FATHULLAH GULLEN (PENGASAS HIZMET
TURKI)
Yang dimaksud dengan muhasabah, atau
introspeksi dan bertanya kepada diri sendiri adalah: tindakan seorang mukmin
melihat kembali amalnya setiap hari dan setiap saat, baik berupa kebaikan
maupun keburukan, baik berupa kebenaran maupun kesalahan, baik berupa dosa
maupun pahala; kemudian ia meneliti semua itu secara lebih dalam, mensyukuri
kebaikan yang muncul darinya, beristighfar untuk menghilangkan dosa dan
kekeliruan, bertobat, menyesal, serta memperbaiki semua kesalahan dan
kekeliruan yang dilakukannya.
Berdasarkan ini maka muhasabah dapat dianggap sebagai
sebuah tekad dan upaya sungguh-sungguh yang sangat penting bagi aktulisasi jati
diri (al-kainûnah al-dzâtiyyah) manusia.
Dulu, para salaf salih selalu mencatat semua perbuatan
harian serta perkembangan mereka; atau setidaknya mereka selalu mengingat semua
itu dalam benak mereka. Hal semacam ini selalu dilakukan oleh penulis kitab al-Futuhât
al-Makkiyyah (yaitu Muhyiddin Ibnu Arabi, penj-). Para salaf salih
selalu menggunakan dengan sangat cermat hal-hal yang mereka anggap sebagai noda
yang dapat menimbulkan kegelisahan dalam hati. Mereka menggunakan kotoran batin
itu untuk menghadapi badai ketertipuan dan 'ujub yang dapat menyerang diri
mereka di masa mendatang.
Seiring dengan itu, mereka selalu beristighfar atas
semua perbuatan yang mereka anggap sebagai dosa. Mereka tinggal di dalam
karantina untuk menghadapi berbagai macam virus kesalahan dan kekeliruan. Di
ujung perjalanan, mereka merunduk dalam ketundukan untuk bersyukur kepada Allah
s.w.t. atas berbagai kebaikan yang mereka lakukan.
Kita juga dapat mendefinisikan muhasabah sebagai
tindakan seseorang untuk mengetahui berbagai sisi dirinya sendiri. Berupa
sisi-sisi laduniyah yang ia miliki, kedalaman batinnya, dan keluasan jiwanya.
Termasuk pula pengetahuannya atas semua sisi ini. Untuk kemudian ia menganalisa
dan menampilkan kandungan yang ada di dalamnya. Dengan pengertian seperti ini,
maka muhasabah adalah kerja keras spiritual dan proses kelahiran intelektual
dalam rangka menggali nilai-nilai kemanusiaan yang sejati. Selain itu muhasabah
juga merupakan bentuk pengembangan dan perlindungan bagi berbagai perasaan yang
menjadi dasar bagi nilai-nilai tersebut. tidaklah mungkin bagi manusia untuk
dapat menjaga keistikamahan hati kecuali hanya dengan kerja keras dan pemikiran
semacam ini, yang dengan keduanya manusia dapat membedakan antara yang baik dan
yang buruk, yang indah dan yang jelek, yang bermanfaat dan yang
berbahaya, dari segala yang berhubungan dengan hari kemarin, hari sekarang, dan
hari mendatang.
Ya, sesungguhnya evaluasi yang dilakukan seseorang
terhadap kondisinya saat ini, kesiapannya menghadapi masa depan, kemampuan
menghindari berbagai kesalahan yang dilakukannya di masa lalu, penyucian diri
dari semua kesalahan itu dengan perkenan Allah s.w.t., kemampuannya untuk
mengetahui nilai dirinya yang sesungguhnya dengan meneliti dirinya sendiri
untuk masa lalu, masa kini, dan masa depan; dan yang terpenting dari semua itu
adalah pembaruan dimensi internalnya secara berkesinambungan yang menjamin
keberlangsungan hubungannya dengan Allah s.w.t....semua itu tidak akan dapat
terwujud, kecuali hanya dengan melakukan muhasabah terhadap dirinya dengan
cermat dan teliti.
Semua itu terjadi karena elemen diri orang yang
bersangkutan yang berada di luar waktu, serta perasaan-perasaannya yang
menuntun waktu, keduanya berhubungan sangat kuat dengan kehidupan
spiritual-batiniahnya dan dengan kontinuitasnya dalam menyadari segala nikmat
laduniyah yang Allah limpahkan kepadanya.
Demikianlah tampak jelas bahwa seorang muslim tidak
mungkin tidak membutuhkan muhasabah sama sekali, baik dari segi kehidupan
spiritual-batiniahnya maupun dari segi perkemabngan dan kondisinya secara umum.
Pada satu sisi, ia selalu berusaha menghidupkan hal-hal yang ia remehkan di
masa lalu serta berusaha menegakkan segala hal yang hancur di masa sebelumnya
yang ia lalaikan.
Caranya adalah dengan mendengar suara dari kedalaman
relung hatinya, berupa bisikan-bisikan ilahiah yang datang dari dimensi
metafisik (gaib) yang memunculkan harapan dan menggunakan gaya bahasa yang
penuh kasih sayang: "Dan bertobatlah
kalian semua kepada Allah..." (QS. al-Nûr [24]: 31); "Dan
kembalilah kalian (anîbû) kepada Tuhan kalian..." (QS. al-Zumar [39]:
54)... Namun dari sisi lain, Allah menyampaikan beberapa peringatan: "Wahai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)." (QS. al-Hasyr [59]: 18),
yang bunyinya berkelebat bagai petir, tapi sekaligus menyampaikan berita
gembira sebagai rahmat, untuk kemudian memotivasi manusia untuk menelisik serta
mengatur dirinya demi menangkal segala jenis keburukan sesuai kemampuannya.
Maka kemudian ia menjadikan waktu sekarangnya seperti musim semi ketika tanaman
tumbuh subur, dengan selalu menggunakan setiap saat yang ada dengan baik; menggunakan
mata batin dan perasaan yang akan menumbuhkan keimanan. Jika ia menghadapi
gangguan fisik atau guncangan sewaktu-waktu, ia selalu siap setiap saat seperti
para muttaqin yang dada mereka selalu berdegup disebabkan perasaan takut dan
segan kepada Allah, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah s.w.t.: "Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa
bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka
ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya." (QS. Al-A'râf
[7]: 201).
Muhasabah adalah bagaikan lentera di dalam dimensi
internal seorang mukmin. Di samping muhasabah juga seperti sosok penasehat
terpercaya di dalam hati yang dengannya orang yang bersangkutan membedakan
antara kebaikan dengan kejahatan, antara yang bagus dengan yang buruk, dan
antara yang disukai Allah dengan yang tidak disukai-Nya. Bersama penasehat yang
baik itu, serta bimbingan darinya, manusia dapat melewati berbagai rintangan
untuk kemudian mencapai tujuannya tanpa memedulikan aral yang merintanginya.
Ketika berada di dalam keimanan, ubudiyah, taufiq,
kedekatan, dan pencapaian kebahagiaan kekal, muhasabah selalu berputar
mengikuti pertolongan dan rahmat ilahiah. Muhasabah adalah musuh bebuyutan bagi
perasaan terjaminnya keamanan dan rasa frustasi. Ya. Muhasabah selalu terbuka
lebar bagi ketenangan dan ketenteraman, sebagaimana halnya ia selalu berputar
di sekeliling rasa takut (khauf), gundah, dan gelisah.
Di dalam hati yang telah terbenam dalam kekhusyukan
dan selalu terbuka untuk melakukan muhasabah, senantiasa menggema bunyi
sabda Rasulullah s.a.w.: "Kalau saja kalian mengetahui apa yang aku
ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan kalian pasti akan banyak
menangis."[ Sementara
itu di dalam hati di mana terdapat ketenangan yang berpadu dengan perasaan
takut kepada Allah, muncul perasaan remuk dari mereka yang punggungnya seakan
telah bungkuk disebabkan beratnya beban tanggung jawab yang mereka pikul, sampai-sampai
mereka berkata: "Sungguh aku lebih suka seandainya aku menjadi pohon yang
ditebang." Di setiap saat mereka selalu merasakan seolah-olah firman Allah
s.w.t.: "hingga apabila bumi
telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun
telah sempit (pula terasa) oleh mereka," (QS. al-Taubah [9]: 118),
ditujukan terhadap mereka.
Sementara itu, segenap sel yang ada dalam otak mereka
terus mendengungkan firman Allah s.w.t.:
"Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatanmu itu." (QS. al-Baqarah [2]: 284); sehingga membuat lidah
mereka tak henti-hentinya meneriakkan: "Duhai andai saja ibuku tidak
pernah melahirkan aku."
Tidak diragukan lagi bahwa muhasabah dalam bentuk
seperti ini adalah sesuatu hal yang sangat sulit dilakukan. Akan tetapi
siapapun yang tidak melakukan muhasabah dengan taraf seperti ini niscaya tidak
akan dapat menggunakan waktunya dengan baik. Karena ia tidak akan dapat
membedakan antara hari sekarangnya dari hari kemarin, dan hari esoknya dari
hari sekarang. Siapapun yang menyia-nyiakan waktunya, tentu tidak akan pernah
menunjukkan aktivitas dan kapabilitas ukhrawi apapun juga.
Sesungguhnya muhasabah yang dilakukan secara
berkesinambungan dan selalu dievaluasi merupakan sebagian dari kesempurnaan
iman. Setiap individu yang bergerak menuju cakrawala "Insan Kamil",
yang selalu melangkah ke arah ini, tentu selalu memiliki kesadaran penuh atas
kehidupan yang ia jalani, sehingga ia akan melewatkan setiap detik dari umurnya
dalam mujahadah bersama dirinya, sampai-sampai ia juga akan bertanya kepada al-syafrah
(maksudnya: suara hati kecil atau sirr) tentang segala sesuatu yang
terlintas di dalam hatinya, serta akan selalu meminta saran darinya (al-syafrah
atau sirr) tentang setiap pikiran yang muncul dalam otaknya. Ia akan
selalu melakukan pengawasan nafsaniyah -yaitu pengawasan yang dilakukan
oleh jiwanya sendiri-, karena seluruh perbuatannya selalu terbuka bagi godaan
setan, getaran saraf, dan ketajaman sensitivitas.
Bahkan banyak orang yang memperhitungkan dirinya dalam
kemuliaannya yang termulia dan para tahapan yang terbaik. Orang yang melakukan
itu, pasti akan selalu menggerakkan alat rajut yang ada di tangannya untuk
membuat rajutan muhasabah di tengah lembaran kain kehinaan dirinya, yang akan
menuntunnya dengan kondisi spiritual seperti itu untuk menenun kain kehidupan
yang halus.
Demikianlah di setiap perang ia akan membentangkan
semua kekurangan dan kesalahan yang dilakukannya untuk kemudian menelitinya
satu persatu. Sementara di setiap pagi, ia akan menyambut hari barunya dengan
membuka lebar-lebar gerbang dirinya dengan kesadaran kemungkinan munculnya dosa
sembari membuka lembaran baru dengan tekad yang juga baru.
Individu yang memiliki ketulusan, sifat tawaduk, dan
penafian diri semacam ini, setiap kali ia menundukkan kepalanya hingga
menyentuh debu kakinya sembari bersujud dengan penuh kekhusyukan, keremukan
hati, dan kesadaran akan kehinaan dirinya, pasti akan membuat pintu-pintu
langit selalu terbuka untuknya, lalu dikatakan kepadanya: "Kemarilah kau
sahabat. Engkau termasuk orang-orang khusus. Kami telah menyaksikan untukmu
bahwa kau termasuk orang-orang tulus. Inilah tempat orang-orang khusus."
Setiap hari, ia akan mengalami pengembaraan langit yang baru.
Pada hakikatnya, bukankah roh yang merupakan entitas
paling jernih dan paling suci ini memang menjadi objek sumpah Allah dalam
firman-Nya: "dan aku bersumpah
dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)." (QS. al-Qiyâmah
[75]: 2) ?!
Wahai Allah, wahai Zat yang paling penyayang di antara
semua penyayang, selamatkan kami dari kedukaan yang besar. Limpahkanlah selawat
kepada Sayyidina Muhammad sang pemberi syafa'at di Hari Kiamat, dan kepada
segenap keluarga serta sahabat beliau yang mulia.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan