Catatan Popular

Jumaat, 13 September 2013

SEJARAH TASAWWUF BAHAGIAN 2: IMAM AL MUHASIBI HINGGA AL HALLAJ



Sebelum melanjutkan tentang Imam Junaid, perlu disebutkan satu Sufi yang juga sangat memengaruhi ajaran Tasawuf. beliau adalah Imam Harits al-Muhasibi. Imam Harits adalah sufi pertama yg secara sistematis menulis tentang “Psikologi Sufistik.” Gelar Muhasibi disematkan karena beliau terkenal dengan ketekunannya dalam bermuhasabah, mentafakuri dan memperhitungkan amal dan kondisi kejiwaannya sendiri. Beliau dikaruniai kemampuan mengetahui gerak-gerik hati dan tipuan-tipuan nafsu dan setan; salah satu karamahnya yg termashyur adalah jari-jarinya mampu mengetahui apakah suatu makanan/minuman itu haram atau tidak. Karamah ini diperoleh lantaran beliau sangat berhati-hati dalam bertindak. Analisis Imam Harits al-Muhasibi tentang sifat Riya’ dan Takabbur menjadi dasar bagi para sufi generasi selanjutnya, termasuk kelak Hujjatul Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali.

Dari belahan kawasan lain, dari Tirmidz, muncul pula legenda Tasawuf, Imam al-Hakim al-Tirmidhi, yg ajarannya memengaruhi sufi besar generasi selanjutnya, Syekh Akbar ibn Al-Arabi al-Hatimi. Salah satu kitab karangan Imam Hakim al-Tirmidhi yg menjadi rujukan untuk perbincangan masalah Kewalian dan Hirarki Wali Allah adalah berjudul “Khatam al-Awliya.” Imam Hakim al-Turmudhi juga menulis tafsir Qur’an dari perspektif hakikat. Gelar al-Hakim diperoleh karena beliau sangat menguasai filsafat Yunani dan filsafat Islam.
Kembali ke Baghdad, di sana telah muncul tokoh yang berpengaruh, Imam Junayd al-Bagdadi, seorang ulama sufi kelahiran Iran (Persia). Imam Junayd kecerdasannya sangat luar biasa, dan karomahnya tak terhitung. Sebagian Sufi memuji beliau dengan mengatakan, “Seandainya akal itu punya wujud insan, maka Junaydlah wujudnya.”

Sisi penting dari ketokohan Syekh Junayd adalah sisi “ketenangan”-nya, yg bertolak belakang dengan “kemabukan” seperti yang ditampakkan oleh Syekh Abu Yazid al-Bisthami, Dzun Nun, dan Rabi’ah. Syekh Junaid mendirikan semacam ‘pesantren’ dan beliau menjadi rujukan ulama, orang awam dan bahkan penguasa. Junayd pula yang dengan tegas menyatakan bahwa mengajarkan pengalaman mistis/ruhani, atau hakikat-makrifat, adalah berbahaya jika ajaran ini disampaikan secara terbuka untuk orang awam. Maka Sykeh Junaid termasuk golongan Sufi yang ahli dalam memperhalus seni bicara melalui isyarat dan perlambang yg sebagian besar hanya bisa dipahami oleh orang yang telah mencapai maqam tertentu. Berdasarkan pendapatnya yg memilih berhati-hati dalam mengemukakan ajaran Tasawuf ini, maka kelak Syekh Junaid terpaksa “bertentangan” dengan salah satu muridnya yang paling terkenal dalam sejarah Islam, Husain ibn Mansur al-Hallaj.

Rakan sezaman syekh Junayd yang terkenal adalah Syekh Ruwaym. Ini adalah sufi yang mewakili sisi lain dari Tasawuf. Syekh Ruwaym tidak menampakkan perilaku zuhud atau ketawakalan yang menonjol. Beliau adalah tergolong orang kaya raya. Dengan kata lain, belau menyembunyikan kewalian atau kesufiannya dalam jubah orang kaya. Tokoh lain yg semasa dengannya adalah Syekh Abu Husain al-Nuri, murid dari Syekh Sari as-Saqati. Syekh Nuri meneruskan tradisi Rabiah al-Adawiyah. Syekh Nuri mengatakan bahwa cinta persaudaraan merupakan wujud dari kebenaran dan kefakiran yang hakiki, atau dengan kata lain ia lebih mengutamakan orang lain ketimbang dirinya sendiri (ajaran ini kelak dikembangkan lebih lanjut oleh sufi generasi selanjutnya, melalui konsep futuwwah atau kekesatriaan ruhani). Karya Nuri yg terkenal adalah Maqamat al-Qulub, atau “Maqam Hati.” Ajaran cinta Nuri sebagian tak disukai oleh Imam Junayd karena dipandang terlalu berlebihan dalam gaya ungkapnya. Nuri sempat dipenjara karena dituduh zindiq karena puis-puisi cinta Ilahiahnya yang berkobar-kobar. Selama di penjara beliau bertemu dengan Wali Allah tersembunyi lainnya, Sumnun al-Muhibb. Sumnum dipuji oleh penulis sufi lainnya generasi selanjutnya (seperti Hujwiri dan Attar). Imam Hujwiri mengataka, “Sumnun mengikuti mazhab istimewa dalam cinta dan berpendapat bahwa cinta merupakan akar dan landasan menuju Tuhan.” Bahkan Sumnun berpendapat bahwa cinta lebih tinggi ketimbang makrifat, dan persoalan ini masih menjadi subyek yg diperbincangkan dan diperdebatkan sampai sekarang. Sumnun mengatakan bahwa cinta selalu terkait dengan derita. Ketika ditanya, mengapa demikian, Sumnun menjawab: “Supaya tak setiap orang awam bisa mengatakan Cinta, sebab kebanyakan orang awam akan lari menjauh ketika melihat penderitaan.”

Garis tradisi Cinta dari Rabiah dan Sumnun ini tampaknya mengalir langsung ke dalam ajaran salah satu sufi agung legendaris, paling kontroversial, SYEKH HUSAIN IBN MANSHUR AL-HALLAJ, sang Syuhada iInta Ilahi. Kisah tragis Al-Hallaj, yang juga murid dari Abu Amir al-Makki dan juga murid dari Junayd al-Baghdad ini, telah mempesona banyak sufi, orang awam, ilmuwan, bahkan orientalis. Salah satu orientalis yang konon masuk ISlam karena memelajari kehidupan al-Hallaj adalah Louis Massignon. Louis Massignon mempersembahkan seluruh sisa hidupnya, selama 30 tahun lebih, khusus untuk mendalami hidup dan ajaran Syekh Manshur al-Hallaj. Massignon menyusun 4 jilid buku riwayat al-Hallaj, yang masing-masing tebalnya “ngudubilah setan.” Massignon pula yang menerjemahkan dan menyunting kitab al-Hallaj yg paling sulit, TAWASIN, ke dalam bahasa Prancis dan Inggris. Dalam kitab Tawasin inilah terdapat ungkapan yang paling masyhur: ANA AL-HAQQ.

Tiada ulasan: