oleh al-Faqih ila-Llah Abdul
Karim bin Hawazin al-Qusyairi
6. TAWAJUD, WUJD DAN WUJUD
Tawajud adalah upaya memohon ekstase ruhani (wujd),
melalui salah satu ragam ikhtiar. Orang yang memiliki tawajud tidak dapat
dkategorikan sempurna wujd-nya. Sebab, kalau ia sempurna, pasti disebut wajid.
Dalam bab wazan Tafa’ul lebih banyak menampakkan
sifat. Padahal bukan demikian, seperti dalam syair :
Bila kelompak mata menjadi sempit;
Dan padaku tiada lagi sulit membuka
Lalu kurobek mata, tanpa cela.
Ada pandangan yang mengatakan, “Tawajud tidak
terpasrahkan kepada pemangkunya karena adanya beban dan masih jauh dari
tahqiq.”
Ada pula yang mengatakan : “Tawajud diserahkan kepada
para fakir yang secara internal mengintai untuk menemukan makna-makna
tersebut.”
Hakikat yang bisa dikenal, muncul dari kisah Abu
Muhammad al-Jurairy, r.a. bahwa ia berkata : “Ketika aku di sisi al-Junayd, di
sana da Ibnu Masruq. Tiba-tiba Ibnu Masruq dan yang lain berdiri sementara
al-Junayd tetap saja diam. Aku berkata, “Tuanku, tidakkah Anda mempunyai suatu
pengalaman dalam penyimakan?’
Syeikh Al-Junayd menjawab : “Dan
kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap ditempatnya, padahal ia
berjalan seperti jalannya awan.” (Qs. An-Naml :88).
Lalu al-Junayd pun bertanya. “Anda, wahai Abu
Muhammad, tidakkah Anda berpengalaman juga dalam penyimakan?’ Aku katakan :
“Tuanku, ketika aku hadir di suatu temepat yang di dalamnya sedang berlangsung
penyimakan, tiba-tiba di sana ada orang-orang yang bersenang-senang dengan rasa
malu, mka aku mengekang diri dan wujd-ku. Ketika aku menghindar, aku
mengirimkan wujd-ku, lalu aku ber-tawajud,”
Kemudian kata tawajud disebut dalam hikayat tersebut,
sedangkan al-Junayd tidak mengingkarinya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali al-Daqqaq r.a. berkata
: “Apabila manusia menjaga dtika keutamaan sat dalam penyimimakan, Allah
menjaga diri dan waktunya, karena berkat etikanya.”
Sedangkan ekstase ruhani (wujd) itu sendiri merupakan
sesuatu yang bersesuaian dengan hati Anda, yang datang tanpa kesengajaan
ataupun diupayakan. Karena itu para Syeikh mengatakan : “Wujd adalah
persesuaian hati, sedangkan al-mawajid (jama’ al-wujd) merupakan buah dari
wirid. Setiap orang yanng bertambah upaya ruhaninya, Allah pun akan menambah
kelembutannya.”
Saya mendengar Syeijh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata
: “Sesuatu yang sempit di dalam hati itu, muncul dari sisi wirid. Siapa yang
tidak wirid dengan lahiriahnya, maka tidak wirid pula dalam sirr-nya. Setiap
ada sesuatu di dalam diri pelaku al-wujd, maka tidak dapat dikategorikan
sebagai wujd. Seperti suatu al yang dilakukan melalui muamalat lahriah akan menemukan
manisnya ketaatan, dan apa yang mualamat lahriah akan menemukan manisnya
ketaatan, dan apa yang turun dalam btin hamba seputar hukum-hukum batin, akan
menemukan al-mawajid. Kemanisan adalah buah dari mualamat, dan mawajid
merupakan produk dari karunia yang turun”
Sedangkan wujud, merupakan suatu kondisi setelah
menapaki tahap wujd. Wujud Al-Haq tidak dapat dicapai kecuali setelah
memadamkan unsur manusiawinya. Karena kemanusiawian tidak akan baqa’ ketika
muncul kekuasaan Hakikat. Inilah arti dari ucapan Husain an Nury, “Sejak dua
puluh tahun aku berada antara Ada dan tiada, yakni : Ketika kutemui Tuhanku,
sirnalah hatiku, dan ketika kutemui hatiku, aku kehilangan Tuhan-ku.”
Pernyataan ini relevan pula dengan ucapan al-Junayd,
“Ilmu Tauhid” merupakan wahana penjelasan bagi wujud-nya, dan wujud-nya
merupakan wahana bagi ilmunya.”
Dalam konteks artian ini, penyair berkata :
Wujud-ku ada ketika aku gaib dari wujud
Karena yang tmpak padaku
Dalah syuhud (penyaksian).
Tawajud merupakan permulaan, dan wujud adalah tujuan
akhir. Sedangkan wujd sebagai perantara antara permulaan dan tujuan akhir.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata,
“Tawajud mengharuskan adanya kecelaan hamba. Sedang wujd mengharuskan
ketenggalaman hamba. Demikian pula wujud mengharuskan kesirnaan mengarungi
lautan itu, lantas tenggelam di dalamnya. Struktur persoalan ini dikatakan
secara berurutan, mulai dari : Qusyud (bermaksud), wurud (sampai), kemudian
Syuhud (penyaksian), lalu Wujud, terakhir Khumud (sirna). Dengan kadar kriteria
wujud-lah, khumud dapat dicapai.
Bagi orang yang ber-wujud memiliki kesadaran (shahw)
dan ketidaksadaran (mahw). Kondisi shahw adalah kebadiannya dengan Al-Haq,
sedang kondisi mahw-nya adalah kefana’annya dengan Al-Haq. Keduanya saling
berkelindan selamanya. Apabila shahw dengan Al-Haq yang lebih unggul, ia telah
sampai *wushul). Karena itu, Rasulullah saw. bersabda (hadis Qudsi), “Dengan-Ku
ia mendengar dan dengan-Ku ia melihat.”
Syeikh Manshur bin Abdullah berkata : “Seseorang
berada dalam halaqah asy-Syibly, dan orang itu kemudian beretanya. “Apakah
pengaruh keabsahan wujd itu tampak pada diri orang-orang yang mencapai
al-wujud? Benar. Cahaya yang memancar, bersama dengan sinar kerinduan, sehingga
pengaruhnya mewarnai lubuk hatinya.”
Demikian jawab asy-Syibly.”
Gambaran ini jelas dalam syair Ibnul Mu’tazz :
Gelas yang dibasai iar karena cemerlang beningnya,
Llau mutiara tumbuh dari bumi emas,
Sedang kaum menyucikan karena kagum
Pada cahaya air di dalam api dari anggur yang ranum,
Diwarisi ‘Aad dari negeri Iram
Sebagai simpanan Kisra, mulai dari nenek moyangnya.
Suatu kisah berkenaan dengan Syeikh Abu Bakr ad-daqqy
: “Jahm ad-Duqqy mengambil kayu di tangannya ketika sedang menyimak dalam
gairahnya, kemudian ia mencabut dari akarnya. Kemudian keduanya berkumpul
ketika secara bersamaan saling memanggil. Ad.-Duqqy sendiri sorang yang buta,
lalu Jahm berdiri sambil berkeliling dengan penuh emosi. Abu Bakr ad-Duqqy
berkata : “Jika mendekat kepadaku, ulurkan kayu itu!’
Sementara Jahm ad- Duqqy adalah manusia lemah, lantas
ia menemukan sepotong kayu di dekatnya, seraya berkata, ‘Ini ia!’ Lalu ad-Duqqy
memegang kaki Jahm, hingga membuatnya tidak dapat bergerak lagi. “Wahai Syeikh,
tobat! Tobat!” teriak Jahm ad-Duqqy. Barulah kemudian Abu Bakr ad-Duqqy
meelpaskannya.”
Semangat Jahm benar, dan pengekangan ad-Duqqy juga
benar. Ketika Jahm menyadari bahwa tindakan ad-Duqqy di atas kondisi ruhaninya,
seketika itu pun ia insaf dan berdamai.
Begitu pula orang yang tidak berbuat maksiat, ia
benar. Namun demikian, apabila yang mengalahkan dirinya adalah kesirnaan diri,
maka ia tidak berilmu dan tidak pula berakal, tidak paham serta tidak merasa.
Isteri Syeikh Abu Abdullah at-Targhundy berkata :
“Ketika bencana kelaparan sedang melanda, sementara manusia dijemput maut
karena paceklik itu, tiba-tiba Abu Abdullah at-Targhundy masuk ke dalam rumah.
Ia melihat ada dua kilogram gandum. Berkatalah ia, ‘Orang-orang mati karena
kelaparan, sedang aku masih mempunyai simpanan gandum di rumah.’ Lalu ia pun
kehilangan akal. Dan sejak saat itu ia tidak pernah bangkit, kecuali pada
waktu-waktu shalat fardhu. Usai shalat kembali pada tingkah laku semula, dan
begitu seterusnya sampai ia meninggal dunia.”
Kisah ini menunjukkan, bahwa laki-laki tersebut
selalu menjaga diri dalam adab syariat, ketika dilanda oleh hukum-hukum
hakikat. Demikian sifat ahli hakikat. Mengenai faktor penyebab hilangnya akal
pada dirinya, dikarenakan kepeduliannya (syafaqah) terhadap nasib semua kaum
Muslimin. Ini derajat yang lebih kuat dalam sikap perilakunya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan