Catatan Popular

Selasa, 26 Ogos 2014

Novel Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat...(5)



 “Hentikan!” si Tambun berteriak, matanya terbelalak.
“Diam kamu prajurit!” tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan, beberapa saat kemudian muncul sosok lelaki berjubah hitam, mengenakan blangkon.
“Kanjeng Sunan Kalijaga,” si Tambun menahan kedip. Kemunculan Sunan Kalijaga yang baru keluar dari mesjid Demak sangat mengagetkan. Padahal Sunan Kalijaga tidak berbuat apa-apa hanya berteriak tidak terlalu keras, tapi si Kerempeng mematung sambil mengayunkan pedang. “Hebat Kanjeng Sunan…” si Tambun menggeleng-gelengan kepala seraya menarik nafas dalam-dalam.
“Selamat datang saudaraku, maafkan kelancangan prajurit Demak yang kurang memahami sopan-santun.” Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar yang tidak bergeming. “Tidak memilikinya sopan-santun karena keterbatasan ilmu dan kedangkalan pengetahuan.”
“Benar, Sunan.” tatapan Syekh Siti Jenar beradu dengan mata Sunan Kalijaga yang sejuk dan berwibawa, lalu menembus ke dalam batin. Maka berbincanglah mereka melalui batin.
Sejenak keduanya saling tatap, lantas terlihat ada senyum tipis yang tersungging. Lalu saling peluk dan saling tepuk bahu. Setelah itu terlihat gerakan tangan Sunan Kalijaga mempersilahkan tamunya untuk menuju masjid.
Prajurit Tambun mengerutkan dahi, “Apa yang sedang mereka bicarakan? Kenapa berbincang-bincang tanpa suara? Mungkinkah dengan saling menatap saja bisa berbincang-bincang?”
“Sudahlah Saudaraku sesama muslim, kita berbicara secara lahiryah saja, sebab akan membingungkan orang yang melihat.” ujar Sunan Kalijaga, seraya berjalan berdampingan menuju masjid Demak.
“Baiklah, Sunan.” Syekh Siti Jenar mengamini.
“Ilmu apa yang mereka miliki?” si Tambun mengikuti langkah keduanya dengan tatapan mata, hingga menghilang di balik pintu gerbang masjid Demak. Lalu tatapan matanya berputar ke arah temannya yang baru saja bisa menggerakan tubuhnya.
“Gendut, kenapa aku tidak bisa bergerak waktu terjadi pertemuan antara Kanjeng Sunan dan tukang sihir.” si Kerempeng mengelus dada, sambil menyarungkan lagi pedang ditempatnya. Kemudian duduk, setengah menjatuhkan pantatnya di atas ruput hijau, kakinya dilentangkan, nafasnya ditarik dalam-dalam.
“Itu semua pengaruh ilmu yang mereka miliki. Kita sebagai prajurit biasa tidak mungkin bisa mencapai ilmu para wali. Berbincang-bincang juga cukup dengan tatapan mata, orang lain  tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Sangat
hebat.” si Tambun garuk-garuk kepala. Otaknya tidak sanggup memikirkan, apalagi menganalisis perilaku Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.
“Gendut, sebenarnya apa yang tadi terjadi ketika  saya jadi patung?” si Kerempeng masih belum paham. “Kenapa si tukang sihir itu disambut baik oleh Kanjeng Sunan Kalijaga? Bukakah kita tidak boleh mempelajari apalagi mengamlakan ilmu sihir, hukumnya
musrik!” si Kerempeng memijit-mijit keningnya.
“Tentu saja, sihir itu musrik dan tidak boleh dipelajari. Hanya saya tidak yakin kalau yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar itu ilmu sihir.” jawab si Tambun, mencoba memprediksi.
“Lantas ilmu apalagi kalau bukan sihir? Lagi pula pembicaraannya melantur. Dia bilang Allah saja punya prajurit, itu aneh. Para Wali saja tidak pernah mengajarkan.” si Kerempeng garuk-garuk kepala.
“Sudahlah, kita tidak boleh berburuk sangka! Mungkin ilmu yang si Tambun, seakan tidak peduli.
***
“Silahkan masuk saudaraku, inilah masjid tempat kami berkumpul dan beribadah.” ujar Sunan Kalijaga, seraya mendapingi Syekh Siti Jenar memasuki masjid Demak.

Tiada ulasan: