Catatan Popular

Selasa, 25 Ogos 2020

KITAB MADARIJUS SALIKIN SIRI 56 : FUTUWWAH

TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN IYYAKA NABUDU WA IYYAKA NASTAIN

 

IMAM IBN QAYYIM AL JAUZIYAH

 

Futuwwah (kejantanan) adalah kedudukan yang pada hakikatnya merupakan kebajikan kepada manusia, tidak menyakiti mereka dan sabar dalam menghadapi gangguan mereka, yang digunakan sebagai penunjang akhlak yang baik dalam bergaul bersama mereka.

 

Perbedaannya dengan muru’ah (keperwiraan), muru’ah lebih umum daripada futuwwah, dan futuwwah merupakan bagian dari muru’ah.

Futuwwah merupakan kedudukan mulia. Kata futuwwah berasal dari kata “fata” yang artinya pemuda. Istilah futuwwah awal mulanya digunakan oleh Ja’far bin Muhammad, Al-Fudhail bin Iyadh, Al-Imam Ahmad, Sahl bin Abdullah, dan Al-Junaid.

Dikisahkan bahwa Ja’far bin Muhammad pernah ditanya seseorang tentang futuwwah ini. Orang itu bertanya,”Wahai anak keturunan Rasulullah, kalau begitu apa maknanya menurut kalian?” Ja’far menjawab,”Jika kami diberi, maka kami lebih suka memberikannya kepada orang lain lagi, dan jika kami tidak diberi, maka kami bersyukur.”

Penulis Manazilus-Sa’irin, berkata,”Inti futuwwah artinya engkau tidak melihat kelebihan pada dirimu dan engkau tidak merasa memiliki hak atas manusia.”

Manusia berbeda-beda tingkatannya dalam masalah ini. Yang paling tinggi adalah yang seperti ini, dan yang paling rendah adalah kebalikannya. Sedangkan pertengahannya adalah yang tidak melihat kelebihan dirinya, tapi dia melihat adanya hak terhadap orang lain.

Ada 3 derajat futuwwah, yaitu :

[[1]] Meninggalkan permusuhan, pura-pura melalaikan kesalahan orang lain dan melupakan gangguan orang lain.

Untuk menunjukkan futuwwah, engkau tidak perlu memusuhi seseorang dan tidak menempatkan dirimu sebagai musuh bagi seseorang. Derajat ini ada 3 macam :

– Tidak memusuhi seseorang dengan lisannya

– Tidak memusuhinya dengan hatinya

– Di dalam pikirannya tidak terlintas keinginan untuk memusuhinya.

Hal ini berkaitan dengan hal dirinya. Tapi jika berkaitan dengan hak Allah, maka futuwwah ini justru harus ditunjukkan dengan cara memusuhi karena Allah dan bersama Allah serta menyerahkan hukum kepada Allah, seperti doa iftitah yang dibaca Nabi Saw,”Karena-Mu aku berperang dan kepada-Mu aku menyerahkan hukum.”

Pura-pura melalaikan kesalahan orang lain artinya, jika engkau melihat dia melakukan kesalahan yang menurut syariat harus ada sangsi hukuman, maka buatlah seakan-akan engkau tidak melihatnya. Yang demikian ini lebih baik daripada menyembunyikan kesalahannya itu, padahal engkau melihatnya.

Abu Ali Ad-Daqqaq menuturkan, bahwa ada seorang wanita yang menemui Hatim menanyakan suatu masalah kepadanya. Pada saat itu tanpa disengaja wanita tersebut kentut, sehingga dia merasa sangat malu. Hatim berkata,”Bicaralah yang keras!” Wanita itu langsung menampakkan rona kegembiraan, karena dia mengira Hatim tuli atau tidak normal pendengarannya. Wanita itu berkata,”Kalau begitu dia tidak mendengar suara kentutku.” Karena kejadian ini Hatim dijuluki Hatim si tuli. Tindakan Hatim seperti ini bisa disebut separuh futuwwah.

Engkau juga harus melupakan gangguan orang lain terhadap dirimu, agar hatimu menjadi bersih dan engkau tidak melancarkan balasan atau kebencian kepadanya.

[[2]] Mendekati orang yang menjauhimu, memuliakan orang yang menyakitimu, memaafkan orang yang berbuat jahat kepadamu, lapang dada dan bukan amarah, kasih-mengasihi dan bukan menahan-nahan diri serta pura-pura sabar.

Derajat ini lebih tinggi dan lebih sulit dari sebelumnya, karena derajat pertama hanya meninggalkan permusuhan dan pura-pura lalai, sedangkan derajat ini mengandung sikap santun kepada orang yang justru berbuat tidak baik dan jahat kepadamu. Kebaikan dan kejahatan merupakan 2 garis sejajar yang tidak bertemu pada satu titik.

Siapa yang ingin memahami derajat ini sebagaimana lazimnya, maka hendaklah dia melihat perikehidupan Rasulullah Saw dan pergaulan beliau bersama manusia.

Tidak ada yang lebih sempurna dalam masalah ini selain beliau, kemudian para pewaris beliau, termasuk pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Rekan-rekannya berkata,”Aku ingin sikapku terhadap teman-temanku seperti sikapnya terhadap musuh-musuhnya.”

Memaafkan orang yang berbuat jahat kepadamu, memang sepintas lalu agak sulit untuk dipahami. Karena bagaimana mungkin kejahatan harus dimaafkan begitu saja? Pemahaman lebih jauh, engkau tidak perlu menjatuhkan hukuman kepadanya atas kejahatannya terhadap dirimu. Lalu buatlah pergaulan dengan manusia semacam ini muncul dari kelapangan dadamu dan tenggang rasamu, bukan dengan cara menahan-nahan amarah, dengan dada yang menyesak dan memaksakan kesabaran, karena yang demikian ini sama dengan pemaksaan yang cepat akan berubah, lalu akhirnya membuka sifatmu yang asli, yaitu tidak bisa memaafkan kesalahan orang lain dan tidak lapang dada.

[[3]] Tidak bergantung kepada bukti penunjuk dalam perjalanan, tidak mengotori pemenuhan hak Allah dengan pengganti dan tidak menegakkan kesaksian kepada rupa.

Inilah 3 perkara yang terkandung di dalam derajat ini. Tidak bergantung kepada bukti penunjuk dalam perjalanan, artinya, orang yang mengadakan perjalanan kepada Allah berpijak kepada keyakinan, bashirah dan kesaksian. Jika dia bergantung kepada bukti penunjuk dan rambu-rambu jalan, berarti dia belum mencium bau keyakinan. Karena itu para rasul tidak menyeru menekankan ajakan untuk menyatakan adanya Pencipta, tetapi menyeru mereka untuk menyembah dan mengesakan-Nya. Untuk pengakuan tentang adanya Allah, maka seruannya sudah pasti tanpa disertai keragu-raguan sedikit pun, seperti firman Allah pada QS Ibrahim : 10.

Bagaimana mungkin tuntutan pembuktian atas sesuatu yang harus dibuktikan dianggap sah, sementara sesuatu yang harus dibuktikan itu lebih nyata daripada pembuktiannya?

Dalam memenuhi hak Allah, maka engkau tidak boleh meminta imbalan.

Pemenuhanmu terhadap hak Allah harus dilakukan secara tulus, dilandasi cinta dan mencari apa yang dicintai-Nya, tidak mengotorinya dengan tuntutan pengganti dan dan imbalan, karena yang demikian ini sama sekali tidak mencerminkan futuwwah. Siapa yang tidak menuntut dari selain Allah dan tidak menodainya dengan imbalan yang dimintanya, tapi dilakukan atas dasar cinta dan mengharapkan Wajah Allah, pada hakikatnya dia telah beruntung mendapatkan pengganti dan imbalan. Selagi imbalan ini bukan merupakan tujuannya, maka dia justru mendapatkan bagian yang lebih banyak, dia terpuji, dan disyukuri.

Tidak menegakkan kesaksian kepada rupa, artinya tidak melandaskan kesaksian terhadap hal-hal yang tampak. Kesaksian yang benar mampu meniadakan hal-hal yang nyata dan rupa-rupa yang bisa mengecoh. Maksudnya, semua makhluk tidak dianggap sebagai sesuatu yang agung. Menurut ilmu orang-orang yang khusus, mencari cahaya hakikat berdasarkan tuntutan bukti petunjuk, tidak diperbolehkan bagi orang yang mengaku memiliki futuwwah. Jika terhadap musuhmu saja engkau tidak perlu menuntut maaf dan pembuktian tentang kebenaran maafnya, maka bagaimana mungkin engkau menuntut bukti tauhid dan ma’rifat terhadap Pelindung dan Kekasihmu, kekuasaan dan kehendak-Nya? Tentu saja hal ini bertentangan dengan futuwwah dari segala segi.

Jika ada seseorang mengundangmu untuk datang ke rumahnya, lalu engkau berkata kepada utusannya,”Aku tak akan pergi bersamamu ke rumahnya, kecuali apabila engkau memberikan bukti tentang keberadaan orang yang mengundangmu”, berarti engkau adalah orang yang membual dan terlalu hina untuk memiliki futuwwah. Lalu, bagaimana mungkin engkau menuntut bukti dari Allah, yang keberadaan-Nya, keesaan, kekuasaan, Rububiyah dan Uluhiyah-Nya lebih nyata dari segala bukti dan dalil

Tiada ulasan: