Catatan Popular

Selasa, 25 Ogos 2020

KITAB MADARIJUS SALIKIN SIRI 51 : MALU

 TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN IYYAKA NABUDU WA IYYAKA NASTAIN

 IMAM IBN QAYYIM AL JAUZIYAH

Allah befirman sehubungan dengan salah satu tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in ini,

"Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat(segala perbuatannya)?" (Al-Alaq: 14).

"Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yangdisembunyikan oleh hati." (Al-Mukmin: 19).

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melewati seseorang yang sedang menasihati saudaranya tentang rasa malu. Maka be-liaubersabda kepada orang itu, "Biarkan saja dia, karena rasa malu itusebagian dari iman."

Di dalam Ash-Shaihain disebutkan dari Imran bin Hushain Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Rasa malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan."

Juga di dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah, dari RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, "Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih.

Yang paling utama adalah perkataan la ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu itucabang dari iman."

Juga di dalam Ash-Shahihain dari Abu Sa'id Al-Khudry Radhiyallahu

Anhu, bahwa dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang lebih mudah merasa malu daripada gadis di tempat pingitannya.

Jika melihat sesuatu yang tidak disukai beliau, maka kami bisa melihatnya pada raut muka beliau."

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi waSallam, beliau bersabda,

"Sesungguhnya di antara perkataan nubuwah pertama yang diketahui manusia adalah: Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu."

Ada dua makna berkaitan dengan hadits ini: Pertama, ini merupakan peringatan dan pengabaran, yang artinya: Siapa yang tidak malu tentu akan berbuat sesukanya. Kedua, ini merupakan pembolehan, yangartinya: Lihatlah perbuatan yang hendak engkau lakukan. Jika termasuk sesuatu yang tidak mengundang rasa malu, maka lakukanlah. Namun yang benar adalah yang pertama.

Banyak definisi malu yang diberikan para ulama, seperti Al-Junaidyang berkata, "Karena melihat berbagai macam karunia dan melihat keterbatasan diri sendiri, maka di antara keduanya muncul suatu keadaanyang disebut malu. Hakikatnya adalah akhlak yang mendorong untuk meninggalkan keburukan dan mencegah pengabaian dalam memenuhihak Allah."

Sebagian orang arif berkata, "Hidupkanlah rasa malu dengan berkumpul bersama orang-orang yang mempunyai rasa malu. Hidupkanlah hati dengan kemuliaan dan rasa malu. Jika keduanya hilang dari hati, maka di dalamnya tidak ada kebaikan yang menyisa."

Dalam atsar Ilahy Allah befirman, "Wahai anak Adam, kamu tidak merasa malu kepada-Ku. Aku sudah membuat manusia lupa aibmu, Aku membuat bumi lupa dosa-dosamu dan Aku menghapus dari induk Kitab kesalahan-kesalahanmu. Jika tidak, tentu Aku akan menghisabmu pada

hari kiamat."

Al-Fudhail bin Iyadh berkata, "Lima tanda penderitaan: Kekerasan hati, kejumudan mata, sedikit malu, keinginan terhadap dunia dan angan-angan yang muluk-muluk."

Dalam atsar Ilahy disebutkan,"Hamba-Ku benar-benar tidak adil terhadap-Ku. Dia berdoa kepada-Ku dan Aku malu untuk tidak memperkenankannya, namun diadurhaka kepada-Ku dan dia tidak malu kepada-Ku."

Malunya Allah terhadap hamba tidak bisa diketahui melalui suatupemahaman dan tidak bisa digambarkan akal, karena itu merupakan rasa malu yang timbul dari kemurahan hati, kebajikan dan keagungan. Yang pasti Allah merasa malu terhadap hamba-Nya, jika hamba itu menengadahkan tangan lalu kembali dengan hampa.

Rasa malu bisa dibagi menjadi sepuluh macam:

1. Malu karena berbuat salah, seperti malunya Adam Alaihis-Salam yang melarikan diri saat di surga. Allah bertanya, "Mengapa kamu lari dari-Kuwahai Adam?" Adam menjawab, "Tidak wahai Rabbi, tapi karena akumerasa malu terhadap Engkau."

2. Malu karena keterbatasan diri, seperti rasa malunya para malaikat yang senantiasa bertasbih pada siang dan malam hari dan tak ada waktu senggang pun tanpa tasbih. Namun begitu pada hari kiamat mereka berkata, "Mahasuci Engkau, kami tidak menyembah kepada-Mu dengansebenar-benarnya penyembahan."

3. Rasa malu karena pengagungan, atau rasa malu karena memiliki ma'rifat. Sejauh mana ma'rifat seseorang terhadap Rabb-nya, maka sejauh itupula rasa malunya terhadap-Nya.

4. Malu karena kehalusan budi, seperti rasa malunya Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam saat mengundang orang-orang pada acara walimah Zainab. Karena mereka tidak segera pulang, maka beliau bangkit dari duduknya dan merasa malu untuk mengatakan kepada mereka,"Pulanglah kalian."

5. Malu karena menjaga kesopanan, seperti malunya Ali bin Abu Thalib ketika hendak meminta baju besi kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena dia menjadi suami putri beliau.

6. Malu karena merasa diri terlalu hina, seperti malunya hamba yang memohon berbagai macam keperluan kepada Allah, dengan menganggap dirinya terlalu hina untuk itu.

7. Malu karena cinta, yaitu rasa malunya orangyang mencintai dihadapan kekasihnya. Bahkan tatkala terlintas sesuatu di dalam hatinya saat berjauhan dengan kekasihnya, dia tetap merasa malu, tanpadi ketahui apa sebabnya, apalagi jika kekasihnya muncul secara tiba tiba di hadapannya.

8. Malu karena ubudiyah ialah rasa malu yang bercampur dengan cintadan rasa takut. Seorang hamba merasa ubudiyahnya masih kurang, sementara kekuasaan yang disembah terlalu agung, sehingga ubudiyahnya ini membuatnya merasa malu.

9. Malu karena kemuliaan ialah malunya hamba yang memiliki jiwa yang agung tatkala berbuat bajik atau memberikan sesuatu kepada orang lain. Sekalipun dia sudah bekorban dengan mengeluarkan sesuatu, toh dia masih merasa malu karena kemuliaan jiwanya.

10. Malu terhadap diri sendiri, yaitu rasa malunya seseorang yang memiliki jiwa besar dan mulia, andaikan dirinya merasa ridha terhadap kekurangan dirinya dan merasa puas melihat kekurangan orang lain.

Dia merasa malu terhadap dirinya sendiri, sehingga seakan-akan dia mempunyai dua jiwa, yang satu merasa malu terhadap yang lainnya.

Ini merupakan rasa malu yang paling sempurna. Sebab jika seorang hamba merasa malu terhadap diri sendiri, maka dia lebih layak untuk merasa malu terhadap orang lain.

 

Malu ini ada tiga derajat, yaitu:

1. Malu yang muncul karena seorang hamba tahu bahwa Allah melihat dirinya, hingga mendorongnya untuk bermujahadah, mencela keburukannyadan membuatnya tidak mengeluh.

Selagi seorang hamba mengetahui bahwa Allah melihat dirinya, maka hal ini akan membuatnya malu terhadap Allah, lalu mendorongnyau ntuk semakin taat. Hal ini seperti hamba yang bekerja di hadapan tuannya, tentu akan semakin giat dalam bekerja dan siap memikulbebannya, apalagi jika tuannya berbuat baik kepadanya dan dia pun mencintai tuannya. Keadaan ini berbeda dengan hamba yang tidak ditunggui dan dilihat tuannya. Sementara Allah senantiasa melihat hamba-Nya. Jika hati merasa bahwa Allah tidak melihatnya, maka iatidak merasa malu kepada-Nya.

Yang demikian ini juga mendorongnya untuk mengecam keburukannya, karena rasa malu. Namun dorongan yang lebih tinggi lagi ialah karena cinta. Rasa malu ini membuat hamba urung mengadu dan mengeluhkepada selain Allah.

2. Malu yang muncul karena merasakan kebersamaan dengan Allah, sehingga menumbuhkan cinta, merasakan kebersamaan dan tidak sukabergantung kepada makhluk.

Kebersamaan dengan Allah ada dua macam: Umum dan khusus. Yang umum ialah kebersamaan ilmu dan keikutsertaan, seperti firman-Nya,

"Dan, Dia bersama kalian di mana saja kalian berada." (Al-Hadid: 4).

"Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainlah Dialah yang keempatnya. Dan, tiada (pembicaraan antara) lima orang melainkan Dialah yang keenamnya. Dan, tiada pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka dimana pun mereka berada." (Al-Mujadilah: 7).

Sedangkan kebersamaan yang khusus ialah kedekatan bersama Allah,seperti firman-Nya,

"Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan mereka yang berbuat kebajikan." (An-Nahl: 138).

"Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Al-Baqarah:153).

Dua makna ini merupakan kesertaan Allah dengan hamba. Kata ma'a dalam Bahasa Arab berarti kesertaan atau penggabungan yang selaras, tidak mengharuskan adanya pencampuran, kedekatan dan berdampingan.

Sedangkan kata dekat, tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an kecuali dengan pengertian yang bersifat khusus, yaitu ada dua macam:

Kedekatan Allah dengan orang yang berdoa kepada-Nya, dengan cara mengabulkannya, dan kedekatkan Allah dengan orang yang beribadah kepada-Nya, dengan cara memberinya pahala.

Yang pertama seperti firman Allah, "Dan, apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku." (Al-Baqarah:186).

Ayat ini turun karena para sahabat bertanya kepada RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam, "Apakah Allah itu dekat sehingga kami bermunajat dengan-Nya, ataukah Allah itu jauh sehingga kami berseru kepada-Nya?" Maka turun ayat ini sebagai jawabannya.

Yang kedua seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Keadaan hamba yang paling dekat dengan Rabbnya ialah tatkala dia sujud, dan saat yang paling dekat antara Rabb dan hamba-Nya ialah pada tengah malam."

Kedekatan ini mendorong hamba untuk mencintai. Selagi cinta semakin bertambah, maka dia semakin merasakan kedekatan. Cinta itu mempunyai dua macam kedekatan: Kedekatan sebelumnya dan kedekatan sesudahnya. Kedekatan ini membuat hati bergantung dan senantiasaberhubungan dengan Allah.

3. Malu yang muncul karena melepaskan ruh dan hati dari makhluk, tidak ada kekhawatiran, tidak ada pemisahan dan tidak berhenti untuk mencapai tujuan.

Jika ruh dan hati bersama Pencipta semua makhluk, maka ia akan merasakan kedekatan dengan-Nya dan seakan bisa menyaksikan-Nya secara langsung, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran untuk berpisah dengan-Nya. Di dalam hati itu juga tidak ada sesuatu selain Allah.

 

Tiada ulasan: