Dalam mengenal hukum Islam, Ilmu Tauhid wajib diketahui oleh
seluruh umat manusia yang telah menginjak taraf dan apabila sampai tidak
mengtahuinya, menurut Iman Sanusi, hukumnya seperti bukan orang Islam (langsung
digolongkan ahli neraka setelah kematiannya kelak).
Muraqabah / Muhadharoh (sepertinya Allah selalu hadir dihadapan kita)
Terbahagi menjadi 3 bahagian :
Susunan Riyadha
Setiap manusia yang berpegang pada ilmu tauhid, mereka tidak bisa
naik derajatnya kecuali dengan taubat. Taubat itu sendiri tidak boleh berjalan
mulus kecuali dengan muhasabah / menjaga segala tingkah laku. Perjalanan taubat
tidak menaikkan derajat kecuali disertai dengan Muraqabah / selalu melihat
adanya Allah SWT. Taubat Muhasabah dinamakan “Min Babi Man Arafah Nafsah /
orang yang mengerti badan sendiri “atau maqam yang selalu memperbaiki tingkah
laku. Taubat Muraqabah dinamakan “Min babi Man Arafah Rabbah / orang yang
mengerti keagungan Allah SWT” dan maqam ini bisa sampai kehadirat Allah SWT.
Sewaktu muroqobah jalan, hasil yang kita peroleh adalah “Muhadarah / Allah
hadir”. Dari muhadoroh akan naik ke tingkat selanjutnya yaitu ”Musyahadah /
melihatnya kita kepada Allah SWT”. Lalu dari musyahadah akan membuahkan maqom
“Ma’rifatillah / mengerti dan memahami tentang Allah SWT”. Cara pandangan
Ma’rifat / tajalli (jelas dan tahkik, bahwa Allah Hak) ada yang melalui Af’al,
Sifat dan Dzat atau juga melalui
Asma’ Sifat dan Dzat.
Keterangan :
Musyahadah Uluhiyyah / Ilahiyyah adalah sewaktu kita melihat Hakekatnya Allah, maka yang kita rasakan adalah Rushu’ nya hati kita (bisa i’tidal / sebanding) atau bisa melihat makhluk dan melihat Allah seperti melihat wujud makhluk sewaktu kita melihat Allah, atau sebaliknya melihat Allah sewaktu melihat makhluk. Cara seperti ini dinamakan juga dengan istilah “Ummul Kitab / Hakekatnya Dzat”. Musyahadah Rububiyah adalah memilah atau menetapkan antara Allah dan makhluk (Min Haesu Hua Hua / Allah ya Allah, makhluk ya makhluk)Musyahadah Ahadiyyah (dinamakan juga Al-Qur’an / Dzat) adalah melihat Dzat Allah tanpa sifat dan Asma’ dan ini dinamakan “Bahrun Bila Maujin / Lautan tanpa ombak”. Musyahadah Wahidiyyah (dinamakan juga Al Furqan / Sifat) adalah melihat Allah dengan cara melihat Dzat dan SifatNya tanpa melihat makhluk (pribadi). Cara seperti ini dinamakan “Bahrun Bimaujin / Lautan dengan ombaknya”.
Menerimanya kita terhadap sifatnya Allah dan Sifat yang asal, Awal tajalli fi sifat terlahir dari sifat Hayat lalu sifat Ilmu, Sama’ Basor, Kalam, dan seterusnya.
Tauhid sendiri dibagi menjadi dua bagian :
Tauhid Syar’i
Tauhid
Hakiki
Tauhid Syar’i adalah mengenal Allah, dengan dalil-dalilnya.
Sedangkan inti dari ” Tauhid Hakiki”, mengenal kebesaran Allah SWT, secara
Tajalli (lepasnya jiwa antara yang tercipta dan yang menciptakan) baik lewat
Asma, Sifat, Af’al dan Dzat Allah secara keseluruhan. Dari keluasan Ilmu Tauhid
ini akhirnya menjadikan kita mengerti seputar derajat KeWalian yang terdapat
pada manusia (Hamba) serta memahaminya kita terhadap arti Islam, Iman, Ihsan
dan lainnya secara terperinci, luas dan bisirri, secara pandangan ilmu tauhid
sebenarnya.Tahapan Ibadah
Disini terbahagi menjadi
dua bahagian :
Ibadahnya
orang awam
Ibadahnya
Salihin Ma’rifat Billah
Yang
dimaksud dengan ibadahnya orang awam, mereka wajib mengikuti syariat yang
diajarkan oleh Rasulullah SAW, seperti yang terdapat pada rukun Islam, Yaitu,
memegang makna syahadatain, wajib menjalankan sholat 5 waktu, wajib membayar
zakat fitrah, wajib puasa di dalam bulan Ramadhan dan wajib berhaji bagi yang
mampu. Secara makna tafsir, “memegang makna Musyahadah dalam segala tingkah
laku lewat Morqobatu Nabi dan Muroqobatullah”. Sedangkan makna shalat,
mempererat bathiniah dengan selalu mengingat keagungan Allah SWT (Do’a). Lalu
makna zakat, memberi kebajikan secara terus menerus (bagi yang mampu) kepada
yang membutuhkan (lainsyakartum la azidannakum) dengan satu pemahaman
Musyahadah,”apapun rejeki yang kita punya tak lain semuanya milik Allah dan
kita sebagai hamba sekedar mejalankan perintahNya”. Makna puasa dibulan
Ramadhan adalah pencucian hati dan pikiran untuk berbuat baik dengan
meningkatkan makna takwa kepada Allah SWT.
Ibadahnya
Ahli Solihin Ma’rifatillah. Dimanapun mereka ditempatkan, niscaya hati dan
pikirannya tidak berubah untuk selalu bermunajat dan mengingat kebesaran Allah
SWT. Golongan ini disebut maqom Ahlillah atau Ahli Rosul yang hati dan
pikirannya tidak mempunyai bersitan was- was, ragu maupun bimbang dalam segala
persoalan hidup, sebab mereka tergolong “Muamalatul Qulub Awil Arwah / tidak
melihat zaman, waktu dan tempat”. Maksud dari perkataan tadi, mereka lebih
mengarahkan hati dan pikirannya hanya tertuju kepada Allah SWT, sehingga dalam
kitab “Iqodzul Himam” dijelaskan sebagai berikut :
“Sesungguhnya satu waktu bagi maqom Ma’rifat Billah, sebanding
dengan ibadahnya orang awam seumur hidup” atau dalam katalain, “Dua rokaat
ibadahnya ahli Ma’rifatillah, sebanding dengan kebajikan’ Ibadahnya orang awam
sepanjang masa”. Secara makna luas “Dimanapun mereka ditempatkan, maka tempat
itu adalah Arofahnya dan setiap waktu baginya adalah Lailatul Qodarnya secara
muthlak”.
Sebelum kita pahami lebih luas makna tauhid sesungguhnya, ada
baiknya mengenal dulu makna Ikhlas yang terbagi menjadi tiga bagian :
Ikhlas
Khusussuk Khusus, yang artinya,”Ibadah murni karena Allah SWT seperti ibadahnya
Maqom Kholil, Hub, Syareatul Khotam, dan maqom kesempurnaan lainnya”. Maqom ini mendahulukan
makna takwa dengan menjaga sifat ke Tuhanan secara keseluruhan (Allah)
Ikhlas Ahlul Khusus, suatu
tahapan ibadah yang masih mempunyai tujuan khususiah, seperti minta derajat,
surga dan maqomat lainnya.
Ikhlas Ahlul Umum, Ibadah
karena Allah, tapi masih punya pamrih, seperti, minta rejeki, pangkat, derajat
dan lainnya (Ibadah Birroja’).
Pemulaan Yang Wajib
Diketahui Orang Islam
Bagi keseluruhan kaum Muslimin
/ Muslimat, wajib memahami 3 bahagian dasar
Islam (menjaga tingkah laku)
Iman (menjaga makna yakin tanpa terbersit rasa
keraguan)
Ihsan (melestarikan sifat kebajikan secara
istikomah karena Allah)
Dari ketiga sifat ini
semuanya saling berkesinambungan satu dengan lainnya, sebab Iman tanpa didasari
Islam, Kurang sempurna dalam mengenal keyakinan kepada Allah dan RasulNya, juga
Iman tanpa didasari pemahaman Ihsan pada akhirnya kurang berkualiti (tidak
boleh naik).
Iman dalam pandangan Al-Qur’an
adalah menjaga segala tingkah laku sesuai anjurannya atau dalam kata lain ,”
Keyakinan yang disertai tingkah laku”, Maksud dari pembedaran tadi,”Menjaga
tingkah laku dari makna maksiat dan menusatkan hati serta pikiran kita dengan
selalu memohon ampunanNya”. Bila sudah mengikuti aturan ini, makna orang tadi
sudah tergolong maqam Mahfud, yang selalu
mengistiqamahkan makna kebajikan hingga menjadi Nur (yang dijaga oleh Allah)
dan maqom ini tergolong Ahlillah atau maqam Ihsan.
Sedangkan “Ihsan” secara
rinci terbagi menjadi dua bahagian.
Muhasabah (Muraqabatul Ahwal),”Kebajikan yang dilestarikan
dan menjaga sifat atau tingkah laku kita dengan dilandasi hukum syar’i secara
sempurna”. Cara seperti ini disebut (Ihsan yang masuk pada makna Islam).
Muroqobah,”Kebajikan
yang dilestarikan dengan cara beristiqomah, karena seakan-akan kita melihat
Allah, atau meyakini bahwa Allah melihat kita, seperti memudawamkan asma Allah
secara tartibul lisan dan menjaga tingkah laku dari maksiat, serta melestarikan
kebaikan secara terus menerus”. Cara seperti ini disebut (Ihsan yang masuk pada
makna Iman).
Dalam pandangan lain, penyatuan antara Ihsan, Iman, apabila sudah
bisa dilaksanakan maka disebut “Fima Akamahullah” / menseleksi tingkah laku
atau tetap menjaga kebajikan iman yang sudah kita pelihara. Dari dua sifat tadi
apabila kita mampu melaksanakannya secara istiqomah, maka timbul suatu karomah
atau derajat Wilayah yang mempunyai sifat “Kun Fayakun” sebagai maqom teragung
menjadi Waliyullah Kamil (Maqam Qurbah). Tahapan ini sudah bisa dikategorikan
sebagai seorang Waliyullah, yang mengerti antara satu Wali dengan Wali lainnya.
Sebab siapapun yang sudah memegang peranan ini niscaya dengan keagungan dan
janji Allah SWT, mereka tergolong orang yang diberikan kekuatan penglihatan
(Basyaratul ‘Ain dan Basyatul Qalbi) serta ke i’tidalan hati dalam segala
pandangan lahir maupun mata bathin. Namun untuk bisa mencapainya, diwajibkan
menjaga kezuhudan dan ketaatan kita kepada Allah SWT “Fima Aqomahullah / dimanapun
kita berdiam diri, maka disitu pula tingkah laku, hati dan pikiran kita selalu
ingat Allah SWT”.
Sebagai tambahan, Ihsan yang berhubungan dengan makna “Muraqobah”
dibahagi menjadi dua tingkatan :
Maqom Syuhud
Maqom Muhadoroh
Perjalanan Mengenal Kesempurnaan Islam
Sebelum mengenal makna Islam, setiap manusia punya dua kategori
perjalanan hidup, baik lewat ilmu pengetahuan maupun secara hukum kitab, cara
seperti ini menurut pemahaman Ulama terbagi menjadi dua bahagian :
Dengan cara Bil Ahkam (Memegang hukum kitab seperti Al-Qur’an, Hadist
dan kita Warosatil Ambiya) sebagai tuntunannya.
2. Dengan cara Biddhaukiyyah wabisuhbati Rijal (Lewat pemahaman dhaukiyah, menuju kebajikan
atau menemani ahli-ahlinya Allah) dengan cara bertafakkur maupun mudawamah
bidzikrillahi tathmainnal qulub atau kedua-duanya, Bil Ahkam dan Billah.
Bila sudah mengerti dengan pembedaran tadi, selanjutnya kita akan
mengenal keagungan Allah SWT, lewat Kitabbullah maupun secara dhaukiyyah.
Disini kami contohkan salah satunya dengan memahami sifat yang jauh sudah
dujadikan oleh Allah, sebagai makna Tafakur Tajalli fil Af’al dan sifat,
seperti adanya bumi, langit, tumbuhan, air dan seluruh sifat alamyang bisa kita
lihat maupun kita rasakan keberadaannya seperti angin dan makhluk lainnya. Untuk dapat mencapai
kesemuprnaan Islam, kita haruskan mejnaga tiga hal yaitu :
1.Taubat
2.Takwa
3.Istiqamah
Makna Taubat.
Dari kejelekan menuju kebaikan dan dari kebaikan menuju yang lebih
baik, seperti, selalu memohon ampunan kepada Allah SWT, Atas segala dosa dan
kelalaian yang pernah kita perbuat, juga selalu memberikan manfaat serta
menjauhi segala laranganNya dan memanfaatkan waktu yang ada menuju jalan
ketaqwaan (seperti sifat Rasulullah SAW). Juga seperti contoh yang diambil dari
hikayat doa Nabiyullah Adam AS, sewaktu beliau dikeluarkan dari surga Majazi
“Robbana dzolamna anfusana waillam tagfir lana watarhamna lanakunanna minal
khosirin”. Do’a ini menceritakan “Walau Nabi Adam AS, tahu yang menjadi beliau
diusir dari surga akibat rayuan syaitan terkutuk, namun dalam do’a tadi sama
sekali tidak mencantumkan nama syaitan sebagai wasilahnya melainkan beliau
menyalahkan dirinya sendiri “Dzolamna anfusana / dzolimku karena ulahku
sendiri”.
Makna Takwa.
Melaksanakan perintah Allah
dan menjauhi larangan-Nya dengan cara menghilangkan rasa malas agar bisa
mendekatkan diri kepada Allah. Juga menjadikan setiap hela nafas kita kalam
maupun ucapan asma Illahiyyah sehingga dengan cara ini mulut kita selalu
dijaga, emosi selalu terkontrol, pemahaman selalu diarahkan dalam kebajikan dan
lain sebagainya.
Makna Istiqamah.
Menjaga keseimbangan amal
dalam menjalankan makna hidup sebenarnya. Yang dimaksud disini adalah
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya seperti, melestarikan
makna sodakoh secara istiqomah, menjalankan pendekatan diri lewat dzikir maupun
tafakkur, menata badan dan fikiran agar selalu bersih dari sifat yang kurang
diridhoi oleh Allah dan lain sebagainya. Dengan kata lain, Istiqomah kita tetap
terjaga dengan terus bertaqwa kepadaNya.
Mengenal Ihsan Secara
Sempurna
Ihsan dapat sempurna
melalui (3) bahagian :
Muraqabah / Muhadharoh (sepertinya Allah selalu hadir dihadapan kita)
Musyahadah (pandangan kita selalu tertuju
kepada Allah)
Ma’rifat (memahami Allah dan ciptaannya secara adab)
Yang dimaksud “Muraqabah,
(dimana kita ditempatkan, disitu pula bisa merasakan seolah hadirnya Allah
SWT”. Dan dengan kerushukhan hati ini akan menjaga dari segala yang dilarang
dan meningkatkan makna yakin sehingga menjadikan tingkah laku kita tetap
terjaga. Muroqobah ini termasuk
“Mim Babi Wahua Ma’akum Ainama Kuntum”.
Yang dimaksud dengan
arti ”Musyahadah, (dengan seringnya kita mendekatkan diri kita kepada Allah
SWT, niscaya keyakinan yang kita miliki terus bertambah) dan cara seperti ini
menjadikan apapun yang kita rasakan, pada akhirnya akan kembali lagi kepada
Allah “Mim Babi, Allahu Nurussamawati Wal-Ard” atau “Ainama Tuwallu Fatsamma
Wajhullah”
Sedangkan makna
”Ma’rifat” (orang-orang yang memahami tentang adabnya Allah dan Rosulnya).
Disini termasuk mereka yang bisa memahami makna “Asyhadu Anla Ilaha Illallah,
Wa asyhadu anna Muhammadar Rosulullah” dan dalam maqom ini tidak bisa dinilai
sejauh mana adab kita kecuali dengan panduan Mursyid tau dengan keluasan Imu
yang kita miliki secara dhaukiyatul kamil / pemahaman yan mampu menyelami Imu
bangsa ke Tuhanan.
Sebagai suatu
kewaspadaan dalam menjalankan arti hidup, Islam, Imam dan Ihsan, Bisa hancur
sampai keakarnya akibat “Murtad dan Musyrik”. Sedangkan Islam, bisa lemah
akibat perbuatan maksiat. Iman, bisa lemah akibat tidak bisa menjaga keyakinan.
Dan Ihsan, bisa lemah akibat tidak bisa menjaga pandangan (selalu memandang
makhluk lain).
Kuatnya Islam terlahir akibat “Muhafadah” / menjaga tingkah laku dan
ucapan.
Cara dari orang yang telah
mencapai kesempurnaan maqam Islam, bisa dilihat dari segi: “Orang tersebut
tidak sampai meninggalkan ibadahnya walau hujatan maupun caci maki datang silih
berganti”, seperti contoh, “Di mana kita bisa melestarikan kebajikan secara
istikomah, maka segala ucapan dan kedengkian orang lain tidak sampai
menyurutkan hati dan pikiran untuk selalu menjalankannya”. Sempurna iman
terlahir karena Ridha
dan Taslim
(Menerima) terhadap segala cobaan dan kenikmatan yang ada, dan sempurnanya iman
disini tidak bisa terjadi kecuali kehendak Allah SWT. Sedangkan yang dimaksud
Ihsan, prakteknya harus denga adab dan ciri dari kesempurnaan Ihsan, “Akal dan
hatinya tidak sampai menoleh dari pandangan orang lain kecuali hanya kepada
Allah SWT”.
Bagi yang menjalankan
ibadah dengan berpegangan Islam dan Iman atau yang disebut dengan nama “Nurut Tawajjuh” (Nur yang terdapat dari
ibadah kita) tingkatan ini sifatnya masih mencari Nur Allah SWT. Sedangkna “Anwarul Muwajjah” (Nur yang datang ke kita
sewaktu menghadap Allah) seperti yang ada pada maqam, Ihsan, wusul dan
ma’rifat, maka Nur Allah SWT yang datang langsung, bukan sebaliknya Nur yang
dicari
Keterangan :
Dimana mereka telah
menguasai tingkat Islam dan Iman, menurut pandangan Ahlul Tauhid disebut ,
“Orang ini masih mencari Nur Allah SWT” dan belum termasuk maqom Ma’rifatillah.
Sedangkan orang yang telah menguasai tingkatan Ihsan (hanya melihat kebajikan
Allah), atau maqam Wusul (pemahaman yang sampai kepada Allah) juga maqam
Ma’rifatillah. Sedangkan orang yang telah menguasai tingkatan Ihsan (hanya
melihat kebajikan Allah) atau maqam Wusul (pemahaman yang sampai kepada Allah)
juga maqom Tauhid (keyakinannya telah sampai kehadirat Allah) dan maqom
Ma’rifat (memahami segala Sifat, Asma, Af’al dan Dzat Allah SWT) maka dalam
maqom ini Nur Allah SWT yang datang menjumpai kita.
Memahami Nur Ilahiyyah
terbagi menjadi tiga bagian :
Su’a'ul Basyirah (Pantulan Cahaya) artinya orang yang sudah
merasakan kedekatannya dengan Allah SWT (Muraqabah).
Ainul Basyirah (Wujud dari terangnya cahaya Allah) artinya
tidak melihat dirinya sendiri karena adanya Allah SWT (Maqam Syuhud).
Hakkul Basyirah (Hakekatnya Cahaya Allah) artinya melihat
wujudnya Allah, dan tidak melihat ada maupun tidak adanya kita (golongan ini
sudah menduduki maqom Tamkin Warrusu’).
Keterangan :
Sifat dari ahli Su’a'ul
Basyirah, “Segala tingkah laku, kebaikan dan lainnya telah terjaga”. Maqam ini
selalu menjaga lahir bathinnya dengan menafakuri keagungan Allah, sehingga
seolah-olah Allah SWT selalu hadir dihadapan kita.
Sifat Ainul
Basyirah,”Lepasnya antara Sifat, Af’al, Asma’ kita (makhluk) karena ketariknya
kita pada Nur Allah (Zadabiyyah) sehingga dengan ketertariknya ini seolah-olah kita tidak
mempunyai wujud badan, kecuali hanya Dzat Allah.
Hakkul Basyiroh, “Penyatuan bathin terhadap ke-Esaan Allah SWT
seperti melihat maupun tidaknya kita, kerusukhan hati kita hanya tertuju kepada
Allah.
Mengenal Pandangan Alam
Terbahagi menjadi 3 bahagian :
Alam Mulku, tersirat dalam penglihatan panca indra
dhohir atau tatapan mata
Alam Malakut, tersirat dalam pandangan ilmiah . bathiniah
(hati dan fikiran)
Alam Jabarut, tersirat dalam panca indra ruh atau Sir (Fi
Jaufil Qolbi / hati yang paling dalam), melihat semua hakikat Allah.
Apabila melalui Af’al, maka dinamakan Tajalli fil Af’al
Apabila melalui Sifat, maka dinamakan Tajalli fi Sifat
Apabila melalui Dzat, maka dinamakan Tajalli fil Dzat
Apabila melalui Asma’ maka dinamakan Tajalli fil Asma’
Apabila melalui Sifat, maka dinamakan Tajalli fi Sifat
Apabila melalui Dzat, maka dinamakan Tajalli fil Dzat
Apabila melalui Asma’ maka dinamakan Tajalli fil Asma’
Orang Salik / murid, yang sedang menempuh perjalanan ilmu Allah
tahapannya melalui Tajalli Fil Af’al atau Asma’, yang diteruskan dengan tahapan
selanjutnya yaitu fil Sifat dan Dzat. Sedangkan orang Mazdub (ketarik hati dan
pikirannya kepada Allah perjalanannya melalui tahapan Dzat, turun ke Sifat
terus ke Af’al atau Asma’. Kesempurnaan ilmu dalam mengenal ibadah kepada Allah
SWT, apabila orang itu sudah pernah mengalami Salik dan Mazdub. Apbila Salik
saja dalam perjalanan ini niscaya kuranglah sempurna atau Zadab saja, maka
tidak SAH dijadikan guru atau mursyid.
Penataan tingkah laku / istiqomah dalam menaikkan derajat kepada
Allah SWT, terbahagi menjadi empat bahagian :
Dzikir sampai membuahkan amal Soleh dan Nur
Tafakkur sampai datang ke tingkat Sabar dan membuahkan
Thuma’ninah.
Iftiqar, selalu membutuhkan Allah SWT, sampai datang ke
maqom Syukur dan membuahkan suatu kenikmatan abadi.
Mahabbah Ilallah, tidak menoleh terhadap lainnya kecuali Allah
SWT, cara ini membuahkan Wusul dan menunggalkan Allah.
Bagi yang boleh menjalankan tingkat Dzikir (No.1) maka termasuk
golongan Min Jumlati Sholihin (Ahli Sholihin) Bagi yang bisa menjalankan
tingkat Dzikir dan Tafakkur (No.1 & 2) maka termasuk Minas Sholihin Kamil
(Ahli Shalihin Kamil) Bagi yang bisa menjalankan tingkat Dzikir , Tafakkur dan
Itiqar (No. 1,2 & 3) maka termasuk Min Auliyail Mutaqorribin (Kekasih Allah
yang dekat) Bagi yang bisa menjalankan tingkat Dzikir , Tafakkur, Iftiqar dan
Mahabbah Ilallah (No. 1,2,3 & 4) maka termasuk Min Ahli Tahkik Minas
Siddikin (Min Auliyail Kamil) Juga bagi yang siappapun yang bisa menjalankan
ke-4 tingkatan tadi dengan cara Mujahadah dan Riyadho maka kita sudah dinamakan
Wilayatus Sugra atau “SAH” wilayahnya. Dinamakan pula dengan Maqam Wilayatul
Makasib / wilayah yang dicari. Sedangkan yang menjalankan ke-4 tingkatan tadi
dengan didasari sifat Mahabbah / kasih sayang, maka sudah dinamakanWilayatul
Kubro atau sudah sempurna dalam tingkat kewaliannya / Wilayatul Kamil.
Dinamakan pula Maqam Wiyatul Mawahib / jadiah dari Allah SWT. Yang dinamakan
Wusul yaitu pemahaman, keyakinan dan tauhid kita kepada Allah. Sedangkan yang
dinamakan Musyahadah terbahagi menjadi 4 bahagian diantaranya :
Musyahadah Uluhiyah
Musyahadah Rububiyah
Musyahadah Ahadiyyah
Musyahadah Wahidiyyah
Musyahadah Uluhiyyah / Ilahiyyah adalah sewaktu kita melihat Hakekatnya Allah, maka yang kita rasakan adalah Rushu’ nya hati kita (bisa i’tidal / sebanding) atau bisa melihat makhluk dan melihat Allah seperti melihat wujud makhluk sewaktu kita melihat Allah, atau sebaliknya melihat Allah sewaktu melihat makhluk. Cara seperti ini dinamakan juga dengan istilah “Ummul Kitab / Hakekatnya Dzat”. Musyahadah Rububiyah adalah memilah atau menetapkan antara Allah dan makhluk (Min Haesu Hua Hua / Allah ya Allah, makhluk ya makhluk)Musyahadah Ahadiyyah (dinamakan juga Al-Qur’an / Dzat) adalah melihat Dzat Allah tanpa sifat dan Asma’ dan ini dinamakan “Bahrun Bila Maujin / Lautan tanpa ombak”. Musyahadah Wahidiyyah (dinamakan juga Al Furqan / Sifat) adalah melihat Allah dengan cara melihat Dzat dan SifatNya tanpa melihat makhluk (pribadi). Cara seperti ini dinamakan “Bahrun Bimaujin / Lautan dengan ombaknya”.
Pengertian Musyahadah /
Tajalli
Yang tidak memahami
badan sendiri disebut dengan maqom “Fana”
Yang memahami badan
sendiri disebut dengan maqom “Baqo”
Yang memahami Allah,
dan badan sendiri disebut dengan maqom “Jam’i”
Yang memahami Allah
semata atau badan sendiri disebut dengan maqom “Farqi / Pisah”
Yang memahami Allah dan
badan sendiri disebut dengan maqom “sohwi / sehat”
Yang memahami Allah
semata disebut maqom “makwi / lebur”
Yang dinamakan Tajalli adalah hilangnya Dzat, Sifat dan Af’alnya
kita dan masuknya Dzat, Sifat dan Af’alnya Allah.
Tajalli Fil Af’al
Hilangnya sifat Khoul (rekadaya / berandal), Kuah (Kekuatan) dan
Irodah (kehendak) seorang hamba di isi dengan Af’al Allah. Seperti contoh
melihatnya hamba qudratnya Allah, dengan cara melihat pada salah satu sifat
makhluk,”Hamba memahami bahwa yang mendiamkan dan mengubah sesuatu apapun tak
lain adalah Allah”.
Tajalli Fil Asma’
Tertutupnya hamba karena
adanya Nur Asma’ Allah. Dalam hal ini hamba akan menjawab sewaktu ada ucapan
yang menyebut Asma Allah. Awal tajalli fil Asma’ terlahir melalui Asma’ Wujud
yang diteruskan dengan Asma’ Wahid dan selanjutnya Asma’ Allah. Sewaktu sedang
tajalli fil asma’ maka hilanglah sifat Abdiyyah kita dan setelah itu naik ke
sifat Arrohman dan sesudahnya Arobbah terus ke Sifat Al Muluk, Al Alim, Al
Qodir dan lainnya.
Tajalli Fi Sifat
Menerimanya kita terhadap sifatnya Allah dan Sifat yang asal, Awal tajalli fi sifat terlahir dari sifat Hayat lalu sifat Ilmu, Sama’ Basor, Kalam, dan seterusnya.
Tajalli Fi Dzat
Hilangnya
Dzat kita diganti dengan Dzat Allah. Awal tajalli fi Dzat dinamakan Tajalli
Ahadiyyah (melihat Dzat Allah tanpa Sifat dan Asma’) lalu Tajalli Hawiyyah
(sifat bathin Allah SWT yang terdapat pada makhluk) dan seterusnya Tajalli
Iniyyah (Sifat dhohir Allah yang terdapat pada makhluk).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan