SIRI 1
OLEH IBNU QAYYIM AL JAUZIYYAH
Mengingat kesempurnaan manusia
itu hanya tercapai dengan ilmu
yang bermanfaat dan amal yang shalih seperti yang
terkandung di dalam
surat Al-Ashr, maka Allah bersumpah bahwa setiap orang akan
merugi,
kecuali siapa yang mampu
menyempurnakan kekuatan ilmiahnya dengan
iman dan kekuatan amaliahnya dengan amal shalih serta
menyempurnakan kekuatan
selainnya dengan nasihat kepada kebenaran
dan kesabaran menghadapinya. Yang paling penting adalah
iman dan
amal, yang tidak bisa berkembang kecuali dengan sabar dan
nasihat.
Selayaknya bagi manusia untuk meluangkan sedikit waktunya,
agar dia
mendapatkan tuntutan yang
bernilai tinggi dan membebaskan diri-nya dari
kerugian. Caranya ialah dengan
memahami Al-Qur'an dan mengeluarkan
kandungannya. Karena hanya
inilah yang bisa mencukupi ke-maslahatan
hamba di dunia dan di akhirat
serta yang bisa menghantarkan mereka ke
jalan lurus.
Berkat pertolongan Allah, kami
bisa menjabarkan makna Al-Fatihah,
menjelaskan berbagai macam isi yang terkandung di dalam
surat ini,
berupa berbagai macam tuntutan, bantahan terhadap
golongan-golongan yang
sesat dan ahli bid'ah, etape orang-orang yang berjalan
kepada Allah,
kedudukan orang-orang yang berilmu, perbedaan antara sarana
dan
tujuan. Tidak ada sesuatu pun
yang bisa mewakili kedudukan surat
Al-Fatihah ini. Karena itu
Allah tidak menurunkan di dalam Taurat,
Injil maupun Jabur, yang menyerupai Al-Fatihah.
Surat Al-Fatihah mencakup berbagai macam induk tuntutan
yang
tinggi. Ia mencakup pengenalan terhadap sesembahan yang
memiliki ti-ga
nama, yaitu Allah, Ar-Rabb dan Ar-Rahman. Tiga asma ini
merupakan
rujukan Asma'ul-Husna dan sifat-sifat yang tinggi serta
menjadi porosnya.
Surat Al-Fatihah menjelaskan
ilahiyah, Rububiyah dan Rahmah. Iyyaka
na'budu merupakan bangunan di atas
Ilahiyah, Iyyaka nasta'in di atas
Rububiyah, dan mengharapkan
petunjuk kepada jalan yang lurus merupakan
sifat rahmat. Al-Hamdu mencakup
tiga hal: Yang terpuji dalam Ilahiyah-
Nya, yang terpuji dalam
Rububiyah-Nya dan yang terpuji dalam rahmat-
Nya.
Surat Al-Fatihah juga mencakup
penetapan hari pembalasan, pembalasan
amal hamba, yang baik dan yang buruk, keesaan Allah dalam
hukum, yang berlaku untuk semua makhluk, hikmah-Nya yang
adil, yang
semua ini terkandung dalam maliki
yaumiddin.
Surat Al-Fatihah juga mencakup
penetapan nubuwah, yang bisa dilihat
dari beberapa segi:
1. Keberadaan Allah sebagai Rabbul-'alamin.
Dengan kata lain, tidak layak
bagi Allah untuk membiarkan
hamba-hamba-Nya dalam keadaan sia-sia
dan telantar, tidak memperkenalkan apa yang bermanfaat bagi
kehidupan dunia dan akhirat
mereka, serta apa yang mendatangkan
mudharat di dunia dan di
akhirat.
2. Bisa disimpulkan dari
asma-Nya, Allah, yang berarti disembah dan dipertuhankan.
Hamba tidak mempunyai cara
untuk bisa mengenal
sesembahannya kecuali lewat
para rasul.
3. Bisa disimpulkan dari
asma-Nya, Ar-Rahman. Rahmat Allah mencegah-
Nya untuk menelantarkan
hamba-Nya dan tidak memperkenalkan
kesempurnaan yang harus mereka
cari. Dzat yang diberi asma Ar-
Rahman tentu memiliki tanggung
jawab untuk mengutus para rasul dan
menurunkan kitab-kitab.
Tanggung jawab ini lebih besar daripada
tanggung jawab untuk
menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman dan
mengeluarkan biji-bijian.
Konsekuensi rahmat untuk menghidupkan hati
dan ruh, lebih besar daripada
konsekuensi menghidupkan badan.
4. Bisa disimpulkan dari
penyebutan yaumid-din, yaitu hari di mana Allah
akan memberikan pembalasan
terhadap amal hamba. Dia memberikan
pahala kepada mereka atas
kebaikan, dan menyiksa mereka atas
keburukan dan kedurhakaan.
Tentu saja Allah tidak akan menyiksa
seseorang sebelum ditegakkan hujjah atas dirinya. Hujjah ini tegak
lewat para rasul dan
kitab-kitab-Nya.
5. Bisa disimpulkan dari iyyaka
na'budu. Beribadah kepada Allah tidak
boleh dilakukan kecuali dengan
cara yang diridhai dan dicintai-Nya.
Beribadah kepada-Nya berarti
bersyukur, mencintai dan takut kepada-
Nya, berdasarkan fitrah, sejalan dengan akal yang sehat.
Cara beribadah
ini tidak bisa diketahui kecuali lewat para rasul dan
berdasarkan
penjelasan mereka.
6. Bisa disimpulkan dari ihdinash-shirathal-mustaqim.
Hidayah adalah
keterangan dan bukti, kemudian
berupa taufik dan ilham. Bukti dan
keterangan tidak diakui kecuali
yang datang dari para rasul. Jika ada
bukti dan keterangan serta
pengakuan, tentu akan ada hidayah dan
taufik, iman tumbuh di dalam hati, dicintai dan berpengaruh
di
dalamnya. Hidayah dan taufik berdiri sendiri, yang tidak
bisa diperoleh
kecuali dengan bukti dan keterangan. Keduanya mencakup
pengakuan
kebe-naran yang belum kita ketahui, baik secara rinci
maupun global.
Dari sini dapat diketahui
keterpaksaan hamba untuk memanjatkan
permo-honan ini jika dia dalam
keadaan terdesak, serta menunjukkan
keba-tilan orang yang berkata,
"Jika kita sudah mendapat petunjuk, lalu
untuk apa kita memohon
hidayah?" Kebenaran yang belum kita ketahui
jauh lebih banyak dari yang
sudah diketahui. Apa yang tidak ingin kita
kerjakan karena menganggapnya
remeh atau malas, sebenarnya serupa
dengan apa yang kita inginkan
atau bahkan lebih banyak. Se-mentara
kita membutuhkan hidayah yang
sempurna. Siapa yang menganggap
hal-hal ini sudah sempurna di
dalam dirinya, maka permohonan hidayah
ini merupakan permohonan yang bersifat peneguh-an dan
berkesinambungan. Memohon hidayah mencakup permohonan untuk
mendapatkan segala kebaikan dan keselamatan dari kejahatan.
7. Dengan cara mengetahui apa
yang diminta, yaitu jalan yang lurus. Tapi
jalan itu tidak bisa disebut
jalan kecuali jika mencakup lima hal: Lurus,
menghantarkan ke tujuan,
dekat, cukup untuk dilalui dan merupakan satusatunya
jalan yang menghantarkan ke
tujuan. Satu cirinya yang lurus,
karena garis lurus merupakan
jarak yang paling dekat di antara dua
titik, sehingga ada jaminan
untuk menghantarkan ke tujuan.
8. Bisa disimpulkan dari
orang-orang yang diberi nikmat dan perbedaan
mereka dari golongan yang mendapat murka dan golongan yang
sesat.
Ditilik dari pengetahuan
tentang kebenaran dan pengamalannya, maka
manusia bisa dibagi menjadi tiga golongan ini (golongan
yang diberi
nikmat, yang mendapat murka dan yang sesat). Hamba ada yang
mengetahui
kebenaran dan ada yang tidak mengetahuinya. Yang mengetahui
kebenaran ada yang mengamalkan kewajibannya dan ada yang
menentangnya. Inilah macam-macam orang mukallaf. Orang yang
mengetahui
kebenaran dan mengamalkannya adalah orang yang mendapat
rahmat, dialah yang mensucikan dirinya dengan ilmu yang
ber-manfaat
dan amal yang shalih, dan dialah yang beruntung. Orang yang
mengetahui kebenaran namun
mengikuti hawa nafsunya, maka dia
adalah orang yang mendapat murka. Sedangkan orang yang
tidak
mengetahui kebenaran adalah orang yang sesat. Orang yang
mendapat
murka adalah orang yang tersesat dari hidayah amal. Orang yang
tersesat mendapat murka karena
kesesatannya dari ilmu yang harus
diketahuinya dan amal yang
harus dikerjakannya. Masing-masing di
antara keduanya sesat dan
mendapat murka. Tapi orang yang tidak
beramal berdasarkan kebenaran
setelah dia mengetahui kebenaran itu,
jauh lebih layak mendapat murka. Karena itu orang-orang Yahudi lebih
layak mendapat murka. Sedangkan orang yang tidak mengetahui
kebenaran lebih pas disebut orang yang sesat, dan inilah
sifat yang
layak diberikan kepada orang-orang Nashara, sebagaimana
firman-
Nya,
"Katakanlah, 'Hai Ahli
Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan
(melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agama kalian, dan
janganlah kalian mengikuti
hawa nafsu orang-orang yang telah sesat
dahulunya (sebelum kedatangan
Muhammad) dan mereka telah
menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang
lurus'. "(Al-Maidah: 77).
Penggal pertama tertuju kepada
orang-orang Yahudi dan penggal
kedua tertuju kepada orang-orang Nashara. Di dalam riwayat
At-Tirmidzy
dan Shahih Ibnu Hibban, dari hadits Ady bin Hatim, dia
berkata, "Rasulullah
Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,"Orang-orang Yahudi
adalah orang-orang yang mendapat
murka dan orang-orang Nashara adalah
orang-orang
yang sesat." Nikmat dikaitkan secara jelas kepada Allah.
Sedangkan pelaku kemurkaan
disamarkan. Hal ini bisa dilihat dari
beberapa pertimbangan:
1. Nikmat itu merupakan
gambaran kebaikan dan karunia, sedangkan
kemurkaan berasal dari pintu
pembalasan dan keadilan. Sementara
rahmat mengalahkan
kemurkaan.Tentang pengkhususan nikmat yang
diberikan kepada orang-orang
yang mengikuti jalan lurus, maka itu
adalah nikmat yang mutlak dan
yang mendatangkan keberuntungan
yang abadi. Sedangkan nikmat
itu secara tak terbatas diberikan kepa
da orang Mukmin dan juga orang kafir. Jadi setiap makhluk
ada dalam
nikmat-Nya. Di sinilah letak rincian perselisihan tentang
pertanyaan,
"Apakah Allah memberikan kepada orang kafir ataukah
tidak?" Nik
mat yang tak terbatas hanya bagi orang yang beriman, dan
ketidakterbatasan
nikmat itu bagi orang Mukmin dan juga bagi orang kafir.
Inilah
makna firman-Nya,
"Dan, jika kalian
menghitung nikmat Allah, tidaklah kalian dapat
menghinggakannya. Sesungguhnya
manusia itu sangatzhalim dan sangat
mengingkari (nikmat
Allah)." (Ibrahim: 34).
2.. Allahlah satu-satunya yang
memberikan nikmat, sebagaimana firman-
Nya,
"Dan, apa saja nikmat
yang ada pada kalian, maka dari Allahlah (datangnya)."
(An-Nahl: 53).
Sedangkan kemurkaan kepada
musuh-musuh-Nya, maka bukan Allah
saja yang murka, tapi para
malaikat, nabi, rasul dan para wali-Nya juga
murka kepada musuh-musuh
Allah.
3. Ditiadakannya pelaku
kemurkaan menunjukkan keremehan orang yang
mendapat murka dan kehinaan
keadaannya. Hal ini berbeda dengan
disebutkannya pemberi nikmat,
yang menunjukkan kemuliaan orang
yang mendapat nikmat.
Perhatikanlah secara seksama
rahasia penyebutan sebab dan balasan bagi
tiga golongan ini dengan lafazh yang ringkas. Pemberian
nikmat kepada
mereka mencakup nikmat hidayah, berupa ilmu yang
bermanfa-at dan
amal yang shalih atau petunjuk dan agama yang benar, di
samping
kesempurnaan nikmat pahala.
Lafazh an'amta 'alaihim mencakup dua
perkara ini.
Penyebutan murka Allah
terhadap orang-orang yang dimurkai, juga
mencakup dua perkara:
- Pembalasan dengan disertai
kemurkaan, yang berarti ada siksa
dan pelecehan.
- Sebab yang membuat mereka
mendapat murka-Nya.
Allah terlalu pengasih untuk
murka tanpa ada ke jahatan dan kesesatan
yang dilakukan manusia.
Seakan-akan murka Allah itu memang layak
diberikan kepada mereka karena
kesesatan mereka. Penyebutan orangorang
yang sesat juga mengharuskan
murka Allah dan siksa-Nya terhadap
mereka. Dengan kata lain,
siapa yang sesat layak mendapat siksa, sebagai
konsekuensi dari kesesatannya.
Perhatikanlah kontradiksi
antara hidayah dan nikmat dengan murka dan
kesesatan. Allah menyebutkan
orang-orang yang mendapat murka dan
yang sesat pada sisi yang berseberangan dengan orang-orang
yang
mendapat petunjuk dan mendapat
nikmat. Yang pertama seperti firman
Allah,
"Dan, barangsiapa
berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang
sempit". (Thaha: 124).
Yang kedua seperti firman Allah,
"Mereka itulah yang tetap
mendapat petunjuk dari Rabbnya dan
merekalah orang-orang yang beruntung." (Al-Baqarah: 5).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan