Anas bin
Malik radhiyallahu `anhu pernah mengatakan : “Aku pernah berjalan bersama
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam saat beliau mengenakan jubah dari
Najran yang kasar tepinya. Tiba-tiba datanglah seorang Arab gunung dan menarik
jubah beliau secara keras. Akibat perbuatannya itu, aku melihat bekas tarikan
tersebut pada sisi pundak beliau. Kemudian dia (orang Arab gunung itu) berucap
: ‘Wahai Muhammad, perintahkanlah, bahwa harta Allah yang ada padamu untukku.’
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melihat kepadanya dan tersenyum seraya
memerintahkan untuk memberikan harta kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Contoh lain adalah kisah Muawiyah bin Al-Hakam As-Sulami, yang mengatakan :
“Ketika aku shalat bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, tiba-tiba
ada seseorang dari satu kaum yang bersin. Maka aku mengucapkan yarhamukallah.
Ketika semua orang melemparkan pandangannya kepadaku, sehingga aku berkata :
‘Duhai ibuku yang kehilangan aku, ada apa kalian melihatku?’ Mereka lalu
menepuk tangan mereka ke pahanya. Ketika aku lihat, mereka menyuruh aku diam,
lantas aku pun diam.
Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
selesai shalat –dengan bapak dan ibuku– sungguh aku belum pernah melihat
seorang pengajar pun yang lebih baik pengajarannya dari beliau shallallahu
`alaihi wa sallam. Demi Allah, beliau tidak membentakku, tidak memukulku, dan
tidak pula mencelaku.
Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya
di dalam shalat ini tidak layak sedikit pun ada ucapan manusia. Sesungguhnya
shalat adalah tasbih, takbir dan bacaan Al Qur’an.’ “ (HR. Muslim dalam kitab
Masajid bab Tahrimul Kalam fish Shalah)
Demikian pula sikap Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam terhadap seorang pemuda yang meminta ijin untuk berzina. Seperti
diungkapkan Abu Umamah : “Sesungguhnya pernah ada seorang pemuda yang datang
kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengatakan, ‘Wahai Rasulullah,
ijinkanlah aku berzina.’ Saat itu, orang-orang yang ada di situ membentaknya
seraya mengatakan, ‘Mah, mah!’ Sementara Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
menyuruh pemuda itu untuk mendekat. ‘Mendekatlah,’ ajak beliau. Pemuda itu pun
mendekat. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bertanya, ‘Sukakah
engkau kalau hal ini terjadi pada ibumu?’ ‘Tidak, demi Allah, aku sebagai
jaminanmu,’ jawabnya. ‘Demikian pula halnya setiap manusia pasti tidak menyukai
hal itu terjadi pada ibu-ibu mereka,’ jelas Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam kepada pemuda itu. Kemudian beliau ajukan pertanyaan lagi, ‘Sukakah
engkau jika hal itu terjadi pada anak perempuanmu?’ Ia Jawab, ‘Tidak, demi
Allah, Allah menjadikan diriku sebagai jaminanmu’ Beliau jelaskan lagi,
‘Demikian pula manusia tidak menyukai hal itu terjadi pada anak perempuan
mereka.’ Kemudian beliau tanya, ‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada saudara
perempuanmu?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan aku
sebagai jaminanmu’ Lalu beliau bersabda, ‘Tidak pula manusia menyukai hal itu
terjadi pada saudara-saudara perempuan mereka.’ ‘Sukakah engkau jika hal itu
terjadi pada bibimu (ammah / saudara perempuan bapak)?’ Tanya beliau kembali.
Dijawabnya, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan aku sebagai jaminanmu’
Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam nyatakan, ‘Tidak pula manusia
menyukai hal itu terjadi pada bibi mereka.’ Beliau berikan lagi pertanyaan,
‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada bibimu (khalah / saudara perempuan
ibu)?’ Jawab pemuda itu, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan aku sebagai
jaminanmu.’ Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menuturkan, ‘Tidak pula manusia
menyukai hal itu terjadi pada bibi (khalah) mereka.’ ” Selanjutnya Abu Umamah
menyatakan : “Maka Rasulullah meletakkan tangannya kepada pemuda itu seraya
mengucapkan : “Ya Allah, ampunilah dosanya, bersihkanlah hatinya dan
peliharalah kemaluannya.’ “ (Kisah ini dinukil dari HR. Ahmad dan Thabrani,
disahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah no. 370)
Kelembutan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
pun ditunjukkan pula terhadap seorang Arab gunung lainnya yang kencing di
masjid.
Anas bin Malik mengisahkan : “Ketika kami berada di
masjid bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, tiba-tiba datang
seorang Arab kampung. Orang itu lantas berdiri dan kencing di masjid. Maka
(bangkitlah) para shahabat Rasulullah membentaknya seraya membentak, ‘Mah, mah!’
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam lantas mencegah para para sahabat
sambil bersabda, ‘Jangan kalian putuskan kencingnya. Biarkan dia.’ Maka para
shahabat pun membiarkannya sampai ia selesai. Kemudian Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam memanggilnya dan menasehatinya, ‘Sesungguhnya masjid ini
tidak patut sedikit pun untuk tempat buang air, (begitu pula) buang untuk
kotoran. Masjid ini merupakan tempat untuk berdzikir kepada Allah, shalat dan
membaca Al Qur’an.’ Kemudian beliau memerintahkan untuk mengambil seember air
dan menyiramkannya.” (HR. Muslim)
Tidak hanya sampai di sini, kesabaran Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam terhadap orang-orang bodoh. Bahkan, dalam riwayat
Bukhari masih berlanjut kisah orang Arab gunung tersebut. Yaitu, ketika
Rasulullah dan para shahabat shalat bersamanya, maka orang tadi berdoa dalam
shalatnya, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad dan janganlah engkau rahmati
seorang pun selain kami.” Maka ketika selesai shalat beliau bersabda, “Sungguh
engkau telah mempersempit yang luas.” Yang dimaksud adalah rahmat Allah yang
luas. Demikianlah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyikapi seorang
yang memang bodoh, membutuhkan pengajaran dan pendidikan. Ketika orang Arab
gunung itu setelah faqih (memahami agama) dia katakan, “Ayah dan ibuku sebagai
jaminan. Sungguh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bangkit kepadaku tanpa
mencela, menghardik atau pun memukulku.” Selain itu kita juga dapati sifat
ta`anni beliau shallallahu `alaihi wa sallam ketika para shahabat membentak si
orang gunung tersebut. Beliau malah mengatakan, “Biarkan dia”. Hal itu karena
beliau berfikir dan melihat sisi hikmah, yaitu jika dibentak dan diganggu
ketika dia sedang buang air, akan membawa dampak negatif yang lebih banyak.
Bisa jadi najis dari kencingnya akan berceceran di tempat yang lebih luas, atau
najis itu bisa saja mengenai pakaiannya. Bahkan, justru akan menjadikan
penyakit bagi orang tersebut karena menahan kencing dan lainnya. Demikianlah
semestinya sikap seorang mukmin, apalagi dia seorang da’i. Janganlah segera
bersikap emosional, bersifatlah ta`anni.
Perlakukanlah orang-orang awam dan jahil dengan sabar
serta ajarilah mereka dengan lemah lembut. Adapun orang-orang bodoh yang tidak
mau mengerti perkataan orang, tinggalkanlah dan hindarilah dia dengan baik dan
ucapkanlah ucapan yang baik. Allah berfirman dalam mengungkapkan sifat
hamba-hamba-Nya : “Hamba-hamba Allah yang Maha
Rahman adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati. Jika
orang-orang bodoh mengajak bicara mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang
mengandung keselamatan.” (Al-Furqan: 63)
Saat menafsirkan ayat ini
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, “Yaitu jika orang-orang bodoh mengganggu
mereka dengan ucapan yang jelek, mereka tidak membalasnya dengan yang semisal.
Bahkan mereka memaafkan dan memaklumi serta tidak mengucapkan selain kebaikan
semata. Sebagaimana Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak membalas
kerasnya kejahilan seseorang melainkan dengan kelembutan yang amat sangat.”
Dikisahkan dalam sebuah riwayat, seorang mencela orang
lain kemudian orang yang dicela tersebut mengatakan alaikas salam (semoga
keselamatan atasmu). Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang mendengar
ucapan itu langsung menegur, “Ketahuilah, sesungguhnya malaikat (yang
menyaksikan) di antara kalian berdua membelamu. Setiap dia mencelamu malaikat
itu berkata, ‘Bahkan engkau! Engkau lebih berhak dengannya!’ Sedang ketika
engkau mengucapkan kepadanya, ‘alaikas salam,’ malaikat itu berkata, ‘bahkan
atasmu! Engkau lebih berhak dengannya.’ “ (HR. Ahmad 5)
Dalam ayat lain, Allah juga memerintahkan berpaling
dari orang-orang bodoh. “Jadilah engkau pemaaf dan
suruhlah orang yang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang
yang bodoh.” (Al-A`raf: 199)
Berkenaan dengan ayat ini, kita tengok riwayat Umar
bin Khattab. Dikatakan Ibnu Abbas : “Uyainah bin Hishn bin Huzaijah datang dan
singgah di rumah saudaranya, Al-Har bin Qais. Beliau adalah salah seorang yang
dekat dengan Umar bin Khattab. Pada waktu itu para pembaca Al Qur’an merupakan
teman-teman duduk Umar dan tempat bermusyawarah, baik orang tua atau pun
pemuda. Berkatalah Uyainah kepada anak saudaranya itu, ‘Wahai anak saudaraku,
engkau memiliki kedudukan di sisi khalifah. Maka mintalah ijin agar aku diperkenankan
menemuinya.’ Berkatalah Al-Har, ‘Aku akan mintakan ijin untukmu.’ ”
Ibnu Abbas mengungkapkan kisah selanjutnya : “Kemudian
Al-Har bin Qais memintakan izin kepada Umar. Seketika itu Umar mengizinkannya.
Ketika menghadap Umar, Uyainah ucapkan, ‘Wahai Ibnul Khattab, demi Allah,
engkau tidak memberi kami banyak. Tidak pula menghukumi kami dengan adil.’
Lantaran itu, marahlah Umar. Nyaris dilakukan sesuatu oleh Umar terhadapnya.
Tetapi Al-Har malah mengucapkan, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah
berfirman kepada Nabi-Nya : “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al
A’raf :199) Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang bodoh.” Demi Allah, Umar
radliyallahu `anhu tidak melampaui apa yang dikatakan dalam ayat tersebut.
Beliau memang seorang yang selalu ‘berhenti’ pada apa yang dikatakan pada kitab
Allah.” (HR. Al-Bukhari, Demikianlah sikap Amirul Mukminin Umar bin
Khattab ketika diberitahu bahwa ia (yang menghadap beliau) adalah orang bodoh.
Sikap beliau tidak keluar dari apa yang dikatakan oleh Allah : “Jadilah pemaaf,
perintahkanlah yang ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan