FATHULLAH GULLEN (PENGASAS
HIZMET TURKI)
"Sufi" adalah sebuah ungkapan yang
disematkan kepada para ahli tasawuf. Saya yakin bahwa perbedaan pendapat dalam
penggunaan istilah ini muncul dari asal kata ini sendiri. Ada yang mengatakan
bahwa kata ini berasal dari kata "shûf", tapi ada pula yang
menyatakan bahwa kata ini berasal dari kata "sophos", atau
"shafâ`", atau "shafwah". Semua itu dipakai
sebagai kiasan atas semangat keberagamaan yang kemudian membuat mereka
menggunakan kata "sufi" (shûfi). Selain itu ada pula yang
mengklaim bahwa kata ini berasal dari kata "sûfân", "saufânah",
atau "shuffah".
Adapun pendapat yang masyhur di kalangan para ahli
tasawuf adalah sebagai berikut:
Sufi berarti: Penempuh jalan menuju al-Haqq (al-sâlik
ilâ al-haqq) yang mencapai tingkat kesucian pada kehidupan kalbu dan pada
dimensi internalnya.
Sufi berarti: Manusia al-Haqq (rajul al-haqq)
yang sama sekali tidak memiliki klaim atas apapun, karena dia selalu
mengutamakan Allah al-Haqq s.w.t. berdasarkan ikhtiyarnya sendiri dan upayanya
untuk menjernihkan dirinya dengan cara membersihkannya dair kotoran nafsu
sampai akhirnya ia berhasil.
Sufi berarti: Penempuh jalan Hakikat Muhammadiyah (sâlik
tharîq al-haqîqah al-ahmadiyyah) yang mengenakan pakaian berbahan wol (shûf)
yang menjadi simbol penafian dunia, sikap tawaduk (rendah hati), ketenangan
hati, dan ketenteraman nurani. Ia selalu mencintai kecintaan kepada Tuhan (hubb
al-mahabbah); tidak pernah mengenyampingkan cinta kepada Tuhan dan tidak
pernah mengenyampingkan para pecinta Tuhan; dan ia tidak pernah peduli kepada
dunia yang ada di hadapannya serta tidak pernah menghadapkan wajah kepada
hasrat duniawi.
Kebiasaan para sufi mengenakan kain wol (shûf),
serta penisbahan mereka kepada jenis kain ini terjadi disebabkan kain wol
memang mampu menampilkan kondisi dan tingkatan mereka. Selain itu juga karena
kain wol merupakan pakaian para anbiya, para pengikut mereka, dan juga pakaian
orang-orang yang membaktikan jiwa mereka hanya untuk beribadah.[1] Jadi, kalau memang
benar kain wol (shûf) adalah jenis kain yang biasa dikenakan oleh para
nabi dan para sahabat mereka, maka kata "sufi" (shûfi) memang
benar-benar berasal dari kata "al-shûf" yang berarti
"wol".
Sufi berarti: Para ksatria garis depan dalam
perjalanan mendaki menuju puncak kemanusiaan yang sesungguhnya; kemanusiaan
yang terhindar dari kotoran nafsu, memahami fitrah sejatinya, dan bersih dari
berbagai noda kemanusiaan, sehingga membuat mereka berhasil bangkit sebagai
kaki tangan Tuhan yang berjiwa suci dan berhati bersih.
Sufi adalah nama ideal bagi para Manusia Hati (rajul
al-qalb) yang telah bersumpah untuk mencurahkan hidupnya dan mengerahkan
segenap kemampuannya untuk dapat menyerupai para Ahlu Shuffah demi mewujudkan
gelar agung mereka bagi dirinya.
Ada yang menyatakan bahwa kata "sufi" (al-shûfi)
berasal dari kata "al-shaff" (saf). Dengan tetap memperhatikan
adanya pelanggaran terhadap aturan derifasi kata dalam Bahasa Arab, namun
ketelatenan mereka untuk selalu menunaikan ibadah dengan khusyuk tunduk di
hadapan Allah al-Haqq s.w.t. telah memancing kita untuk memikirkan kemungkinan
menerima pendapat ini meski terdapat kerancuan dalam penggunaan tata bahasa. Alasannya
adalah karena besarnya tekad para sufi serta keteguhan hati mereka yang selalu
bertawajjuh kepada Allah telah menjelaskan bahwa mereka memang layak disebut
seperti ini, meski terdapat kesalahan dalam aturan derivasi kata.
Sebagian orang berpendapat bahwa kata "sufi"
berasal dari kata "shophos" dalam Bahasa Yunani, atau berasal
dari kata "sophia" dalam Bahasa Yunani Kuno yang berarti
"kebijaksanaan". Tapi saya yakin bahwa pendapat ini adalah hasil
rekayasa orang-orang asing, meski sebenarnya sebagian besar dari para sufi
memang orang-orang bijak.
Tokoh pertama yang dijuluki "sufi" dalam
sejarah Islam adalah seorang ahli zuhud bernama Abu Hasyim al-Kufi yang wafat
di Baghdad pada tahun 150 hijriyah. Jadi dapat kita katakan bahwa kata
"sufi" baru digunakan pada kurun kedua hijriyah atau sebelum berlalu
dua ratus tahun dari hijrahnya Rasulullah s.a.w.. Ini berarti bahwa penggunaan
kata "sufi" dengan pengertian seperti ini baru muncul setelah masa
para sahabat Rasulullah dan tabiin Ridhwânullâh 'Alaihim Ajma'în.
Tasawuf yang kita kenal sebagai sebuah manhaj melalui
tokoh zuhud Abu Hasyim, yang sejak awal kemunculannya memang telah menjadi
maslak bagi para pemilik kalbu dan roh, selalu berjalan sesuati dengan
nilai-nilai kesederhanaan dan kerendahan hati yang terdapat dalam kehidupan
Rasulullah s.a.w. dan para sahabat beliau yang mulia. Selain itu ia juga selalu
mengambil posisi yang tegas terhadap dunia yang berhadapan dengan jiwanya,
dengan keterkaitan yang sangat erat dengan berbagai hal yang akan terjadi
setelah kematian. Atas dasar ini, maka "tasawuf" selalu menjadi
penuntun bagi kehidupan rohani manusia.
Jika ditinjau dari titik awal keberangkatannya, tujuan
yang hendak dicapai tasawuf adalah: menghubungkan hati dengan al-Haqq Allah
s.w.t. serta membakar hati dengan api cinta dan mahabbah. Di sepanjang sejarah,
para sufi sejati telah menyenandungkan "akhlak baik" dan
"adab" sembari berusaha mengikuti jejak para nabi dan rasul 'Alaihim
al-Salâm. Hanya saja pada masa tertentu muncul penyimpangan dan kekeliruan
yang memang nyaris tidak dapat dihindari oleh jalan hidup yang seperti apapun
juga. Tapi sangatlah tidak adil jika kemudian kita hanya berkonsentrasi pada
penyimpangan-penyimpangan itu serta mengecam jalan ini yang justru telah
menjadi jalan orang-orang yang memiliki hati yang bersih.
Imam Qusyairi menyampaikan sebuah pernyataan singkat
dalam penjelasannya tentang para sufi yang menempuh jalan tasauf dalam
kehidupan rohaniah mereka: "Sesungguhnya sepeninggal Rasulullah s.a.w.
semua pemuka kaum muslimin dari pada masa itu tidak menggunakan gelar apapun
selain 'Sahabat Rasulullah s.a.w.'; yang tidak ada keutamaan lagi melebihi
gelar itu, sehingga mereka pun disebut dengan gelar 'Sahabat'. Gelar ini
sama sekali tidak ikut dimiliki oleh siapapun juga yang hidup di luar masa itu.
Ketika masa kedua tiba, kaum muslimin yang bersahabat dengan para sahabat
disebut dengan gelar 'tabi'in', dan mereka menganggap bahwa gelar itu
adalah gelar yang paling mulia. Generasi muslim yang muncul setelah masa itu
kemudian disebut dengan gelar 'tabi'i al-tabi'in'."
Seiring dengan habisnya ketiga generasi mulia ini,
serta munculnya berbagai fitnah pada masa itu, tampillah para ahli fikih dalam
bidang fikih, para muhaddits dalam bidang hadits, dan para mutakallim dalam
bidang akidah, yang mereka semua melakukan berbagai aktivitas mulia,
sebagaimana pula halnya pada masa itu para sufi melahirkan berbagai pembaruan
penting dalam bidang spiritualitas Islam (jihah al-Islâm al-rûhâniyyah).
Di sepanjang hidup mereka, para sufi selalu menerapkan
gaya hidup yang sangat istikamah dan amat sederhana. Mereka terbebas dari
segala bentuk penyimpangan dan kerusakan, serta menjadi manusia-manusia paling
jauh dari hasrat jasmani dan syahwat fisik. Mereka selalu membuat diri mereka
agar mampu menjalani kehidupan di dalam keluhuran untuk ibadah, zuhud, dan
kefakiran. Mereka selalu berusaha menyerupai Rasulullah s.a.w. dan para
pembesar Islam yang mulia. Itulah sebabnya dengan kejernihan hidup yang mereka
jalani itu, para sufi tidak dapat dianggap sebagai orang-orang yang meneruskan
tradisi para filsuf dan kaum bijak kuno, atau dikatakan bahwa mereka memiliki
afiliasi dengan peribadatan kaum Nasrani, dengan para Yogi, atau bahwa mereka
adalah penganut gaya hidup para fakir dalam Hinduisme; sebagaimana mereka juga
tidak merepresentasikan para pemain akrobat yang hidup di masa kini yang tidak
mengenal rasa takut kepada Allah s.w.t..
Pada hakikatnya, jika ditilik dari titik awal
kemunculan dan orang-orang yang mempraktikkannya, tasawuf dapat dianggap
sebagai: Ilmu hakikat hati ('Ilm haqîqah al-qalb), ilmu hal-hal yang di
balik entitas (metafisika), atau ilmu tentang berbagai rahasia yang ada di
dalam entitas. Sufi adalah murid dari ilmu ini serta sekaligus menjadi ksatria
di medan perjuangannya untuk mencapai ujung jalan ini. Sufi selalu berjalan di
sepanjang hidupnya menuju kaki langit paling ideal bagi setiap manusia, yaitu
sesuatu yang disebut "Insan Kamil" (Manusia Paripurna). Ya.
Perjalanan ini memang sebuah perjalanan tanpa akhir, karena ia memiliki tujuan
yang tidak ada akhirnya. Ini adalah perjalanan berkesinambungan yang dilakukan
dengan tekad yang tak pernah padam, serta tanpa pernah menoleh sedikit pun
kepada yang lain. Inilah tasawuf yang sejati. Sufi adalah pejuang hebat yang
mengimplementasikan semua itu.
Jika kita melihat masalah ini dari sudut pandang ini,
maka akan tampak jelas di hadapan kita bahwa sufi sama sekali tidak memiliki
hubungan dengan para filsuf dan kaum rohaniwan Nasrani atau pun para yogi.
Demikian pula halnya tasawuf sama sekali tidak memiliki hubungan dengan
filsafat atau pun spiritualisme Nasrani atau pun Hindu, dari segi apapun.
Ya. Adalah benar jika dikatakan bahwa filasafat Yunani
dan Hindu memang juga menempuh jalan penyucian jiwa sejak masa sebelum
kemunculan Islam. Para yogi dan pendeta juga banyak melakukan hal-hal yang
mirip dengan yang dilakukan oleh para sufi. Akan tetapi, kedua jalan ini sama
sekali berbeda baik jika dilihat dari segi akarnya maupun jika dilihat dari
segi dasarnya. Kesimpulan ini dapat diketahui karena para sufi selalu
melaksanakan penyucian jiwa dengan berpegang pada dasar-dasar zikir, ibadah,
ketaatan, introspeksi (muhasabah al-nafs), tawaduk, dan penafian diri.
Selain itu mereka juga selalu berupaya mengikuti garis pedoman ini hingga akhir
hayat. Sedangkan penyucian jiwa yang dilakukan oleh para filsuf -kalau memang
itu dapat disebut sebagai "penyucian"-, maka yang mereka lakukan
adalah penyucian tanpa dasar yang di dalamnya sama sekali tidak terdapat
nilai-nilai ibadah, ketaatan, muraqabah, tawaduk, atau pun penafian
diri. Alih-alih, semua yang mereka lakukan selalu berisi kealpaan dan pemujaan
ego yang mencapai tingkat memalukan dan dungu.
Kaum sufi terbagi menjadi dua golongan utama, yaitu:
Pertama: Para sufi yang berangkat dari keilmuan untuk
menggapai sayap-sayap makrifat.
Kedua: Para sufi yang menempuh jalan suluk hanya demi
mencari rasa(dzauq), ekstase (wajd), dan penyingkapan (kasyf).
Golongan pertama: Mereka selalu berkerumun di puncak
spiritual dengan "Lâ haula wa lâ quwwata illâ billâh" (Tidak
ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali hanya pada Allah). Mereka menghabiskan
hidup mereka mengguanakan sayap-sayap ilmu dan makrifat dalam sebuah perjalanan
yang tiada akhirnya, dalam cakrawala "perjalanan ilallâh",
"perjalanan fillâh", dan "perjalanan 'anillâh".
Bagi mereka, segala yang mereka saksikan dalam bentuk siklus, perubahan, dan
pembentukan di tengah segenap entitas, memberi mereka ratusan pesan yang
berasal dari hadrah Kekuasaan dan Kehendak Allah s.w.t., dan setiap kejadian
selalu membisikkan berbagai bentuk senandung yang beragam dengan berbagai lisan
yang berbeda-beda.
Adapun golongan yang kedua: Mereka
selalu mencari kasyf (penyingkapan), karamah, dzauq (rasa), wajd
(ekstase), dan tawajud (mengundang ekstase)
Itulah sebabnya mereka dapat menghidupkan
"kejauhan" (al-bu'd) di dalam wilayah "kedekatan" (al-qurb),
karena terkadang mereka melupakan tujuan, meski mereka selalu serius dalam
menempuh perjalanan, suluk, dan kezuhudan.
Jalan pertama: merupakan jalan para pemilik al-Wilâyah al-Kubrâ
(Kewalian Agung) yang selalu berjalan di bawah naungan al-Qur`an yang mulia.
Jalan kedua: terkadang di dalamnya muncul bentuk-bentuk
keinginan, perasaan, dan pencarian tertentu, meski pada dasarnya pusat orbitnya
tetaplah al-Qur`an dan Sunnah Nabawiyah. Itulah sebabnya jalan ini lebih tidak
aman dibandingkan jalan yang pertama.
Selain itu, para sufi biasa membagi manusia
antarsesama mereka menjadi tiga golongan, yaitu:
*Golongan pertama: mereka adalah orang-orang yang
disebut "al-Kâmilûn wa al-Wâshilûn" (Orang-orang peripurna dan
Orang-orang yang sudah sampai). Golongan pertama ini kembali membagi golongan
mereka menjadi dua golongan lagi, yaitu:
Pertama: Para nabi agung dan rasul-rasul yang mulia 'Alaihim
al-Salâm.
Kedua: Para manusia paripurna yang telah mencapai al-Haqq
Allah s.w.t. dengan keteguhan mereka mengikuti jejak para nabi dan rasul.
Mereka inilah orang-orang yang paling berhasil menginterpretasikan sosok
"Insan Kamil" (Manusia Paripurna) disebabkan ketinggian kualitas
persiapan yang mereka lakukan. Akan tetapi, meski sebagian dari mereka telah
mencapai keparipurnaan dalam diri mereka sendiri, terkadang orang-orang ini
tidak menjadi mursyid bagi orang lain. Bahkan ada dari orang-orang yang sudah
sampai (al-wâshilûn) ini yang tidak mampu menyelamatkan diri dari
gelombang lautan al-jam' (kebersatuan) dan al-hairah
(keterhenyakan). Yang terakhir ini akan terus berada pada kondisi ini dengan
menggunakan perasaan dan pikiran mereka. Itulah sebabnya, hubungan dirinya
dengan menjadi terputus sepenuhnya dari Alam Nasut (tabiat-tabiat manusia) dan
tidak mampu melakukan bimbingan (irsyad) terhadap orang lain.
*Golongan kedua: mereka adalah orang-orang yang disebut "al-Sâlik"
(penempuh jalan suluk). Mereka juga terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
Pertama: Mereka yang hanya mengejar Allah s.w.t. semata tanpa
memikirkan dunia dan akhirat.
Kedua: Mereka yang mengejar dunia -dengan cara yang sesuai
syariat- dan sekaligus mengejar akhira dan surga. Mereka inilah para ahli
zuhud, ahli ibadah, dan orang-orang yang merasa fakir kepada Allah.
*Golongan ketiga: Mereka adalah orang-orang yang
pandangannya hanya tertuju pada dunia. Para sufi menyebut orang-orang ini
dengan sebutan "al-Muqîmûn". Mereka inilah golongan yang
jahat, sengsara, "golongan kiri", yang tidak pernah mau melihat,
mendengar, dan memahami apapun.
Ada pula pendapat yang menyebut ketiga golongan ini
dengan sebutan sebagai berikut:
"Al-Muqarrabûn" (orang-orang yang
didekatkan) untuk golongan pertama; "Ashhâb al-Yamîn"
(golongan kanan) untuk golongan kedua; dan "Ashhâb al-Syimâl"
(golongan kiri) untuk golongan ketiga.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan