FATHULLAH GULLEN (PENGASAS HIZMET
TURKI)
Menurut pandangan sejarah ilmu-ilmu Islam, berbagai
hukum syariat belum ditulis pada masa awal kelahiran agama ini. Pada saat itu
kebanyakan kaum muslim menghapalkan berbagai bagian dari hukum-hukum syariat di
dalam benak mereka saja, dan terus tersemat kuat di dalam pikiran mereka,
sebagai bentuk akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu terus diulang dan
diperkuat dengan praktik dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Dari
perspektif ini, pengumpulan dan pencatatan hukum syariat tidak menemukan
kesulitan yang berarti; sebab upaya semacam itu tidak lebih dari sekedar
mengalihkan berbagai hal yang diingat dalam benak kita ke dalam catatan-catatan
di atas lembaran kertas.
Dari sisi lain, berbagai cabang ilmu sengaja
disebutkan di sini karena ia merupakan masalah-masalah nyata dalam kehidupan
yang pasti dialami setiap muslim. Para ulama memiliki prioritas atas berbagai
realitas yang tersimpan di dalam benak dan hati mereka untuk kemudian mereka
menulis berbagai risalah dan buku-buku yang berhubungan dengan setiap masalah.
Para ahli fikih sibuk menulis buku-buku fikih, para ahli hadits sibuk menulis
dan menghapal Sunnah, para ulama Ilmu Kalam sibuk membahas berbagai masalah
akidah, sementara para mufassir sibuk menyusun buku-buku tafsir dan ilmu-ilmu
al-Qur`an. Setiap mereka mengerahkan segenap kemampuan mereka pada bidang
masing-masing hingga melampaui cakrawala tertinggi untuk menunjukkan hakikat
Islam yang luhur tanpa pernah membiarkan ada ruang bagi munculnya
ketidakjelasan.
Di tengah semua itu, para sufi juga berkonsentrasi
-mereka adalah orang-orang yang selalu memberi perhatian besar terhadap aspek
spiritual dari al-Haqîqah al-Muhammadiyyah- mereka selalu berkonsentrasi
-dengan mengandalkan sumber-sumber yang sama- kepada berbagai hal yang
berhubungan dengan tasawuf, seperti jati diri manusia, dasar kehidupan dan
segala yang ada di baliknya, esensi serta hakikat manusia dan alam semesta, dan
berbagai masalah lainnya, sembari berusaha untuk menuntun perhatian semua
manusia ke arah segala yang ada di balik semua entitas.
Para sufi itu lalu menambahkan riyadhah
pribadi, kehidupan spiritual, penjernihan hati, dan penyucian jiwa yang mereka
lakukan, ke dalam penafsiran para mufassir, riwayat para muhaddits, dan ijtihad
serta istinbâth para mujtahidin. Singkatnya, mereka mengembangkan
berbagai aliran dan jalan tasawuf dengan memahami agama secara komprehensif
serta tidak terpisah-pisah. Di samping mereka juga senantiasa hidup, merasa,
dan memahami agama dengan baik.
Demikianlah kehidupan spiritual Islam mendapatkan
landasan ilmiahnya. Itulah kehidupan yang disandarkan pada landasan praktik
yang berkaitan langsung dengan kondisi hati, seperti zuhudnya para ahli zuhud,
ibadahnya para ahli ibadah, kepekaan spiritualnya para ahli warak, kelembutan
perasaan orang-orang yang ikhlas, cinta dan kerinduan para pecinta, dan
ketajaman pandangan orang-orang fakir yang menyadari kelemahan serta kefakiran
mereka di hadapan Allah.
Dari sinilah kemudian muncul suatu ilmu yang disebut
dengan istilah "Ilmu Tasawuf" dengan segala ciri khas yang
dimilikinya dalam bentuk manhaj, maslak (jalan), masyrab
(sumber), maudhu' (subjek), kaidah-kaidah, dan istilah-istilah. Jadi
tidak diragukan lagi bahwa landasan Ilmu Tasawuf adalah inti-sari dan sari-pati
dari al-Haqîqah al-Muhammadiyyah, meski kemudian muncul beberapa
ketidak-samaan dan perbedaan di sana-sini di masa sekarang.
Namun merupakan sebuah fakta bahwa pada masa tertentu,
ada sebagian ahli tasawuf yang mengira bahwa syariat yang mulia -yang merupakan
satu entitas dengan dua wajah- memiliki perbedaan antara hukum-hukumnya (yang
tampak) dari rohnya (yang tersembunyi), seperti dalam muraqabah, riyadhah,
dan mujahadah. Masing-masing dari kedua sisi ini memiliki posisi yang
saling berlawanan antarsatu sama lain, disebabkan adanya dugaan bahwa yang satu
melekat pada aspek lahiriah dari syariat, sedangkan yang lain melekat pada
aspek batiniah dari syariat. Pada hakikatnya, penyebab munculnya perbedaan ini
-hingga batas tertentu- adalah karena para ahli fikih dan para pembuat fatwa
merepresentasikan aspek teoretik dari syariat, sementara para sufi
merepresentasikan aspek batiniah dari syariat. Padahal perbedaan ini dapat
dianalisa dari perspektif bahwasannya masing-masing sisi memberikan satu jalan
(al-maslak) yang cocok baginya.
Para ahli fikih, ahli hadits, dan para mufassir telah
merujuk kepada al-Qur`an dan Sunnah di bawah naungan berbagai landasan dan
kaidah yang menjadi dasar utama pada masa kerasulan yang cemerlang. Mereka lalu
melahirkan jejak-jejak agung pada bidang mereka masing-masing. Sebagaimana pula
halnya para sufi juga merujuk kepada al-Qur`an dan Sunnah, telah menunjukkan
berbagai ijtihad mereka dalam pelbagai masalah yang mereka gali dari kedua
sumber utama ini, yang berhubungan dengan riyadhah, mujahadah, muraqabah,
hal, dan maqam. Selain itu mereka juga menuliskan kehidupan spiritual
mereka beserta 'isyq, syauq, isytiyâq, wajd, jadzbah,
dan injidzâb yang mereka alami, sembari berusaha menuntun siapapun yang
terlalu menekankan aspek lahiriah menuju arah ini.
Pada hakikatnya, tujuan masing-masing kelompok yang
berbeda ini adalah mencapai Allah dengan mematuhi semua perintah dan
larangan-Nya. Akan tetapi, ketiadaan tolok ukur yang dapat digunakan untuk
menakar jalan ke arah itu sesuai aturan syariat terkadang menyebabkan munculnya
sikap ifrâthdan tafrîth; yang kemudian menjadi biang keladi
munculnya begitu banyak perselisihan di masa kini. Padahal, sama sekali tidak
ada pencetus perbedaan pada dasar dan sumber agama, sebagaimana halnya
penulisan berbagai bagian dari agama secara terpisah tidak dapat disebut
sebagai perselisihan. Demikian pula tidaklah dapat disebut sebagai perselisihan
ketika fikih berkonsentrasi pada hukum-hukum ibadah dan muamalat, serta pengaturan
pikiran dan amal manusia; sementara tasawuf berkonsentrasi pada upaya untuk
mengangkat harkat hidup manusia menuju tataran hati dan roh melalui jalan
tarbiyah rohani (tarbiyah al-rûh), penjernihan hati (tashfiyah
al-qalb), dan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs). Kalau itu terwujud,
maka tidak akan ada perselisihan atau pun perpecahan. Alih-alih, kedua elemen
ini justru masing-masing akan menjaga satu elemen penting dari syariat, karena
tiap-tiap elemen sebenarnya setara dengan syariat secara keseluruhan. Elemen
parsial itulah yang menginterpretasikan seluruh syariat, karena kesempurnaan
syariat bergantung sepenuhnya pada kesempurnaan seluruh elemen tersebut.
Semua itu dapat terjadi karena salah satu elemen
tersebut mengajarkan kepada manusia tentang bagaimana cara bersuci sebelum
beribadah, tata-cara melaksanakan shalat, aturan puasa, aturan zakat, dan apa
saja yang menjadi landasan dalam bermuamalat. Sedangkan elemen yang lain,
menegaskan perhatian terhadap hubungan antarsemua jenis ibadah, ketaatan, dan muamalat,
dengan hati dan roh, sehingga elemen ini membahas tentang jalan peningkatan
manusia dari sosok manusia "penampilan" menjadi manusia
"kepribadian" atau "konsepsi". Selain itu elemen yang satu
ini juga mendorong manusia ke arah jalan yang akan membentuk mereka menjadi
Insan Kamil (Manusia Paripurna). Berdasarkan semua ini, maka kita memang sama
sekali tidak dapat menafikan salah satu di antara kedua elemen ini.
Akan tetapi, meski segelintir sufi yang kurang
berpengetahuan telah melampaui batas dengan menyebut orang-orang yang bergelut
dengan fikih dan Sunnah dengan sebutan "Arbâb al-Zhâhir" (Para
Pemilik Lahiriah) atau "Ulamâ` al-Rusûm" (Para Ulama
Penampilan), namun para sufi yang berpengetahuan lengkap selalu menggunakan
kaidah-kadiah syariat dasar sebagai sumber rujukan mereka. Berbagai pemikiran
dan pendapat yang mereka kemukakan baik berupa landasan maupun manhaj,
selalu sesuai dengan al-Kitab dan Sunnah. Mereka merajut semua itu dengan
sangat cermat berdasarkan syariat yang mulia. Buku-buku seperti al-Washâyâ
dan al-Ri'âyah karya al-Muhasibi, al-Ta'arruf li-Madzhab Ahl
al-Tashawwuf karya al-Kalabadzi, al-Lumma' karya al-Thusi, Qût
al-Qulûb karya Abu Thalib al-Makki, dan al-Risâlah karya
al-Qursyairi, merupakan sebagian kecil dari permata-permata yang lahir dari
aktivitas ini.
Sebagaimana halnya di antara untaian permata ini
terdapat beberapa karya tulis yang dibuat dengan pola yang sama seperti
muhasabah dan penyucian jiwa, terdapat pula sejumlah besar karya tulis lain
yang berisi berbagai macam topik yang beragam.
Terakhir, setelah munculnya berbagai tulisan hebat
yang tak ternilai harganya itu, tampillah sang Hujjah al-Islam Imam
Ghazali yang kemudian menulis bukunya yang luar biasa yang berjudul Ihyâ`
'Ulûm al-Dîn setelah sebelumnya ia terlebih dulu mengoreksi banyak jalan
tasawuf dengan segala adab-adab, rukun-rukun, dan istilah-istilahnya. Ia
mengukuhkan hal-hal yang diakui oleh para masyayikh, dan mengkritik hal-hal
yang perlu dikritik. Al-Ghazali lalu mempertemukan kembali antara kedua aliran penuh
berkah (fikih dan tasawuf, penj-) yang seakan-akan saling bertentangan
ini, dan kemudian memadukan keduanya dengan sangat baik.
Setelah kemunculan al-Ghazali, banyak sufi yang
menemukan bahwa ilmu mereka adalah salah satu bentuk serta menjadi bagian di
antara ilmu-ilmu syariat. Maka terciptalah persatuan dan kerja-sama di
mana-mana, sampai-sampai mereka juga berdamai dan bersatu dengan orang-orang
yang menyebut mereka -sampai saat itu- dengan julukan "Ulama
Penampilan" (al-'Ulamâ` al-Rusûm) dengan maksud meremehkan mereka.
Khususnya ketika mereka berhasil membawa berbagai penjelasan yang terdapat di
dalam ilmu tasawuf ke dalam ranah fikih, seperti misalnya berbagai realitas
hati dan perasaan, dan seperti ilmu tentang hal ('Ilm al-Hâl), ilmu
tentang bersitan hati ('Ilm al-Khâthir), ilmu tentang keyakinan ('Ilm
al-Yaqîn), ilmu ikhlas ('Ilm al-Ikhlâsh), dan ilmu akhlak ('Ilm
al-Akhlâq). Mereka menemukan titik-titik kesamaan yang sangat banyak yang
menghantarkan mereka kepada kesatuan dan kesepahaman. Itu terjadi baik di
kalangan ahli tasawuf maupun di antara para "ulama lahiriah".
Demikianlah, karena tasawuf adalah jalan menuju ibadah
yang pusat konsentrasinya adalah batin, dan selalu bergelut dengan aspek
rohaniah dari hukum-hukum syariat serta pengaruhnya terhadap hati, berikut
kedalaman yang terdapat di dalam kalbu. Maka dibandingkan dengan jalan (maslak)
yang lain, tasawuf adalah jalan yang paling dalam, bersifat ladunniyah,
paling jauh jangkauannya, dan paling sukar dipahami. Tapi meski demikian, tasawuf
tetap memiliki tujuan dan sekaligus titik awal yang berasal dari al-Kitab dan
Sunnah serta tidak pernah menafikan semua jalan lain yang di dalam Islam.
Bahkan sebagaimana halnya ilmu-ilmu syariat yang lain, tasawuf juga menegaskan
esensi dari ilmu, makrifat, keyakinan, keikhlasan, ihsan, dan berbagai realitas
lainnya, dengan mengandalkan sepenuhnya pada al-Kitab, Sunnah, dan berbagai
ijtihad lurus yang dilakukan oleh para al-Salaf al-Shalih.
Adanya identifikasi terhadap tasawuf melalui berbagai
nama berbeda yang disematkan padanya seperti Ilmu Batin ('Ilm al-Bâthin),
Ilmu Rahasia-rahasia ('Ilm al-Asrâr), Ilmu Hal dan Maqam ('Ilm
al-Ahwâl wa al-Maqâmât), Ilmu Suluk ('Ilm al-Sulûk), dan Ilmu
Tarekat ('Ilm al-Tharîqah), tidak dapat serta-merta menjadikannya berbeda
dari ilmu-ilmu syariat lainnya. Karena berbagai nama dan predikat itu muncul
dari respon terhadap berbagai semangat dan kondisi beragam dari kehidupan yang
ditegakkan di atas syariat dalam rentang masa yang sangat panjang yang
dipersepsi dengan cara berbeda-beda. Itulah sebabnya, tasawuf kemudian dianggap
sebagai penyimpangan dari kebenaran. Apalagi kemudian muncul kesan bahwa
tasawuf memiliki dasar yang berbeda dari landasan pemikiran dan istinbath
para ahli syariat.
Meski di setiap masa selalu saja ada kalangan sufi
fanatik yang selalu berpegang pada hukum-hukum syariat seperti dari kalangan
ahli fikih, ahli hadits, ahli tafsir, hanya saja para penempuh jalan lurus
selalu lebih banyak diisi oleh orang-orang yang memiliki sikap ifrath
dan tafrith. Atas dasar itu, maka tentu menjadi sebuah kesalahan jika
masalah ini disikapi seolah-olah terdapat kontradiksi serius antara para
pengikut kebenaran dari masing-masing pihak, seperti yang dapat kita lihat dari
beberapa pernyataan dan pemahaman tidak pantas yang dilontarkan sebagian ahli
fikih terhadap para sufi, atau dari beberapa pernyataan dan pemahaman serupa
yang dilontarkan sebagian sufi terhadap para ahli fikih. Kesimpulan ini harus
kita percaya karena jumlah orang-orang yang ikut mengobarkan pertikaian antara
kedua kelompok ini sebenarnya hanya seperti setetes air di tengah lautan jika
dibandingkan dengan mereka yang menempuh jalan toleransi, permaafan, dan
perdamaian.
Sebenarnya semua ini sangatlah wajar, karena rujukan
masing-masing pihak sebenarnya sama. Sebagaimana halnya para ahli fikih selalu
merujuk kepada al-Kitab dan Sunnah dalam urusan hukum-hukum syariat, para sufi
juga selalu menggunakan rujukan yang sama dalam berbagai aktivitas mereka.
Demikianlah, sesungguhnya dasar yang selalu ditegas-tegaskan
oleh para sufi secara terus-menerus sebenarnya tidak banyak berbeda dengan apa
yang terjadi di jalan fikih dan dilakukan para fukaha. Kedua golongan ini
sama-sama menegaskan pentingnya amal saleh dan interaksi yang tulus. Hanya saja
para sufi lebih sering berbicara tentang beberapa topik tertentu seperti
macam-macam perbuatan baik, perbaikan akhlak, dan penyucian jiwa. Karena hanya
dengan penyucian jiwalah hati manusia dapat selalu awas terhadap makrifat
ilahiah. Dengan itulah kemudian manusia dapat bergerak ke arah jalan keikhlasan
dan keridhaan Ilahi, untuk kemudian ia naik ke sebuah tingkatan yang membuatnya
dapat menunaikan semua masalah syariat dengan kesadaran ubidiyah yang mendalam.
Itu dapat terjadi karena ia telah berhasil mencapai satu bentuk
"hati" lain yang jauh lebih dalam dari sekedar sebuah hati biasa,
berhasil menjangkau satu bentuk "irfân" lain yang berada di
balik irfân biasa, dan berhasil memahami satu bentuk "bahasa"
lain yang lebih dalam dibandingkan bahasa biasa.
Ya. Sesungguhnya kemampuan untuk berakhlak dengan
akhlak Ilahiah (al-Akhlâq al-Lâhûtiyyah) hanya dapat terwujud melalui
amal saleh dan akhlak terpuji. Pada saat itu segala tabir akan tersibak dan
segala tirai akan tersingkap melalui jalan mujahadah, khalwat, zikir, dan muraqabah;
sehingga keimanan akan kembali bangkit -dengan kemampuan mengetahui segala yang
ada di balik entitas- yang diperkuat oleh al-dzauq (rasa) dan al-kasyf
(penyingkapan) yang setara dengan keyakinan yang berdasarkan persaksian (yaqîn
syuhûdi).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan