Makna Zuhud
Kata zuhud sering disebut-sebut ketika kita mendengar nasehat dan seruan agar mengekang ketamakan terhadap dunia dan mengejar kenikmatannya yang fana dan pasti sirna, dan agar jangan melupakan kehidupan akhirat yang hakiki setelah kematian. Hal ini sebagaimana peringatan Allah tentang kehidupan dunia yang penuh dengan fatamorgana dan berbagai keindahan yang melalaikan dari hakikat kehidupan yang sebenarnya.
Allah berfirman;
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)
Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu, batil, dan sekadar permainan. Yang dimaksud sekadar permainan adalah sesuatu yang tiada bermanfaat dan melalaikan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa dunia adalah perhiasan, dan orang-orang yang terfitnah dengan dunia menjadikannya sebagai perhiasannya dan tempat untuk saling bermegah-megahan dengan kenikmatan yang ada padanya berupa anak-anak, harta-benda, kedudukan dan yang lainnya sehingga lalai dan tidak beramal untuk akhiratnya.
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat Allah swt.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya .
Banyak sekali penjelasan ulama tentang makna zuhud. Umumnya mengarah kepada makna yang hampir sama. Di sini akan disampaikan sebagian dari pendapat tersebut.
Zuhud menurut bahasa berarti berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu tersebut dan karena (seseorang) tidak memerlukannya. Dalam bahasa Arab terdapat ungkapan “syaiun zahidun” yang berarti “sesuatu yang rendah dan hina”.
Ibnu Taimiyah mengatakan – sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu al-Qayyim – bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat.
Al-Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih mempercayai apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama saja, sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan yang mencelamu dalam kebenaran.
Abu Hazim –seorang yang dikenal begitu zuhud- ditanya, “Apa saja hartamu?” Ia pun berkata, “Aku memiliki dua harta berharga yang membuatku tidak khawatir miskin: [1] rasa yakin pada Allah dan [2] tidak mengharap-harap apa yang ada di sisi manusia.”
Lanjut lagi, ada yang bertanya pada Abu Hazim, “Tidakkah engkau takut miskin?” Ia memberikan jawaban yang begitu mempesona, “Bagaimana aku takut miskin sedangkan Allah sebagai penolongku adalah pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi, bahkan apa yang ada di bawah gundukan tanah?!”
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Hakikat zuhud adalah ridho pada Allah ‘azza wa jalla.” Ia pun berkata, “Sifat qona’ah, itulah zuhud. Itulah jiwa yang “ghoni”, yaitu selalu merasa cukup.”
Tingkatan Zuhud
Zuhud orang-orang beriman memiliki tingkatan. Zuhud terhadap yang haram, zuhud terhadap yang makruh, zuhud terhadap yang syubhat, dan zuhud terhadap segala urusan dunia yang tidak ada manfaatnya untuk kebaikan hidup di akhirat.
Zuhud terhadap yang haram hukumnya wajib. Orang-orang beriman harus zuhud atau meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan Allah. Bahkan sifat-sifat orang beriman, bukan hanya meninggalkan yang diharamkan, tetapi meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna. Kualitas keimanan dan keislaman seseorang sangat terkait dengan kemampuannya dalam meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna. Allah swt. berfirman, “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (Al-Mu’minun: 3). Rasulullah saw. bersabda, ”Diantara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.” (HR At-Tirmidzi)
Imam Ahmad mengatakan, ”Zuhud ada tiga bentuk. Pertama, meninggalkan sesuatu yang haram, dan ini adalah zuhudnya orang awwam. Kedua, meninggalkan berlebihan terhadap yang halal, ini adalah zuhudnya golong yang khusus. Ketiga, meninggalkan segala sesuatu yang menyibukkannya dari mengingat Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang arif.”
Nabi Muhammad saw. adalah nabi yang paling zuhud, tetapi juga punya beristri lebih dari satu. Sembilan dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga tanpa hisab, kecuali Ali bin Abi Thalib, semuanya kaya raya, tetapi pada saat yang sama mereka adalah orang yang paling zuhud. Mereka adalah Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdurahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqqas, dan Said bin Abdullah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang paling zuhud. Meskipun demikian ketika meninggal dunia, beliau meninggalkan 21 wanita: 4 orang istri merdeka dan 17 budak wanita.
Setiap orang beriman harus senantiasa meningkatkan kualitas zuhudnya. Itulah yang akan memberinya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat serta meraih ridha Allah swt. Orang-orang yang berkerja keras mencari nafkah dengan cara yang halal. Ketika berhasil meraih banyak harta kemudian menunaikan kewajiban atas harta tersebut, seperti zakat, infak, dan lainnya. Dengan berlaku seperti itu, dia termasuk orang zuhud. Orang-orang yang beriman yang memiliki istri lebih dari satu untuk membersihkan dirinya (iffah) adalah termasuk orang yang zuhud.
Jika kita lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun definisi-definisi ini saling mendekati. Aku sendiri berpendapat,
“Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.”
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus. Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud.”
Jika bisnis yang dijalani malah lebih menyibukkan pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Begitu pula jika permainan yang menghibur diri begitu berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas cakupan maknanya.
Kata zuhud sering disebut-sebut ketika kita mendengar nasehat dan seruan agar mengekang ketamakan terhadap dunia dan mengejar kenikmatannya yang fana dan pasti sirna, dan agar jangan melupakan kehidupan akhirat yang hakiki setelah kematian. Hal ini sebagaimana peringatan Allah tentang kehidupan dunia yang penuh dengan fatamorgana dan berbagai keindahan yang melalaikan dari hakikat kehidupan yang sebenarnya.
Allah berfirman;
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)
Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu, batil, dan sekadar permainan. Yang dimaksud sekadar permainan adalah sesuatu yang tiada bermanfaat dan melalaikan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa dunia adalah perhiasan, dan orang-orang yang terfitnah dengan dunia menjadikannya sebagai perhiasannya dan tempat untuk saling bermegah-megahan dengan kenikmatan yang ada padanya berupa anak-anak, harta-benda, kedudukan dan yang lainnya sehingga lalai dan tidak beramal untuk akhiratnya.
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat Allah swt.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya .
Banyak sekali penjelasan ulama tentang makna zuhud. Umumnya mengarah kepada makna yang hampir sama. Di sini akan disampaikan sebagian dari pendapat tersebut.
Zuhud menurut bahasa berarti berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu tersebut dan karena (seseorang) tidak memerlukannya. Dalam bahasa Arab terdapat ungkapan “syaiun zahidun” yang berarti “sesuatu yang rendah dan hina”.
Ibnu Taimiyah mengatakan – sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu al-Qayyim – bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat.
Al-Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih mempercayai apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama saja, sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan yang mencelamu dalam kebenaran.
Abu Hazim –seorang yang dikenal begitu zuhud- ditanya, “Apa saja hartamu?” Ia pun berkata, “Aku memiliki dua harta berharga yang membuatku tidak khawatir miskin: [1] rasa yakin pada Allah dan [2] tidak mengharap-harap apa yang ada di sisi manusia.”
Lanjut lagi, ada yang bertanya pada Abu Hazim, “Tidakkah engkau takut miskin?” Ia memberikan jawaban yang begitu mempesona, “Bagaimana aku takut miskin sedangkan Allah sebagai penolongku adalah pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi, bahkan apa yang ada di bawah gundukan tanah?!”
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Hakikat zuhud adalah ridho pada Allah ‘azza wa jalla.” Ia pun berkata, “Sifat qona’ah, itulah zuhud. Itulah jiwa yang “ghoni”, yaitu selalu merasa cukup.”
Tingkatan Zuhud
Zuhud orang-orang beriman memiliki tingkatan. Zuhud terhadap yang haram, zuhud terhadap yang makruh, zuhud terhadap yang syubhat, dan zuhud terhadap segala urusan dunia yang tidak ada manfaatnya untuk kebaikan hidup di akhirat.
Zuhud terhadap yang haram hukumnya wajib. Orang-orang beriman harus zuhud atau meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan Allah. Bahkan sifat-sifat orang beriman, bukan hanya meninggalkan yang diharamkan, tetapi meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna. Kualitas keimanan dan keislaman seseorang sangat terkait dengan kemampuannya dalam meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna. Allah swt. berfirman, “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (Al-Mu’minun: 3). Rasulullah saw. bersabda, ”Diantara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.” (HR At-Tirmidzi)
Imam Ahmad mengatakan, ”Zuhud ada tiga bentuk. Pertama, meninggalkan sesuatu yang haram, dan ini adalah zuhudnya orang awwam. Kedua, meninggalkan berlebihan terhadap yang halal, ini adalah zuhudnya golong yang khusus. Ketiga, meninggalkan segala sesuatu yang menyibukkannya dari mengingat Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang arif.”
Nabi Muhammad saw. adalah nabi yang paling zuhud, tetapi juga punya beristri lebih dari satu. Sembilan dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga tanpa hisab, kecuali Ali bin Abi Thalib, semuanya kaya raya, tetapi pada saat yang sama mereka adalah orang yang paling zuhud. Mereka adalah Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdurahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqqas, dan Said bin Abdullah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang paling zuhud. Meskipun demikian ketika meninggal dunia, beliau meninggalkan 21 wanita: 4 orang istri merdeka dan 17 budak wanita.
Setiap orang beriman harus senantiasa meningkatkan kualitas zuhudnya. Itulah yang akan memberinya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat serta meraih ridha Allah swt. Orang-orang yang berkerja keras mencari nafkah dengan cara yang halal. Ketika berhasil meraih banyak harta kemudian menunaikan kewajiban atas harta tersebut, seperti zakat, infak, dan lainnya. Dengan berlaku seperti itu, dia termasuk orang zuhud. Orang-orang yang beriman yang memiliki istri lebih dari satu untuk membersihkan dirinya (iffah) adalah termasuk orang yang zuhud.
Jika kita lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun definisi-definisi ini saling mendekati. Aku sendiri berpendapat,
“Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.”
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus. Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud.”
Jika bisnis yang dijalani malah lebih menyibukkan pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Begitu pula jika permainan yang menghibur diri begitu berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas cakupan maknanya.
BERZUHUD MEMBAWA KECINTAAN ?
“Seorang
laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata:
“Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan. Jika aku mengamalkannya,
niscaya Allah mencintaiku dan manusia juga mencintaiku!” Rasulullah bersabda:
“Zuhudlah di dunia, niscaya Allah mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang
ada pada tangan-tangan manusia, niscaya mereka akan mencintaimu!’ (HR Ibnu Majah)
“Ketahuilah,
demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut di antaramu kepada
Allah, dan orang yang paling takwa di antaramu kepadaNya. Tetapi aku berpuasa
dan berbuka; aku shalat (malam) dan tidur; dan aku menikahi wanita-wanita.
Barangsiapa membenci sunnahku (ajaranku), dia bukan dariku”.(HR
Bukhari-Muslim)
Zuhud menjadi bagian penting para sufi dalam
bertasawuf. Zuhud berarti mengosongkan hati dari sesuatu yang bersifat duniawi
atau meninggalkan hidup kematerian. Zuhud menjadi salah satu jalan dalam
bertasawuf. Hal ini terbukti di kalangan sufi yang meyakini bahwa tasawuf lahir
dan muncul karena pribadi, perilaku, peristiwa, ibadah, dan kehidupan
Rasulullah. Adapun dalam bertasawuf, Rasulullah juga berzuhud. Beliau tidak
terpesona oleh kemewahan dunia, menyedikitkan urusan dunia, dan menjalani
segala kecukupan yang ada.
Dari sini, dapat disimpulkan. Bahwasanya,
zuhud menjadi salah satu syarat utama dan merupakan hal yang sangatlah penting
bagi seorang calon sufi dalam bertasawuf dan mencapai tujuan utamanya.
Seseorang belum bisa dikatakan bertasawuf apabila dia meninggalkan kezuhudan.
1.Berkata Ibnul Qayyim,
“Zuhud terhadap sesuatu di dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa Islam-
mengandung arti berpaling darinya dengan meremehkan dan merendahkan keadaannya
karena sudah merasa cukup dengan sesuatu yang lebih baik darinya.”
Beliau juga berkata, “Saya mendengar Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah berkata, ‘Zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tidak
bermanfaat di akhirat, adapun wara’ adalah meninggalkan apa-apa yang ditakuti
akan bahayanya di akhirat’.”
Kemudian
beliau mengomentarinya, “Ini adalah definisi yang paling baik terhadap makna
zuhud dan wara’ dan yang paling mencakupnya.”
2.Berkata
Sufyan Ats-Tsauriy, “Zuhud terhadap dunia adalah pendek angan-angan, dan
bukanlah yang dimaksud zuhud itu dengan memakan makanan yang keras dan memakai
karung.”
3.Berkata
Az-Zuhriy, “Zuhud adalah hendaklah seseorang tidaklah lemah dan mengurangi
syukurnya terhadap rizki yang halal yang telah Allah berikan kepadanya dan
janganlah dia mengurangi kesabarannya dalam meninggalkan yang haram.”
4.Berkata
Al-Hasan dan lainnya, “Tidaklah zuhud terhadap dunia itu dengan mengharamkan
yang halal dan tidak pula dengan menyia-nyiakan dan membuang harta, akan tetapi
hendaklah engkau lebih tsiqah (mempercayai) terhadap apa-apa yang ada di sisi
Allah daripada apa-apa yang ada di sisimu, dan hendaklah engkau apabila ditimpa
musibah- lebih mencintai pahala dari musibah tersebut daripada engkau tidak
tertimpa musibah.”
5.Ketika ada
seseorang bertanya kepada Al-Imam Ahmad, “Apakah orang kaya bisa menjadi orang
yang zuhud?” Beliau menjawab, “Ya, dengan syarat ketika banyak hartanya tidak
menjadikannya bangga dan ketika luput darinya dunia dia tidak bersedih hati.”
Beliau
membagi zuhud menjadi tiga tingkatan:
1. Meninggalkan yang haram, yang merupakan zuhudnya orang-orang ‘awwam,
dan ini adalah fardhu ‘ain.
2. Meninggalkan kelebihan-kelebihan dari yang halal, dan ini zuhudnya
orang-orang yang khusus.
3. Meninggalkan apa-apa yang dapat menyibukkannya dari (mengingat) Allah,
dan ini adalah zuhudnya orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang Allah.
Tujuan Zuhud
?
Dalam tasawuf,Pertama, zuhud adalah hal yang sangat
penting. Zuhud dapat berperan sebagai media untuk mempersiapkan diri sebelum
memasuki kehidupan keruhanian
Kedua, zuhud berperan sebagai ukuran akhlak seorang
sufi yang tidak dalam kondisi kurang maupun lebih
Bagi para
sufi, hakikat zuhud adalah ketenangan hati tentang apa yang telah dijanjikan
Allah kepadanya zuhud adalah salah satu tingkatan tersebut. Alasannya adalah
karena sebelum menjadi orang yang zahid, seseorang tidak mungkin menjadi
seorang sufi. Nabi bersabda, “Zuhud dari dunia merupakan induk dari setiap
kebaikan dan taat
Rasulullah saw Paling Zuhud ?
Aisyah r.a.
berkata, “Selama empat puluh malam di rumah Rasulullah Saw, lampu ataupun api
tidak pernah dinyalakan.”
Dikatakan, selama tiga hari sejak tiba di Madinah, Rasulullah Saw. belum pernah kenyang dengan roti gandum.
Aisyah r.a,
kata Abu Dzar, pernah mengeluarkan pakaian yang bertambal-tambal dan sarung
kasar, lalu dia berkata, ”Rasulullah Saw. bertahan dengan dua macam pakaian
ini.”
Rasulullah
Saw. bersabda, “Barangsiapa membangun (rumah) di atas atau lebih dari
kebutuhannya, maka akan dibebankan kepadanya pada hari Kiamat.”
Beliau juga bersabda:
Beliau juga bersabda:
“Setiap bangunan (rumah) adalah beban bagi pemiliknya pada hari Kiamat, kecuali yang (sekadar) melindunginya dari panas dan dingin.”
Rasulullah
Saw juga bersabda, “Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya!”
Dikatakan kepada beliau, “Kami memang malu.”
Dikatakan kepada beliau, “Kami memang malu.”
Rasulullah Saw. menimpali, ‘‘Kalian membangun apa yang tidak kalian tempati dan kalian memakan apa yang tidak kalian makan.”
Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang hidup zuhud di dunia, Allah memasukkan hikmah ke dalam kalbunya, menjadikan lisannya berbicara dengan (penuh) hikmah, memberitahunya tentang penyakit dunia dan obatnya, serta mengeluarkannya dari dunia dengan selamat (sejahtera) menuju ke negeri yang penuh kedamaian (Darus salam).”
Sabda beliau pula, “Seorang hamba itu tidak akan mencapai kesempurnaan hakikat iman, sehingga ia lebih mencintai untuk tidak dikenal daripada dikenal, dan sesuatu yang sedikit itu lebih ia cintai daripada sesuatu yang banyak.”
Dan sabda Rasulullah saw. berikutnya, “Jika Allah hendak mengaruniakan kebaikan kepada seseorang, Dia jadikan ia zuhud di dunia, menjadikan senang di akhirat, dan diperlihatkan cacat dirinya.”
Panduan
Sabda beliau, “Hidup zuhudlah di dunia, niscaya kalian dicintai Allah swt, dan berzuhudlah terhadap apa yang jadi milik manusia, niscaya manusia mencintai diri kalian!”
Sabdanya pula, “Barangsiapa berkeinginan untuk diberi ilmu oleh Allah tanpa belajar, dan petunjuk tanpa hidayat, maka hendaklah ia hidup zuhud di dunia.”
Kenali Zuhud
1. Zuhud seluruhnya terdapat di antara dua kalimat dari ayat Alqur’an.
Allah SWT berfirman: supaya kamu tidak berduka atas apa yang luput darimu, dan
tidak terlalu gembira atas apa yang diberikan Nya kepadamu (QS 57:23) .
Maka, barangsiapa yang tidak berduka atas apa yang telah lewat, dan tidak
terlalu bergembira dengan yang didapat, dia telah mengambil zuhud dalam kedua
sisinya (secara sempurna).
2. Zuhud di dunia adalah pendek angan-angan, bersyukur ketika mendapatkan
nikmat, dan menjauhi segala hal yang haram.
3. Zuhud adalah perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.
4. Tidak akan binasa orang yang hemat, dan tidak akan menjadi miskin orang
yang zuhud.
5. Seutama-utama zuhud adalah menyembunyikan zuhud.
6. Zuhud adalah kekayaan.
7. Orang yang zuhud terhadap dinar dan dirham adalah lebih mulia daripada
dinar dan dirham.
8. Zuhudlah di dunia, niscaya Allah akan memperlihatkan kepadamu aib-aib
dunia itu, dan janganlah engkau lalai, maka sesungguhnya engkau bukanlah orang
yang tidak mengerti akan dirimu sendiri.
9. Beruntunglah orang-orang yang zuhud di dunia; yang merindukan kehidupan
akhirat. Mereka adalah orang-orang yang telah menjadikan bumi sebagai hamparan,
tanahnya sebagai tilamnya, airnya untuk bersuci, Alqur’an sebagai syiarnya, dan
do’a sebagai bantalnya. Kemudian mereka meninggalkan dunia sama sekali
sebagaimana yang ditempuh al-Masih (`Isa a.s.).
10. Kekayaan yang paling mulia adalah meninggalkan banyak keinginan.
11. Sesungguhnya orang-orang yang zuhud di dunia, hati mereka menangis
walaupun mereka tertawa, kesedihan mereka bertambah wa laupun mereka
berbahagia, dan mereka membenci diri mereka wa laupun mereka senang dengan
rezeki yang dikaruniakan kepada mereka.
12. Tidak ada kezuhudan (yang lebih utama) seperti kezuhudan terhadap
segala hal yang haram.
13. Imam `Ali a.s. berkata dalam menyifati orang-orang yang zuhud, “Mereka
adalah orang-orang yang tinggal di dunia, tetapi mereka bukan termasuk
penghuninya; mereka hidup di dunia, tetapi mereka seperti yang bukan berasal
dari dunia.”
14. Jika engkau tidak membutuhkan sesuatu, maka tinggalkanlah ia dan
ambillah yang engkau butuhkan saja.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan