Catatan Popular

Ahad, 25 November 2012

AL MINAH AL SANIYAH (FASAL 2) : MENINGGALKAN PERKARA MUBAH

Oleh Syeikh Abdul Wahhab As-Sya'rani (Tokoh Sufi Mesir)

Kitab Al-Minah al-Saniyah

MENINGGALKAN PERKARA MUBAH

Ali al-Murshifi menyatakan bahwa seorang murid tidak akan boleh
mencapai maqam tinggi, hingga ia mampu meninggalkan perkara mubah untuk
kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan sunnah.
Perbuatan mubah, menurut Ali Al-Khowash, pada dasarnya adalah
diciptakan hanya sebagai "selingan" atau tempat istirahat bagi manusia, setelah
melakukan beban berat yang diberikan Tuhan. Hal ini disebabkan, pada diri
manusia memang ada rasa bosan. Bila tidak, Allah tidak akan memberikan hukum
mubah pada manusia; sebagaimana malaikat yang tidak kenal bosan. Mereka
selalu bertasbih kepada Allah, tanpa rasa bosan.

Karena itu, para ulama menyatakan, orang yang menggunakan rukhshoh
(keringanan hukum yang diperbolehkan; perkara mubah), tidak akan
mendapatkan apa-apa dalam jalan thoriqot.

Dalam thoriqot, para guru pembimbing biasanya menuntut para muridnya
untuk sedapat mungkin meninggalkan perkara mubah. Minimal mengurangi,
untuk kemudian menggantinya dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kedudukannya disisi Allah. Bila seseorang
tidak menemukan bentuk ketaatan sebagai pengganti mubah, maka dalam
perbuatan mubah tersebut; seperti makan dan minum, harus diniatkan untuk
sesuatu yang baik. Misalnya, makan agar kuat ibadah dan bercakap-cakap untuk
menghilangkan kemasaman muka terhadap teman.

Para guru juga menuntut para murid, untuk tidak tidur kecuali setelah
sangat mengantuk, tidak makan kecuali setelah sangat lapar, tidak berbicara kecuali
ada keperluan, dan lain-lain. Ini dimaksudkan, agar murid mendapat pahala dari
semua perbuatannya.

Selain itu, para guru juga menuntut para murid agar tidak sampai mimpi
basah --karena pikiran-pikiran yang muncul sebelumnya--, tidak menselonjorkan
kaki, tidak istirahat kecuali pada saat sangat letih dan tidak makan makanan yang
disenangi walau itu diperbolehkan. Sebab, semua itu boleh menghalangi seseorang
untuk naik pada kedudukan yang lebih tinggi.

Dalam kitab Zabur difirmankan;

"Hai Daud. Peringatkan kaummu dari makan makanan yang mereka senangi.
Sesungguhnya, hati yang dikendalikan kesenangan (syahwat) menghalangi hubungannya dengan Aku".

Bila makan makanan yang disenangi dapa tmenolak seseorang dari Hadlirat
Ilahy, maka begitu pula dengan menselonjorkan kedua kaki tanpa adakeperluan
yang sangat. Keduanya termasuk suul-adab (tidak baik).

Ali Al-Khowash pernah menyatakan, seorang murid tidak akan mencapai
maqom siddiq kecuali dengan menambah pengagungannya dalam melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan Tuhan; melaksanakan sunnah seolah wajib,
meninggalkan makruh sebagaimana haram dan meninggalkan perkara haram
sebagaimana kekufuran. Setelah itu, meniatkan semua perbuatan mubahnya
untuk kebaikan, sehingga mendapat pahala. Misalnya, tidur siang dengan niat agar
kuat sholat malam, makan makanan yang enak untuuk mengobati keinginan nafsu
ketika sulit diajak ibadah, menggunakan pakaian bagus demi memperlihatkan
nikmat Allah dan lain-lain. Jadi bukan untuk bersombong-sombong.

Sejalan dengan itu, Abu Hasan As-Syadzili pernah berkata kepada para
muridnya;

"Makan dan minumlah kalian dari makanan dan minuman yang enak. Tidurlah diatas
kasur yang empuk. Dan berpakaianlah dengan pakaian yang bagus. Bila saat memakai,
kalian mengucapkan "

Al-Hamdulillah", maka seakan ikut bersyukur pula seluruhanggota badan”.

Ini berbeza bila kalian makan dari makanan roti kasar, minum air asin,
tidur pada tempat yang kotor dan berpakaian dengan pakaian murahan. Saat
mengucapkan "Al-Hamdulillah", hati masih ada rasa 'protes' dan mengerutu.

Padahal, kalau ia mengerti hakekatnya, memprotes dan mengerutu adalah lebih
besar dosanya daripada bersenang-senang dengan kenikmatan dunia. Sebab,
bersenang-senang berarti masih dalam batas melakukan sesuatu yang
diperbolehkan, sedang menggerutu dan benci berarti melakukan sesuatu yang
dilarang".

Tiada ulasan: