Allah ta’ala berfirman,
mengkhabarkan tentang keadaan orang-orang kafir (ertinya) :
“Bukankah mereka berjalan di atas muka bumi, lalu (bukankah) mereka pun memiliki hati yang mereka bisa berpikir dengannya, atau memiliki telinga yang mereka bisa mendengar dengannya. Maka sesungguhnya bukanlah mata mereka yang buta, akan tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada” (Al-Hajj : 46)
“Dan sungguh Kami telah jadikan banyak dari penghuni neraka Jahanam dari kalangan jin dan manusia, mereka memiliki hati, akan tetapi tidak digunakan untuk memahami, dan mereka memiliki mata, akan tetapi tidak digunakan untuk melihat, dan mereka pun memiliki telinga, tetapi tidak digunakan untuk mendengar, mereka bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat, mereka lah orang-orang yang lalai” ( Al A’raaf : 179 )
“Kemudian setelah itu, hati kalian mengeras bagaikan kerasnya batu, bahkan lebih keras lagi (dari batu)” (Al Baqarah : 74)
Berkaitan dengan surat Al Baqarah ayat 74, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, Al ‘Aufi dalam kitab tafsirnya menjelaskan, tatkala ada seorang yang terbunuh di kalangan Bani Israil, para manusia berselisih tentang siapakah pembunuh orang tersebut. Kemudian Allah ta’ala perintahkan kepada Bani Isra’il untuk menyembelih seekor sapi betina. Kemudian Allah ta’ala perintahkan untuk memukulkan salah satu bagian dari tubuh sapi betina tersebut ke badan mayat. Maka tatkala mayat tersebut dipukul dengan salah satu anggota badan sapi betina, seketika itu mayat tersebut hidup kembali. Lalu ditanyakan kepadanya : “Siapakah yang membunuh dirimu?” Lantas orang tersebut menjlaskan, “yang membunuh diriku adalah anak-anak saudaraku”, kemudian orang tersebut mati kembali.
Akan tetapi orang-orang yang tertuduh tadi mengatakan, “Demi Allah, kami tidaklah membunuhnya”. Maka dengan perkataan mereka ini, mereka telah mendustakan kebenaran setelah mereka menyaksikan kebenaran tersebut.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir untuk Surat Al Baqarah ayat 74, Asy Syamilah)
Maka seiring berjalannya waktu, hati orang-orang Bani Isra’il menjadi semakin mengeras dan mereka semakin enggan menerima pelajaran dan nasehat, walaupun mereka telah menyaksikan kebenaran pada ayat-ayat Allah dan mukjizat-mukjizat-Nya. Hati mereka sebagaimana yang Allah ta’ala firmankan, mengeras sebagaimana kerasnya batu, atau bahkan lebih keras lagi dari batu, tidak dapat dilembutkan.
Sesungguhnya di antara celah bebatuan masih bisa mengalirkan mata air yang mengaliri sungai-sungai. Di antara bebatuan, ada juga yang terbelah sehingga keluar darinya air, meskipun air tersebut tidak mengalir. Ada pula bebatuan yang meluncur jatuh dari puncak gunung, dikarenakan takut kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, sebagaimana Allah ta’ala firmankan :
“Langit yang tujuh, begitu pula bumi, dan seluruh yang ada di dalamnya, seluruhnya bertasbih (mensucikan) Allah ta’ala, dan tidaklah ada sesuatu pun melainkan seluruhnya bertasbih memuji-Nya, akan tetapi kalian tidak mengerti (bagaimana) tasbih-tasbih mereka. Sesungguhnya Dia-lah Dzat yang Maha Penyantun dan Maha Pengampun” (Al Israa’ : 44) (Lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang surat Al Baqarah ayat 74)
Demikianlah keadaan orang-orang Bani Isra’il, orang Yahudi, orang Nashrani serta orang-orang musyrik dan orang sesat lainnya. Hati mereka telah mati, mengeras dan membatu. Bahkan kerasnya bebatuan pun tidak sanggup menandingi kerasnya hati mereka. Bebatuan masih bisa merasa takut kepada Allah dan masih bisa mengalirkan air dari sela-sela dirinya. Adapun hati orang-orang yang menyimpang, sama sekali mereka tidak merasa takut kepada Allah subhaanahu wa ta’ala.
Penyebabnya adalah karena mereka berpaling dari kebenaran, setelah mereka mengetahui kebenaran tersebut. Sebagaimana Allah ta’ala firmankan :
“Tatkala mereka menyimpang (dari kebenaran), maka sekalian Allah akan simpangkan hati mereka, dan Allah tidaklah memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik” (As Shaf : 5)
Syaikh As Sa’diy rahimahullahu mengatakan, “Salah satu puncak kelancangan dan kesesatan adalah tatkala seorang manusia mengetahui kebenaran, lantas meninggalkannya. Mereka berpaling dari kebenaran dengan maksud dan keinginan mereka. Maka Allah ta’ala akan semakin memalingkan hati mereka dari kebenaran, sebagai hukuman bagi mereka, atas kesesatan yang mereka pilih. Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka, karena mereka tidaklah pantas untuk menerima kebaikan, tidak pantas bagi mereka melainkan kebinasaan. (Taisir Karimirrahman, Cetakan Maktabah Ar Rusyd, halaman 758)
Maka berpaling dari kebenaran, berpaling dari Al Quran dan As Sunnah merupakan sebab yang paling utama yang membuat hati manusia mengeras dan membatu. Sebagaimana hal ini menimpa Bani Isra’il dan yang semisalnya.
Berpaling dari kebenaran, inilah ciri khas yang dimiliki oleh para ahli bid’ah. Ahli bid’ah, mereka enggan untuk menerima kebenaran, meskipun telah nampak jelas kebenaran tersebut datang dari Allah ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah perbedaan yang sangat mencolok antara ahlus sunnah wal jama’ah dengan ahli bid’ah.
Ahli sunnah bukanlah seluruhnya orang-orang yang selalu benar dan terlindung dari kesalahan, ahlus sunnah bukanlah seluruhnya orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Akan tetapi ahlu sunnah, merekalah ahlul ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu orang-orang yang senantiasa berusaha mengikuti kebenaran dan petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah.
“Bukankah mereka berjalan di atas muka bumi, lalu (bukankah) mereka pun memiliki hati yang mereka bisa berpikir dengannya, atau memiliki telinga yang mereka bisa mendengar dengannya. Maka sesungguhnya bukanlah mata mereka yang buta, akan tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada” (Al-Hajj : 46)
“Dan sungguh Kami telah jadikan banyak dari penghuni neraka Jahanam dari kalangan jin dan manusia, mereka memiliki hati, akan tetapi tidak digunakan untuk memahami, dan mereka memiliki mata, akan tetapi tidak digunakan untuk melihat, dan mereka pun memiliki telinga, tetapi tidak digunakan untuk mendengar, mereka bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat, mereka lah orang-orang yang lalai” ( Al A’raaf : 179 )
“Kemudian setelah itu, hati kalian mengeras bagaikan kerasnya batu, bahkan lebih keras lagi (dari batu)” (Al Baqarah : 74)
Berkaitan dengan surat Al Baqarah ayat 74, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, Al ‘Aufi dalam kitab tafsirnya menjelaskan, tatkala ada seorang yang terbunuh di kalangan Bani Israil, para manusia berselisih tentang siapakah pembunuh orang tersebut. Kemudian Allah ta’ala perintahkan kepada Bani Isra’il untuk menyembelih seekor sapi betina. Kemudian Allah ta’ala perintahkan untuk memukulkan salah satu bagian dari tubuh sapi betina tersebut ke badan mayat. Maka tatkala mayat tersebut dipukul dengan salah satu anggota badan sapi betina, seketika itu mayat tersebut hidup kembali. Lalu ditanyakan kepadanya : “Siapakah yang membunuh dirimu?” Lantas orang tersebut menjlaskan, “yang membunuh diriku adalah anak-anak saudaraku”, kemudian orang tersebut mati kembali.
Akan tetapi orang-orang yang tertuduh tadi mengatakan, “Demi Allah, kami tidaklah membunuhnya”. Maka dengan perkataan mereka ini, mereka telah mendustakan kebenaran setelah mereka menyaksikan kebenaran tersebut.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir untuk Surat Al Baqarah ayat 74, Asy Syamilah)
Maka seiring berjalannya waktu, hati orang-orang Bani Isra’il menjadi semakin mengeras dan mereka semakin enggan menerima pelajaran dan nasehat, walaupun mereka telah menyaksikan kebenaran pada ayat-ayat Allah dan mukjizat-mukjizat-Nya. Hati mereka sebagaimana yang Allah ta’ala firmankan, mengeras sebagaimana kerasnya batu, atau bahkan lebih keras lagi dari batu, tidak dapat dilembutkan.
Sesungguhnya di antara celah bebatuan masih bisa mengalirkan mata air yang mengaliri sungai-sungai. Di antara bebatuan, ada juga yang terbelah sehingga keluar darinya air, meskipun air tersebut tidak mengalir. Ada pula bebatuan yang meluncur jatuh dari puncak gunung, dikarenakan takut kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, sebagaimana Allah ta’ala firmankan :
“Langit yang tujuh, begitu pula bumi, dan seluruh yang ada di dalamnya, seluruhnya bertasbih (mensucikan) Allah ta’ala, dan tidaklah ada sesuatu pun melainkan seluruhnya bertasbih memuji-Nya, akan tetapi kalian tidak mengerti (bagaimana) tasbih-tasbih mereka. Sesungguhnya Dia-lah Dzat yang Maha Penyantun dan Maha Pengampun” (Al Israa’ : 44) (Lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang surat Al Baqarah ayat 74)
Demikianlah keadaan orang-orang Bani Isra’il, orang Yahudi, orang Nashrani serta orang-orang musyrik dan orang sesat lainnya. Hati mereka telah mati, mengeras dan membatu. Bahkan kerasnya bebatuan pun tidak sanggup menandingi kerasnya hati mereka. Bebatuan masih bisa merasa takut kepada Allah dan masih bisa mengalirkan air dari sela-sela dirinya. Adapun hati orang-orang yang menyimpang, sama sekali mereka tidak merasa takut kepada Allah subhaanahu wa ta’ala.
Penyebabnya adalah karena mereka berpaling dari kebenaran, setelah mereka mengetahui kebenaran tersebut. Sebagaimana Allah ta’ala firmankan :
“Tatkala mereka menyimpang (dari kebenaran), maka sekalian Allah akan simpangkan hati mereka, dan Allah tidaklah memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik” (As Shaf : 5)
Syaikh As Sa’diy rahimahullahu mengatakan, “Salah satu puncak kelancangan dan kesesatan adalah tatkala seorang manusia mengetahui kebenaran, lantas meninggalkannya. Mereka berpaling dari kebenaran dengan maksud dan keinginan mereka. Maka Allah ta’ala akan semakin memalingkan hati mereka dari kebenaran, sebagai hukuman bagi mereka, atas kesesatan yang mereka pilih. Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka, karena mereka tidaklah pantas untuk menerima kebaikan, tidak pantas bagi mereka melainkan kebinasaan. (Taisir Karimirrahman, Cetakan Maktabah Ar Rusyd, halaman 758)
Maka berpaling dari kebenaran, berpaling dari Al Quran dan As Sunnah merupakan sebab yang paling utama yang membuat hati manusia mengeras dan membatu. Sebagaimana hal ini menimpa Bani Isra’il dan yang semisalnya.
Berpaling dari kebenaran, inilah ciri khas yang dimiliki oleh para ahli bid’ah. Ahli bid’ah, mereka enggan untuk menerima kebenaran, meskipun telah nampak jelas kebenaran tersebut datang dari Allah ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah perbedaan yang sangat mencolok antara ahlus sunnah wal jama’ah dengan ahli bid’ah.
Ahli sunnah bukanlah seluruhnya orang-orang yang selalu benar dan terlindung dari kesalahan, ahlus sunnah bukanlah seluruhnya orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Akan tetapi ahlu sunnah, merekalah ahlul ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu orang-orang yang senantiasa berusaha mengikuti kebenaran dan petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan