SIRI 5
Kalau sekiranya Allah
mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah
IBNU QAYYIM
AL JAUZIYYAH
Tingkatan Pertama:
Tingkatan pembicaraan Allah
dengan hamba-Nya secara sadar dan
langsung tanpa perantara. Ini
merupakan tingkatan hidayah yang paling
tinggi, sebagaimana Allah yang berbicara dengan Musa bin
Imran. Allah
befirman,
"Dan, Allah telah berbicara kepada Musa secara
langsung." (An-Nisa':
164).
Sebelum ayat ini disebutkan wahyu Allah yang diberikan
kepada
Nuh dan para nabi sesudahnya,
kemudian mengkhususkan Musa, bahwa
Allah berbicara dengan beliau. Ini menunjukkan bahwa
pembicaraan ini
lebih khusus dari sekedar memberikan wahyu seperti yang
disebutkan
dalam ayat sebelumnya. Lalu hal ini ditegaskan lagi dengan
adanya mashdar
dari kallama. Hujjah ini untuk menyanggah
pendapat jahmiyah, Mu'-
tazilah dan golongan-golongan lain yang mengatakan bahwa
itu artinya
wahyu atau isyarat atau
pengenalan terhadap suatu makna, yang artinya
bukan bicara secara langsung. Al-Fara' berkata,
"Orang-orang Arab menye-but
kontak dengan orang lain adalah bicara, dengan cara apa pun
dan
bagaimana pun. Tetapi makna
ini tidak disertai dengan mashdar dari fi'il
yang sama. Jika dikuatkan
dengan mashdar, berarti hakikatnya memang
bicara. Maka apabila
dikatakan, "Fulan araada iraadatan", artinya Fulan
benar-benar menghendaki.
Ada firman Allah yang lain tentang hal ini,
"Dan, tatkala Musa datang
untuk (munajat dengan Kami) pada waktu
yang telah Kami tentukan dan Rabbnya telah berbicara
(langsung)
kepadanya, Musa berkata, 'Ya
Rabbi, tampakkanlah (Diri Engkau) kepadaku
agar aku dapat melihat kepada
Engkau'." (Al-A'raf: 143).
Pembicaraan ini berbeda dengan
yang pertama saat Dia mengutusnya
kepada Fir'aun. Dalam
pembicaraan kali ini Musa meminta untuk
dapat melihat Allah.
Pembicaraan kali ini berasal dari janji Allah kepadanya.
Sementara pada pembicaraan
yang pertama tidak didahului dengan
janji.
Tingkatan Kedua:
Tingkatan wahyu yang secara
khusus diberikan kepada para nabi.
Allah befirman,
"Sesungguhnya Kami telah
memberikan wahyu kepadamu sebagaimana
Kami telah memberikan wahyu
kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya."
(An-Nisa': 163).
"Dan, tidak ada bagi
seorang manusia pun bahwa Allah berkata dengan
dia kecuali dengan perantaraan
wahyu atau dari belakang tabir." (Asy-
Syura: 51).
Allah menjadikan wahyu dalam
ayat kedua ini termasuk bagian dari
bicara, sedangkan dalam ayat
pertama menjadi lawan bicara. La wan bica-ra
secara khusus artinya tanpa
ada perantara, sedangkan bagian dari bicara
yang bersifat umum, berarti penyampaian makna dengan berbagai
macam
cara.
Tingkatan Ketiga:
Mengirim utusan dari jenis
malaikat kepada utusan dari jenis manusia,
lalu utusan malaikat ini
menyampaikan wahyu dari Allah seperti yang
diperintahkan-Nya.
Tiga jenis tingkatan ini
dikhususkan hanya bagi para rasul dan nabi,
tidak berlaku untuk selain
mereka. Utusan malaikat itu bisa berwujud
manusia berjenis laki-laki,
yang bisa dilihat dengan mata telanjang dan
juga berbicara empat mata, dan
adakalanya dia menampakkan diri dalam
wujud aslinya. Adakalanya
malaikat ini masuk ke dalam diri rasul dan
menyampaikan wahyu seperti
yang diperintahkan, lalu dia melepaskan diri
darinya. Tiga cara ini pernah
dialami nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi
wa Sallam.
Tingkatan Keempat:
Dengan cara bisikan. Tingkatan ini berbeda dengan wahyu yang sifatnya
khusus dan juga berbeda dengan tingkatan para shiddiqin,
seperti
yang dialami Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu. Hal ini pernah
ditegaskan Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam,
"Sesungguhnya di tengah
umat-umat sebelum kalian ada orang-orang
yang mendapat bisikan.
Sedangkan dalam umat ini adalah Umar bin
Al-Khaththab."
Orang yang mendapat bisikan
ialah orang yang mendapat bisikan
(firasat) itu secara rahasia
di dalam hatinya tentang sesuatu, kemudian dia
menyatakannya. Lalu bagaimana
dengan sekian banyak orang yang
dikuasai imajinasi dan
hayalan, yang mengatakan, "Hatiku mendapat
bisikan dari Allah?"
Memang tidak bisa disangkal bahwa hatinya mendapat
bisikan itu. Tapi dari mana
dan dari siapa? Dari syetan ataukah dari Allah?
Jika dia mengaku berasal dari
Allah, berarti dia menyandarkan bisikan itu
dari seseorang yang sebenarnya
dia pun tidak mengetahuinya secara pasti,
bahwa yang membisikkan
kepadanya itu benar-benar mem-bisikkan. Ini
sama saja bohong. Sementara
Umar bin Al-Khaththab, salah seorang dari
umat ini yang telah
dilejitimasi oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam sebagai orang
yang mendapat bisikan dari Allah, tidak membuat
pengakuan seperti itu dan
berkata seperti itu, kapan pun, karena Allah telah
melindungi dirinya agar tidak
berkata seperti itu. Bahkan suatu hari saat
sekretarisnya menulis,
"Inilah yang diperlihatkan Allah kepada Amirul-
Mukminin, Umar bin
Al-Khaththab", dia berkata, "Tidak, hapus itu. Tapi
tulislah: Inilah yang dilihat Umar bin Al-Khaththab. Jika benar, maka ini
datangnya dari Allah, dan jika
salah, maka ini dari Umar, sedangkan Allah
dan Rasul-Nya terbebas
darinya." Dia juga pernah berkata ketika
memutuskan perkara tentang
seorang anak yang tidak jelas bapak ibunya,
"Aku memutuskannya
berdasarkan pendapatku. Jika benar, maka itu
datangnya dari Allah, dan jika
salah, maka itu dariku dan dari syetan."
Dengan begitu engkau bisa
membedakan antara sosok Umar bin Al-
Khaththab dengan sekian banyak
orang yang dikuasai hayalan, pem-bual
dan permisivis yang
mengatakan, "Hatiku mendapat bisikan (wang-sit) dari
Allah." Perhatikan dan
bandingkan antara keduanya, kemudian berikan
hak kepada masing-masing secara proporsional, jangan
samakan pembual
dengan orang yang tulus.
Tingkatan Kelima:
Dengan cara pemahaman. Allah befirman,
"Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman di waktu
keduanya memberikan
keputusan mengenai tanaman,
karena tanaman itu dirusak oleh
kambing-kambing kepunyaan
kaumnya. Dan, adalah Kami menyaksikan
keputusan yang diberikan oleh
mereka itu, maka Kami telah memberikan
pengertian kepada Sulaiman
tentang hukum (yang lebih tepat) dan ilmu."
(Al-Anbiya': 78-79).
Allah menyebutkan dua nabi
yang mulia ini, memuji keduanya dengan
ilmu dan hukum, mengkhususkan
Sulaiman dengan pemahaman
dalam peristiwa ini.
Ali bin Abu Thalib pernah
ditanya seseorang, "Apakah Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mengkhususkan kalian
para shahabat
dengan sesuatu tanpa yang
lain?" Ali menjawab, "Tidak pernah, kecuali
hanya pemahaman tentang
Kitab-Nya seperti yang diberikan Allah kepada
seorang hamba."
Pemahaman ini datangnya dari
Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan
inti kebenaran. Ada perbedaan
di antara orang-orang yang berilmu
sehubungan dengan pemahaman
ini, sampai-sampai ada satu orang yang
disamakan dengan seribu orang.
Perhatikan pemahaman yang dimiliki
Ibnu Abbas, saat dia ditanya
Umar dalam pertemuan yang dihadiri para
shahabat yang pernah ikut
perang Badr dan juga lain-lainnya tentang
makna surat An-Nashr. Menurut
Ibnu Abbas, surat ini merupakan
pengabaran tentang kedekatan
ajal beliau. Ternyata jalan pikiran Ibnu
Abbas ini cocok dengan jalan pikiran Umar sendiri. Hanya
mereka ber-dua
yang memahami seperti ini, sekalipun Ibnu Abbas adalah
orang yang paling
muda di antara para shahabat
yang ada pada waktu itu. Dari sisi mana
surat ini bisa dipahami
sebagai pengabaran tentang ajal beliau yang sudah
dekat kalau bukan karena
pemahaman yang sifatnya khusus?
Tingkatan Keenam:
Penjelasan secara umum.
Artinya, penjelasan tentang kebenaran dan
kemampuan untuk membedakannya
dari yang batil, berdasarkan dalil,
bukti dan saksi-saksi penguat,
sehingga lalu berubah seperti sebuah
kenyataan di dalam hati,
seperti sebuah kenyataan yang tampak jelas di
depan mata kepala. Tingkatan
ini merupakan hujjah Allah atas makhluk-Nya.
Dia tidak mengadzab dan tidak
menyesatkan seseorang kecuali sete-lah orang
tersebut mendapatkan kejelasan
ini. Firman-Nya,
"Dan, Allah
sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah
Allah memberi petunjuk kepada
mereka hingga dijelaskan-Nya kepada
mereka apa yang harus
dijauhi." (At-Taubah: 115).
Kesesatan ini merupakan
hukuman bagi mereka yang datangnya
dari Allah, karena Dia telah
menjelaskan kepada mereka, namun mereka
tidak mau menerima dan tidak
mengamalkannya. Maka Allah menghukum
mereka dengan cara
menyesatkannya dari petunjuk. Jadi, Allah sama
sekali tidak menyesatkan
seseorang kecuali setelah ada penjelasan ini.
Jika engkau sudah memahami hal
ini, tentu engkau bisa memahami rahasia
takdir, sehingga engkau tidak
terasuki sekian banyak keragu-raguan dan
syubhat tentang masalah ini.
Penjelasan ini ada dua macam:
Penjelasan dengan ayat-ayat yang bisa
didengar, dan penjelasan
dengan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) yang
bisa dilihat mata. Keduanya
merupakan bukti dan penjelasan tentang
keesaan Allah dan kesempurnaan
sifat-sifat-Nya. Karena itu Allah menyeru
hamba-hamba-Nya lewat
ayat-ayat-Nya yang bisa dibaca agar memikirkan
tanda-tanda kekuasaan-Nya yang
bisa dilihat mata. Karena penjelasan
inilah para rasul diutus dan
pengemban sesudah para nabi adalah para
ulama. Setelah ada penjelasan
itu, maka Allah menyesatkan siapa pun yang
dikehendaki-Nya. Allah
menjelaskan, dan Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya serta
memberikan petunjuk kepada siapa pun yang
dikehendaki-Nya berdasarkan
hikmah-Nya.
Tingkatan Ketujuh:
Penjelasan bersifat khusus.
Maksudnya penjelasan yang mendatang-kan
petunjuk khusus, atau
penjelasan yang disusul dengan pertolongan, taufik
dan pengenyahan sebab-sebab
kehinaan dari hati, sehingga dia tidak
kehilangan hidayah. Allah
befirman,
"Jika kamu sangat
mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka
sesungguhnya Allah tiada
memberi petunjuk kepada orang yang
disesatkan-Nya." (An-Nahl: 36).
"Sesungguhnya kami tidak
akan dapat memberi petunjuk kepada orang
yang kamu kasihi, tetapi Allah
memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya." (Al-Qashash: 56).
Tingkatan Kedelapan:
Lewat pendengaran. Allah
befirman,
Allah menjadikan mereka dapat
mendengar." (Al-Anfal: 23)
Memperdengarkan di sini lebih
khusus daripada memperdengarkan
hujjah dan tabligh, sebab yang
demikian itu berangkat dari diri mereka sendiri
dan karenanya Allah menegakkan
hujjah atas mereka. Yang demikian itu
berarti memperdengarkan
telinga, sedangkan yang ini memperdengarkan
hati. Perkataan mempunyai
lafazh dan makna, yang berkaitan dengan
telinga dan hati. Mendengarkan
lafazh merupakan bagian telinga,
sedangkan mendengarkan hakikat
makna dan tujuannya merupakan
bagian hati. Allah meniadakan
pendengaran maksud dan tujuan yang
merupakan bagian hati dari
orang-orang kafir, dan hanya menetapkan
pendengaran lafazh-lafazh yang merupakan bagian telinga.
Perbedaan antara tingkatan ini
dengan tingkatan pemahaman, bahwa
tingkatan ini diperoleh lewat
sarana telinga, sedangkan tingkatan
pemahaman sifatnya lebih umum.
Jadi tingkatan ini lebih khusus daripada
tingkatan pemahaman, jika
dilihat dari sisi ini. Tapi tingkatan pemahaman
juga bisa lebih khusus jika
dilihat dari sisi yang lain lagi, yaitu karena ia
berkaitan dengan makna yang
dimaksudkan, kaitan dan isyarat-nya. Inti
tingkatan mendengar ialah
penyampaian maksud ke hati, yang berarti
harus ada penerimaan
pendengaran. Berarti dalam tingkatan ini ada tiga
tingkatan lain: Telinga yang mendengar, hati yang mendengar
dan
penerimaan atau pemenuhan.\
Tingkatan Kesembilan:
Ilham. Allah befirman,
"Demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya."
(Asy-Syams: 7-8).
Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda kepada Hushain bin Al-
Mundzir saat dia masuk Islam,
"Katakanlah, 'Ya Allah,
ilhamkanlah kepadaku petunjukku dan
lindungilah aku dari kejahatan
diriku."
Pengarang Manazilus-Sa'irin (Abu Ismail) menganggap
ilham ini sama
kedudukannya dengan bisikan di dalam hati. Jadi ilham lebih
tinggi daripada
firasat. Sebab boleh jadi firasat itu jarang-jarang terjadi
atau bersifat
insidental dan pelakunya tidak
bisa menentukan kapan waktunya atau
bahkan ia bisa mengecohnya.
Sementara kedudukan ilham sudah jelas.
Saya katakan, bisikan di dalam
hati lebih khusus daripada ilham. Ilham
bersifat umum bagi orang-orang Mukmin, tergantung pada iman
mereka.
Setiap orang Mukmin mendapat ilham petunjuk dari Allah,
yang
menghasilkan keimanan
kepada-Nya. Sedangkan bisikan dalam hati ha-nya
dikhususkan bagi orang-orang
yang memang mendapatkannya, se-perti
Umar bin Al-Khaththab. Jadi
bisikan hati ini merupakan ilham khusus, atau
bisa dikatakan wahyu yang
diberikan kepada selain para nabi, baik mukallaf
atau bukan mukallaf. Wahyu
yang diberikan kepada mukallaf seperti firman
Allah,
"Dan, Kami ilhamkan
kepada ibu Musa, 'Susuilah dia'." (Al-Qashash:7).
Wahyu yang diberikan kepada
yang bukan mukallaf,
"Dan, Rabbmu mewahyukan
kepada lebah, 'Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon
kayu dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia'."(An-Nahl: 68).
Jika ilham ini dianggap lebih
tinggi daripada kedudukan firasat,
maka justru bisa melemahkan
anggapan itu sendiri. Sebab seperti yang
sudah dikatakan di atas,
firasat itu jarang-jarang terjadinya. Sementara
sesuatu yang jarang-jarang
terjadi tidak mempunyai hukum. Jelasnya
tentang masalah ini,
masing-masing dari firasat dan ilham dibagi menjadi
umum dan khusus. Yang khusus pada masing-masing lebih tinggi dari yang
umum pada selainnya. Tapi
perbedaan yang jelas di antara kedua-nya,
firasat lebih berkaitan dengan
satu jenis tindakan atau perbuatan,
sedangkan ilham murni
pemberian, yang tidak bisa diperoleh dengan
tindakan atau usaha tertentu.
Tingkatan Kesepuluh:
Mimpi yang benar, yang
merupakan satu bagian dari nubuwah, seperti
yang dikabarkan Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
"Mimpi yang benar itu
merupakan satu bagian dari empat puluh enam
bagian dari nubuwah."
Tapi dalam riwayat lain yang
shahih disebutkan merupakan satu
bagian dari tujuh puluh bagian
dari nubuwah. Yang pasti, mimpi merupakan
permulaan wahyu. Kebenarannya
tergantung kepada orang yang
bermimpi, dan mimpi yang
paling benar ialah mimpinya orang yang perkataannya
paling benar dan jujur. Jika
kiamat sudah dekat, maka hampir
tidak ada mimpi yang meleset,
karena jaraknya yang jauh dari masa nubuwah.
Sementara pada masa nubuwah
tidak membutuhkan mimpi-mimpi
yang benar ini, karena sudah
ada kekuatan cahaya nubuwah.
Kebalikan dari mimpi yang
benar ini adalah karamah yang muncul
setelah masa shahabat, namun
tidak muncul pada masa dekatnya hari
kiamat. Hal ini disebabkan
kuat dan lemahnya iman. Begitulah yang ditegaskan
Al-Imam Ahmad.
Ubadah bin Ash-Shamit berkata,
"Mimpi orang Mukmin merupakan
perkataan yang disampaikan
Allah kepada hamba-Nya ketika dia tidur."
Mimpi itu layaknya suatu
pengungkapan, di antaranya ada yang
berasal dari Allah, ada yang berasal dari kejiwaan dan ada
yang berasal
dari syetan, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Mimpi itu ada tiga
macam: Mimpi dari Allah, mimpi sedih dari syetan
dan mimpi yang terbawa bisikan
seseorang ke dalam hatinya saat
terjaga, lalu dia
memimpikannya saat tidur."
Mimpi yang menjadi sebab
hidayah adalah mimpi yang secara khusus
datangnya dari Allah.
Sementara mimpi para nabi sama dengan wahyu,
karena mimpi mereka terlindung
dari syetan. Begitulah kesepakatan umat.
Karena itu Al-Khalil Ibrahim
hendak menyembelih putranya, sekalipun
itu bermula dari perintah
dalam mimpi yang beliau alami. Sedangkan
mimpi selain para nabi, bisa
dilaksanakan seperti halnya wahyu yang jelas,
jika memang tepat. Jika tidak,
maka tidak perlu diamalkan. Lalu apa komentar
kalian tentang mimpi yang
benar? Jika mimpi itu mimpi yang
benar, maka ia tidak akan
bertentangan dengan wahyu. Siapa yang ingin
agar mimpinya benar, maka
hendaklah dia terus-menerus menjaga kejujurannya,
memakan yang halal, menjaga
perintah dan larangan, tidur
dalam keadaan suci, menghadap
ke arah kiblat, menyebut asma Allah
hingga matanya terlelap. Jika
dia berbuat seperti ini, hampir pasti mimpinya
bukan mimpi yang dusta.
Mimpi yang paling benar adalah
mimpi pada waktu sahur, karena
itulah waktu turunnya wahyu,
rahmat, ampunan dan saat syetan menyingkir
jauh. Sebaliknya, mimpi pada
permulaan malam adalah mimpi
yang banyak ditebari syetan
dan ruh-ruh syetan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan