Catatan Popular

Isnin, 22 Februari 2016

KITAB AJARAN KAUM SUFI AL-KALABADZI : AJARAN KE 31.MENGENAI ILMU-ILMU SUFI TENTANG KEADAAN-KEADAAN (AHWAL



Kitab Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf

Karya  Ibn Abi Ishaq Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qub Al-Bukhari AL-KALABADZI

Saya katakan (dan semoga Tuhan menjadi penolong saya) : Ketahuilah, bahwa ilmu-ilmu Sufi adalah ilmu-ilmu mengenai keadaan-keadaan ruhani, dan bahwa keadaan-keadaan ini merupakan warisan dari tindakan-tindakan, dan hanya dialami oleh orang-orang yang tindakan-tindakannya benar. Nah, langkah pertama menuju perbuatan yang bernar adalah mengetahui ilmu-ilmu yang menyangkut masalah itu, yaitu peraturan-peraturan yang sah yang terdiri atas prinsip-prinsip hukum (fiqh) yang mengatur cara-cara salat, berpuasa dan tugas-tugas keagamaan lainnya, juga mengetahui ilmu-ilmu sosial yang mengatur perkawinan, perceraian, transaksi-transaksi dagang, dan masalah-masalah lain yang mempengaruhi kehidupan manusia, yang oleh Tuhan telah ditetapkan dan ditentukan sebagai hal-hal yang diwajibkan. Semua itu merupakan ilmu-ilmu yang bisa didapatkan dengan jalan mempelajarinya; dan sudah menjadi kewajiban manusia untuk berusaha mencari ilmu ini dan aturan-aturannya, sepanja g dia mampu mencari hingga batas kemampuan akalnya sebagai manusia, setelah dia mendapat dasar yang menyeluruh dalam ilmu agama dan cara-cara memahami Al-Qur’an, Sunnah serta konsensus para salaf sampai batas memahami doktrin yang benar dari Muslim Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Jika Tuhann menolongnya memperoleh pencapaian yang lebih tinggi daripada ini, sehingga dia bisa membuang segala keraguan pandangan atau pemikiran yang menimpanya, hal itu bagus sekali; tapi, bahkan jika dia berrpaling dari pemikiran-pemikiran jahat dengan mecari perlindungan dari kesseluruhan pengetahuan yang dimilkinya, dan menghindari pandangan yang melawannya dan yang menjauhkannya dari (Tuhan), maka itu merupakan bagian yang cukup sesuai untuk dirinya, jika memang Tuhan menghendaki; sebab dia disibukkan dengan pelaksanaan pengetahuannya dan dia melaksanakan itu menurut apa yang diketahuinya.

Oleh karena itu, yang paling penting adalah bahwa dia harus tahu mengenai kejahatan-kejahatan jiwa, dan benar-benar mengenal jiwa itu, pendidikannya, dan penempaan akhlaknya; dia juga harus tahu mengenai tipu-tipu muslihat musuh dan godaan-godaan dunia ini serta cara-cara untuk menjauhkan diri darinya. Ilmu ini merupakan ilmu tentang kebijaksanaan (hikmah). Kalau jiwa itu ditegur dengan sepantasnya, dan kebiasaan-kebiasaannya diubah, kalau dia diajari tata cara ketuhanan dengan menguasai anggota-anggotanya dan menjaga jari-jari serta indera-inderanya, maka akan mudah bagi seseorang untuk mengubah akhlaknya dan memurnikan bagian-bagian lahirnya, sehingga dia tidak lagi terkungkung dalam urusan-urusannya sendiri dan menghindar serta mengelakkan diri dari dunia ini. Kalau sudah begitu maka, orang itu akan bisa mengawasi pikiran-pikirannya dan memurnikan bagian-bagian lahirnya; dan inilah ilmu ma’rifat itu. Di balik itu adalah ilmu-ilmu pemikiran, ilmu-ilmu perenungan dan wahyu; semua ilmu ini seluruhnya terdiri atas ilmu isyarat (isyarah), dan inilah yang merupakan ilmu utama yang dimiliki oleh orang-orang sufi, yang mereka dapatkan setelah mereka menguasai semua ilmu yang telah kami sebut sebelum ini. Istilah ‘Isyarat” diberrikan kepada ilmu ini; karena perenungan yang dinikmati oleh hati, dan wahyu yang diberikan kepada kesadaran (sirr) tidak dapat diungkapkan secara harfiah; hal itu harus dipelajari lewat pengalaman nyata akan yang gaib, dan hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang telah mengalami keadaan-keadaan gaib ini serta hidup dalam keadaan-keadaan itu. Sa’id ibn al-Musayyib meriwayatkan dari Abu Harairah, bahwa Nabi berkata : “Sesungguhnya, sebagian pengetahuan itu berkenaan dengan sesuatu yang tersembunyi, yang bisa diketahui oleh mereka yang mengenal Tuhan. Kalau mereka membicarakan mengenai ilmu itu, maka hanya orang-orang yang tidak mengindahkan Tuhan saja yang tidak menyetujuinya.” Penuturan berikut adalah dari Abdul Wahid ibn Zaid : “Aku bertanya kepada al-Hasan mengenai ilmu batin, dan dia menyahut, aku bertanya kepada Hudzaifah mengenai ilmu batin, dan dia menyahut, aku bertanya kepada Rasul Allah mengenai ilmu batin, dan dia menyahut,aku bertanya kepada Jibril megenai ilmu batin, dan dia menyahut, dan aku bertanya kepada Tuhanmengenai ilmu batin, dan Dia berfirman : “Itu adalah rahasia dari rahasia Ku; Aku menanamkannya di dalam hati hamba-Ku dan tak satu makhluk-Ku pun yang memahaminya.” Abul Hasan ibn Abi Dzar mengutip puisi berikut dari Al-Syibli dalm bukunya “Minhaj al-Din :
Ilmu orang-orang Sufi itu tak terrbatas;
Ilmu yang tinggi, mulia suci;
Di dalamnya hari para syekh tenggelam dalam-dalam,
Dan manusia yang andai, menghargainya dengan tanda itu.

Nah, setiap tingkatan itu ada awal dan akhirnya; dan di antara yang dua itu ada berbagai keadaan. Setiap tingkatan ada ilmunya sendiri, dan setiap keadaan itu ada isyaratnya sendiri. Dalam setiap tingkatan, ada satu penegasan dan satu sangkalan; tapi tidak semua yang disangkal di dalam satu tingkatan itu disangkal pula di dalam tingkatan yang sebelumnya; begitu pula, tidak semua yang ditegaskan di dalam satu tingkatan akan di tegaskan di dalam tingkatan sesudahnya. Ini sesuai dengan perkataan Nabi : “Jika seseorang tidak memiliki keimanan, maka dia tidak memiliki iman.” Ini menunjuk pada iman dari keimanan itu, bukan iman dari kepercayaan keagamaan. Nah, oarng-orang yang ditegus ini merasakan hal ini, sebab mereka telah berada dalam tingkatan keimanan atau telah melewati tingkatan itu; Nabi memahami keadaan jiwa mereka, maka Beliau menjelaskan diri Beliau kepada mereka. Nah, jika orang yang sedang berbicara itu tidak mengindahkan keadaan kejiwaan para pendengarnya, tapi hanya menguraikan secara terperinci ssuatu tingkatan yang menegaskan dan menyangkal, maka ada kemungkinan bahwa di antara para pendengarnya ada orang yang belum pernah berada dalam tingkatan itu; apa yang disangkalnya bisa jadi telah ditegaaskan di dalam tingkatan pendengar itu, shinga dia akan beranggapan bahwa pembicaran itu telah menyangkal suatu yang oleh pengetahuan ditegaskan; dan bahwa dia kalau tidak berbuat suatu kesalahan, telah jatuh ke dalam bid’ah, atau bahkan telah terelempar ke dalam kekafiran. Karena adanya peristiwa seperti itu, maka tokoh-tokoh Sufi mencari ungkapan-ungkapan teknis untuk ilmu-ilmu mereka, yang mereka pahami dalam lingkungan mereka sendiri; ungkapan-ungkapan itu mereka gunakan sebagai kode, yang akan bisa dimengerti oleh sesama Sufi, tapi tidak bisa dimengerti oleh pendengar mana pun yang belum pernah berada dalam tingkatan yang sama. Karenanya, pendengar itu akan melakukan salah satu dari kedua hal berikut : Dia menganggap baik pembicara itu dan menerimanya serta menyalahkan dirinya sendiri karena kekurang-mengertiannya sehingga dia tidak sanggup menangkap maksud pembicara itu; atau dia menganggap buruk pembicara itu, menganggapnya gila dan menganggap apa yang dikatakannya merupakan ocehan sinting, dan bahkan jika pembicara itu memang hanya mengoceh saja, hal itu masih lebih baik daripada kalau dia menolak dan menyangkal kebenaran.   

Seorang ahli ilmu kalam berkata kepada Abul Abbas ibn Atha : “Ada apa dengan kamu semua,orang-oran Sufi? Kamu semua telah membuat ungkapan-ungkapan yang kamu gunakan untuk memohon kepada para pendengarmu dengan cara berbicara yang begitu aneh, dan kamu meninggalkan caa berbicara yang biasa. Bukankah ini tidak lain ditujukan untuk mendatangkan kekacauan, atau menyembunyikan sebuah doktrin yang keji? Abul-Abbas menyahut : “Kami melakukan ini hanya karena kami waspada terhadap Dia, dan kaerna kekuasaan-Nya atas kami, sehingga yang lain-lain tidak akan dapat mencicipi (kegembiraan yang dingkapkan dengan) (istilah-istilah) ini.” 

Lalu dia mulai menyitir puisi sebagai berikut :
Inilah hal kterrbaik yang pernah diwahyukan oleh Allah;
Dan kami ungkapkan, tapi pada kami sendiri tetap tersembunyi;
Satu kebenaran yang menyingsing yang, bagai si pecinta, diuacpkan dari bibir ke bibir.
Dalam cahanya sendiri, ku bungkus dia rapat;
Dan ku sembunyikan, kalau-kalau ada orang yang tak mengenal kedalamannya.
Membukanya, dan dengan ungkapan-ungkapan kasa membuang;
Keindahan kejiwaannya; atau, orang yang tak pandai
Memahaminya, tidak, tan sampai sepenuhnya,
Akan dibawanya itu dengan tangannya, dan diumumkannya;
Dan kebodohan akan menyebar karena tipuannya;
Dan pengetahuan akan hilang selamanya, dan keindahannya;
Akan lenyap; jejaknya terkubur dalam pasir yang mengalir.

Puisi yang berikut ditukan untuk orang yang sama :

Kala orang awam menanyai kai;
Kami menjawab mereka dengan tanda-tanda rahasia;
Serta teka-teki gelap, sebab lidah manusia itu..
Tidak mampu mengungkapkan kebenaran yang begitu tinggi,
yang jangkauannya..
Melewati ukuran manusia ; tapi hatiku..
Telah mengenalnya, dan mengenal kegairahannya..
Yang menggetarkan dan mengisi tubuhku,
Setiap bagian..
Tanpa melihat engkau, perasaan gaib ini menangkap
Seni berbicara yang asasi, sebagai orang yang tahu..
Menaklukan dan membungkam musuh yang ummi.

Tiada ulasan: