Catatan Popular

Khamis, 29 November 2012

TOKOH SUFI KLASIK MUHAMMAD BIN WAASI’ (7) : NASIHAT-NASIHAT TERSIRAT


Dialog yang terjadi dengan orang-orang shalih, selalu penuh nasihat dan bahkan sindiran yang begitu kuat menancap di hati. Seperti pertanyaan yang pernah diajukan seorang shalih bernama Muhammad bin Wasi ’rahimahullah kepada orang-orang di sekelilingnya, “Apakah kalian heran, jika kalian melihat seseorang menangis di surga?” Orang--orang yang berada di sekitar Muhammad bin Wasi ’ menjawab pasti, “Tentu saja kami heran wahai Syaikh.” Lalu Muhammad bin Wasi ’ mengatakan, “Seharusnya kita lebih heran bila melihat seseorang yang masih hidup di dunia, tertawa terbahak, sementara ia belum tahu bagaimana akhir perjalanannya di akhirat kelak.”

Ketahuilah, bahwa jerat syaitan yang paling berbahaya adalah ketika dunia begitu menguasai hati dan menguras potensi seseorang. Hati yang sudah dijejali oleh dunia, akan menjadi lunglai, lemah dan tak mampu melakukan perlawanan apapun terhadap arah gelombang bisikan syaitan yang membuat seseorang terombang ambing, tak tentu arah. Dunia yang telah menguasai hati
menjadikan seseorang lemah keinginan untuk terbang ke tingkat ubudiyah yang tinggi.
Hati yang terkuasai dunia, menjadi lebih berat, malas, dan terbelenggu oleh kesalahan.

Jerat syaitan itu bernama ghaflah, yang artinya lalai. Berapa sering kita terjerat oleh jebakan syaitan itu? Saat kehidupan begitu menyeret dan menjauhkan kita dari Allah swt. Sedikit demi sedikit. Sejengkal demi sejengkal.
Hampir tak terasa. Sampai saat kita tersadar, ternyata kita sudah begitu jauh meninggalkan ketaatan. Ternyata, sudah terlalu jauh jarak yang kita buat antara kita dengan Allah swt. Sudah terlampau lama kita berpura-pura lupa dan melupakan Allah swt. Mungkin, ada sebagian kita yang selanjutnya justru tak mampu lagi untuk kembali. Karena sudah terlalu nikmat merasakan keadaan.
Saat kita, tidak bersedih lagi atas kelalaian yang dilakukan. Saat kita, tidak berduka lagi dengan dosa yang berulangkali kita lakukan. Saat kita, tidak lagi menangis dan sama sekali tidak menitikkan air mata atas kemaksiatan dan pembangkangan.

Itulah ghaflah, kelalaian. Itulah jerat syaitan yang paling berbahaya. Ghaflah, penyakit yang menjangkiti hati agar hati menjadi rela dengan kondisi yang rendah, tenang dengan kemaksiatan, dan begitu mengikat mata dengan dunia. Tak ada tempat lagi untuk akhirat. Renungkanlah firman Allah, “...Dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapatkan petunjuk.” (QS.An Naml:24)

Mari mendiagnosa hati kita, andai kita terjerat oleh jebakan syaitan yang berbahaya ini. Bertanyalah, tentang berapa banyak kita mengingat tentang shalat malam yang kita tinggalkan dalam satu pekan, dalam satu bulan?
Bertanyalah, tentang berapa kali kita bermuhasabah dan merenungi kesalahan dan dosa, lalu kita bersedih atau menangisinya? Bertanyalah, tentang berapa kali kita telah membaca dan mengkhatamkan Al Qur’an seumur hidup? Berapa banyak kita mengajak dan mendorong keluarga untuk, setidaknya membaca dan mengkhatamkan Al Qur’an? Bertanyalah, tentang seberapa rindu kita kepada surga? Bertanyalah, tentang berapa banyak kita memikirkan jarak yang membedakan antara hidup hingga titik kematian yang tak pernah kita tahu kapan datangnya?

Mari bandingkan pertanyaan-pertanyaan itu dengan pertanyaan lain.
Bertanyalah, tentang berapa sering kita berpikir untuk membeli pakaian dan aksesoris rumah? Bertanyalah, tentang berapa banyak kita berpikir untuk mencari pekerjaan tambahan untuk menutupi kebutuhan hidup yang tak pernah ada habisnya? Bertanyalah, tentang berapa kali kita mengingat dan menginginkan makanan yang enak dan nikmat? Bertanyalah, tentang berapa sering kita memikirkan masa depan dunia kita?

Bagaimana kita menjawab dan membandingkan antara dua kelompok pertanyaan tadi? Mari buka jerat-jerat ghaflah yang melilit jiwa dan hati kita. Perhatikan dengan teliti, renungkan dalam-dalam, dosa dan kemaksiatan apa yang kita tinggalkan di hari ini, di hari-hari, bulan-bulan, dan tahun-tahun yang telah lalu? Lalu, bekal kebaikan apa yang sudah kita persiapkan untuk hari setelah mati?

Dengarkanlah lagi, sebuah dialog penuh nasihat dan sindiran yang menyadarkan antara seorang shalih, Hasan Al Bashri, dengan seseorang yang ada di sampingnya. Saat pemakaman jenazah, Hasan Al Bashri rahimahullah bertanya pada seseorang, “Menurutmu, jika dia kembali hidup di dunia, apakah ia akan melakukan amal shalih?” Orang itu menjawab, “Ya, pasti.” Hasan Al Bashri menyambut perkataan itu dengan jawaban, “Jika ia sudah tidak mungkin hidup kembali di dunia untuk melakukan amal shalih, engkaulah yang seharusnya sekarang melakukan amal-amal shalih...”

Tiada ulasan: