oleh al-Faqih ila-Llah Abdul
Karim bin Hawazin al-Qusyairi
BAHAGIAN 1. W A K T U
Esensi waktu (al-Waqt). Menurut penelaah ahli
hakikat, adalah suatu peristiwa yang terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan pda
peristiwa yang terjadi.
Peristiwa yang terjadi merupakan waktu bagi peristiwa
yang dibayangkan (akan datang). Seperti kalimat, “Anda di datangi awal bulan”,
maka, “kedatangan” merupakan sesuatu yang terbayang. Sedangkan awal bulan
adalah sesuatu yang terjadi nyata. Awal bulan berarti waktu bagi kedatangan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra. Berkata :
“Waktu adalah sesuatu yang Anda berada di dalamnya. Kala Anda di dunia, maka
waktu Anda adalah dunia. Bila di akhirat, maka waktu Anda adalah akhirat.
Ketika Anda senang, itulah waktu Anda. Kalau Anda susah, susah itulah waktu
Anda.” Maksud Syeikh tadi, waktu memiliki definini yang umum bagi manusia.
Ada kala waktu diartikan sebagai zaman. Ada kalangan
yang mengatakan, waktu merupakan sesuatu antara dua zaman. Yang lampau dan yang
akan datang.
Mereka juga mengatakan, bahwa orang Sufi merupakan
anak sang waktu. Kalimat tersebut dimaksudkan, bahwa sang Sufi disibukkan dengan
prioriti utama yang harus dikerjakan ketika itu, mandiri terhadap perolehan
seketika.
Dikatakan : “Orang fakir tidak mementingkan apa yang
telah lewat dan yang akan tiba dalam waktunya, tapi lebih mementingkan apa yang
ada pada saat itu.”
Dikatakan : “Menyibukkan terhadap waktu yang berlalu,
berarti menelantarkan waktu berikutnya.”
Terakdang mereka bermaksud mendefinisikan waktu sebagai
sesuatu yang dilakukan oleh Al-Haq kepada mereka tanpa adanya pilihan bagi
mereka.
Mereka mengatakan ( si Fulan dengan hukum waktu).
Yakni : Fulan menyerahkan diri kepada yang tampak dari yang ghaib tanpa
usahanya sendiri. Yaitu dalam hal yang tidak masuk kategori perintah Allah swt,
atau terapan menurut hukun syariat.
Karena adanya penelantaran terhadap apa yang diperintah
dan merekayasa dalam waktu untuk mengalahkan takdir, di samping meninggalkan
kepedulian terhadap sesuatu yang Anda hasilkan melalui penyimpangan, berarti
keluar dari agama.
Mereka berkata : “Waktu adalah pedang”. Sebagaimana
fungsi pedang itu sendiri untuk memotong. Maka waktu, disebabkan oleh kebenaran
yang berlalu, yang memenangkan kebenaran, akan melewatinya.
Dikatakan : “Pedang sangat halus sentuhannya, namun
tajam sayatannya. Barangsiapa menghindarinya (berkelit) akan selamat dan
barangsiapa bertindak kasar akan tertebas olehnya.
Begitu juga waktu, siapa yang mencurahkan pada hukum
waktu akan selamat, dan barangsiapa menentangnya akan tertebas dan jatuh dalam
kehancuran.”
Seperti dalam bait ini :
Dan seperti pedang..
Jika tak mencegahnya untuk
menyentuh
Tajamnya, kalau mengasari
tergoreslah.
Barangsiapa ditolong sang waktu, maka waktu hanya
baginya. Dan barangsiapa menentangnya, sang waktu pun akan marah ke padanya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata :
“Waktu adalah pembubut yang akan menggilasmu, namun tidak melenyapkanmu. Yakni,
jika melenyapkan dan menyirnakanmu, pasti bersih ketika dirimu sirna. Akan
tetapi waktu mengambilmu, tanpa melenyapkanmu sama sekali.”
Sang Syeikh bersyair :
Setiap hari ia lewat meraih tanganku..
Memberikan penyesalan dalam hatiku..
Kemudian... ia berlalu..
Dalam syair pula :
Seperti penghuni neraka
Jika kulit-kulitnya terpanggang matang..
Kembali pula kulit itu,
Bagi suatu penderitaan.
Dikatakan :
Bukanlah orang mati itu
Orang istirahat sebagai mayit.
Tetapi orang mati itu
Kematian hidupnya.
Orang cerdas adalah orang yang berada dalam hukum
waktunya. Apabila waktunya adalah sadar dalam Ilahi (ash-shahw), maka ia tegak
mandiri dengan syari’at. Apabila waktunya adalah sirna dalam Ilahi, yang
kompeten adalah hukum-hukum hakikat.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan