oleh al-Faqih ila-Llah Abdul
Karim bin Hawazin al-Qusyairi
3. H A L
Al-Hal (kondisi ruhani) menurut banyak orang
merupakan arti yag intuitif dalam hati; tanpa adanya unsur sengaja, usaha
menarik, dan usaha lainnya, dari rasa senang atau sedih, leluasa atau
tergenggam, rindu atau berontak, rasa takut atau suka cinta, maka setiap
al-Hal merupakan karunia. Dan stiap Maqam adalah upaya.
Pada al-Hal datang
dari Wujud itu sendiri, sedang al-Maqam diperoleh melalui upaya perjuangan.
Orang yang memilik Maqam, menempati maqamnya, dan orang yang berada dalam Hal,
bebas dari kondisinya.
Salah seorang guru berkata : “Beberapa al-Haal
seperti kilatan kalau menetap, itu sekedar omongan nafsu.”
Mereka berkata : “Al-Hal sebagaimana namanya, yakni
al-Haal seperti ketika menempati dalam kalbu, kemudian hilang.
Kalau tidak menempati, pasti tidak dinamakan haal.
Dan setiap yang menempati, pastilah hilang,
Lihatlah pada bayangan ketika sampai ujungnya
Berkuranglah ketika ia memanjang
Beberpa kalangan mengisyaratkan abadinya al-Haal.
Mereka berkata : “Sebenarnya jika al-Hal tidak abadi dan tidak terdelegasi,
itu hanyalah kilatan belaka. Pelakunya tidak sampai pada al-Haal yang
sebenarnya. Apabila predikat tersebut menetap terus, dinamkan al-Hal.”
Di sinilah Syeikh Abu Utsman al-Hiry berkata “Aku tidak
pernah benci terhadap maqam yang telah diberikan Allah swt. kepadaku.” Ia mengisyaratkan ketetapan abadinya dalam
ridha. Dan ridha merupakan bagian dari al-Hal.
Seharusnya dikatakan : Orang yang mengisyaratkan
abadinya al-Haal, maka apa yang dikatakannya benar. Terkadang al-Hal berarti
bagian dari seseorang kemudian terpelihara di dalamnya. Tetapi yang memiliki
al-Hal ini memiliki beberapa ihwal, yaitu jalan-jalan yang tak menetap di atas
ihwal-ihwalnya yang menjadi bagiannya. Bila jalan-jalan yang ditempuh menetap
secara konsisten, seperti menetapnya ihwal-ihwal tersebut, ia anaik ke ihwal
lain yang lebih lembut. Dan begitu selanjutnya, naik ke tahap seterusnya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan