Catatan Popular

Khamis, 5 September 2013

MAKRIFAT SYEIKH SITI JENAR SIRI 2: RAHSIA MENCAPAI DERJAT INSAN KAMIL

Menurut Syekh Siti Jenar, insan kamil atau manusia sempurna adalah mereka yang telah memiliki upaya terus-menerus bagi peningkatan dan pembersihan dirinya, yakni mereka yang telah mampu memisahkan dan melepaskan dirinya dari hal-hal keduniaan. Karena memasuki wilayah kemanunggalan, walaupun dalam interaksi fisik kemanusiaan tidak terlepas sama sekali.

Tujuan pembersihan ini ada dua: pertama, untuk mencapai sifat-sifat Allah. Yakni, bersifat dengan sifat-sifat-Nya yang mulia. Tataran ini mengantarkanpelakunya pada jumbuhing kawula Gusti. Kedua, untuk mencapai Dzat Allah. Yakni, mengenal-Nya melalui ma’rifat dan hakikat yang mengantarkan pelakunya kepada pamoring kawula Gusti.


Pembersihan diri untuk mencapai sifat Allah memerlukan suatu ajaran yang dapat menunjukkan proses pembersihan cermin hati, yakni dengan cara melaksanakan dzikir dan wirid. Terutama tentang asma’ Allah.

Pengertian dzikir dan wirid dalam konteks ini luas. Tidak hanya sekedar dzikir dan wirid dengan bacaan-bacaan tertentu. Dalam hal ini dzikir dan wirid merupakan lelaku rohani yang memasukkan unsur meditasi sebagai bagian terpenting dari ritual rohani tersebut. Sehingga penyebutan dzikir dan wirid otomatis juga memasukkan meditasi di dalamnya.


Lelaku dzikir adalah kunci untuk membuka pintu hati, dan apabila pintu hati telah terbuka, muncullah dari dalamnya pikiran-pikiran yang ‘arif untuk membuka mata hati. Ketika hati telah terbuka, maka akan tampak dan masuklah sifat-sifat Allah melalui mata hati itu, menggugah ketertenggelaman ruh al idhafi kemudian mata hati akan melihat refleksi kasih sayang, kelembutan, keindahan, kebaikan, dan kesempurnaan Allah dalam cermin hati yang bersih dan berkilauan (al-mir’u al-haya’i).


Dzikir akan mengantarkannya kepada nurullah sedangkan seorang mukmin akan melihat dengan nurullah. Dengan daya pancar nurullah itulah seorang mukmin akan menjadi cermin bagi mukmin lainnya. Orang yang berilmu membuat bayangan, tetapi orang ‘arif mengkilaukan cermin hati yang di dalamnya terdapat bayangan hakikat. Apabila mata hati itu bersih berkilauan dan suci, munculah dalam cermin itu berbagai rahasia Allah berupa hakikat yang dicurahkan kepada hati yang bersih berkilauan dan suci.


Apabila cermin hati telah sempurna karena selalu dibersihkan dengan dzikrullah hingga berkilauan, pemilik hati itu akan sampai kepada sifat-sifat Ketuhanan dan mengenal sifat-sifat itu. Hal ini hanya mungkin terjadi bila cermin hati kita telah bersih berkilau.


Sedangkan pembersihan untuk mencapai Dzat Ketuhanan dapat dilakukan dengan cara ber-dzikir dan berkonsentrasi terhadap kalimah tauhid atau kalimah syahadat, dan ini berarti kata kunci dzikir dan wiridnya adalah tentang asma’ Allah.


 

Tidak Harus Asma’ “ALLAH”

Sebutan nama “Allah” menujukkan Dzat Illahi, sedangkan yang lain menunjukkan sifat-sifat-Nya. Oleh karenanya penggunaan nama-nama yang diputuskan sebagai dzikir dan wirid utama seseorang, disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan spiritual seorang sufi. Dalam beberapa tarekat sering para guru memutuskan nama Allah yang berbeda bagi masing-masing muridnya.


Harus pula dipahami meskipun setiap kali salah satu nama Illahi disebutkan, berarti Allah disebutkan melalui seluruh nama-Nya. Syekh Ni’matualiah menyatakan,” Bagi semua nama Allah Dzat adalah Esa. Maka semua nama sebenarnya hanya satu juga”.


Dalam bahasa Syekh Siti Jenar, asma’ Allah biasa berubah menjadi Gusti, Dzat Maulana, Sang Hyang Widhi, Pangeran, Gusti Allah, dan sebagainya. Menurutnya, nama Tuhan adalah buatan manusia. Dimana Dia disebut sesuai dengan bahasa orang yang menyebut-Nya. Apapun sebutan yang diberikan kepada-Nya, tentu sebutan yang terpuji. Oleh karenanya, seruan do’a dan panggilan untuknya juga beraneka ragam, “Ya Tuhan,,,”, “Ya Allah,,,” , juga “duh Gusti,,, “, dan sejenisnya.


Terdapat 12 dzikir asma’ Allah (tiga diantaranya adalah nama Keesaan, tauhid, Allah) yang sangat utama dan sering digunakan dalam berbagai tarekat.

1. laa ilaaha illallaah (Tidak ada Tuhan selain Allah)
2. Ya Allah (nama Dzat Allah)
3. Ya Huwa (nama Allah yang tanzih)
4. Al-Haqq ( Yang Hakiki)
5. Al Hayy (Yang Hidup)
6. Al Qayyuum (Yang Berdiri Sendiri dan kepada-Nya segala makhluk bergantung)
7. Al Qahhaar (Yang Maha Perkasa Yang Mengatasi seteru-seteru-Nya)
8. Al Wahhaab (Yang Memberikan Tanpa Permintaan atau Dituntut)
9. Al Fattaah (Yang Membuka)
10. Al Waahid (Yang Satu)
11. Al Ahad (Yang Esa)
12. Al Shamad (Yang kepada-Nya Segala Sesuatu Bergantung)

Tujuh asma’ paling awal kadang juga disebut sebagai al-asma’ al-ilahi yang mengacu pada tujuh petala langit (sab’ sama’) dan cahaya-cahaya Illahi (an-waar ilaahi).

Hendaknya nama-nama tersebut didzikirkan dengan hati. Sejalan dengan tujuan utama dzikir-nya, yakni mengingatkan diri tentang kebesaran dan kemahaagungan Allah serta menggambarkan arti nama-nama dan sifat-sifat yang ada dalam dzikir. Peran hatipun akan menjadi dominan. Dengan cara ini, mata hati akan melihat nur tauhid (cahaya Keesaan). Apabila nur Dzat Ketuhanan ter-dzahir-kan atau tertajalli, semua sifat kebendaan atau fisik akan hilang musnah. Semua yang ada menjadi kosong belaka. Inilah kesadaran dimana semua perkara menjadi fana’. Tajalli atau pen-dzahir-an nur Ketuhanan ini memadamkan semua cahaya yang lain. “Setiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah,” (QS Al-Qashash/28:88). “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki, dan menetapkan apa yang Dia kehendaki,” (QS Al-Ra’d/13:39).


Ketika semua telah lenyap, yakni fana’ dihadirat Allah, yang tertinggal hanya Ruh Suci (Ruh al Quddus). Ia melihat dengan Nur Allah. Ia melihat Allah, Allah melihat dia. Ia melihat dengan Allah, ia melihat dalam Allah, ia melihat untuk Allah. Tidak ada bayangan dan tidak ada yang menyerupai Allah. La ilaha illa Allah, la ilaha illa Ana.


Satu yang tertinggal dan mutlak, yakni Nur Suci, sang Ingsun Sejati. Suati karunia yang tinggi yang diberikan kepada orang yang utama. Tidak ada yang ingin diketahuinya pada tingkat ini. Inilah puncak yang dapat dicapai manusia ketika berada di alam fana’ ini. Tidak ada lagi apa pun, kecuali Allah. Dan tidak ada lagi siapa dan apa pun yang menjadi celah diantaranya dengan Allah.


Dan semua itu merupakan kesadaran rohani yang sangat dalam artinya. Hasil dari mengenang dan memusatkan renungan hati pada maksud dan pengertian batin dari sifat dan asma’ Allah. Dalam dirinya kini hanya tinggal kebaikan yang dipenuhi kesyukuran, husn al-dzan, serta ketinggian himmah terhadap Allah. Bahkan terhadap kenikmatan pun ia menjadi lupa, karena sudah terlalu asyik dengan Allah. Dia juga tidak ingat lagi dengan segala bahaya dan bencana, karena sibuk dengan Allah, Ma’iyyatullah. Dan pada dirinyalah terletak banyak karamah yang setiap saat dapat muncul anugerah Allah kepadanya. Itulah keadaan sang insan kamil, auliya’ Allah.

Dalam penempuhan jalan rohani terdapat dua golongan besar: golongan yang lebih memperbanyak dan memperhatikan dzikir disertai dengan ilmu, dan golongan yang memperbanyak serta menekuni ilmu disertai dengan dzikir. Kedua golongan tersebut sama-sama mampu mencapai tujuan akhir dengan ijin Allah.

Kedua golongan itu selalu ada disetiap zaman, karena umumnya manusia terbagi menjadi dua tipe. Pertama, mereka yang memiliki kecintaan yang sangat pada ilmu dan kemampuannya melakukan amal juga ada. Kedua, mereka yang memiliki kemampuan terbatas dalam menekuni ilmu namun kegigihannya melakukan ibadah, amal dan dzikir sangat besar. Jalan yang bisa ditempuh oleh manusia golongan kedua adalah memperbanyak dzikir, tapi juga harus disertai dengan ilmu. Sedangkan bagi tipe pertama, jalan yang ditempuh adalah ilmu yang harus dibarengi dengan dzikir.

 

Tiada ulasan: