Diambil dari
Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah, Ibn’ Atha’illah al-Iskandari
Ketahulilah, bahwa jalan menuju Allah haruslah senantiasa bersih dari sikap menentang dan dari nafsu yang menyimpang. Pemberian alasan, sikap toleran dan kelembutan pada sesuatu yang mengarah pada penyimpangan dari jalan Allah adalah tidak boleh ada di dalamnya. Karena itu, perbuatan yang jelas-jelas melanggar syariat adalah layak dikecam dan tidak boleh diberi maaf. Sikap toleran hanya berlaku dalam sesuatu yang terkait dengan hak-hak pribadi.
Seorang salik yang hendak menapak jalan menuju Allah, haruslah berusaha memberikan apa yang menjadi hak orang tanpa menuntut balas dari mereka. Ia juga harus menerima alasan orang tanpa berusaha mencari alasan untuk diri sendiri.
Selain itu, ia harus menolong tanpa berusaha untuk ditolong, harus memperlakukan manusia dengan sikap kasih dan sayang, serta berinteraksi bersama mereka dengan mengembangkan sikap saling menasehati.
Ia tidak boleh dengki dan iri dalam apa yang Allah berikan pada orang.
Tidak berteman dan duduk bersama wanita. Serta tidak bersahabat dan bercengkrama dengan anak-anak muda.
Seorang salik juga harus berusaha menepati janji, berkata benar dan bersikap wara’ entah itu terkait dengan ucapan, makanan, pandangan dan seterusnya.
Ia tidak boleh bersikap riya, harus menjaga adab-adab syariat –baik yang kecil maupun yang besar- kalau sudah mengetahui. Kalau belum mengetahui, ia harus bertanya. Orang yang berani mengkhianati adab-adab syariat akan lebih berani lagi mengkhianati rahasia-rahasia ilahi. Karena itu, Allah hanya akan memberikan rahasiaNya kepada mereka yang bisa dipercaya.
Seorang salik tidak boleh memilih, sebab ia bersama pilihan Allah.
Ia juga harus meninggalkan hal-hal yang mubah, sebab memperhatikan hal yang mubah itu hanya akan membuang-buang waktu. Salik yang masuk ke dalam jalan ini, kalau sudah menjadi suami, hendaknya tidak menceraikan isterinya. Atau kalau masih bujang hendaknya tidak menikah dulu sampai sempurna. Dan jika sudah sempurna ia akan mendapat pemberian Allah.
Seorang salik harus jujur. Ia hanya berbicara dengan apa yang ia saksikan.
Ketika salik atau murid mengunjungi seorang syekh, qalb-nya harus kosong agar ia bisa menerima apa yang diberikan oleh syekhnya itu. Ia tidak boleh mengingkarinya. Jika sulit diterima, ia harus mengevaluasi diri dengan berkata,… “Saya belum sampai pada kedudukan ini.” Ia tidak boleh menganggap syekhnya yang salah. Siapa yang menemui syekh untuk mengujinya, berarti ia adalah seorang yang bodoh. Hendaknya ia meminta sang syekh untuk berbicara tentang persoalan khatir. Tetapi, yang mestinya ia minta adalah agar sang syekh tersebut mengajarkan kotoran-kotoran jiwa beserta obatnya, juga agar ia menerangkan hal-ihwal seorang murid, bukan hal-ihwal kaum arif.
Apabila seorang salik menyaksikan ada orang yang sedang berbuat maksiat, janganlah ia mempunyai keyakinan bahwa maksiat tersebut dilakukan seterusnya. Namun, hendaknya ia berkata,… “Barangkali ia bertaubat pada saat tak dilihat orang…” atau “Barangkali maksiat tersebut tidak mengkhawatirkan karena mungkin Allah menolong ia di akhir hidupnya.” Seorang salik tidak boleh mempunyai prasangka buruk terhadap seseorang kecuali yang memang telah Allah tampakkan akhir kehidupannya. Para salik juga tak boleh berprasangka baik terhadap dirinya. Siapa yang memandang dirinya lebih baik dari orang lain, padahal ia belum mengetahui keadaannya dan keadaan orang tersebut di akhir hidupnya, berarti ia bodoh terhadap Allah, tertipu dan tidak memiliki kebaikan. Meskipun ia diberi pengetahuan, tetapi sebetulnya ia tidak diberi. Meremehkan ilmu yang hakiki berarti meremehkan Allah. Dan tentu saja hal tersebut bertentangan dengan sifat kewalian.
Ciri-ciri seorang salik adalah ia selalu membersihkan diri dari berbagai perangai buruk dan mengisinya dengan berbagai akhlak yang terpuji.
Ia senantiasa sabar menghadapi gangguan orang dan tidak menyakiti.
Hendaknya ia senang membantu orang dalam hal kebajikan, mengasihi orang yang lemah, menunjuki orang yang sesat dan bodoh, menyadarkan orang yang lalai dan tidak membuat hijab.
Setiap orang yang meminta pertolongannya, selalu dibantu.
Setiap orang yang ingin menemuinya, selalu bisa bertemu.
Ia tidak menutup diri dari orang, selalu memberi kepada yang meminta, menghormati tamu, menghibur orang yang sedang merana, menenangkan orang yang sedang cemas, memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi baju kepada orang yang telanjang, membantu pelayan, selalu melakukan perbuatan mulia dan tidak melakukan perbuatan tercela.
Diantara ciri salik lainnya adalah selalu melakukan mujahadah jasmani seperti menahan rasa lapar dan haus, serta berujung dalam empat hal,…
::: Kematian putih, yaitu menahan lapar,
::: Kematian merah, yaitu menentang hawa nafsu,
::: Kematian hitam yaitu bersabar dalam memikul beban, serta
::: Kematian hijau yaitu memakai tembelan berlapis.
Seorang salik juga lebih mengutamakan orang lain, selalu bersandar kepada Allah dalam semua hal, ridha dengan semua ujian dariNya, bersabar dalam menghadapi berbagai macam penderitaan, meninggalkan tanah air, menjauh dari makhluk tanpa memandang mereka sebagai orang yang buruk, namun semata-mata karena lebih mengutamakan Allah ketimbang makhluk. Ia memutuskan segala hubungan yang bisa menjadi penghalang, selalu berusaha untuk memenuhi hajat kebutuhan manusia setelah selesai membenahi dirinya sendiri. Siapa yang berusaha memenuhi hajat manusia sebelum ia memperbaiki diri sendiri, berarti orang tersebut sebenarnya menginginkan kedudukan dan pujian.
Diantara akhlak salik adalah bersikap Qana’ah, yaitu merasa cukup dengan pemberian yang ada tanpa mengharap tambahan karunia. Lalu ia juga selalu berusaha agar dirinya senantiasa berada dalam keadaan suci. Malaikat berkata kepada Allah, “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat….”
Akhlak lainnya adalah berdo’a kepada Allah untuk menunjukkan keberadaan dirinya sebagai hamba,… sekaligus menunjukan kefakiran, kehinaan, kekhusyukan, ketundukan dan sikap tawadhu kepadaNya. Hal itu dilakukan karena keberadaan asma-asma Allah yang selaras dengan sifat tersebut. Tidak ada yang mengetahui rahasia dari asma-asma Tuhan tersebut kecuali orang yang bertingkah laku dengan sifat-sifat yang mencerminkan asma itu.
Seorang salik juga melihat pada aibnya, sibuk dengan dirinya, dan berusaha untuk tidak melihat aib orang. Ia selalu mempunyai prasangka yang baik kepada mereka. Ia membiasakan lisannya mengucapkan yang baik-baik, menjaga pandangan matanya agar tidak melihat kepada sesuatu yang tidak selayaknya, mempercepat langkah ketika berjalan, berusaha diam kecuali dalam kebaikan, melakukan amar maruf nahyi munkar kepada para penguasa yang mempunyai perasaan takut dan diharapkan bisa berubah, …
Senantiasa berlapang dada kepada semua makhluk, mendo’akan kaum muslimin, melayani orang-orang fakir, serta mengasihi dan menyayangi semua hamba Allah, baik manusia maupun yang lainnya.
Dikisahkan bahwa ada seorang penguasa yang sangat lalim,….
suatu hari ia menaiki tunggangannya dan kemudian melihat seekor anjing yang kepayahan. Udara pada hari tersebut sangat dingin. Ia pun segera memerintahkan para pembantunya agar anjing itu dibawa ke rumah. Ia sangat mengasihi anjing tersebut dan berbuat baik kepadanya. Ketika malam tiba, ia bermimpi ada suara yang berkata padanya,…“Engkau tadinya seperti anjing,.. maka kami berikan engkau pada seekor anjing.”
Sifat salik lainnya adalah senantiasa menyebarkan kebaikan manusia. Ia tutupi aib mereka, kecuali ahli bid’ah agar orang-orang mengetahui dan berhati-hati kepadanya.
Seorang salik juga selalu memandang dengan wajah yang menyiratkan penghormatan. Ia tidak pernah menganggap dirinya lebih baik dari orang lain, tidak merasa berjasa dan tidak meminjamkan –tapi memberi.
Kalaupun orang yang membutuhkan kemudian meminta sesuatu kepadanya, ia segera memberinya tanpa rasa pamrih. Namun, jika orang tadi mengembalikannya, ia meminta secara halus kepadanya agar tak usah dikembalikan. Kalau toh orang tadi menolak dan memaksa untuk mengembalikannya, maka ia mengambilnya, tapi untuk diserahkan kepada orang lain yang juga membutuhkannya.
Seorang salik takkan mengambil kembali apa yang sudah keluar darinya. Jika suatu ketika barangnya terjatuh dijalan, entah itu berupa pakaian atau uang, meskipun jumlahnya sekitar seribu dinar, sementara ia sudah berjalan jauh, ia takkan kembali untuk mencarinya dan tidak pula mengumumkannya. Jika ternyata pada kondisi tersebut jiwanya goncang, berarti padanya terdapat penyakit yang tersisa dan dunia masih mendekam dalam qalb-nya. Hendaknya ia lekas mengobati penyakitnya itu. Hanya saja, kalau barang yang hilang tadi kembali tanpa di cari, maka terserah ia. Ia bisa menyimpannya atau mengeluarkannya.
Selanjutnya, sifat seorang salik yang lain adalah mendahulukan kaum fakir daripada orang kaya serta mengutamakan mereka yang cenderung pada akhirat ketimbang hamba dunia. Seorang salik tidaklah harus menjadi miskin. Tetapi, ada yang miskin dan ada pula yang kaya.
Seorang salik juga senang melakukan amal ketaatan, baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian. Ia selalu berusaha agar jiwanya dan lintasan pikirannya bersama Allah dalam menerima limpahan karunia. Ia senantiasa ridha kepada Allah dalam semua kondisi. Segala puji bagiNya dalam setiap keadaan.
Kalau ia bisa mengubah kebiasaan yang lazim dilakukan oleh manusia dan dirinya, maka akan Allah berikan untuknya sesuatu yang luar biasa sebagai imbalan yang setimpal. Itulah yang oleh masyarakat awam disebut dengan karamah. Adapun bagi kalangan khusus, karamah adalah pertolongan Tuhan berupa taufiq dan kekuatan hingga ia bisa mengubah kebiasaan mereka.
Ketahulilah, bahwa jalan menuju Allah haruslah senantiasa bersih dari sikap menentang dan dari nafsu yang menyimpang. Pemberian alasan, sikap toleran dan kelembutan pada sesuatu yang mengarah pada penyimpangan dari jalan Allah adalah tidak boleh ada di dalamnya. Karena itu, perbuatan yang jelas-jelas melanggar syariat adalah layak dikecam dan tidak boleh diberi maaf. Sikap toleran hanya berlaku dalam sesuatu yang terkait dengan hak-hak pribadi.
Seorang salik yang hendak menapak jalan menuju Allah, haruslah berusaha memberikan apa yang menjadi hak orang tanpa menuntut balas dari mereka. Ia juga harus menerima alasan orang tanpa berusaha mencari alasan untuk diri sendiri.
Selain itu, ia harus menolong tanpa berusaha untuk ditolong, harus memperlakukan manusia dengan sikap kasih dan sayang, serta berinteraksi bersama mereka dengan mengembangkan sikap saling menasehati.
Ia tidak boleh dengki dan iri dalam apa yang Allah berikan pada orang.
Tidak berteman dan duduk bersama wanita. Serta tidak bersahabat dan bercengkrama dengan anak-anak muda.
Seorang salik juga harus berusaha menepati janji, berkata benar dan bersikap wara’ entah itu terkait dengan ucapan, makanan, pandangan dan seterusnya.
Ia tidak boleh bersikap riya, harus menjaga adab-adab syariat –baik yang kecil maupun yang besar- kalau sudah mengetahui. Kalau belum mengetahui, ia harus bertanya. Orang yang berani mengkhianati adab-adab syariat akan lebih berani lagi mengkhianati rahasia-rahasia ilahi. Karena itu, Allah hanya akan memberikan rahasiaNya kepada mereka yang bisa dipercaya.
Seorang salik tidak boleh memilih, sebab ia bersama pilihan Allah.
Ia juga harus meninggalkan hal-hal yang mubah, sebab memperhatikan hal yang mubah itu hanya akan membuang-buang waktu. Salik yang masuk ke dalam jalan ini, kalau sudah menjadi suami, hendaknya tidak menceraikan isterinya. Atau kalau masih bujang hendaknya tidak menikah dulu sampai sempurna. Dan jika sudah sempurna ia akan mendapat pemberian Allah.
Seorang salik harus jujur. Ia hanya berbicara dengan apa yang ia saksikan.
Ketika salik atau murid mengunjungi seorang syekh, qalb-nya harus kosong agar ia bisa menerima apa yang diberikan oleh syekhnya itu. Ia tidak boleh mengingkarinya. Jika sulit diterima, ia harus mengevaluasi diri dengan berkata,… “Saya belum sampai pada kedudukan ini.” Ia tidak boleh menganggap syekhnya yang salah. Siapa yang menemui syekh untuk mengujinya, berarti ia adalah seorang yang bodoh. Hendaknya ia meminta sang syekh untuk berbicara tentang persoalan khatir. Tetapi, yang mestinya ia minta adalah agar sang syekh tersebut mengajarkan kotoran-kotoran jiwa beserta obatnya, juga agar ia menerangkan hal-ihwal seorang murid, bukan hal-ihwal kaum arif.
Apabila seorang salik menyaksikan ada orang yang sedang berbuat maksiat, janganlah ia mempunyai keyakinan bahwa maksiat tersebut dilakukan seterusnya. Namun, hendaknya ia berkata,… “Barangkali ia bertaubat pada saat tak dilihat orang…” atau “Barangkali maksiat tersebut tidak mengkhawatirkan karena mungkin Allah menolong ia di akhir hidupnya.” Seorang salik tidak boleh mempunyai prasangka buruk terhadap seseorang kecuali yang memang telah Allah tampakkan akhir kehidupannya. Para salik juga tak boleh berprasangka baik terhadap dirinya. Siapa yang memandang dirinya lebih baik dari orang lain, padahal ia belum mengetahui keadaannya dan keadaan orang tersebut di akhir hidupnya, berarti ia bodoh terhadap Allah, tertipu dan tidak memiliki kebaikan. Meskipun ia diberi pengetahuan, tetapi sebetulnya ia tidak diberi. Meremehkan ilmu yang hakiki berarti meremehkan Allah. Dan tentu saja hal tersebut bertentangan dengan sifat kewalian.
Ciri-ciri seorang salik adalah ia selalu membersihkan diri dari berbagai perangai buruk dan mengisinya dengan berbagai akhlak yang terpuji.
Ia senantiasa sabar menghadapi gangguan orang dan tidak menyakiti.
Hendaknya ia senang membantu orang dalam hal kebajikan, mengasihi orang yang lemah, menunjuki orang yang sesat dan bodoh, menyadarkan orang yang lalai dan tidak membuat hijab.
Setiap orang yang meminta pertolongannya, selalu dibantu.
Setiap orang yang ingin menemuinya, selalu bisa bertemu.
Ia tidak menutup diri dari orang, selalu memberi kepada yang meminta, menghormati tamu, menghibur orang yang sedang merana, menenangkan orang yang sedang cemas, memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi baju kepada orang yang telanjang, membantu pelayan, selalu melakukan perbuatan mulia dan tidak melakukan perbuatan tercela.
Diantara ciri salik lainnya adalah selalu melakukan mujahadah jasmani seperti menahan rasa lapar dan haus, serta berujung dalam empat hal,…
::: Kematian putih, yaitu menahan lapar,
::: Kematian merah, yaitu menentang hawa nafsu,
::: Kematian hitam yaitu bersabar dalam memikul beban, serta
::: Kematian hijau yaitu memakai tembelan berlapis.
Seorang salik juga lebih mengutamakan orang lain, selalu bersandar kepada Allah dalam semua hal, ridha dengan semua ujian dariNya, bersabar dalam menghadapi berbagai macam penderitaan, meninggalkan tanah air, menjauh dari makhluk tanpa memandang mereka sebagai orang yang buruk, namun semata-mata karena lebih mengutamakan Allah ketimbang makhluk. Ia memutuskan segala hubungan yang bisa menjadi penghalang, selalu berusaha untuk memenuhi hajat kebutuhan manusia setelah selesai membenahi dirinya sendiri. Siapa yang berusaha memenuhi hajat manusia sebelum ia memperbaiki diri sendiri, berarti orang tersebut sebenarnya menginginkan kedudukan dan pujian.
Diantara akhlak salik adalah bersikap Qana’ah, yaitu merasa cukup dengan pemberian yang ada tanpa mengharap tambahan karunia. Lalu ia juga selalu berusaha agar dirinya senantiasa berada dalam keadaan suci. Malaikat berkata kepada Allah, “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat….”
Akhlak lainnya adalah berdo’a kepada Allah untuk menunjukkan keberadaan dirinya sebagai hamba,… sekaligus menunjukan kefakiran, kehinaan, kekhusyukan, ketundukan dan sikap tawadhu kepadaNya. Hal itu dilakukan karena keberadaan asma-asma Allah yang selaras dengan sifat tersebut. Tidak ada yang mengetahui rahasia dari asma-asma Tuhan tersebut kecuali orang yang bertingkah laku dengan sifat-sifat yang mencerminkan asma itu.
Seorang salik juga melihat pada aibnya, sibuk dengan dirinya, dan berusaha untuk tidak melihat aib orang. Ia selalu mempunyai prasangka yang baik kepada mereka. Ia membiasakan lisannya mengucapkan yang baik-baik, menjaga pandangan matanya agar tidak melihat kepada sesuatu yang tidak selayaknya, mempercepat langkah ketika berjalan, berusaha diam kecuali dalam kebaikan, melakukan amar maruf nahyi munkar kepada para penguasa yang mempunyai perasaan takut dan diharapkan bisa berubah, …
Senantiasa berlapang dada kepada semua makhluk, mendo’akan kaum muslimin, melayani orang-orang fakir, serta mengasihi dan menyayangi semua hamba Allah, baik manusia maupun yang lainnya.
Dikisahkan bahwa ada seorang penguasa yang sangat lalim,….
suatu hari ia menaiki tunggangannya dan kemudian melihat seekor anjing yang kepayahan. Udara pada hari tersebut sangat dingin. Ia pun segera memerintahkan para pembantunya agar anjing itu dibawa ke rumah. Ia sangat mengasihi anjing tersebut dan berbuat baik kepadanya. Ketika malam tiba, ia bermimpi ada suara yang berkata padanya,…“Engkau tadinya seperti anjing,.. maka kami berikan engkau pada seekor anjing.”
Sifat salik lainnya adalah senantiasa menyebarkan kebaikan manusia. Ia tutupi aib mereka, kecuali ahli bid’ah agar orang-orang mengetahui dan berhati-hati kepadanya.
Seorang salik juga selalu memandang dengan wajah yang menyiratkan penghormatan. Ia tidak pernah menganggap dirinya lebih baik dari orang lain, tidak merasa berjasa dan tidak meminjamkan –tapi memberi.
Kalaupun orang yang membutuhkan kemudian meminta sesuatu kepadanya, ia segera memberinya tanpa rasa pamrih. Namun, jika orang tadi mengembalikannya, ia meminta secara halus kepadanya agar tak usah dikembalikan. Kalau toh orang tadi menolak dan memaksa untuk mengembalikannya, maka ia mengambilnya, tapi untuk diserahkan kepada orang lain yang juga membutuhkannya.
Seorang salik takkan mengambil kembali apa yang sudah keluar darinya. Jika suatu ketika barangnya terjatuh dijalan, entah itu berupa pakaian atau uang, meskipun jumlahnya sekitar seribu dinar, sementara ia sudah berjalan jauh, ia takkan kembali untuk mencarinya dan tidak pula mengumumkannya. Jika ternyata pada kondisi tersebut jiwanya goncang, berarti padanya terdapat penyakit yang tersisa dan dunia masih mendekam dalam qalb-nya. Hendaknya ia lekas mengobati penyakitnya itu. Hanya saja, kalau barang yang hilang tadi kembali tanpa di cari, maka terserah ia. Ia bisa menyimpannya atau mengeluarkannya.
Selanjutnya, sifat seorang salik yang lain adalah mendahulukan kaum fakir daripada orang kaya serta mengutamakan mereka yang cenderung pada akhirat ketimbang hamba dunia. Seorang salik tidaklah harus menjadi miskin. Tetapi, ada yang miskin dan ada pula yang kaya.
Seorang salik juga senang melakukan amal ketaatan, baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian. Ia selalu berusaha agar jiwanya dan lintasan pikirannya bersama Allah dalam menerima limpahan karunia. Ia senantiasa ridha kepada Allah dalam semua kondisi. Segala puji bagiNya dalam setiap keadaan.
Kalau ia bisa mengubah kebiasaan yang lazim dilakukan oleh manusia dan dirinya, maka akan Allah berikan untuknya sesuatu yang luar biasa sebagai imbalan yang setimpal. Itulah yang oleh masyarakat awam disebut dengan karamah. Adapun bagi kalangan khusus, karamah adalah pertolongan Tuhan berupa taufiq dan kekuatan hingga ia bisa mengubah kebiasaan mereka.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan