Catatan Popular

Rabu, 21 November 2012

AL MINAH AL SANIYAH (FASAL 1) : BERTAUBAT SECARA BENAR (KITAB MENJADI KEKASIH ALLAH)

Oleh Syeikh Abdul Wahhab As-Sya'rani (Tokoh Sufi Mesir)

 BERTAUBAT SECARA BENAR

Taubat, secara etimologis, adalah meninggalkan, yakni meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang terlarang untuk kemudian menggantinya dengan
perbuatan yang terpuji, menurut syariat. Taubat mempunyai tahapan-tahapan.
Tahap pertama, seseorang harus bertaubat dari --melakukan-- dosa-dosa besar,
kemudian bertaubat dari dosa kecil, perkara makruh, dan perbuatan yang kurang
baik. Selanjutnya, secara berurutan, bertaubat dari anggapan-anggapan bahwa
dirinya adalah orang baik, bertaubat dari anggapan bahwa dirinya termasuk
kekasih Tuhan, bertaubat dari anggapan bahwa dirinya telah benar dalam
melakukan taubat, dan bertaubat dari segala kehendak hati yang tidak di ridlai
Allah. Puncaknya, seseorang bertaubat dari lupa bermusyahadah (mengingat)
kepada Allah, walau sekejap.

Cara taubat, pada dasarnya, cukup dengan menyesali dan mengakui dosadosa
yang dilakukan. Ini seperti yang terjadi dengan taubat nabi Adam ketika ia
terlanjur melakukan perbuatan yang dilarang.i Adapun sebagian ulama ada yang
menyatakan bahwa taubat harus disertai dengan niat yang kuat untuk tidak
mengulangi lagi, penyataan itu adalah hasil ijtihad.ii Sebab, orang yang benarbenar
menyesal tentu tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.

Dengan taubat yang sungguh-sungguh, segala kesalahan dan dosa yang
berhubungan dengan Tuhan akan diampuni. Begitu pula tindakan dzalim
terhadap diri sendiri, kecuali syirik dan segala yang berhubungan dengan sesama
manusia. Untuk yang disebut terakhir, Allah tidak akan mengampuni selama
orang yang bersangkutan belum meminta maaf kepada orang yang disalahi.
Al-Matbuli meletakkan masalah taubat ini dalam bahasan pertama, karena
taubat adalah sesuatu yang sangat penting. Taubat adalah pondasi dari segala
perbuatan manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tanpa dilandasi
taubat yang baik dan benar, seseorang yang ingin menggapai Tuhan adalah seperti
orang yang membangun rumah megah diatas tanah labil dan goyah. Akan mudah
hancur. Sebaliknya, siapa yang benar taubatnya berarti kuat pondasinya. Karena
itu, sebagian ulama menyatakan,

“Siapa yang memperkuat taubatnya, Allah akan menjaganya dari segala yang
merusak --kesucian—amalnya”.

Demikianlah, taubat mempunyai kedudukan dan pengaruh yang sangat
besar bagi amal-amal manusia selanjutnya. Ia sebanding dengan zuhud yang akan
menjaga manusia dari segala sesuatu yang bisa menghalangi kedekatannya kepada
Allah. Karena itu, bila seseorang tidak benar cara taubatnya, maka hal itu justru
akan menjatuhkan dan menghancurkan maqam (kedudukannya disisi Allah) yang
lain. Apa yang telah dilakukannya menjadi ringkih seperti bangunan rumah
dengan hanya susunan bata tanpa perekat semen.
Muhammad ibn Inan menyatakan, siapa yang benar cara taubatnya maka
itu akan bisa meningkatkan kedudukannya disisi Tuhan. Sebaliknya, siapa yang
tidak benar cara taubatnya, maka semuanya hanya omong kosong). Ia tidak akan
mampu menjaga keinginan-keinginan nafsunya, bahkan ia tidak akan mampu
menjaga pikiran-pikiran kotornya, walau saat melakukan shalat. Allah swt sendiri
memerintahkan kepada Rasul dan umatnya untuk bertaubat dengan benar dan
lurus. Firman-Nya.

“Tetaplah kamu pada jalan yang benar --dalam bertaubat-- sebagaimana yang
diperintahkan, dan orang-orang yang bertaubat bersamamu” (QS. Hud, 112).

Ali al-Khawash juga menyatakan, siapa yang benar dan sungguh-sungguh
melakukan taubat dan zuhud, akan tergapai semua kedudukan (maqam) dan
perbuatannya menjadi baik. Karena itu, seseorang yang ingin menggapai
kedudukan tinggi disisi Tuhan, hendaknya selalu meneliti dirinya; apakah ia telah
melakukan hukum-hukum Tuhan? Apakah anggota badannya; mata, kaki, tangan
dan lisannya telah melaksanakan sesuatu yang diperintahkan Allah? Bila
mendapati dirinya telah melakukannya dengan benar, maka bersyukurlah tetapi
jangan merasa telah baik. Sebaliknya, bila mendapati dirinya masih berlumuran
dosa dan kesalahan, segeralah istighfar dan menyesalinya kemudian bersyukur
kepada Allah bahwa ia belum terlanjur dalam perbuatan yang lebih parah dan
Allah belum memberikan adzab atau penyakit. Sebab, badan yang melakukan
maksiat berhak menerima siksaaan.

Selain itu, untuk mencapai Allah, seseorang juga harus meninggalkan
pengaruh dunia. Allah swt sendiri tidak pernah memperhatikan dunia sejak
penciptaannya, karena ketidaksukaannya. Rasulullah pernah menyatakan,

“Cinta harta dan kedudukan mudah menimbulkan sifat munafiq, sebagaimana
air mudah menumbuhkan sayur-sayuran”.

Imam al-Tsaury menyatakan, seandainya seseorang beribadah dengan
menjalankan semua perintah-Nya tetapi dalam hatinya masih terbetik rasa cinta
pada dunia, maka di akherat kelak akan di umumkan, “Inilah fulan yang sewaktu
di dunia mencintai sesuatu yang tidak disenangi Allah”. Mendengar pengumuman
itu, wajahnya seakan terkelupas saking malunya.

Yang dimaksud cinta dunia disini adalah menggunakan sarana harta dunia
secara berlebihan; melebihi ketentuan syareat. Abu Hasan Ali ibn Muzayyin
pernah menyatakan, seandainya kalian “mensucikan” seseorang sehingga
menjadikannya sebagai al-shiddiq, tetapi dalam hati orang tersebut masih terbetik
cinta dunia, maka Allah tidak akan memperdulikannya. Ia tidak punya kedudukan
disisi Tuhan.

Bagaimana jika harta yang ada tersebut dipersiapkan untuk memberi
nafkah pada keluarga dan familinya? “Sama saja”, jawab Abu Hasan. Kebanyakan
ahli tarikat rusak adalah karena dalam hatinya ada rasa senang terhadap
kemewahan dan kenikmatan dunia. Melimpahnya harta untuk memberi nafkah
terhadap keluarga dan famili, sebenarnya, tidak salah. Akan tetapi, hati yang telah
kerasukan cinta dunia akan bisa menghalangi bahkan memutuskan hubungan dia
dengan Tuhan.

Sejalan dengan hal itu, Abu Hasan As-Syadzili menyatakan, seorang murid
(orang yang menempuh jalan Tuhan) tidak akan bisa naik derajatnya manakala
belum benar-benar mencintai Tuhan, dan Tuhan tidak akan menerima cintanya
selama ia belum bisa meninggalkan pengaruh dunia dan bayangan kenikmatan
surga. Cinta Tuhan kepadanya tergantung seberapa besar seseorang
mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia, untuk mencintai-Nya.
Karena itu, untuk menuju kepada-Nya, pertama kali, seseorang harus
meninggalkan dan mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia. Ketika masuk
tarikat, yaitu ketika berbaiat kepada guru pembimbing (mursyid), seseorang harus
benar-benar telah mengosongkan hatinya dari pengaruh dunia. Jika tidak, yaitu
jika dalam hatinya masih bersemayam nafsu-nafsu duniawi, ia akan terlempar.
Karena itu, dalam tarikat, pertama kali yang diajarkan dan ditanamkan pada
murid haruslah sikap zuhud. Sebab, orang yang tidak zuhud tidak akan bisa
membangun sesuatu di akherat. Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata, “Siapa
yang menghendaki akherat, ia harus zuhud dunia. Siapa yang menghendaki Allah,
ia harus zuhud akherat. Siapa yang dalam hatinya masih ada cinta dunia;
kedudukan, perkawinan, pakaian, makanan dan sebagainya, ia bukanlah pecinta
akherat. Ia masih mengikuti nafsunya”.

Sejalan dengan itu, Abu Abdullah al-Maghribi menyatakan, orang fakir
yang tidak banyak melakukan amal masih lebih baik daripada ahli ibadah tetapi
bergelimang harta. Amal yang sedikit dari orang fakir --yang tidak tersibukkan
dunia— bahkan lebih baik daripada amal yang menggunung dari seseorang yang
hatinya sibuk memikirkan dunia. Abu al-Mawahib al-Syadzili juga menyatakan,
ibadah yang disertai cinta dunia hanya melelahkan hati dan badan. Ia kelihatan
banyak padahal sedikit. Ia hanya tampak banyak menurut orang yang
melakukannya. Ibadah yang seperti itu bagai raga tanpa nyawa, kosong tanpa isi.
Karena itu, banyak kita saksikan orang yang berpuasa, shalat malam dan haji,
tetapi tidak pernah merasakan manisnya beribadah karena tidak ada cahaya zuhud
dalam hatinya.

Apa yang dimaksud zuhud? Zuhud adalah mengosongkan hati dan pikiran
dari pengaruh dunia. Namun, hal ini bukan berarti seseorang harus mengosongkan
tangannya dari menguasai harta. Sebab, Allah dan Rasul-Nya) tidak pernah
melarang umatnya melakukan transaksi dan berbisnis. Tidak pernah seorangpun
dilarang untuk melakukan hal tersebut.

Akan tetapi, sebagian sahabat dan tabiin memang banyak yang
meninggalkan sama sekali dan menampakkan ketidaksukaannya terhadap urusan
dan kemewahan dunia. Hal itu dimaksudkan agar orang kebanyakan (awam) mau
dan bisa mengikuti mereka. Mereka khawatir, dengan kehidupan yang mewah dan
bergelimang harta, orang awam yang tidak mengerti akan terjebak dalam masalah
dunia ini; menjadi lupa terhadap Tuhan, ketika mengikuti laku para shahabat.
Sesungguhnya, orang yang sempurna (insân al-kâmil) tidak akan tersibukkan oleh
apapun kecuali Allah, walau bergelimang harta. Berbeda dengan orang awam.
Karena itu, hati-hatilah bila melihat orang besar yang menjadi panutan
hidup dalam kemewahan dan kenikmatan. Jika khawatir bahwa hal itu akan
dianut masyarakat tanpa tahu maksud yang sebenarnya, maka ia harus
diperingatkan. Tentu saja, kemewahan dan kekayaan orang besar tersebut dari
harta halal. Bila dari harta haram, maka ia harus “disingkirkan”.
Dengan demikian, zuhud adalah melepaskan hati dari pengaruh dunia.
Maksudnya, ia tidak bersikap kikir terhadap peminta dan tidak tersibukkan oleh
kegiatan-kegiatan duniawi sehingga lupa pada Tuhan

Tiada ulasan: