FATHULLAH GULLEN (PENGASAS HIZMET
TURKI)
Yang dimaksud dengan "tobat" (al-taubah)
yang akan kita bahas dalam penjelasan sederhana dalam tulisan ini adalah:
Bertawajuh kepada Allah dalam keadaan selalu kusut sembari mengakui semua
kesalahan, meratap dalam penyesalan, dan tekad untuk meninggalkan kesalahan
yang lalu.
Inilah tobat yang dimiliki para Ahli Hakikat (Ahl
al-Haqiqah) berupa: pengerahan segenap usaha untuk mencapai al-muafaqât
dan al-muthâbaqât di bawah bimbingan cahaya perintah serta larangan
Allah s.w.t.., dan penyelamatan diri segala bentuk pelanggaran (al-mukhâlafât)
yang dilakukan di hadapan Zat Allah s.a.w., baik dengan perasaan, pikiran,
imajinasi, maupun perilaku (suluk).
Tobat bukan hanya meninggalkan segala hal yang tidak
disukai oleh hati dan perasaan dengan menghindarinya saja, melainkan juga
dengan kembali kepada Allah s.w.t. dari segala hal yang tidak disukai dan tidak
diridhai-Nya, termasuk hal-hal yang dianggap oleh akal sebagai sesuatu yang
baik dan berguna.
Selain itu, kata "taubah" (tobat)
sering disandingkan dengan kata "nashûh" sehingga menjadi
"taubatan nashûhan" yang berarti "tobat yang benar-benar
tulus" atau "tobat yang benar-benar murni", karena tobat jenis
ini terbit dari kedalaman relung hati. Dalam pengertian lain, "taubatan
nashûhan" adalah: menambal yang retak, merekat yang pecah, dan
membetulkan yang rusak tanpa meninggalkan sedikit pun celah sekecil apapun.
Jika semua pengertian di atas kita rangkum dengan
menggunakan analisa, maka "al-taubah al-nashûh" berarti bahwa
individu bertobat atas namanya sendiri, sesuai tingkatannya, dan tobat itu
muncul dengan tulus dari kedalaman hatinya yang disertai niat yang tulus, hati
yang ikhlas, dan tujuan yang baik.
Seseorang yang melakukan pertobatan sebaik ini dapat
menjadi pemberi nasehat bagi orang lain. Ketika menyebutkan tentang tobat yang
sesungguhnya (al-taubah al-haqîqiyyah), al-Qur`an menunjuk tobat jenis
ini seperti yang difirmankan oleh Allah s.w.t.: "Hai orang-orang yang
beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya (taubatan
nashûhan)." (QS. al-Tahrîm [66]: 8).
Berdasarkan individu yang melakukan tobat dan kondisi
mereka, para pakar telah membagi tobat menjadi tiga bagian sebagai berikut:
a.Tobat orang awam; yaitu mereka yang terhalang dari
hakikat: Adalah perasaan tidak nyaman yang muncul disebabkan pelanggaran
terhadap perintah Allah al-Haqq s.w.t. yang terasa menyusahkan di dalam hati.
Orang yang bersangkutan mengetahui dosanya dengan munculnya persaan tadi di
dalam hatinya, sehingga kemudian ia bergerak ke arah pintu Allah s.w.t. untuk
menyampaikan kata-kata tobat dan kalimat-kalimat istighfar yang dikenal umum.
b.Kembalinya orang-orang khusus (khawash) yang
mulai menyadari hakikat-hakikat yang ada di balik tirai. Pada saat itu mereka
membentangkan sayap-sayap tekad, setelah melakukan berbagai gerakan, suara, dan
pikiran yang menyimpang adab-adab al-hudhûr (kehadiran bersama Allah)
dan al-ma'iyyah (kebersamaan dengan Allah). Tujuannya adalah demi meraih
rahmat Allah al-Haqq s.w.t. serta berlindung di bawah pertolongannya, di
hadapan berbagai kesalahan baik yang kecil maupun yang besar, yang menyesaki
hati dan menutup cakrawala mata batin.
Setiap roh atau jiwa yang mengerahkan kekuatannya
untuk melakukan kerja keras ini akan benar-benar mendapatkan sebuah hakikat
yang dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w. dalam hadits: "Orang yang bertobat
dari suatu dosa sama seperti orang yang tidak berdosa. Jika Allah mencintai
seorang hamba, niscaya si hama tidak akan tertimpa bahaya disebabkan
dosanya." Kemudian beliau merapalkan ayat: "Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang bertobat dan mencintai orang-orang yang menyucikan
diri". Rasulullah lalu ditanya: "Wahai Rasulullah, apakah
gerangan tanda-tanda tobat?" Rasulullah menjawab: "Penyesalan."
c.Tawajuh yang dilakukan kaum khusus di antara yang
khusus (Akhashsh al-Khawash) yang selalu menjalani hidup mereka dalam
cakrawala "Sesungguhnya kedua mataku tidur, tapi hatiku tidak tidur."
Mereka menanggalkan segala hal yang berhubungan dengan semua yang selain Allah
s.w.t. yang menjadi tabir dalam hati mereka, dalam sirr mereka, dan
dalam bagian paling tersembunyi dari diri mereka. Mereka menyingkirkan semua
yang selain Allah dari keadalaman jiwa mereka, dan melemparkannya ke dalam
lembah ketiadaan. Mereka selalu membiasakan diri merasakan hubungan mereka
dengan sang Nur al-Anwâr sembari menunjukkan hakikat dari firman Allah s.w.t.:
"Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (awwâb)."
(Shâd: 44). Mereka selalu berjalan di sekitar poros "al-aub"
Tobat yang merupakan pembaruan yang dilakukan manusia terhadap dirinya
sendiri secara berkesinambungan, atau kembalinya manusia kepada kejernihannya
yang sejati dan kebersejalinannya dengan fitrah dirinya, setelah ia menghadapi
berbagai penyimpangan pada karakter dan kondisi internal yang masing-masing tingkatannya
mencakup beberapa hal di bawah ini:
1-Penyesalan dari kedalaman hati.
2-Mengingat semua kesalahan masa lalu dengan getar
ketakutan.
3-Menghilangkan kezaliman dan mendukung kebenaran.
4-Menunaikan semua kewajiban dan tanggung jawab taklif
seraya menajamkan pandangan pada tanggung jawab lain yang muncul kemudian.
5-Mengisi kekosongan yang terjadi disebabkan
kesalahan-kesalahan dan berbagai kekeliruan yang terjadi di dalam roh dengan
ibadah, ketaatan, dan rangkaian munajat di malam hari.
6-Bagi kalangan al-khawâsh dan akhash
al-khawâsh: Menyesal dan menangisi kehidupan yang berlalu tanpa zikir,
pikir, syukur, ratapan, rintihan, dan gemetar, yang dapat disusupi maksud
selain Allah s.w.t. dalam perasaan dan pikiran.
Sesungguhnya seseorang yang di saat melakukan tobat
tidak meratap atau merasa sakit atas kesalahan -sebesar apapun kesalahan itu-;
tidak menyesali kekeliruan yang terjadi; tidak merasa jijik dan memandang hina
terhadap kesalahan; tidak khawatir bahwa dirinya mungkin akan kembali terjatuh
dari jalan lurus -walau apapun penyebabnya- disebabkan jauhnya dirinya dari
Allah s.w.t.; serta tidak berusaha untuk melepaskan diri dari kesalahan dan
kekeliruan dalam penghambaan untuk Allah (ubûdiyyah lillâh) karena
kepura-puraan yang dilakukannya dalam beribadah...siapapun yang melakukan semua
itu, maka tobatnya adalah dusta!
Tentang "al-nashûh" yang menjadi
simbol tobat sejati, Maulana Jaluddin Rumi menyampaikan syair berikut ini:
"Aku sudah bertobat kepada Allah dengan tobat
sesungguhnya, ketika aku tidak lagi melakukannya sampai roh berpisah dari
jasad. Tidaklah ada yang setelah terjadinya petaka itu, kembali kepada
kebinasaan dan bahaya, selain keledai."
Ya. Tobat memang merupakan sebuah sumpah atau janji
yang mulia. Keteguhan untuk mempertahankan tobat adalah perjuangan yang
berkaitan dengan tekad yang kuat. Siapapun yang menjaga akar tobat dan teguh
berpegang padanya, maka ia memiliki derajat para syuhada. Demikianlah yang
disampaikan oleh sang Sayyidul Awwabin s.a.w..[ Beliau juga menyampaikan bahwa siapapun
yang tidak sepenuhnya membebaskan diri dari dosa dan kesalahan, maka sebanyak
apapun orang itu bertobat, maka sebenarnya dia sedang bergurau di ambang
gerbang yang dituju oleh orang-orang yang bertobat (al-tawwâbûn dan al-awwâbûn)
Ya. Sungguh tidaklah baik jika ada yang berkata
"Aku takut Jahanam", tapi ia tidak menghindari dosa-dosa; atau
berkata "Aku merindukan surga", tapi ia tidak mau beramal saleh; atau
berkata "Aku mencintai Rasulullah s.a.w., tapi ia meremehkan Sunnah
Nabawiyah. Demikian pula halnya menjadi sulit untuk menerima keikhlasan
orang-orang yang selalu melanggar janji dan menghabiskan hidup mereka untuk
melakukan kejahatan. Tobat yang mereka lakukan hanyalah tobat di bibir saja.
Bahkan dapat dikatakan bahwa tobat mereka hanyalah semacam pemberhentian
sejenak dari perbuatan maksiat.
Posisi pertama bagi seorang salik dan maqam
pertama bagi pencari kebenaran adalah "tobat". Sementara maqam
kedua bagi mereka adalah "inabah". Kita selalu menunjukkan
sikap hormat kepada tindakan inabah yang dilakukan para sufi, yang telah
menjadi akar, adab, dan tradisi yang diikuti dalam semua bentuk keikutsertaan
pada mursyid manapun. Oleh sebab itu kami nyatakan:
Sebagaimana halnya di dalam tobat terdapat aktivitas
mengarahkan perasaan, pikiran, dan perilaku dari berbagai penyimpangan ke arah
kepatuhan, dan dari pembangkangan ke arah ketundukan. Di dalam inabah
terkandung muhasabah dan upaya untuk mencari kebutuhan individu yang tepat.
Kalau tobat dapat dianalogikan sebagai pengembaraan di cakrawala
"perjalanan menuju Allah" (al-sair ilallâh), maka inabah
adalah "perjalanan di dalam Allah" (al-sair fillâh), sementara
aubah adalah tangga menuju ketinggian "perjalanan dari Allah" (al-sair
minallâh).
Ketiga jalan ini dapat kita jelaskan sebagai berikut:
1-Tobat adalah: Berlindung kepada Allah karena takut
dari hukuman-Nya;
2-Inabah adalah: Fana di dalam Allah dengan
keinginan untuk menjaga berbagai maqam (al-maqâmât) dan derajat (al-darajât).
3-Aubah adalah: Menutup diri dari semua yang
selain Allah s.w.t..
Jalan pertama: adalah sifat semua mukmin. Semboyan mereka adalah
firman Allah s.w.t.: "Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman supaya
kalian beruntung." (QS. Al-Nûr [24]: 31).
Jalan kedua: adalah sifat para auliya dan kaum al-muqarrabûn,
yaitu orang-orang yang melakukan ibadah berdasarkan prinsip: "Dan kembalilah kalian (anîbû) kepada
Tuhan kalian." (QS. al-Zumar [39]: 54); yang penghujungnya adalah:
"...dan dia datang dengan hati
yang bertaubat." (QS. Qâf [50]: 33).
Jalan ketiga: adalah keistimewaan milik para nabi dan rasul.
Semboyan mereka adalah firman Allah s.w.t.: "Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (awwâb)."
(Shâd: 44). Ini adalah penghargaan dan pemuliaan Ilahiah. Itulah sebabnya
tobat saja tidaklah cukup bagi mereka yang selalu dalam kebersamaan dengan
Allah (ma'iyyatullâh) di setiap saat, di mana pun mereka berada dan
seperti apapun kondisi mereka, selain mereka merasakan perasaan kehadiran Ilahi
meski hanya sesaat. Itulah sebabnya, kita hanya dapat memahami sabda sang
Sayyidul Anam Muhammad Rasulullah s.a.w.: "Demi Allah, sesungguhnya aku
beristighfar kepada Allah dan bertobat kepada-Nya dalam satu hari lebih dari
tujuh puluh kali," dengan menggunakan
perspektif seperti ini.
Dari sisi lain kita dapat melihat bahwa tobat adalah
jalan yang ditempuh oleh mereka yang tidak mengetahui "kedekatan" (al-qurb)
dan "kebersamaan" (al-ma'iyyah), karena orang-orang yang
selalu menjalani hidup mereka di dalam cakrawala al-qurb (kedekatan),
selalu menganggap bahwa tindakan kembali kepada Allah yang Maha-menguasai
setiap aktivitas mereka, Maha-mengawasi segala yang mereka ketahui, dan
sekaligus Maha-dekat kepada mereka dibandingkan apapun juga, merupakan -dalam
pengertian kaum awam- sebuah kealpaan.
Akan tetapi, martabat semacam ini bukanlah martabat
yang dimiliki para ahli Wihdah al-Wujûd, melainkan milik para ahli Wihdah
al-Syuhûd. Bahkan martabat ini lebih tinggi dari keduanya, sebab martabat
ini adalah milik mereka yang berjalan di bawah naungan misykat dan
Sunnah Muhammad s.a.w..
Dari sini, orang-orang yang belum mampu mencapai
martabat ini akan mengucapkan berbagai kata-kata ekstase yang tidak jelas.
Mereka itulah orang-orang yang tenggelam dalam "semesta" (al-thabî'ah)
dan "hilang" dalam entitas (al-wujûd). Zikir mereka adalah
"al-aub" dan "al-inabah", terlebih di
penghujung dari maqam-maqam ini.
Wahai Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang
beriman, bertobat, berbuat saleh, sesungguhnya Egkau Mahamengampun dan
Mahapenyayang. Limpahkanlah selawat dan salam kepada Muhammad, Sayyid
al-Mursalin dan kepada segenap keluarga serta sahabat beliau semuanya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan