makna yang orisinal. Namun penterjemah lainnya mempertahankan pandangan sebaliknya dan menghindari upaya menterjemah dengan cara tersebut, karena mereka mengklaim bahwa hal itu tidak mungkin dicapai atau menimbulkan makna yang berbeda. Disamping itu, beberapa naskah diterjemahkan dengan bantuan berbagai komentar non-Sufi (pada umumnya Muslim, bahkan teolog formal Kristen). Kemudian ada berbagai terjemahan parsial, terbitan seleksi yang telah dipotong sehingga penterjemahnya kesulitan sendiri untuk memberikan judulnya. Ia kurang mengetahui praktek-praktek Sufi, sehingga keberaniannya itu rupanya menimbulkan berbagai perusakan. Karya tulis Sufi bukanlah semata-mata karya sastra, filsafat, atau teknik.
Ada sebuah terjemahan buku Persia dalam bahasa Inggris, namun diterjemahkan dalam bahasa Perancis. Versi bahasa Perancis ini adalah terjemahan dari bahasa Urdu sebagai karya klasik Persia yang diikhtisarkan dari sebuah buku Arab. Banyak versi modern dari karya sastra Persia klasik yang kadangkala disunting untuk mengimbangi berbagai referensi yang menyerang kepercayaan agama Iran. Disamping itu muncul penulis non-akademis dan penulis populer dari kalangan Kristen (misionaris), Hindu, neo-Hindu Barat -- dan neo-Sufi Barat -- yang menulis tentang Sufisme. Presentasi Sufisme di kalangan terpelajar dalam bahasa Barat itu menghasilkan kepustakaan yang sangat berlimpah dibandingkan kepustakaan di bidang lainnya.
Pengamatan kaleidoskopis itu mempunyai kecenderungan insidentilnya sendiri. Tendensi berbias ini -- suatu istilah yang mungkin tidak tepat, atau sebaiknya "polikotomi" (menurut istilah dikotomi) -- ternyata menyentuh pokok kajian yang sangat menarik selama hampir seribu tahun yang lalu. Hal ini juga pernah terjadi ketika pemikir Yahudi Avicebron dari Malaga (hidup kira-kira 1020-1050 atau 1070) menulis sebuah buku berjudul Fountain of Life (Sumber Kehidupan), sebuah karya tulis berdasarkan filsafat iluministik Sufi. Karena ia menulis dalam bahasa Arab, maka banyak pemikir Kristen otoritatif dari madzhab Eropa Utara dan telah mempelajari ilmu pengetahuan "Arab", mengira bahwa ia adalah orang Arab. Setidaknya beberapa pemikir menganggap bahwa ia beragama Kristen, sebagai "gema ajaran," demikian kata mereka. Kalangan Franciscan (Ordo keagamaan yang didirikan oleh Francis Assisi pada tahun 1209, pent.) menerima ajaran-ajarannya dengan penuh semangat dan mentransmisikannya kedalam aliran pemikiran Kristen. Sementara ajaran-ajarannya telah diseleksi dari sebuah terjemahan bahasa Latin yang dikerjakan sekitar seabad setelah kematian Avicebron.
Sementara seorang akademisi perempuan terkemuka, penulis otoritatif tentang mistisisme Timur Tengah telah menyentuh lebih dari satu bagian gajah. Dalam sebuah bukunya, ia menyatakan bahwa Sufisme "mungkin dipengaruhi secara langsung oleh pemikiran Budhisme." Ia mengimbuhkan bahwa para Sufi paling awal "mungkin mempunyai sedikit hubungan dengan kepustakaan Hellenistik" -- namun pemikiran mereka ternyata diturunkan dari sumber-sumber Hellenistik. Akan tetapi di akhir kajiannya tentang Sufisme, ia menyatakan bahwa "asal-usul dan sumber Sufisme yang sejati terdapat dalam hasrat abadi dari jiwa manusia untuk bertemu Tuhan."
Aktivitas Sufi mempunyai pengaruh sangat luas terhadap Barat Kristen, sehingga kenyataan ini lebih baik dari kasus umum yang bisa dikemukakan tentang Sufi bahwa kebenaran obyektif dari Sufisme adalah suatu dinamika yang hampir tidak dapat disangkal. Namun kekuatan vitalistik ini, yaitu ungkapannya yang benar, tergantung pada pemahaman manusia secara benar. Bila tahap persiapan ini tidak ada, maka besar kemungkinan aliran Sufi menjalankan perubahan tertentu. Yang sangat rentan dari bias ini adalah aktivitas Sufi tertentu atau fragmentaris. Ilustrasi yang sangat khas dapat dikemukakan melalui nasib karya al-Ghazali di Eropa.
Al-Ghazali dari Asia Tengah (1058-1111) menulis sebuah buku yang berjudul Tahafutul-Falasifah (Kerancuan Para Filosuf). Buku ini telah diterjemahkan sebagian dan digunakan oleh para apolog Katholik untuk menentang madzhab-madzhab pemikiran Muslim maupun Kristen. Namun karya tulisnya yang diterima di Barat ini hanyalah semacam pengantar filsafat. Karya al-Ghazali harus dibaca secara keseluruhan. Demikian pula maksud latihan para Sufi harus diikuti jika ingin dipahami secara benar. Karya al-Ghazali ini ditanggapi oleh filosuf Arab lainnya, yaitu Ibnu Rusyd dari Cordoba (1126-1198). Dengan nama Averroes, karyanya juga diterjemahkan. Ibnu Rusyd sebenarnya tidak sepenuhnya menyangkal al-Ghazali melalui metode skolastik. Namun ia telah merasa melakukan hal itu. Meskipun demikian, Averroeisme telah mendominasi pemikiran skolastik Barat dan Kristen, setidaknya selama empat abad -- dari abad kedua belas sampai akhir abad keenam belas. Secara bersamaan, karya-karya al-Ghazali dan Aristotelianisme telah membentuk dua aliran ganda Sufi (aksi dan reaksi) yang telah menjaga ajaran Kristen secara keseluruhan. Namun sumber awalnya, yaitu Ghazallisme dan Averroeisme, kemudian diabaikan (selama menyangkut pemikiran skolastik).
"Perlu dicatat," kata Rumi, "bahwa hal-hal yang bertentangan bekerja secara bersamaan, meskipun secara nominal bertentangan." (Fihi Ma Fihi).
Secara fundamental, Sufi menyadari bahwa Sufisme adalah suatu ajaran dan sekaligus sebuah bagian dari evolusi organis yang jarang dimasukkan dalam kajian oleh mereka yang memusatkan perhatian pada penelitian sistem tersebut. Konsekuensinya, hampir tidak ada kemungkinan bagi pengamat untuk memberikan kesimpulan akurat. Dengan bersandar pada kemampuan diskursifnya semata, ia tidak akan mampu mengkaji sebelum memulainya. Rumi mengalamatkan syair dalam Matsnawi-nya berikut ini kepada kalangan Eksternalis-literalis (Zhahiriyah) masa lalu maupun masa kini:
Dia yang telah tercerahkan (Sufi);
Mengetahui bahwa cara berpikir sesat berasal dari Iblis,
sementara cinta dari Adam. 
Para Sufi telah membingungkan sarjana karena perilaku mereka tampak tidak konsisten dan kadangkala memaksanya untuk menyimpulkan dengan berbagai kualifikasi dari inti ajaran mereka. Namun mereka juga bisa membangkitkan ghirah keagamaan para teolog. Cinta sebagai prinsip aktif dari perkembangan dan pengalaman Sufi, baik sebagai mekanisme maupun sebagai tujuan akhir, tidak bisa dianggap sebagai asal-usul Sufisme. Namun yang Terhormat Profesor W.R. Inge dalam bukunya Christian Mysticism segera terseret pada target yang diacunya itu. "Para Sufi atau mistik Muhammad menggunakan bahasa erotis dengan sangat bebas dan seperti aliran mistik Asia yang sejati, mereka hadir dalam upaya memberikan karakter sakramental atau simbolik atas kegairahan nafsu mereka."
Contoh klasik ini telah mengaburkan pandangan dari beberapa sarjana Barat yang telah akrab dengan Sufisme. Contoh ini juga mengungkapkan imitasi Sufi terhadap mistik Asia yang kecanduan pada bahasa erotis (secara rahasia, karena mereka tidak mempublikasikannya). Bahasa erotis ini sebenarnya bertujuan merahasiakan kegemaran nafsu mereka. Akan tetapi, mereka dapat merasa terhibur dengan sebuah opini dari seorang profesor Universitas Cambridge yang memandang Sufisme secara lebih hormat sebagai "perkembangan agama primordial bangsa Arya". Jika simbolisme Sufi tidak bermakna demikian, namun lebih merepresentasikan pengalaman hidup aktual, maka kita mungkin akan menemukan bahwa para Sufi lebih mempunyai banyak fungsi dibandingkan apa yang diketahui pendukung demokrat mereka. Ahli sastra Sufi mungkin mampu mereguk seratus samudera, yaitu berhala-berhala ketika semuanya tidak disembah, merantau ke Cina dalam keadaan mabuk -- hidup di dunia namun tidak larut di dalamnya -- belum lagi disebutkan seratus bulan dan mentarinya.
Para pendukung penafsiran literal atas ungkapan mistik tentu saja secara memadai ditanggapi oleh pakar bahasa seperti Evelyn Underhill:
"Simbol -- dalam persoalan spiritual meminjam dari bidang material -- adalah sebuah ungkapan artistik. Hal itu berarti bahwa simbol tidak literal namun sugestif, meskipun seniman yang menggunakannya kadangkala mungkin tidak melihat pembedaan ini. Oleh karena itu, orang-orang yang menganggap bahwa 'perkawinan spiritual' dari St. Catherine atau St. Teresa merahasiakan suatu skandal seksual, bahwa mimpi Hati Suci mengandung suatu pengalaman anatomia atau bahwa pengalaman Ilahiyah dari para Sufi adalah kemabukan Ilahiyah, tentu saja menunjukkan ketidaktahuan mereka tentang mekanisme seni: seperti sang nona yang menganggap bahwa Blake pasti gila karena berkata bahwa ia menyentuh langit dengan jemarinya."4
Harus diakui bahwa kalangan terpelajar lebih mudah mendekati dan memaparkan salah satu aspek Gajah di Kegelapan itu dibandingkan memberikan suatu pandangan koheren tentang Sufisme. Banyak kalangan terpelajar mengalami ketidakmampuan psikologis untuk mengkaji tema ini. Al-Ghazali berkata, "Di luar ketidakmampuan itu sendiri, kelemahan lainnya menghalangi untuk mencapai kebenaran batiniah. Kelemahan semacam ini adalah pengetahuan yang dicapai melalui metode eksternal." (Kimiyya'us-Sa'adah).
Disamping dinding tak tertembus dari pengalaman Sufi, ada masalah personalitas Sufi. Penelitian biasa mana pun tentang karya tulis dan karir Sufi akan cukup membingungkan sejumlah kecil peneliti doktriner. Di antara para Sufi, ada yang awalnya penganut Zoroastrian, Kristen, Hindu, Budha dan orang suci lainnya, demikian pula ada orang-orang Persia, Yunani, Arab, Mesir, Spanyol dan Inggris. Ada tingkatan guru teolog Sufi, seorang pemimpin gerakan banditti, para budak, tentara, pedagang, menteri, raja dan seniman. Namun hanya dua tokoh yang terkenal di kalangan pembaca Barat. Mereka adalah penyair dan ahli matematika Omar Khayyam dari Persia dan Pangeran Abu ben-Adham dari Afghanistan -- subyek dari sebuah syair Leigh Hunt: 'Abu ben Adham, mungkin sukunya meningkat ..."
Di antara tokoh-tokoh yang dipengaruhi secara langsung oleh Sufisme adalah Raymond Lully, Goethe, Presiden de Gaulle (Presiden Perancis setelah Perang Dunia Kedua, pent. ) dan Dag Hammerskjold dari Perserikatan Bangsa Bangsa.
Lantaran seringkali menulis di bawah ancaman penganiayaan, para Sufi telah mempersiapkan buku yang menyesuaikan praktek mereka dengan ortodoksi dan mempertahankan penggunaan citra yang menyenangkan. Untuk mengaburkan makna dari berbagai faktor ritualistik atau untuk memenuhi kebutuhan penting para penghimpun karya ikhtisar Sufi, mereka mewarisi berbagai manuskrip tentang hakikat ajaran Sufi yang hanya bisa disaring oleh mereka yang membutuhkan perlengkapan. Dengan menyesuaikan karya mereka dengan berbagai tempat, masa dan kecenderungan, selanjutnya mereka menekankan peran asketisme, kesalehan, musik dan tari, bertapa dan hidup bermasyarakat. Namun hanya karya tulis Sufi yang sopan dan religius beredar di luar lingkungan Sufi.
Seseorang yang mungkin sama sekali tidak mengetahui koherensi di batik ajaran Sufi dan belum mengapresiasi karya para penyair besar Sufi, selalu ditunjukkan oleh para penterjemah. Gertrude Bell, seorang mahasiswi tekun dan penterjemah karya-karya Hafizh ke dalam bahasa Inggris, disanjung oleh Orientalis Sir Denison Ross karena kesarjanaan dan penilaiannya. Namun ia adalah orang pertama yang mengakui bahwa, "Sebenarnya kita akan menemukan kesulitan untuk menentukan dasar apresiasi karya Hafizh di Timur, dan para sahabat sebangsanya menjadikan ajarannya tidak mungkin dipahami."5
Berikut ini membuat semua orang lebih tertarik pada sorotan Gertrude Bell di kegelapan, ketika ia mencoba mengemukakan beberapa opini tentang apa yang sebenarnya sedang dijelaskan Hafizh, "Dari sudut pandang kami, matahari filsafatnya tampak bahwa ada sedikit kepastian yang dapat kita ketahui, bahwa hal kecil harus selalu menjadi obyek dari setiap hasrat manusia. Sementara setiap orang akan melakukan pencarian itu di jalan yang berbeda. Tak seorang pun akan mudah menemukan jalannya, jika ia bijak mungkin mendapatkan manfaat karena kerja kerasnya menyusuri tepi jalan."6 Bell tidak melihat aktifitas Sufi sebuah proses -- sebagaimana para Sufi memandangnya -- namun berhasil memandang sekilas ciri khas dan utuh dari pemikiran Sufistik Hafizh dalam membahas dan melihat sebuah panorama pemikiran manusia yang hadir di hadapan kita dan tentu saja mempunyai jangkauan masa depan baginya:
Itu seolah-olah mata batinnya, yang dianugerahi dengan ketajaman pandangan mengagumkan. Ia telah merasuk ke dalam wilayah-wilayah pemikiran yang pada masa berikutnya menjadi asing bagi kita. 
Pandangan visioner Hafizh sangat kuat untuk diabaikan, namun ia juga mengejutkan. Gertrude Bell ternyata tidak mencapai kesimpulan apa pun.
Kembali pada kisah gajah di atas. Para sarjana ternyata lebih suka bersikap eklesiastik (sikap pendeta gereja) dibandingkan bersikap doktriner. Bagi Sufi, kedua sikap ini sama saja dengan para pengunjung kandang gajah itu. Mungkinkah mereka semua sebenarnya memandang salah satu bagian keseluruhan? Para Sufi berkata, "Ia bukan sebuah agama, ia adalah agama," dan "Sufisme adalah esensi dari semua agama." Lalu apakah di antara para Sufi atau lainnya, ada sebuah tradisi, ada sebuah ajaran rahasia yang diturunkan melalui penobatan dan dilestarikan melalui rantai transmisi; sebuah ajaran rahasia yang mungkin menjelaskan sesuatu kepada para pengamat sesuai dengan prasangkanya yang hampir melihat setiap bentuk agama dalam berbagai karya tulis Sufi?
Untuk menjawab hal ini, kita seharusnya mengacu pada berbagai pendapat Sufi yang biasanya disalahpahami oleh murid-murid non-Sufi. Demikian pula kita seharusnya mengikuti tradisi dari madzhab-madzhab lainnya maupun transmisi kepercayaan di abad-abad pertengahan dan masa lain menyangkut ajaran batiniah dibalik agama formal. Pencarian ini sama sekali bukan suatu pencarian yang membosankan.
Menurut Syekh Abu al-Hasan Fusyanji, "Dulu Sufi adalah realitas tanpa nama. Kini ia nama tanpa realitas." Secara lahiriah, pernyataan ini biasanya dianggap berarti bahwa orang-orang menyebut diri mereka sebagai Sufi sebenarnya, sementara pencarian sejati dari para Sufi tidak dipahami. Meskipun hal ini mungkin juga merupakan suatu interpretasi atas sebuah pernyataan, namun di sini dimaksudkan untuk mengklarifikasi suatu sudut pandang yang berbeda.
Urgensi menelusuri jejak sejarah untuk menentukan permulaan sesuatu yang begitu ditekankan pada tahap pengetahuan sekarang, tentu saja didorong oleh kebutuhan pikiran biasa untuk mengetahui sebuah permulaan dan jika mungkin akhir dari setiap hal. Hampir setiap hal yang diketahui manusia sesuai dengan akal sehatnya mempunyai awal dan akhir. Keinginan mengetahui esensi sesuatu itu merupakan wujud kebutuhan akan stabilitas, rasa aman. Istilah ini tercantum di dalam buku, kini bisa diletakkan di atas papan -- mengetahui A sampai Z sesuatu atau lainnya. Ada berbagai metode yang relatif diterima dalam menentukan awal dan akhir itu, atau menghasilkan berbagai penyulihan untuknya. Semua metode itu mungkin dihasilkan dari berbagai mitos dan legenda yang seringkali menyangkut bagaimana segala sesuatu bermula dan berakhir. Cara lainnya adalah penegasan raja Cina bahwa sejarah berawal dari dirinya dan buku-buku sejarah sebelumnya harus dimusnahkan. Teknik ketiga adalah asumsi bahwa peristiwa tertentu pada suatu waktu dan di suatu tempat mempunyai permulaan. Hal ini biasanya merupakan metode keagamaan. Metode ini dipegang teguh dalam ajaran umum Kristen sebagai dogma resmi, namun St. Agustinus tidak mempertahankannya.
Kepercayaan bahwa sebuah peristiwa unik keagamaan menimbulkan sebuah perubahan sempurna nasib manusia, dalam masyarakat Kristen, menghasilkan sebuah kekuatan besar, namun setidaknya ada dua faktor yang membatasi dampaknya. Pertama adalah waktu peristiwa yang menunjukkan bahwa ada batas bagi ekspansi alamiah dan bahkan artificial dari Gereja Kristen dan sebuah batas bagi dinamikanya dalam bidangnya sendiri. Lebih dari itu ada persoalan skolastik. Karena ajaran Yesus mempunyai keunikan (meski mungkin merupakan ajaran "kenabian yang khayali dan prediktif"), maka sulit untuk mencapai perspektif spiritual yang tidak dipengaruhi oleh kepercayaan ini. Agama, mistisisme dan spiritualitas kini tidak bisa begitu saja dilihat sebagai suatu perkembangan alamiah atau milik umum ummat manusia. Menurut para Sufi, faktor penyeimbang utama dari kekuasaan Kristen formal adalah pengalaman sinambung dari tradisi Kristen sejati yang telah mengalami distorsi.
Sebelum abad kesepuluh, ketika Islam mempunyai kekuasaan budaya sangat kuat dan perluasan peradaban yang terkenal di dunia, teori tentang ajaran rahasia, sebuah ajaran yang dihargai sejak zaman kuno, telah merintis jalannya dari pusat gravitasi ke Barat. Pertama dan paling kuat, madzhab Sufi klasik di Eropa ditemukan di Spanyol lebih dari seribu tahun yang lalu.8 Sebagaimana mungkin dianggap orang, tradisi ini bukan muncul di Barat karena keruntuhan negeri-negeri di bawah kekuasaan Arab. Tradisi itu sangat sejalan dengan, dan bahkan secara insidental disemangati, oleh Islam dengan pandangan religius sebagaimana telah kami catat, yaitu suatu proses sinambung dalam setiap masyarakat. Tradisi ini hidup di Timur Jauh dan menimbulkan kesan di hati orang-orang yang masih mempunyai ingatan tentang ajaran-ajaran spiritual sebelumnya. Dalam satu segi, tradisi ini adalah teori teosofi dari berbagai manifestasi keagamaan setiap masyarakat, seperti agama doktriner di tempat lain yang seharusnya tidak ada.
Berdasarkan pengalaman dan simbolik ini, konsep tentang kesatuan agama batiniah tentu saja berlaku pada masa-masa ketika orang-orang dunia kuno menyamakan dewa yang satu dengan dewa lainnya -- Mercury dengan Hermes, Hermes dengan Thoth, misalnya. Teori teosofi inilah yang dianggap oleh para Sufi sebagai tradisi mereka sendiri, meski tidak terbatas pada bidang agama. Oleh karena itu, sebagaimana sang Sufi meyakininya:
Aku penyembah berhala; Aku beribadah di altar Yahudi; Akulah berhala Yaman, candi para penyembah api; rahib Majusi; realitas batin dalam meditasi bersila Brahma; kuas dan cat warna para seniman; sosok pencela agama yang tertekan dan berkepribadian kuat. Satu sama lain tidak saling mengalahkan -- ketika sebuah api dilempar ke dalam kobaran api lainnya, mereka membentuk "kobaran api" bersama-sama. Engkau melempar suluh ke lilin, lalu berkata, "Lihat! Aku telah memusnahkan nyala lilin!" (Ishan Kaiser dalam Percakapan Para Hakim).
Para Sufi menerapkan suatu sudut pandang baru untuk mengatasi pengaruh materialistik yang dipaksakan oleh masyarakat yang berat sebelah. Semua pemikiran filosofis direndahkan karena ajaran "kebijaksanaan" ini mengungkung. Akhirnya orang-orang mengulang truisme satu sama lain, namun sebenarnya tidak mengalami apa maksud mereka. Jika seorang Sufi berkata, "Apa yang dibutuhkan adalah suatu pendekatan baru," ini sama sekali tidak mungkin berarti bahwa setiap orang yang mendengar pernyataannya akan langsung setuju (karena terdengar bermakna) dan langsung mengabaikannya. Makna kata-kata itu tidak tertanam di dalamnya. "Ambillah gandum, bukan kadar yang dikandungnya." (Rumi, Matsnawi, Buku II).
Karena membebaskan pemikiran dari ikatan pemikiran yang kaku begitu penting, Rumi memulai kedua karya utamanya dengan berbagai latihan untuk proses itu. Maka dari itu, kita menyesuaikan diri dengan apa yang biasanya diikuti madzhab Sufi. Meskipun kalangan Eksternalis mungkin tidak mengetahuinya, dua bukunya itu sebenarnya merupakan ulasan-ulasan tentang jenjang dan keadaan perkembangan Sufistik sebagaimana dimanifestasikan secara mandiri dalam sebuah madzhab Sufi.
Dalam Fihi Ma Fihi, pada permulaannya, Rumi mengutip sabda Nabi Muhammad saw. yang menjadi kata-kata umum dan sebuah peribahasa. Nabi Muhammad pernah bersabda demikian, "Orang bijak terburuk adalah orang yang mengunjungi raja; raja terbaik adalah raja yang mengunjungi manusia bijak."
Rumi menjelaskan bahwa makna tersembunyi dari ajaran ini adalah bahwa "kunjungan" itu bergantung pada kualitas pengunjung dan yang dikunjungi. Jika seorang bijak besar mengunjungi seorang raja, pangeran lah yang memperoleh manfaat, karena ia dianggap telah mendapat "kunjungan" sang manusia bijak itu.
Hal ini sama sekali bukan sebuah permainan kata-kata, sebagaimana anggapan beberapa orang.
Dengan menggunakan taktik singkat, Matsnawi memulai ajarannya setelah Kidung Ilalang yang terkenal, dengan apa yang tampak sebagai sebuah dongeng tentang seorang pangeran yang pergi berburu dan seorang gadis cantik. Selagi pendengar duduk tentang mendengarkan dongeng, Rumi mulai memanfaatkannya untuk membangkitkan kreativitas pikiran dan mengatasi rasa kantuk, metode Sufistik untuk menimbulkan reaksi lazim terhadap cerita rakyat.
Saat pergi berburu, seorang pengeran bertemu dengan seorang gadis pembantu cantik. Ia jatuh cinta kepadanya dan membelinya. Namun setelah itu, si gadis jatuh sakit. Dalam keputus-asaan, sang raja menawarkan harta-benda apa pun kepada para dokter yang mungkin mereka inginkan jika mampu mengobatinya. Namun mereka tidak mampu mengobatinya dan keadaan si gadis semakin buruk. Dengan diliputi rasa cinta dan takut, sang pangeran bergegas ke masjid dan memohon inayah Allah.
Kemudian ia melihat sebuah bayangan, seorang tua yang meyakinkannya bahwa seorang tabib akan segera datang. Pada hari berikutnya, sebagaimana diramalkan, tabib itu datang. Sang tabib memandang gadis itu dan menyadari bahwa setiap pertolongan yang diupayakan para lintah darat itu tidak berguna dan menambah keadaan semakin buruk. Ia paham bahwa penyakitnya berkaitan dengan keadaan batinnya. Dengan menggunakan metode psikologis, ia mengajukan pertanyaan dan memancing si gadis berbicara. Akhirnya ia tahu bahwa gadis itu mencintai seorang pengrajin emas dari Samarkand.
Ia mengatakan kepada sang pangeran bahwa pengobatan akan berhasil dengan membawa pengrajin emas itu ke hadapan si gadis. Sang pangeran setuju. Sang pengrajin emas merasa bahwa panggilan pangeran itu hanya untuk suatu penghargaan atas keahliannya menyepuh emas. Ia tidak menyadari apa yang akan terjadi padanya.
Ketika ia tiba di istana, mereka dinikahkan. Si gadis kemudian sembuh total. Jadi kisah yang tak menyenangkan ini mungkin menimbulkan dampak kepada pendengar, pendengar yang mengharapkan kesenangan di akhir cerita.
Namun sang tabib kini menyiapkan obat untuk sang pengrajin emas, sebuah obat yang membuat kesalahan dirinya tampak jelas sehingga sang gadis bisa menyaksikannya dan mulai membencinya. Ia akhirnya meninggal dunia dan sang gadis bisa mencintai pangeran yang selalu mengharapkannya.
Selain citra dongeng yang kompleks dalam bentuk orisinalnya, ajaran itu menimbulkan dampak pada banyak tataran. Ia bukan hanya mengisahkan sebuah dongeng dengan suatu moral lahiriah, ia adalah sebuah ulasan tentang proses hidup.
Hadrat-i-Paghman berkomentar tentang dongeng ini, "Renungkanlah dongeng itu, kecuali kalau engkau mengabaikannya, maka engkau akan seperti anak kecil yang menginginkan setiap hal benar dan menangis ketika semua hal tampak tidak benar. Engkau akan membuat penjara bagi dirimu sendiri, penjara emosi. Ketika berada dalam penjara ini, engkau akan melukai diri sendiri dengan ketajaman jeruji besi yang engkau buat sendiri."
Dulu pemikiran dan ajaran Sufi benar-benar hidup -- bisa jadi ada seorang Sufi tanpa sebuah nama untuk kultusnya. Kemudian pada masa modern, dalam mana nama itu eksis, namun kehidupan susah dan telah disesuaikan dengan selubung -- pengkondisian -- sejak buaian sampai masuk liang lahat.
Tepatnya berapa lama kata "Sufisme" itu digunakan? Menurut tradisi, Sufi hidup di setiap masa dan wilayah. Para Sufi hidup demikian dan dengan nama demikian sebelum Islam. Namun jika ada nama untuk praktisi, maka tidak ada nama untuk praktek. Kosa kata Inggris Sufism adalah adaptasi bahasa Inggris dari bahasa Latin Sufismus. Seorang sarjana Jerman pada tahun 1821 telah menentukan Latinisasi yang kini hampir dinaturalisasikan ke dalam bahasa Inggris. Sebelum dia, ada kata tasawwuf -- keadaan, praktek atau kondisi menjadi Sufi. Ini mungkin tidak tampak penting, tapi bagi para Sufi penting. Itulah satu alasan mengapa tidak ada istilah statis yang digunakan para Sufi untuk kultus mereka. Mereka menyebutnya suatu ilmu pengetahuan, seni, pengetahuan, Jalan, rumpun -- bahkan dengan istilah teknis abad kedua puluh mungkin bisa diterjemahkan dengan psikoantropologi (nafsaniyyatalinsaniyyat) -- namun mereka tidak menyebutnya Sufisme.
Thariqat-shufiyyah artinya Jalan Sufi karena thariqat [tarekat] berarti Lorong, maupun sebuah cara melakukan sesuatu dan juga mengandung pengertian menelusuri sebuah jalan, garis -- Jalan Sufi. Sufisme mengacu pada berbagai nama sesuai dengan pengertian yang dibahasnya. Maka kita mungkin menemukan kata ilm al-ma'rifat atau al-'irfan (gnosia). Sementara Tarekat atau kelompok terorganisir cenderung disebut thariqat. Demikian pula, Sufi dikenal sebagai sang Pencari, Pemabuk, orang tercerahkan, luhur, Sahabat, muqarribun, darwis, Fakir (rendah hati), atau Kalandar, arif, bijak, pecinta dan ahli batin. Karena tidak ada Sufisme tanpa para Sufi, kata itu selalu ditujukan kepada orang dan tidak bisa dianggap sebagai suatu kata abstrak seperti "filologi" atau "komunisme" yang masing-masing bisa berarti kajian kata atau sebuah teori tentang tindakan komunalis. Jadi Sufisme mencakup sosok para Sufi maupun praktek aktual kultus mereka. Ia sebenarnya tidak bisa disamakan dengan presentasi teoritis mana pun dari Jalan Para Sufi. Tidak ada Sufisme teoritis atau intelektual. Namun mungkin ada gerakan Sufi, yang kemudian merupakan sebuah pleonasme, karena semua kehidupan Sufi adalah gerakan dan sebuah gerakan yang akrab dengan setiap fenomena. Sebagai contoh, ada "Kalangan Sufi Kristen", sebuah ungkapan yang bisa dan telah digunakan oleh para Sufi secara umum. Dalam beberapa hal, Sufi bahkan disebut masihi-i-batini (Kristen esoteris).
Jika seorang Sufi sesuai dengan pikiran konvensional bermaksud menampilkan fakta-fakta tertentu tentang para Sufi, maka sebuah alat hitung mental atau elektrik mungkin akan merusak dirinya sendiri dalam upaya mengerjakan mereka ke dalam beberapa sistem. Namun untungnya, masih ada banyak orang yang bisa menerima informasi dari berbagai tataran dan akan bisa menyusun suatu pola lahiriah. Berikut ini serangkaian fakta-fakta tentang para Sufi:
Para Sufi tampil pada masa-masa terutama dalam Islam awal. Mereka telah menghasilkan para teolog, penyair dan ilmuwan. Mereka menerima teori atom dan merumuskan teori evolusi lebih enam ratus tahun sebelum Darwin. Mereka dihormati sebagai orang suci, dihukum mati dan dituduh ahli bid'ah. Mereka mengajarkan bahwa hanya ada satu kebenaran mendasar dari setiap agama.
Sebagian Sufi menyatakan, "Aku tidak mempercayai apa pun." Sementara Sufi lain mengatakan, "Aku mempercayai segala sesuatu." Yang lain lagi mengatakan, "Tidak ada sikap sembarangan di antara para Sufi," dan ada pula yang berkata, "Tidak ada Sufi tanpa humor." Skolastisisme dan mistisisme bertentangan satu sama lain. Namun di antara para Sufi, ada yang mendirikan madzhab. Apakah ini adalah madzhab-madzhab Muslim? Tidak, mereka adalah orang-orang Kristen yang dihubungkan dengan para pengikut St. Agustinus dan St. John of the Cross, seperti Profesor Palacios dan tokoh ternama lainnya. Sementara dari mistik Timur, Sufi kini muncul sebagai pengimbang mistikus dan filosuf Katholik. Ijinkanlah di sini kami menambahkan beberapa contoh. Kopi yang kita minum secara tradisional pertama kali diminum para Sufi untuk memperkuat kesadaran. Kita mengenakan pakaian ala mereka (kemeja, ikat pinggang, celana panjang). Kita mendengarkan musik mereka (musik irama Andalusia, musik birama, lagu-lagu cinta). Kita menari tarian mereka (Waltz, tarian Morris). Kita membaca kisah-kisah mereka (Dante, Robinson Crusoe, Chaucer, William Tell). Kita menggunakan ungkapan-ungkapan esoteris mereka ("momen kebenaran", "ruh", "manusia sempurna" [insan kamil]); dan kita memainkan permainan mereka (kartu).9 Bahkan kita menjadi anggota kelompok turunan mereka, seperti freemasonry dan ordo-ordo Ksatria. Unsur-unsur Sufi tersebut akan kami kaji dalam bab-bab selanjutnya.
Biarawan di tempat persemediannya, Fakir di puncak gunung, saudagar di tokonya, raja dengan singgasananya -- semuanya mungkin menjadi Sufi, namun bukan penganut Sufisme. Tradisi Sufi memang ada, namun Sufisme itu laksana adonan asam ("Sufisme laksana ragi") dalam setiap masyarakat. Jika tradisi Sufi itu selalu menjadi bidang kajian akademis yang rumit, karena sebagai suatu subyek penelitian ia sama sekali berbeda dengan skolastisisme. Tingkat kemajemukannya itu sulit untuk disistematisasikan dalam bentuk semi-permanen sehingga mudah diteliti. Menurut Sufi sendiri, "Sufisme adalah suatu petualangan hidup, petualangan penting."
Jika Sufisme itu merupakan suatu petualangan, suatu cita-cita menuju kesempurnaan manusia yang dicapai melalui pencerahan dan pengembangan fungsi organis, keutuhan dan nasib kemanusiaan, lalu mengapa ia begitu sulit dipahami, dilacak asal-usulnya, ditunjukkan bukti-buktinya? Ya, memang demikian, karena Sufisme ada dalam setiap masyarakat dan setiap zaman sehingga ia mempunyai keberagaman sedemikian rupa -- dan inilah salah satu rahasianya. Sang Sufi tidak membutuhkan masjid, bahasa Arab, serangkaian doa-doa, buku-buku filsafat, bahkan stabilitas sosial, karena hubungannya dengan kemanusiaan bercorak evolusioner dan adaptif. Sufi tidak bergantung pada reputasi karena kemampuannya memeragakan kekuatan magis dan keajaiban -- hal ini tidak lebih dari kegiatan insidentil, meskipun ia mungkin mendapatkan reputasi untuk itu. Sementara ahli sihir dari sistem mistik lainnya bertolak dari tujuan yang berbeda. Reputasinya diandalkan dan mungkin didukung keajaibannya. Sufi pun mempunyai reputasi, namun tetap bersifat sekunder dalam keseluruhan amalnya. Keberadaannya merupakan suatu peran dari organisme Sufi.
Otoritas moral atau kepribadian yang menarik dari para Sufi bukan tujuan utama mereka, namun hasil pencapaian batiniah dan refleksi perkembangan mereka.
Seorang Sufi berkata, "Seandainya laron bisa berpikir, ia mungkin akan benar-benar percaya bahwa nyala api lilin itu sangat penting, karena ia menunjukkan kesempurnaan. Nyala api itu sebenarnya hasil dari lilin, sumbu dan percikan api. Apakah manusia itu masih mencari nyala api atau percikan api? Amatilah laron itu. Karena dikelabui nyala api, nasibnya pasti engkau ketahui, namun tak disadari olehnya." (Tongue of the Dumb, dikutip Paiseem).
Tentu saja Sufi dinilai di dunia luar dari apa yang dilakukan dan dikatakannya. Ada suatu anggapan bahwa ia adalah seorang jutawan. Para pengamat yang berpikir bahwa ia menjadi seorang jutawan karena cara hidupnya, yaitu Sufisme, mungkin menganggap fenomena itu sebagai proses menjadi seorang jutawan. Namun menurut Sufi, hal itu adalah realisasi batiniah dan evolusi melalui pencapaian batiniahnya. Uang mungkin merupakan suatu refleksi lahiriah, namun sangat tidak berarti dibandingkan pengalaman-pengalaman Sufi. Hal ini bukan berarti, sebagaimana diasumsikan banyak orang bahwa ia adalah seorang jutawan yang telah dipengaruhi mistisisme, dan bahwa uang tidak berarti baginya. Perkembangan sedemikian rupa tidak mungkin bagi Sufi, karena materi dan metafisika berkaitan dalam suatu kondisi terbaik yang dipandang sebagai suatu rangkaian. Ia mungkin menjadi jutawan yang tidak saja kaya materi, namun jiwanya tetap utuh. Banyak orang merasa kesulitan untuk memahami fakta sangat penting yang hanya digunakan untuk berbagai kepentingan oleh mereka.
Dalam praktek populer, sejak dari Calcutta sampai California, orang biasa akan bisa mencapai puncak pemahaman filosofis dengan mengatakan berulangkali kata bijak kepada dirinya sendiri atau meyakinkan orang lain yang menyadari bahwa "uang bukanlah segalanya" atau "uang tidak mendatangkan kebahagiaan". Fakta ini pun menunjukkan bahwa pikiran tersebut berasal dari asumsi sebelumnya, yaitu bahwa uang bisa digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan transendental. Dalam praktek tidak demikian. Namun filosuf yang bersahaja tidak bisa memahami mengapa demikian. Bagi orang yang tidak punya uang, masalah ekonomi yang paling mendesak hanya bisa diselesaikan dengan uang. Pendeta menasehatinya bahwa uang bukan penyelesaian yang baik. Akibatnya bila ia memperoleh uang, tidak akan merasa puas. Sebenarnya ada tiga faktor yang bisa dipadukan olehnya dengan penjelasan berikut ini.
Psikologi modern telah membuktikan efektivitasnya, misalnya ketika ia menyatakan bahwa keinginan memiliki uang itu muncul dari suatu perasaan tidak aman. Akan tetapi psikologi modern sendiri masih belum sempurna. Secara historis ia masih mengalami pasang surut. Sementara Sufi bertolak dari pandangan dasar yang berbeda. Menurut Sufi, kehidupan ini adalah perjuangan, akan tetapi perjuangan itu harus mempunyai koherensi. Manusia biasanya berjuang menghadapi begitu banyak masalah sekaligus. Bila seseorang yang bingung dan berjiwa labil memiliki uang, menjadi pekerja yang sukses, maka ia akan tetap bingung dan labil.
Psikologi masih mempelajari obyek kajiannya, sementara Sufisme sudah sedemikian lanjut. Sufisme mentransformasi pikiran dari ketidaklogisan alamiah dan dipengaruhi oleh lingkungan, suatu instrumen manusia yang mampu mengangkat martabat dan nasibnya.
Psikologi Freudian dan Jungian yang telah tersebar di Barat tidak mengandung gagasan baru dari sudut pandang Sufi. Argumen seksual Freud itu telah dibahas oleh Syekh Sufi, al-Ghazali, dalam karyanya Kimiyyatus Sa'adah (yang ditulis lebih dari sembilan ratus tahun yang lalu). Karya ini adalah buku standar di kalangan teolog Muslim. Sementara teori arketip Jung bukanlah gagasan orisinalnya, namun telah dibahas oleh guru Sufi, Ibnu Arabi -- hal ini dicatat oleh Profesor Rom Landau dalam The Philosophy of Ibu Arabi (New York, Macmillan, 1959, hlm. 40 dan seterusnya).
Para Sufi dari semua tarekat telah terbiasa mendalami karya al-Ghazali itu dan karya-karya Ibnu Arabi. Oleh karena itu, mereka tidak asing lagi dengan pola-pola dan jangkauan pemikiran yang dianggap modern itu.
Karena beberapa alasan, Sufisme tidak mudah dipelajari melalui psikologi. Alasan paling menarik bagi ilmuwan Barat mungkin karena Sufisme merupakan suatu sistem psikologis yang lebih lanjut dibandingkan sistem psikologis mana pun yang sedang dikembangkan di Barat. Namun Sufisme sama sekali bukan psikologi Timur, ia adalah psikologi manusia. Fakta sederhana ini tidak perlu dijelaskan. Kita cukup menyebutkan pengakuan Jung bahwa psikoanalisis Barat hanya merupakan psikologi pengantar dibandingkan psikologi Timur itu:
"Psikoanalisis sendiri dan batas-batas pemikirannya yang sedang dikembangkan -- tentu saja suatu perkembangan khas Barat -- hanyalah suatu percobaan awal dibandingkan psikologi Timur yang terlupakan itu."10
Sementara itu Jung hanya mengacu pada beberapa bagian dari pemikiran Timur itu. Keutuhan (ajaran Sufi) tidak bisa dipelajari sebagian. Pemula tidak dapat menilai karya pakar dalam bidang apa pun, termasuk Sufisme.
Apa yang disebut pendekatan ilmiah terhadap fenomena manusia dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya hanyalah sebatas pemikiran filosofis. Seperti pemikiran diskursif, ilmu pengetahuan hanya bekerja dalam ruang lingkup yang sesuai dengan praduganya. Hal ini diingatkan oleh Profesor Graves:
"... para ilmuwan berhati-hati dalam mengutarakan berbagai anggapan mereka menurut rumus-rumus matematis yang secara artistik diterapkan pada masalah-masalah tertentu, seperti struktur atom atau temperatur bintang-bintang, sehingga dapat memberikan hasil yang 'mengesankan'. Rumus-rumus itu diterapkan agar bisa dipercaya dan untuk bidang-bidang pemikiran -- meskipun tidak dapat diterapkan dalam bidang-bidang yang berbeda; namun harus ada suatu titik persamaan antara rumus dan kasus ... Suatu hasil yang mengesankan sama dengan suatu bukti nyata dan hanya dapat digugurkan dengan hasil yang lebih mengesankan."11
Disamping ajaran Sufi yang utuh itu tidak bisa dipelajari sebagian, kita juga tidak bisa memungkiri fakta bahwa sesuatu tidak mungkin meliputi seluruh bidang kajiannya sendiri sekaligus. Guru Sufi Pir-i-Do-Sara menyatakan:
"Dapatkah engkau membayangkan bahwa pikiran bisa mengamati dirinya secara menyeluruh -- jika semua bidang pemikiran dimasukkan dalam pengamatan, lalu apa yang akan menjadi obyek pengamatan? Jika semua termasuk yang dipikirkan, lalu siapa yang melakukan pengamatan? Pengamatan terhadap diri penting sepanjang ada suatu diri yang benar-benar berbeda, yaitu bidang di luar diri ..."12
Para Sufi menegaskan bahwa organisme yang biasa disebut Sufisme mempunyai suatu aliran langsung, yaitu pengalaman evolusioner yang menjadi faktor penting dalam semua madzhab mistik. Untuk membuktikan hal ini, ada beberapa hal menarik dalam menelusuri perkembangan gagasan Sufi itu. Bila para Sufi terbukti mempunyai kekuatan penetratif, yaitu suatu kemampuan mempengaruhi pemikiran dan tindakan masyarakat, maka dinamisme inti dari sistem ajaran mereka dapat kita duga. Dengan kata lain apakah ada alasan untuk menduga bahwa aliran Sufi mempunyai kemampuan mempengaruhi pemikiran manusia, katakanlah di Eropa Barat? Sepanjang periode klasik Sufisme yang didokumentasikan secara agak baik, apakah Sufisme telah menembus tabir abad kegelapan, membangkitkan dan mengembangkan masyarakat dengan latar belakang berbeda? Adakah Sufisme organis di masa itu?
Hal ini mengesankan bahwa, sejak masa lalu, para guru Sufi telah menyampaikan tradisi pengetahuan mereka kepada hampir setiap masyarakat. Menurut tradisi Sufi, transmisi pengetahuan itu adalah faktual. Pada masa-masa yang lebih modern, penandasan transmisi itu hanya dapat diselidiki melalui munculnya praktek-praktek Sufi yang nyata dalam berbagai masyarakat yang jauh dari pusat-pusat Sufi Asia. Akan tetapi esensi kegiatan Sufi tidak kelihatan. Sepanjang kita masih berusaha menyelidiki, maka ada jejak-jejak di sana-sini -- seperti jejak radioaktif kadangkala sampai ke dalam aliran darah manusia -- tentang tradisi pengetahuan dan praktek Sufi yang khas dan masih mempertahankan corak lokalnya.
Sebagai contoh, jika Alfonso yang Bijak itu menulis dalam bahasa Arab, hal ini membuktikan ada pengaruh Arab. Demikian pula, jika simbol awal dari sebuah kelompok Sufi konon ditemukan di Irlandia pada abad kesembilan, hal ini menunjukkan suatu lintasan (penyebaran) tradisi pengetahuan Sufi di Barat.
Kita memang telah mengetahui beberapa ciri khas Sufisme, namun kita tidak memperhatikan kebutuhan untuk memahami fakta ungkapan Sufi secara benar. Tentang transmisi ungkapan dengan kata-kata biasa itu, ada keyakinan Sufi lainnya sebagai berikut:
Para Sufi percaya bahwa dengan cara tertentu, kemanusiaan berkembang menuju suatu masa depan, kita semua sedang mengalami proses evolusi tersebut. Organ-organ manusia sekarang merupakan wujud perpaduan fungsi organ-organ khusus (Rumi). Organisme manusia sedang menghasilkan suatu organ kompleks baru untuk memenuhi suatu kebutuhan. Pada tahap melampaui ruang dan waktu, organ-organ kompleks itu menyesuaikan dengan tahap itu. Apa yang dianggap orang pada umumnya sebagai kemampuan telepatik dan propetik, menurut Sufi tidak lebih sebagai perkembangan awal dari organ-organ itu. Perbedaan antara evolusi masa lampau dengan kemampuan evolutif masa kini adalah, masa lampau membutuhkan waktu sekitar sepuluh ribu tahun atau di masa kini kita mungkin telah memasuki evolusi kesadaran. Jadi masa depan kita sangat tergantung pada evolusi kesadaran yang lebih murni. Dalam ungkapan fabel kita, evolusi itu dapat disebut "belajar berenang".
Bagaimana organ-organ itu dikembangkan? Melalui metode Sufi. Bagaimana cara mengetahui perkembangannya? Hanya melalui pengalaman. Dalam sistem Sufi ada sejumlah "jenjang". Pencapaian jenjang-jenjang itu ditandai dengan suatu pengalaman nyata. Manakala pengalaman itu datang, menggerakkan organ dalam persoalan, memberikan kita keringanan akan pendakian kita, dan memberikan kemampuan untuk mencapai jenjang selanjutnya. Pencapaian jenjang-jenjang itu bersifat permanen. Hingga satu dari jenjang-jenjang ini tercapai, gambar yang sangat tajam, seperti yang terjadi, dapat terekspose dan berkembang, namun tidak tetap; dan pengalaman nyata adalah suatu substansi perasaan.
Demikian ini adalah makna dari pengalaman mistik, yang, betapapun, manakala diperturutkan tanpa jalinan harmonis dengan evolusi yang tampak menjadi sesuatu yang sublim -- sebuah sensasi agung, namun tidak ada jaminan apakah manusia akan bahagia atau tidak di masa depan.
Para Sufi percaya bahwa hasil kegiatan Sufistik dan memusatkan perhatian bisa jadi merupakan kekuatan centrifugal atau magnetik. Kekuatan ini mampu menggabungkan kekuatan yang sama di lain tempat. Penggabungan kekuatan-kekuatan itu sinambung dan lestari serta sebagai "kekuatan" misterius, hanya diperoleh atau dimiliki para guru Sufi. Mereka mampu menggali atau membangkitkan kekuatan pancaindera yang tidak berfungsi.
Dalam Sufisme, kemampuan-kemampuan itu bisa dijelaskan dengan istilah-istilah formal. Sebagai landasan, kita perlu mengutip semboyan Sufi, "Dialah yang tidak dikenal," (Rumi).

Tiada ulasan: