(BAB I KISAH-KISAH KETABAHAN)
Abu Dzar
Al-Ghifari ra. adalah seorang sahabat Nabi saw. yang terkenal. Yang di kemudian
hari ia termasuk golongan ahli zuhud, dan alim ulama besar di jamannya. Ali ra.
berkata, “Abu Dzar memiliki ilmu yang orang lain tidak memilikinya, dan ia
telah memelihara ilmu tersebut dengan baik.”
Ketika
pertama kali ia mendengar kabar tentang kenabian Muhammad saw., ia telah
mengirim saudaranya ke Mekkah untuk memastikan berita itu. Kepada saudaranya ia
berkata, “Apabila ada orang yang mengaku, Telah datang wahyu kepadaku dari
langit,’ maka selidikilah dirinya dan dengarkanlah dengan baik kata-katanya.”
Saudaranya pun pergi ke Mekkah, dan setelah menyelidiki keadaan di sana. Ia
kembali dan berkata kepada saudaranya, “Saya telah melihat bahwa ia berakhlak
mulia dan terpuji. Dan saya telah mendengar ucapannya yang sangat indah, namun
bukan ucapan syair atau ucapan ahli sihir.” Abu Dzar ra. merasa tidak puas atas
berita saudaranya itu, sehingga ia memutuskan untuk pergi sendiri ke Mekkah.
Setibanya di sana, ia langsung menuju Masjidil Haram. Saat itu ia belum
mengenal wajah Nabi saw., dan ia menduga tidaklah aman baginya jika ia bertanya
tentang Nabi kepada orang-orang. Sampai petang ia masih dalam keadaan demikian.
Ketika itu, Ali ra. melihat seorang musafir miskin dan tidak tahu apa-apa
terlantar di jalanan. Hatinya pun tersentuh untuk menolong dan memenuhi
keperluannya. Lalu, Ali ra. mengajaknya ke rumahnya dan melayaninya. Ali ra.
belum merasa perlu bertanya, siapa dan apa maksud kedatangannya. Dan musafir
itu pun tidak mengemukakan maksudnya kepada tuan rumah.
Pagi
harinya, ia datang lagi ke masjid, dan menyelidiki sendiri, tanpa bertanya
kepada yang lain. Mungkin hal ini disebabkan berita permusuhan terhadap Nabi saw.
telah tersebar luas. Nabi saw. dan siapapun yang berani menemuinya akan
diganggu oleh mereka. la berpikir bahwa ia tidak akan dapat mengetahui keadaan
yang sebenarnya, karena gangguan yang mungkin tiba-tiba menimpanya.
Pada sore
hari kedua, AH ra. pun berpikir, “Musafir yang terlantar ini pasti mempunyai
maksud dan tujuan datang ke man, tetapi ia belum mengutarakannya kepadaku.”
Maka, ia mengajak kembali tamunya itu untuk menginap di rumahnya. Malam telah
berlalu, tetapi Ali ra. belum mendapatkan kesempatan untuk bertanya padanya.
Pada malam ketiga pun keadaannya sama dengan sebelumnya. Maka, Ali ra.
memberanikan diri bertanya kepada tamunya, “Apa tujuanmu datang ke sini?”
Setelah Abu Dzar ra. meminta agar Ali ra. berjanji untuk menjawab setiap
pertanyaannya dengan jujur, barulah ia menyampaikan maksudnya. Ali ra. berkata,
“Sungguh, beliau adalah utusan Allah. Jika aku pergi esok pagi, ikutilah aku.
Aku akan mengantarkanmu kepadanya. Tetapi, para penentang itu sangat banyak,
dan sangat berbahaya jika mereka mengetahui hubungan kita. Agar tidak
dicurigai, jika ada bahaya yang mengancam, aku akan pura-pura buang air, atau
memperbaiki sepatu, sedangkan kamu terus berjalan. Jangan menunggu aku sehingga
perjalanan kita tidak diketahui orang.”
Keesokan
paginya, Ali ra. dan musafir tersebut tiba di rumah Nabi saw. dengan
sembunyi-sembunyi. Mereka berbincang-bincang dengan Nabi saw.. Dan pada saat
itulah, Abu Dzar ra. masuk Islam. Selanjutnya, karena Nabi saw. sangat
mencemaskan gangguan yang akan menimpa dirinya, beliau melarang Abu Dzar ra.
menunjukkan keislamannya itu di muka umum. Nabi saw. bersabda, “Pulanglah ke
kaummu dengan sembunyi-sembunyi, dan boleh kembali lagi ke sini jika kami telah
mendapat kemenangan.” Jawab Abu Dzar ra., “Ya Rasulullah, demi Dzat yang
nyawaku di tangan-Nya, aku akan mengucapkan kalimah tauhid ini di hadapan
orang-orang yang tanpa iman itu! ” Lalu ia langsung pergi ke Masjidil Haram,
dan dengan suara lantang iaberteriak,
“Aku
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusan Allah. ”
Begitu
selesai ucapannya, orang-orang menyerangnya dari empat penjuru, sehingga
tubuhnya banyak terluka. Bahkan, ia hampir saja menemui ajalnya. Tetapi,
untunglah paman Nabi saw., Abbas ra., yang ketika itu belum memeluk Islam,
telah menghalangi perbuatan kaumnya menyiksa Abu Dzar ra., sambil berteriak,
“Kalian sungguh zhalim, orang ini adalah orang Ghifar, kabilah ini tinggal
diantara jalan menuju ke Syam. Perdaganganmu dan segala urusan lainnya mesti
melalui jalan ke Syam. Jika ia mati, maka jalan pulang pergi ke Syam akan
tertutup bag! kita.” Ucapannya itu menyadarkan orang-orang yang memukulinya.
Memang, semua kebutuhan mereka datang dari Syam. Jika jalur itu tertutup, maka
itu suatu musibah bagi mereka. Akhirnya, mereka pun meninggalkan Abu Dzar ra..
Pada hari
kedua, Abu Dzar ra. berbuat hal yang sama. la pergi ke Masjidil Haram, dan
berteriak mengucapkan kalimat tauhid di hadapan orang banyak. Sehingga,
orang-orang yang membenci ucapannya itu kembali memukulinya. Dan pada hari itu
pun, Abbas ra. jugalah yang telah mengingatkan kaumnya, bahwa jika ia mati,
maka perjalanan dagang mereka akan tertutup. Dan mereka pun kembali
meninggalkannya.
Faedah :
Rasulullah
saw. telah menasehati Abu Dzar ra. agar tidak memperlihatkan ke-Islamannya.
Namun, semangat yang tinggi untuk memperlihatkan yang hak telah merasuki jiwa
Abu Dzar ra.. Jika agama yang hak ini telah merasuki jiwa seseorang, maka tiada
alasan baginya untuk menutupinya dari siapapun. Sedangkan, larangan Nabi saw.
itu adalah karena rasa sayang beliau kepadanya, khawatir jika Abu Dzar ra.
tidak mampu menanggung penderitaannya. Tiada sedikit pun perasaan menentang
Nabi saw. dalam hati para sahabat ra.. Mengenai hal ini, akan dijelaskan dalam
bab selanjutnya.
Dalam
menjalankan risalah agama ini, Nabi saw. sendiri telah banyak menderita.
Sehingga Abu Dzar ra. merelakan dirinya mengikuti penderitaan Nabi saw.. Inilah
yang menyebabkan urusan agama dan duniawi para sahabat cepat meningkat.
Siapapun yang telah mengucapkan syahadat sekali saja, berarti ia berada di
bawah naungan bendera Islam. Tiada kekuatan apapun yang dapat menghentikan
semangat mereka. Dan tiada satu kezhaliman pun yang dapat menghentikan
penyebaran agama mereka.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan