SIRI 3
IBNU QAYYIM
AL JAUZIYYAH
Tauhid itu ada dua macam:
1. Tauhid dalam ilmu dan keyakinan.
2. Tauhid dalam kehendak dan
tujuan.
Yang pertama disebut tauhid
ilmu karena keterkaitannya dengan
pengabaran dan pengetahuan.
Tauhid kedua yang disebut tauhid kehendak
dan tujuan, dibagi menjadi dua
macam: Tauhid dalam Rububiyah dan
tauhid dalam Uluhiyah.
Tauhid ilmu berkisar pada
penetapan sifat-sifat kesempurnaan,
penafian penyerupaan, peniadaan
aib dan kekurangan. Hal ini bisa diketahui
secara global maupun secara
terinci. Secara global dapat dikatakan,
"Penetapan pujian hanya
bagi Allah". Adapun secara terinci dapat dikatakan,
"Penyebutan sifat
Uluhiyah, Rububiyah, rahmah dan kekuasaan.
Empat sifat ini merupakan
pusaran asma' dan sifat."
Pujian di sini berarti pujian
terhadap Dzat yang dipuji dengan menyebutkan
sifat-sifat kesempurnaan dan
keagungan-Nya, disertai kecintaan,
ridha dan ketundukan
kepada-Nya. Seseorang tidak bisa disebut
orang yang memuji jika dia
mengingkari sifat-sifat yang dipuji, tidak
mencintai, tidak tunduk dan
ridha kepadanya. Jika sifat-sifat kesempurnaan
yang dipuji lebih banyak, maka
pujian pun semakin sempurna.
Begitu pula sebaliknya. Karena
itu segala pujian hanya tertuju kepada
Allah karena kesempurnaan dan
banyaknya sifat-sifat yang dimiliki-Nya,
yang selain Allah tidak mampu
menghitungnya. Karena itu pula Allah
mencela sesembahan orang-orang kafir dengan meniadakan
sifat-sifat
kesempurnaan darinya. Allah mencelanya sebagai sesuatu yang
tidak bisa
mendengar, melihat, berbicara, memberi petunjuk,
mendatangkan manfaat
dan mudharat. Maka Allah
menjelaskan hal ini seperti dalam perkataan
Ibrahim Al-Khalil,
"Wahai bapakku, mengapa
kamu menyembah sesuatu yang tidak
mendengar, tidak tnelihat dan tidak dapat menolongmu
sedikitpun?"
(Maryam: 42).
Andaikata sesembahan Ibrahim seperti sesembahan bapaknya,
Azar,
tentu bapaknya akan menjawab,
"Toh sesembahanmu seperti itu pula.
Maka buat apa kamu mengingkari
aku?" Sekalipun begitu sebenarnya
Azar juga tahu siapa Allah,
sama seperti orang-orang kafir Quraisy yang tahu
siapa Allah, tapi mereka
menyekutukan-Nya. Begitu pula kaum Musa. Firman
Allah,
"Dan kaum Musa, setelah
kepergian Musa ke gunung Thur membuat
dari perhiasan-perhiasan (emas)
mereka anak lembu yang bertubuh
dan bersuara. Apakah mereka
tidak mengetahui bahwa anak lembu itu
tidak dapat berbicara dengan
mereka dan tidak dapat (pula) menun-jukkan
jalan kepada mereka? Mereka
menjadikannya (sebagai sesembahan) dan
mereka adalah orang-orang yang
zhalim." (Al-A'raf: 148).
Jika ada yang berkata,
"Bukankah Allah tidak bisa berbicara dengan
hamba-Nya?" Maka dapat
dijawab sebagai berikut: Allah berbicara dengan
hamba-hamba-Nya. Di antara
mereka ada yang diajak berbicara dengan
Allah dari balik hijab, yang
lain ada yang tanpa perantara, seperti Musa,
ada yang berbicara dengan
Allah lewat perantara malaikat yang diutus,
yaitu para nabi dan rasul, dan
Allah berbicara dengan seluruh ma-nusia lewat
para rasul-Nya. Allah
menurunkan firman-Nya kepada mereka yang
disampaikan para rasul,
"Ini adalah firman Allah dan Dia meme-rintahkan
agar kami menyampaikannya
kepada kalian." Berangkat dari sinilah orangorang
salaf berkata, "Siapa
mengingkari keadaan Allah yang dapat berbicara,
berarti dia mengingkari
risalah para rasul." Begitu pula kaitannya dengan
sifat-sifat Allah selainnya.
Dari sini dapat diketahui
bahwa hakikat pujian mengikuti ketetapan
sifat-sifat kesempurnaan, dan
penafian hakikat pujian ini juga mengikuti
penafian sifat-sifat kesempurnaan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan