Catatan Popular

Selasa, 25 Ogos 2020

KITAB MADARIJUS SALIKIN SIRI 55 : TAWADHU'

TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN IYYAKA NABUDU WA IYYAKA NASTAIN

 

IMAM IBN QAYYIM AL JAUZIYAH

Allah befirman sehubungan dengan tempat persinggahan tawadhu' (rendah hati) ini,

"Dan, hamba-hamba Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orangyang berjalan di atas bumi dengan rendah hati." (Al-Furqan: 63).

Artinya, dengan tenang, berwibawa, rendah hati, tidak jahat, tidak congkak dan sombong. Menurut Al-Hasan, mereka adalah orang-orang yang berilmu dan bersikap lemah lembut.

Menurut Muhammad bin Al-Hanafiah, mereka adalah orang-orang yang berwibawa, menjaga kehormatan diri dan tidak berlaku bodoh. Kalaupun mereka dianggap bodoh, maka mereka tetap bersikap lemah lembut.

Jika dikatakan al-haun, maka artinya lemah lembut. Sedangkan jika dikatakan al-hun, maka artinya hina. Yang pertama merupakan sifat orang yang beriman, dan yang kedua merupakan sifat orang kafir.

Allah befirman,

"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir." (Al-Maidah: 54).

Firman Allah, ”Adzillah alal mukminin”, merupakan kerendahan hati yang menunjukkan sikap lemah lembut terhadap orang-orang Mukmin, danbukan berarti merendahkan diri yang menjadikan pelakunya menja-dihina. Tapi ini merupakan sifat lemah lembut yang membuat pelakunya penurut. Sebab orang Mukmin itu penurut seperti yang disebutkan dalam hadits, "Orang Mukmin itu seperti onta yang penurut, sedangkan orang munafik dan fasik itu hina."

Empat hal yang menempel pada diri orang yang hina: Pendusta, pengadu domba, bakhil dan semena-mena.

Sifat orang Mukmin terhadap Mukmin lainnya seperti sikap ayah kepada anaknya. Sedangkan dalam menghadapi orang kafir seperti binatang buas yang menghadapi mangsanya.

Dalam Shahih Muslim disebutkan dari hadits Iyadh bin Himar Radhiyallahu Anhu, dia berkata,

"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku, agar kalian rendahhati, hingga seseorang tidak membanggakan diri terhadap yang lain dan seseorang tidak berbuat aniaya terhadap yang lain."

Di dalam Shahih Muslim juga disebutkan dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu, dia berkata,

"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan meskipun seberat dzarrah."

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa menunjukkan sikap tawadhu' kepada siapa pun. Jika beliau melewati sekumpulan anak-anak kecil, maka beliau mengucapkan salam kepada mereka.

Ada seorang budak wanita yang menggelendeng tangan beliau menuju tempat yang dikehendakinya. Jika beliau makan, maka beliau menjilat jari-jari tangannya tiga kali. Jika berada di rumah, maka beliau mengerjakan tugas-tugas keluarganya. Beliau biasa menjahit sandalnya, menambal pakaian, memerah susu untuk keluarganya, memberi makan onta, makan bersa-mapara pelayan, duduk bersama orang-orang miskin, berjalan bersama para janda dan anak-anak yatim, memenuhi keperluan mereka, selalum engucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka, memenuhi undang-ansiapa pun yang mengundangnya, sekalipun untuk keperluan yang sangat ringan dan reman. Akhlak beliau lembut, tabiat beliau mulia, pergaulan beliau baik, wajah senantiasa berseri, mudah tersenyum, rendah hati namuntidak menghinakan diri, dermawan tapi tidak boros, hatinya mudah tersentuh dan menyayangi setiap orang Muslim dan siap melin-dungi mereka.

Al-Fudahil bin Iyadh pernah ditanya tentang makna tawadhu'. Maka dia menjawab, "Artinya tunduk kepada kebenaran dan patuh kepadanya serta mau menerima kebenaran itu dari siapa pun yang mengucapkannya."

Ada yang berpendapat, tawadhu' artinya tidak melihat diri sendiri memiliki nilai. Siapa yang melihat dirinya memiliki nilai berarti tidak memiliki tawadhu'.

Menurut Ibnu Atha', tawadhu' artinya mau menerima kebenaran dari siapa pun. Kemuliaan ada dalam tawadhu'. Maka siapa yang mencarinya dalam kesombongan, berarti dia seperti mencari air dari kobaranapi.

Urwah bin Az-Zubair Radhiyallahu Anhuma berkata, "Aku pernah melihat Umar bin Al-Khaththab memanggul segeriba air. Maka kukatakan kepadanya, "Wahai Amirul-Mukminin, tidak sepantasnya engkau melaku-kanhal ini."

Umar menyahut, "Ketika ada beberapa orang utusan yang datang kepadaku dalam keadaan tunduk dan patuh, maka ada sedikit kesombongan yang merasuk ke dalam diriku. Namun aku dapat mengenyahkannya."

Abu Hurairah pernah diangkat sebagai gubernur. Suatu hari ketika dia sedang memanggul kayu bakar, maka orang-orang berkata, "Beri jalan bagi gubernur kita."

Umar bin Abdul-Aziz mendengar kabar bahwa seorang anaknya membeli sebuah cincin seharga seribu dirham. Maka Umar menulis surat kepadanya, yang isinya, "Aku mendengar engkau telah membeli cincin seharga seribu dirham. Jika suratku ini sudah engkau baca, maka jual-lahcincin itu dan belilah makanan dan berikan kepada seribu orang. Lalu belilah cincin lain dari besi seharga dua dirham. Tulislah di dalam cincin itu kalimat ini: Allah merahmati seseorang yang tahu nilai dirinya."

Dosa pertama yang menjadi kedurhakaan terhadap Allah adalah dua macam:

Takabur dan ambisi. Takabur merupakan dosa Iblis yang terlaknat. Sedangkan dosa bapak kita Adam adalah ambisi dan syahwat.

Kesudahannya adalah taubat dan hidayah, sedangkan dosa Iblis mendorongnya untuk mencari alasan dengan takdir. Dosa Adam membuat-nya mengakui dosa tersebut lalu memohon ampunan. Orang yang takabur dan beralasan kepada takdir akan bersama pemimpin mereka masuk ke dalam neraka, yaitu Iblis. Sedangkan yang memiliki syahwat meminta ampun dan bertaubat serta mengakui dosanya, yang tidak akan beralasan dengan takdir. Mereka bersama bapak mereka, Adam di dalam surga.

Saya mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Takabur lebih jahat daripada syirik. Sebab orang yang takabur merasa dirinya hebat untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan orang musyrik masih mau beribadah kepada Allah dan kepada selain-Nya."

Saya katakan, "Maka tidak heran jika Allah menjadikan neraka sebagai tempat tinggal orang-orang yang takabur, sebagaimana firman-Nya, "Maka masukilah pintu-pintu neraka jahannam, kalian kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diriitu." (An-Nahl: 29).

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Takabur itu penolakan terhadap kebenaran dan penghinaan terhadap manusia."

 

Pengarang Manazilus-Sa'irin, mengatakan, "Yang dimaksudkan tawadhu' ialah jika hamba tunduk kepada kekuasaan Allah."

Dengan kata lain, menerima kekuasaan Allah dengan penuh ketundukan dan kepatuhan serta masuk ke dalam penghambaan kepada-Nya, menjadikan Allahsebagai penguasanya, seperti kedudukan raja yang berkuasa terhadap budak-budaknya. Dengan cara inilah seorang hamba bisa memiliki akhlak tawadhu'. Karena itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menafsiri takabur sebagai kebalikan dari tawadhu', dengan bersabda, "Takabur itu penolakan terhadap kebenaran dan penghinaan terhadap manusia".

Menurutnya, tawadhu' ada tiga derajat, yaitu:

1. Tawadhu' kepada agama, yaitu tidak menentangnya dengan pemikiran dan penukilan, tidak menuduh dalil agama dan tidak berpikir untuk menyangkal.

Tawadhu' kepada agama artinya tunduk kepada apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan pasrah kepadanya.

Hal inibisa dilakukan dengan tiga cara:

- Tidak menentang sedikit pun darinya dengan empat macam penentangan yang biasa dilakukan di dunia ini, yaitu dengan akal, qiyas, perasaan dan penyiasatan. Yang pertama milik para teolog yang menentang nash wahyu dengan akal mereka yang rusak. Mereka berkata,"Jika akal dan nash yang saling bertentangan, maka kami mengutamakan akal dan kami abaikan nash."

 

Yang kedua milik orang-orangyang menyimpang dari kalangan ahli fiqih. Mereka berkata, "Jika qiyas bertentangan dengan pendapat dan nash, maka kami mengutamakan qiyas daripada nash dan kami tidak akan berpaling kepada nash."

 

Yang ketiga milik orang-orang yang menyimpang dari kalangan sufi dan zuhud. Jika perasaan bertentangan dengan nash, maka mereka mengutamakan perasaan dan tidak peduli terhadap perintah nash.

 

Yang keempat milik para penguasa dan pemimpin yang sombong. Jika syariat dan kepentingan politik saling bertentangan, maka mereka mengutamakan kepentingan politik dantidak mempedulikan hukum syariat.

Empat orang ini adalah orangorang yang takabur. Sedangkan yang tawadhu' ialah yang bisa membebas-kan diri dari perkara-perkara ini.

- Tidak menuduh satu dalil pun dari dalil-dalil agama, dengan menganggapnya sebagai dalil yang tidak tepat, tidak relevan, kurang atau terbatas. Jika seseorang berpikir seperti ini, maka hendaklah dia mencurigai pemahamannya sendiri. Dan memang inilah yang seringkali terjadi, bahwa tidaklah seseorang menuduh suatu dalil melainkan pemahamannyalah yang tidak tepat. Jika engkau melihat suatu dalil yang terasa rumit untuk dipahami, maka itu menunjukkan keagungannya dan di bawahnya tersimpan gudang ilmu, yang kuncinya mungkin tidak ada pada dirimu.

- Tidak berpikir untuk menyangkal nash, entah di dalam batinnya, entah dengan perkataan maupun perbuatannya. Jika dia merasahendak menyangkal nash, maka dia harus menempatkan dirinya seperti orang yang menyangkal perbuatan zina, mencuri, minumkhamr dan lain sebagainya. Penyangkalan ini merupakan masalah yang amat besar di sisi Allah dan dapat menyeret kepada kemunafik-an.

Tidak ada yang bisa menyelamatkan dari hal ini kecuali mengetahui bahwa keselamatan hanya ada dalam bashirah dan istiqamah, setelah ada keyakinan, bahwa keterangan tentang kebenaran ada di belakang hujjah.

 

2. Meridhai orang Muslim sebagai saudara sesama hamba seperti yang diridhai Allah bagi dirinya, tidak menolak kebenaran sekalipun datang dari musuh dan menerima maaf dari orang yang meminta maaf.

Jika Allah sudah meridhai saudaramu sesama Muslim sebagai hamba, maka apakah kamu tidak meridhai dirinya sebagai saudaramu? Jika engkau tidak meridhainya sebagai saudaramu, padahal dia sudah diridhai Tuanmu sebagai hamba seperti dirimu, berarti itu adalah takabur.

Lalu takabur macam apakah yang lebih buruk dari takaburnya hamba terhadap hamba seperti dirinya, yang tidak mau bersaudara dengannya, padahal tuannya sudah ridha keberadaannya sebagai hamba?

Derajat tawadhu' juga tidak dianggap sah sehingga seorang hamba mau menerima kebenaran dari orang yang disukainya maupun dari orang yang dibencinya. Bahkan dia harus mau menerimanya dari musuh seperti dia menerimanya dari pelindungnya. Lalu jika ada yang

berbuat jahat kepadamu, yang datang kepadamu untuk meminta maaf, maka tawadhu' mengharuskanmu menerima maafnya, tak peduli apakah permintaan maafnya itu benar-benar datang dari hatinya atauhanya sekedar pura-pura. Tentang apa yang disimpan di dalam hatinya, maka harus diserahkan kepada Allah, seperti yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap orang-orang munafik yang melarikan diri dari medan peperangan.

Ketika bertemu lagi dengan beliau, mereka meminta maaf. Maka beliau menerima permintaan maaf tersebut, sedangkan apa yang tersimpan di dalam hati mereka diserahkan kepada Allah.

 

3. Tunduk kepada Allah, melepaskan pendapat dan kebiasaanmu dalam mengabdi, tidak melihat hakmu dalam mu'amalah. Yang disebut tawadhu' ialah pengabdianmu kepada Allah, beribadah kepada-Nya seperti yang diperintahkan-Nya kepadamu dan bukan menurut pendapatmu sendiri. Yang membangkitkanmu untuk beribadah juga bukan kebiasaanmu, seperti kebiasaan yang membangkitkan orang yang tidak memiliki bashirah. Andaikan yang membiasa-kannya sesuatu kebalikannya, tentu itulah yang akan menjadi kebiasaannya.

Seorang hamba juga tidak boleh beranggapan bahwa dia mempunyai hak atas Allah karena amalnya. Apa yang harus dilakukannya adalah beribadah, memerlukan-Nya dan tunduk kepada-Nya.

Selagi dia menganggap mempunyai hak atas Allah, maka mu'amalahnya menjadi rusak dan cacat, yang dikhawatirkan bisa mendatangkan murka-Nya. Tapi bukan berarti hal ini menajikan hak Allah untuk memberikan balasan dan pahala kepada orang yang beribadah kepada-Nya. Itu semata merupakan hak Allah untuk memuliakan dan berbuat baik kepada hamba, bukan merupakan hak hamba yang bisa diminta dari Allah, lalu mereka bisa membuat ketentuan terhadap Allah karena amal mereka.

Jadi engkau harus bisa membedakan masalah ini secara seksama.

 

Dalam hal ini manusia bisa dibedakan menjadi tiga golongan:

- Golongan yang mengatakan bahwa hamba terlalu lemah untuk memiliki hak atas Allah, sehingga Allah sama sekali tidak mempunyai keharusan untuk memenuhi hak hamba dan berbuat baik kepada-nya.

- Golongan yang melihat bahwa Allah mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya terhadap hamba, sehingga mereka beranggapan bahwa hamba bisa menetapkan keharusan terhadap Allah dengan amalnya. Dua golongan ini sama-sama menyimpang.

- Golongan yang benar, yang mengatakan bahwa dengan amal dan usahanya hamba tidak berhak mendapatkan keselamatan dan keberuntungan dari Allah, amalnya tidak menjamin dirinya bisa masuk surga dan menyelamatkannya dari neraka, kecuali jika diam endapat karunia dan rahmat-Nya. Namun begitu Allah juga menguatkan rahmat dan kemurahan-Nya yang diberikan kepada hamba dengan ikatan janji, dan janji Allah berarti wajib, sekalipun menggunakan kata "Agar, semoga, mudah-mudahan".

Pengertian lebih jauh, hamba yang tidak melihat adanya hak atas Allah bukan berarti dia harus menajikan apa yang diwajibkan Allah kepada dirinya dan menajikan apa yang telah dijadikan-Nya sebagai hak bagihamba.

 

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada Mu'adz bin Jabal, "Hai Mu'adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba?"

Mu'adz menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu."

Beliau bersabda, "Hak Allah atas mereka ialah agar mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.”

Hai Mu'adz, tahukah kamu apa hak hamba atas Allah jika merekamelakukan hai itu?"

"Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu, " jawab Mu'adz. Beliau bersabda, "Hak mereka atas Allah, hendaknya Dia tidak mengadzab mereka dengan api neraka."

Allah adalah yang seorang pun tidak mempunyai atas Diri-Nya, dan yang ada usaha sedikit pun yang hilang sia-sia di sisi-Nya.

Tiada ulasan: