Catatan Popular

Isnin, 2 Julai 2012

PERJALANAN TAUHID

Dalam mengenal hukum Islam, Ilmu Tauhid wajib diketahui oleh seluruh umat manusia yang telah menginjak taraf dan apabila sampai tidak mengtahuinya, menurut Iman Sanusi, hukumnya seperti bukan orang Islam (langsung digolongkan ahli neraka setelah kematiannya kelak). 

Tauhid sendiri dibagi menjadi dua bagian :
 
Tauhid Syar’i
Tauhid Hakiki 

Tauhid Syar’i adalah mengenal Allah, dengan dalil-dalilnya. Sedangkan inti dari ” Tauhid Hakiki”, mengenal kebesaran Allah SWT, secara Tajalli (lepasnya jiwa antara yang tercipta dan yang menciptakan) baik lewat Asma, Sifat, Af’al dan Dzat Allah secara keseluruhan. Dari keluasan Ilmu Tauhid ini akhirnya menjadikan kita mengerti seputar derajat KeWalian yang terdapat pada manusia (Hamba) serta memahaminya kita terhadap arti Islam, Iman, Ihsan dan lainnya secara terperinci, luas dan bisirri, secara pandangan ilmu tauhid sebenarnya.Tahapan Ibadah 

Disini terbahagi menjadi dua bahagian : 

Ibadahnya orang awam
Ibadahnya Salihin Ma’rifat Billah 

Yang dimaksud dengan ibadahnya orang awam, mereka wajib mengikuti syariat yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, seperti yang terdapat pada rukun Islam, Yaitu, memegang makna syahadatain, wajib menjalankan sholat 5 waktu, wajib membayar zakat fitrah, wajib puasa di dalam bulan Ramadhan dan wajib berhaji bagi yang mampu. Secara makna tafsir, “memegang makna Musyahadah dalam segala tingkah laku lewat Morqobatu Nabi dan Muroqobatullah”. Sedangkan makna shalat, mempererat bathiniah dengan selalu mengingat keagungan Allah SWT (Do’a). Lalu makna zakat, memberi kebajikan secara terus menerus (bagi yang mampu) kepada yang membutuhkan (lainsyakartum la azidannakum) dengan satu pemahaman Musyahadah,”apapun rejeki yang kita punya tak lain semuanya milik Allah dan kita sebagai hamba sekedar mejalankan perintahNya”. Makna puasa dibulan Ramadhan adalah pencucian hati dan pikiran untuk berbuat baik dengan meningkatkan makna takwa kepada Allah SWT. 

Ibadahnya Ahli Solihin Ma’rifatillah. Dimanapun mereka ditempatkan, niscaya hati dan pikirannya tidak berubah untuk selalu bermunajat dan mengingat kebesaran Allah SWT. Golongan ini disebut maqom Ahlillah atau Ahli Rosul yang hati dan pikirannya tidak mempunyai bersitan was- was, ragu maupun bimbang dalam segala persoalan hidup, sebab mereka tergolong “Muamalatul Qulub Awil Arwah / tidak melihat zaman, waktu dan tempat”. Maksud dari perkataan tadi, mereka lebih mengarahkan hati dan pikirannya hanya tertuju kepada Allah SWT, sehingga dalam kitab “Iqodzul Himam” dijelaskan sebagai berikut :

“Sesungguhnya satu waktu bagi maqom Ma’rifat Billah, sebanding dengan ibadahnya orang awam seumur hidup” atau dalam katalain, “Dua rokaat ibadahnya ahli Ma’rifatillah, sebanding dengan kebajikan’ Ibadahnya orang awam sepanjang masa”. Secara makna luas “Dimanapun mereka ditempatkan, maka tempat itu adalah Arofahnya dan setiap waktu baginya adalah Lailatul Qodarnya secara muthlak”.  

Sebelum kita pahami lebih luas makna tauhid sesungguhnya, ada baiknya mengenal dulu makna Ikhlas yang terbagi menjadi tiga bagian :

Ikhlas Khusussuk Khusus, yang artinya,”Ibadah murni karena Allah SWT seperti ibadahnya Maqom Kholil, Hub, Syareatul Khotam, dan maqom kesempurnaan lainnya”. Maqom ini mendahulukan makna takwa dengan menjaga sifat ke Tuhanan secara keseluruhan (Allah) 

Ikhlas Ahlul Khusus, suatu tahapan ibadah yang masih mempunyai tujuan khususiah, seperti minta derajat, surga dan maqomat lainnya. 

Ikhlas Ahlul Umum, Ibadah karena Allah, tapi masih punya pamrih, seperti, minta rejeki, pangkat, derajat dan lainnya (Ibadah Birroja’).
 

Pemulaan Yang Wajib Diketahui Orang Islam 

Bagi keseluruhan kaum Muslimin / Muslimat, wajib memahami 3 bahagian dasar

Islam (menjaga tingkah laku)

Iman (menjaga makna yakin tanpa terbersit rasa keraguan)

Ihsan (melestarikan sifat kebajikan secara istikomah karena Allah) 

Dari ketiga sifat ini semuanya saling berkesinambungan satu dengan lainnya, sebab Iman tanpa didasari Islam, Kurang sempurna dalam mengenal keyakinan kepada Allah dan RasulNya, juga Iman tanpa didasari pemahaman Ihsan pada akhirnya kurang berkualiti (tidak boleh naik).

Iman dalam pandangan Al-Qur’an adalah menjaga segala tingkah laku sesuai anjurannya atau dalam kata lain ,” Keyakinan yang disertai tingkah laku”, Maksud dari pembedaran tadi,”Menjaga tingkah laku dari makna maksiat dan menusatkan hati serta pikiran kita dengan selalu memohon ampunanNya”. Bila sudah mengikuti aturan ini, makna orang tadi sudah tergolong maqam Mahfud, yang selalu mengistiqamahkan makna kebajikan hingga menjadi Nur (yang dijaga oleh Allah) dan maqom ini tergolong Ahlillah atau maqam Ihsan. 

Sedangkan “Ihsan” secara rinci terbagi menjadi dua bahagian. 

Muhasabah (Muraqabatul Ahwal),”Kebajikan yang dilestarikan dan menjaga sifat atau tingkah laku kita dengan dilandasi hukum syar’i secara sempurna”. Cara seperti ini disebut (Ihsan yang masuk pada makna Islam).

Muroqobah,”Kebajikan yang dilestarikan dengan cara beristiqomah, karena seakan-akan kita melihat Allah, atau meyakini bahwa Allah melihat kita, seperti memudawamkan asma Allah secara tartibul lisan dan menjaga tingkah laku dari maksiat, serta melestarikan kebaikan secara terus menerus”. Cara seperti ini disebut (Ihsan yang masuk pada makna Iman).

Dalam pandangan lain, penyatuan antara Ihsan, Iman, apabila sudah bisa dilaksanakan maka disebut “Fima Akamahullah” / menseleksi tingkah laku atau tetap menjaga kebajikan iman yang sudah kita pelihara. Dari dua sifat tadi apabila kita mampu melaksanakannya secara istiqomah, maka timbul suatu karomah atau derajat Wilayah yang mempunyai sifat “Kun Fayakun” sebagai maqom teragung menjadi Waliyullah Kamil (Maqam Qurbah). Tahapan ini sudah bisa dikategorikan sebagai seorang Waliyullah, yang mengerti antara satu Wali dengan Wali lainnya. Sebab siapapun yang sudah memegang peranan ini niscaya dengan keagungan dan janji Allah SWT, mereka tergolong orang yang diberikan kekuatan penglihatan (Basyaratul ‘Ain dan Basyatul Qalbi) serta ke i’tidalan hati dalam segala pandangan lahir maupun mata bathin. Namun untuk bisa mencapainya, diwajibkan menjaga kezuhudan dan ketaatan kita kepada Allah SWT “Fima Aqomahullah / dimanapun kita berdiam diri, maka disitu pula tingkah laku, hati dan pikiran kita selalu ingat Allah SWT”.  

Sebagai tambahan, Ihsan yang berhubungan dengan makna “Muraqobah” dibahagi menjadi dua tingkatan :

      Maqom Syuhud

      Maqom Muhadoroh 

Perjalanan Mengenal Kesempurnaan Islam 

Sebelum mengenal makna Islam, setiap manusia punya dua kategori perjalanan hidup, baik lewat ilmu pengetahuan maupun secara hukum kitab, cara seperti ini menurut pemahaman Ulama terbagi menjadi dua bahagian : 

      Dengan cara Bil Ahkam (Memegang hukum kitab seperti Al-Qur’an, Hadist dan kita Warosatil Ambiya) sebagai tuntunannya. 

2. Dengan cara Biddhaukiyyah wabisuhbati Rijal (Lewat pemahaman dhaukiyah, menuju kebajikan atau menemani ahli-ahlinya Allah) dengan cara bertafakkur maupun mudawamah bidzikrillahi tathmainnal qulub atau kedua-duanya, Bil Ahkam dan Billah. 

Bila sudah mengerti dengan pembedaran tadi, selanjutnya kita akan mengenal keagungan Allah SWT, lewat Kitabbullah maupun secara dhaukiyyah. Disini kami contohkan salah satunya dengan memahami sifat yang jauh sudah dujadikan oleh Allah, sebagai makna Tafakur Tajalli fil Af’al dan sifat, seperti adanya bumi, langit, tumbuhan, air dan seluruh sifat alamyang bisa kita lihat maupun kita rasakan keberadaannya seperti angin dan makhluk lainnya. Untuk dapat mencapai kesemuprnaan Islam, kita haruskan mejnaga tiga hal yaitu : 

      1.Taubat

      2.Takwa

      3.Istiqamah 

Makna Taubat.  

Dari kejelekan menuju kebaikan dan dari kebaikan menuju yang lebih baik, seperti, selalu memohon ampunan kepada Allah SWT, Atas segala dosa dan kelalaian yang pernah kita perbuat, juga selalu memberikan manfaat serta menjauhi segala laranganNya dan memanfaatkan waktu yang ada menuju jalan ketaqwaan (seperti sifat Rasulullah SAW). Juga seperti contoh yang diambil dari hikayat doa Nabiyullah Adam AS, sewaktu beliau dikeluarkan dari surga Majazi “Robbana dzolamna anfusana waillam tagfir lana watarhamna lanakunanna minal khosirin”. Do’a ini menceritakan “Walau Nabi Adam AS, tahu yang menjadi beliau diusir dari surga akibat rayuan syaitan terkutuk, namun dalam do’a tadi sama sekali tidak mencantumkan nama syaitan sebagai wasilahnya melainkan beliau menyalahkan dirinya sendiri “Dzolamna anfusana / dzolimku karena ulahku sendiri”. 

Makna Takwa. 

Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan cara menghilangkan rasa malas agar bisa mendekatkan diri kepada Allah. Juga menjadikan setiap hela nafas kita kalam maupun ucapan asma Illahiyyah sehingga dengan cara ini mulut kita selalu dijaga, emosi selalu terkontrol, pemahaman selalu diarahkan dalam kebajikan dan lain sebagainya.

Makna Istiqamah.

Menjaga keseimbangan amal dalam menjalankan makna hidup sebenarnya. Yang dimaksud disini adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya seperti, melestarikan makna sodakoh secara istiqomah, menjalankan pendekatan diri lewat dzikir maupun tafakkur, menata badan dan fikiran agar selalu bersih dari sifat yang kurang diridhoi oleh Allah dan lain sebagainya. Dengan kata lain, Istiqomah kita tetap terjaga dengan terus bertaqwa kepadaNya.

 
Mengenal Ihsan Secara Sempurna
 
Ihsan dapat sempurna melalui (3) bahagian :

Muraqabah / Muhadharoh (sepertinya Allah selalu hadir dihadapan kita)

      Musyahadah (pandangan kita selalu tertuju kepada Allah)

      Ma’rifat (memahami Allah dan ciptaannya secara adab)

Yang dimaksud “Muraqabah, (dimana kita ditempatkan, disitu pula bisa merasakan seolah hadirnya Allah SWT”. Dan dengan kerushukhan hati ini akan menjaga dari segala yang dilarang dan meningkatkan makna yakin sehingga menjadikan tingkah laku kita tetap terjaga. Muroqobah ini termasuk “Mim Babi Wahua Ma’akum Ainama Kuntum”.
 
Yang dimaksud dengan arti ”Musyahadah, (dengan seringnya kita mendekatkan diri kita kepada Allah SWT, niscaya keyakinan yang kita miliki terus bertambah) dan cara seperti ini menjadikan apapun yang kita rasakan, pada akhirnya akan kembali lagi kepada Allah “Mim Babi, Allahu Nurussamawati Wal-Ard” atau “Ainama Tuwallu Fatsamma Wajhullah”

Sedangkan makna ”Ma’rifat” (orang-orang yang memahami tentang adabnya Allah dan Rosulnya). Disini termasuk mereka yang bisa memahami makna “Asyhadu Anla Ilaha Illallah, Wa asyhadu anna Muhammadar Rosulullah” dan dalam maqom ini tidak bisa dinilai sejauh mana adab kita kecuali dengan panduan Mursyid tau dengan keluasan Imu yang kita miliki secara dhaukiyatul kamil / pemahaman yan mampu menyelami Imu bangsa ke Tuhanan.

Sebagai suatu kewaspadaan dalam menjalankan arti hidup, Islam, Imam dan Ihsan, Bisa hancur sampai keakarnya akibat “Murtad dan Musyrik”. Sedangkan Islam, bisa lemah akibat perbuatan maksiat. Iman, bisa lemah akibat tidak bisa menjaga keyakinan. Dan Ihsan, bisa lemah akibat tidak bisa menjaga pandangan (selalu memandang makhluk lain).

Kuatnya Islam terlahir akibat “Muhafadah” / menjaga tingkah laku dan ucapan.


Cara dari orang yang telah mencapai kesempurnaan maqam Islam, bisa dilihat dari segi: “Orang tersebut tidak sampai meninggalkan ibadahnya walau hujatan maupun caci maki datang silih berganti”, seperti contoh, “Di mana kita bisa melestarikan kebajikan secara istikomah, maka segala ucapan dan kedengkian orang lain tidak sampai menyurutkan hati dan pikiran untuk selalu menjalankannya”. Sempurna iman terlahir karena Ridha dan Taslim (Menerima) terhadap segala cobaan dan kenikmatan yang ada, dan sempurnanya iman disini tidak bisa terjadi kecuali kehendak Allah SWT. Sedangkan yang dimaksud Ihsan, prakteknya harus denga adab dan ciri dari kesempurnaan Ihsan, “Akal dan hatinya tidak sampai menoleh dari pandangan orang lain kecuali hanya kepada Allah SWT”.

Bagi yang menjalankan ibadah dengan berpegangan Islam dan Iman atau yang disebut dengan nama “Nurut Tawajjuh” (Nur yang terdapat dari ibadah kita) tingkatan ini sifatnya masih mencari Nur Allah SWT. Sedangkna “Anwarul Muwajjah” (Nur yang datang ke kita sewaktu menghadap Allah) seperti yang ada pada maqam, Ihsan, wusul dan ma’rifat, maka Nur Allah SWT yang datang langsung, bukan sebaliknya Nur yang dicari
 
Keterangan :

Dimana mereka telah menguasai tingkat Islam dan Iman, menurut pandangan Ahlul Tauhid disebut , “Orang ini masih mencari Nur Allah SWT” dan belum termasuk maqom Ma’rifatillah. Sedangkan orang yang telah menguasai tingkatan Ihsan (hanya melihat kebajikan Allah), atau maqam Wusul (pemahaman yang sampai kepada Allah) juga maqam Ma’rifatillah. Sedangkan orang yang telah menguasai tingkatan Ihsan (hanya melihat kebajikan Allah) atau maqam Wusul (pemahaman yang sampai kepada Allah) juga maqom Tauhid (keyakinannya telah sampai kehadirat Allah) dan maqom Ma’rifat (memahami segala Sifat, Asma, Af’al dan Dzat Allah SWT) maka dalam maqom ini Nur Allah SWT yang datang menjumpai kita.

Memahami Nur Ilahiyyah terbagi menjadi tiga bagian :

Su’a'ul Basyirah (Pantulan Cahaya) artinya orang yang sudah merasakan kedekatannya dengan Allah SWT (Muraqabah).

      Ainul Basyirah (Wujud dari terangnya cahaya Allah) artinya tidak melihat dirinya sendiri karena adanya Allah SWT (Maqam Syuhud).

      Hakkul Basyirah (Hakekatnya Cahaya Allah) artinya melihat wujudnya Allah, dan tidak melihat ada maupun tidak adanya kita (golongan ini sudah menduduki maqom Tamkin Warrusu’).
 

Keterangan :

      Sifat dari ahli Su’a'ul Basyirah, “Segala tingkah laku, kebaikan dan lainnya telah terjaga”. Maqam ini selalu menjaga lahir bathinnya dengan menafakuri keagungan Allah, sehingga seolah-olah Allah SWT selalu hadir dihadapan kita.

      Sifat Ainul Basyirah,”Lepasnya antara Sifat, Af’al, Asma’ kita (makhluk) karena ketariknya kita pada Nur Allah (Zadabiyyah) sehingga dengan ketertariknya ini seolah-olah kita tidak mempunyai wujud badan, kecuali hanya Dzat Allah.

      Hakkul Basyiroh, “Penyatuan bathin terhadap ke-Esaan Allah SWT seperti melihat maupun tidaknya kita, kerusukhan hati kita hanya tertuju kepada Allah.
 
Mengenal Pandangan Alam

Terbahagi menjadi 3 bahagian :

      Alam Mulku, tersirat dalam penglihatan panca indra dhohir atau tatapan mata

      Alam Malakut, tersirat dalam pandangan ilmiah . bathiniah (hati dan fikiran)

      Alam Jabarut, tersirat dalam panca indra ruh atau Sir (Fi Jaufil Qolbi / hati yang paling dalam), melihat semua hakikat Allah.

 Susunan Riyadha

 Setiap manusia yang berpegang pada ilmu tauhid, mereka tidak bisa naik derajatnya kecuali dengan taubat. Taubat itu sendiri tidak boleh berjalan mulus kecuali dengan muhasabah / menjaga segala tingkah laku. Perjalanan taubat tidak menaikkan derajat kecuali disertai dengan Muraqabah / selalu melihat adanya Allah SWT. Taubat Muhasabah dinamakan “Min Babi Man Arafah Nafsah / orang yang mengerti badan sendiri “atau maqam yang selalu memperbaiki tingkah laku. Taubat Muraqabah dinamakan “Min babi Man Arafah Rabbah / orang yang mengerti keagungan Allah SWT” dan maqam ini bisa sampai kehadirat Allah SWT. Sewaktu muroqobah jalan, hasil yang kita peroleh adalah “Muhadarah / Allah hadir”. Dari muhadoroh akan naik ke tingkat selanjutnya yaitu ”Musyahadah / melihatnya kita kepada Allah SWT”. Lalu dari musyahadah akan membuahkan maqom “Ma’rifatillah / mengerti dan memahami tentang Allah SWT”. Cara pandangan Ma’rifat / tajalli (jelas dan tahkik, bahwa Allah Hak) ada yang melalui Af’al, Sifat dan Dzat atau juga melalui Asma’ Sifat dan Dzat.

Apabila melalui Af’al, maka dinamakan Tajalli fil Af’al
Apabila melalui Sifat, maka dinamakan Tajalli fi Sifat
Apabila melalui Dzat, maka dinamakan Tajalli fil Dzat
Apabila melalui Asma’ maka dinamakan Tajalli fil Asma’

Orang Salik / murid, yang sedang menempuh perjalanan ilmu Allah tahapannya melalui Tajalli Fil Af’al atau Asma’, yang diteruskan dengan tahapan selanjutnya yaitu fil Sifat dan Dzat. Sedangkan orang Mazdub (ketarik hati dan pikirannya kepada Allah perjalanannya melalui tahapan Dzat, turun ke Sifat terus ke Af’al atau Asma’. Kesempurnaan ilmu dalam mengenal ibadah kepada Allah SWT, apabila orang itu sudah pernah mengalami Salik dan Mazdub. Apbila Salik saja dalam perjalanan ini niscaya kuranglah sempurna atau Zadab saja, maka tidak SAH dijadikan guru atau mursyid.
 

Penataan tingkah laku / istiqomah dalam menaikkan derajat kepada Allah SWT, terbahagi menjadi empat bahagian :
 
      Dzikir sampai membuahkan amal Soleh dan Nur

      Tafakkur sampai datang ke tingkat Sabar dan membuahkan Thuma’ninah.

      Iftiqar, selalu membutuhkan Allah SWT, sampai datang ke maqom Syukur dan membuahkan suatu kenikmatan abadi.

      Mahabbah Ilallah, tidak menoleh terhadap lainnya kecuali Allah SWT, cara ini membuahkan Wusul dan menunggalkan Allah.

 
Bagi yang boleh menjalankan tingkat Dzikir (No.1) maka termasuk golongan Min Jumlati Sholihin (Ahli Sholihin) Bagi yang bisa menjalankan tingkat Dzikir dan Tafakkur (No.1 & 2) maka termasuk Minas Sholihin Kamil (Ahli Shalihin Kamil) Bagi yang bisa menjalankan tingkat Dzikir , Tafakkur dan Itiqar (No. 1,2 & 3) maka termasuk Min Auliyail Mutaqorribin (Kekasih Allah yang dekat) Bagi yang bisa menjalankan tingkat Dzikir , Tafakkur, Iftiqar dan Mahabbah Ilallah (No. 1,2,3 & 4) maka termasuk Min Ahli Tahkik Minas Siddikin (Min Auliyail Kamil) Juga bagi yang siappapun yang bisa menjalankan ke-4 tingkatan tadi dengan cara Mujahadah dan Riyadho maka kita sudah dinamakan Wilayatus Sugra atau “SAH” wilayahnya. Dinamakan pula dengan Maqam Wilayatul Makasib / wilayah yang dicari. Sedangkan yang menjalankan ke-4 tingkatan tadi dengan didasari sifat Mahabbah / kasih sayang, maka sudah dinamakanWilayatul Kubro atau sudah sempurna dalam tingkat kewaliannya / Wilayatul Kamil. Dinamakan pula Maqam Wiyatul Mawahib / jadiah dari Allah SWT. Yang dinamakan Wusul yaitu pemahaman, keyakinan dan tauhid kita kepada Allah. Sedangkan yang dinamakan Musyahadah terbahagi menjadi 4 bahagian diantaranya :
 
      Musyahadah Uluhiyah

      Musyahadah Rububiyah

      Musyahadah Ahadiyyah

      Musyahadah Wahidiyyah

 Keterangan :
Musyahadah Uluhiyyah / Ilahiyyah adalah sewaktu kita melihat Hakekatnya Allah, maka yang kita rasakan adalah Rushu’ nya hati kita (bisa i’tidal / sebanding) atau bisa melihat makhluk dan melihat Allah seperti melihat wujud makhluk sewaktu kita melihat Allah, atau sebaliknya melihat Allah sewaktu melihat makhluk.
Cara seperti ini dinamakan juga dengan istilah “Ummul Kitab / Hakekatnya Dzat”. Musyahadah Rububiyah adalah memilah atau menetapkan antara Allah dan makhluk (Min Haesu Hua Hua / Allah ya Allah, makhluk ya makhluk)Musyahadah Ahadiyyah (dinamakan juga Al-Qur’an / Dzat) adalah melihat Dzat Allah tanpa sifat dan Asma’ dan ini dinamakan “Bahrun Bila Maujin / Lautan tanpa ombak”. Musyahadah Wahidiyyah (dinamakan juga Al Furqan / Sifat) adalah melihat Allah dengan cara melihat Dzat dan SifatNya tanpa melihat makhluk (pribadi). Cara seperti ini dinamakan “Bahrun Bimaujin / Lautan dengan ombaknya”.

 

Pengertian Musyahadah / Tajalli

 

      Yang tidak memahami badan sendiri disebut dengan maqom “Fana”

      Yang memahami badan sendiri disebut dengan maqom “Baqo”

      Yang memahami Allah, dan badan sendiri disebut dengan maqom “Jam’i”

      Yang memahami Allah semata atau badan sendiri disebut dengan maqom “Farqi / Pisah”

      Yang memahami Allah dan badan sendiri disebut dengan maqom “sohwi / sehat”

      Yang memahami Allah semata disebut maqom “makwi / lebur”

Yang dinamakan Tajalli adalah hilangnya Dzat, Sifat dan Af’alnya kita dan masuknya Dzat, Sifat dan Af’alnya Allah. 

Tajalli Fil Af’al 

Hilangnya sifat Khoul (rekadaya / berandal), Kuah (Kekuatan) dan Irodah (kehendak) seorang hamba di isi dengan Af’al Allah. Seperti contoh melihatnya hamba qudratnya Allah, dengan cara melihat pada salah satu sifat makhluk,”Hamba memahami bahwa yang mendiamkan dan mengubah sesuatu apapun tak lain adalah Allah”.
 
Tajalli Fil Asma’

Tertutupnya hamba karena adanya Nur Asma’ Allah. Dalam hal ini hamba akan menjawab sewaktu ada ucapan yang menyebut Asma Allah. Awal tajalli fil Asma’ terlahir melalui Asma’ Wujud yang diteruskan dengan Asma’ Wahid dan selanjutnya Asma’ Allah. Sewaktu sedang tajalli fil asma’ maka hilanglah sifat Abdiyyah kita dan setelah itu naik ke sifat Arrohman dan sesudahnya Arobbah terus ke Sifat Al Muluk, Al Alim, Al Qodir dan lainnya.

Tajalli Fi Sifat
 
Menerimanya kita terhadap sifatnya Allah dan Sifat yang asal, Awal tajalli fi sifat terlahir dari sifat Hayat lalu sifat Ilmu, Sama’ Basor, Kalam, dan seterusnya.

Tajalli Fi Dzat

Hilangnya Dzat kita diganti dengan Dzat Allah. Awal tajalli fi Dzat dinamakan Tajalli Ahadiyyah (melihat Dzat Allah tanpa Sifat dan Asma’) lalu Tajalli Hawiyyah (sifat bathin Allah SWT yang terdapat pada makhluk) dan seterusnya Tajalli Iniyyah (Sifat dhohir Allah yang terdapat pada makhluk).

 

 

Tiada ulasan: