Catatan Popular

Selasa, 25 Ogos 2020

KITAB MADARIJUS SALIKIN SIRI 59 : IRADAH

TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN IYYAKA NABUDU WA IYYAKA NASTAIN

 

IMAM IBN QAYYIM AL JAUZIYAH

 

Sehubungan dengan persinggahan iradah (kehendak) ini Allah telah berfirman,

"Dan, janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabbnya dipagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki Wajah-Nya." (Al-An'am: 52).

Allah befirman terhadap para istri Nabi Shallallahu Alaihi wa Salam,"Dan, jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar."(Al-Ahzab: 29).

Para teolog merasa kesulitan mengaitkan kehendak kepada Allah dan menjadikan Wajah Allah sebagai sasaran kehendak.

Menurut mereka, kehendak tidak bisa dikaitkan kecuali dengan hal-hal yang baru, dan tidak bisa dikaitkan dengan hal-hal yang lama. Sebab sesuatu yang lama tidak bisa dikehendaki. Mereka mena'wili kehendak yang dikaitkan dengan sesuatu yang baru sebagai kehendak untuk mendekatkan diri kepadanya, dan mereka menganggap mustahil mendekatkan diri dengan sesuatu yang lama. Inilah anggapan mereka yang membuat hati mereka menjadi keras, karena penghalang bagi mereka terlalu tebal, karena mereka tidak memiliki ruh perilaku dan keindahan cinta. Sebab kehendak bagi orang orang yang lebih mementingkan perilaku adalah membebaskan diri dari kehendak. Kehendak menurut mereka dianggap tidak sah kecuali bagi orang yang tidak memiliki kehendak. Jangan anggap hal ini kontradiktif, tapi memang inilah yang benar.

Ada yang berpendapat, iradah adalah kebangkitan hati untuk mencari kebenaran.

Ad-Daqqaq berkata, "Iradah adalah kilatan di dalam sanubari, nyala di dalam hati, cinta yang membara di dalam perasaan, teriakan di dalam batin dan kobaran di dalam hati."

Ada yang berpendapat, di antara sifat orang yang berkehendak ialah mencintai Allah dengan mendirikan shalat-shalat nafilah, ikhlas dalam memberikan nasihat kepada umat, merasakan kebersamaan dengan Allah saat sendirian, sabar dalam menghadapi kekerasan para penguasa, mengutamakan perintah Allah, merasa malu karena Allah melihatnya, berusaha melakukan apa yang disukai sang kekasih, puas dengan yang ada, tidak merasakan ketenangan batin hingga dapat bersua pelindung dan sesembahannya.

Hatim Al-Asham berkata, "Jika engkau melihat orang yang berkehendak menghendaki selain kehendak Allah, maka ketahuilah bahwa diatelah menampakkan kehinaan dirinya."

Abu Utsman Al-Hiry berkata, "Siapa yang kehendaknya tidak benar pada permulaannya, maka semakin hari dia justru semakin mundur kebelakang."

Diriwayatkan adanya dua versi pernyataan tentang iradah dari Al-Junaid, tapi sifatnya sangat global dan perlu rincian lebih lanjut. Yang pertama dari Ja'far, dia berkata, "Aku pernah mendengar Al-Junaid berkata,

"Jika orang yang berkehendak benar, dia tidak memerlukan oranglain yang berilmu." Yang kedua juga dari Ja'far, dia berkata, "Aku pernah mendengar Al-Junaid berkata, "Jika Allah menghendaki kebaikan padadiri orang yang berkehendak, maka Dia akan menghimpunnya ke dalam golongan orang-orang sufi dan mencegahnya bergaul dengan para qari'."

Saya katakan, jika orang yang berkehendak benar dan perjanjiannya dengan Allah benar pula, maka Allah akan memasukkan barakah kebenaranke dalam hatinya dan mu'amalah yang baik dengan Allah, yang membuatnya tidak memerlukan ilmu yang datang dari pemikiran manusia dan pendapat mereka, tidak memerlukan ilmu yang tidak dibutuh-kan sebagai bekal ke alam kubur, tidak memerlukan berbagai macam isya-rat danilmu orang-orang sufi, yang dengan isyarat dan ilmu itu mereka tidak bisa mengetahui nafsu, aib, kekurangan dan amal-amalnya yang rusak.

Sebagai misal, seseorang yang duduk di suatu negeri, siang dan malam sibuk mempelajari ilmu tempat-tempat persinggahan dalam perjalanan, perintang, lembah-lembah yang dilewati, tempat-tempat yang menguntungkan dan segala seluk beluknya. Sementara ada orang lainyang benar kehendaknya dan menempuh perjalanan. Kebenarannya inimembuatnya tidak memerlukan ilmu orang yang duduk tersebut. Jikayang dimaksudkan Al-Junaid adalah kebenaran kehendak yang membuatnya tidak memerlukan ilmu halal dan haram, hukum-hukum perintah danlarangan, pengetahuan tentang macam-macam ibadah, syarat, ke-wajiban dan hal-hal yang membatalkannya, ilmu-ilmu Allah dan Rasul-Nya yangzhahir dan batin, maka tentunya Allah melindungi Al-Junaid dari anggapan seperti ini. Yang demikian ini hanya dikatakan para perampok jalanan dari kalangan zindiq dan sufi, yang tidak melihat itba' Rasul sebagai syarat dalam perjalanan.

Orang berkehendak yang benar, maka hatinya akan dibukakan oleh Allah, diberi cahaya dari sisi-Nya dan ditambah lagi dengan cahaya ilmu, yang dengannya dia bisa mengetahui berbagai masalah agama, sehingga dia tidak memerlukan berbagai macam ilmu manusia. Ilmu itu adalah cahaya, dan hati orang yang benar dipenuhi dengan cahaya kebenaran, disamping dia juga memiliki cahaya iman, sehingga ada cahaya yang memberi petunjuk kepada cahaya. Al-Junaid ingin memberitahukan, seperti inilah keadaannya. Apa yang diriwayatkan di atas, tentunya hanya sepotong-potong dan tidak menyeluruh. Kebenaran Al-Junaid membuatdirinyamerasa memerlukan ilmu.

Tentang keperluan terhadap ilmuini juga ditegaskan Al-Junaid di tempat lain, bahwa orang yang tidak berilmu tidak akan beruntung, bahwa tak seorang pun boleh berbicara tentang jalan kecuali berdasarkan ilmu. Dia berkata, "Siapa yang tidakmenjaga Al-Qur'an dan tidak menulis hadits, maka dia tidak layak diikuti.

Sebab ilmu kami terikat kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah."

Tentang perkataan Al-Junaid, "Jika Allah menghendaki kebaikanpada diri orang yang berkehendak, maka Dia akan menghimpunnya kedalam golongan orang-orang sufi dan mencegahnya bergaul dengan paraqari'", ialah para ahli ibadah, baik dengan membaca Al-Qur'an atau melaksanakan berbagai macam ibadah, namun hanya sebatas zhahirnyasaja, tanpa disertai ruh ma'rifat, hakikat iman, cinta dan amal-amal hati.

Mereka sangat mendetail dalam pelaksanaan ibadah, seperti puasa dan shalat, namun semua itu tidak disertai dengan manisnya amal hati dan keinginan untuk mengasah jiwa, karena memang bukan itu jalan mereka.

Sedangkan maksud golongan sufi adalah kebalikannya.

 

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, kaitannya dengan masalah iradah ini, Allah telah befirman,

"Katakanlah, 'Setiap orang berbuat menurut keadaannya masing masing."(Al-Isra': 84).

Penyitirannya terhadap ayat ini terkandung pembuktian yang sangat agung tentang posisi hamba dalam masalah ilmu.

Artinya, setiap orang berbuat menurut keadaan yang membentuknya dan yang sesuai dengan dirinya. Orang jahat akan berbuat sesuai dengan keadaan dirinya, begitu pula orang kafir, munafik, orang yang menghendaki keduniaan dan gemerlapnya, akan berbuat yang sesuai dengan keadaan dirinya.

Orang yang mencintai Allah dengan benar dan tulus, akan berbuat yang sesuai dengan keadaan dirinya, bertindak menurut pembentukan kehendaknya dan yang sesuai dengan keadaannya.

 

Ada tiga derajat iradah, yaitu:

1. Meninggalkan kebiasaan berdasarkan kebenaran ilmu, bergantung kena pas orang-orang yang melakukan perjalanan dan yang disertai tujuan yang benar, meninggalkan teman yang menyibukkannya dan melepaskan ikatan kampung halaman.

Meninggalkan kebiasaan artinya meninggalkan nafsu dan syahwat yang sebelumnya biasa dilakukan, yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan disertai ilmu, karena ilmu merupakan cahaya yang menerangi seseorang, agar dia Iebih mengutamakan tujuannya.

Siapa yang tidak disertai ilmu, maka iradah-nya tidak akan benar. Syaikh bergantung kena pas orang-orang yang melakukan perjalanan dan bukan ke napas ahli ibadah, karena ahli ibadah hanya sebatas melaksanakan amal, sedangkan orang yang melakukan perjalanan lebih memperhatikan keadaan. Meninggalkan teman yang menyibukkannya dan melepaskan ikatan kampung halaman, artinya menggambarkan berbagai macam rintangan.

 

2. Memotong keterikatan keadaan, membiasakan kebersamaan dan berjalan antara menahan dan melepaskan. Memotong keterikatan keadaan artinya menolak pengaruh mu'amalah dari hati, yang bisa mendatangkan kemalasannya dan menghambat kebersamaannya dengan Allah, yang telah melimpahkan nikmat kepada makhluk, sehingga seorang hamba bisa beralih dari rupa amal ke hakikat amal, naik dari Islam ke iman, dari iman ke ihsan.

Pada awal mulanya hamba yang mengadakan perjalanan memang akan merasakan beban dan beratnya amal, karena hatinya belum terbiasa bersama sesembahannya.

Jika ia sudah terbiasa, maka tidak ada lagi keberatan dan kesulitan itu, sehingga ibadahnya akan menjadi kesenangan dan kenikmatannya, shalat menjadi kesenangan, yang sebelumnya hanya sebatas amal. Yang menjadi ukurannya adalah sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Kesenanganku dijadikan dalam shalat."

Inilah maksud membiasakan kebersamaan, yaitu kebersamaan dengan Allah.

Menahan dan melepaskan merupakan dua keadaan yang saling bertentangan, yang lahir karena rasa takut di satu saat, dan di saat lain lahir karena harapan. Rasa takut menahannya dan harapan melepaskannya.

 

3. Kebingungan yang disertai istiqamah dan memperhatikan hak dan disertai adab.

Maksud kebingungan di sini ialah tidak menoleh ke hal-hal yang lain. Kebingungan akan bermanfaat jika disertai dengan istiqamah, yaitu menjaga ilmu dan tidak menyia-nyiakannya. Jika tidak, maka keadaannya yang paling baik ialah seperti orang gila yang tidak lagi dituntut untuk melakukan kewajiban dan tidak akan disiksa karena tidak istiqamah.

Jika sebab kebingungannya mengeluarkannya dari istiqamah, maka dia adalah orang yang durhaka dan mengabaikan perintah Allah.

Syaikhul-Islam pernah berkata, "Jika sebab mabuk adalah sesuatu yang dilarang, maka mabuk itu tidak dimaafkan."

Memperhatikan hak di sini artinya memperhatikan hak-hak Allah dengan memperhatikan adab-adabnya.

Tiada ulasan: