“Hentikan!” si Tambun berteriak, matanya
terbelalak.
“Diam kamu
prajurit!” tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan, beberapa saat kemudian
muncul sosok lelaki berjubah hitam, mengenakan blangkon.
“Kanjeng
Sunan Kalijaga,” si Tambun menahan kedip. Kemunculan Sunan Kalijaga yang baru
keluar dari mesjid Demak sangat mengagetkan. Padahal Sunan Kalijaga tidak
berbuat apa-apa hanya berteriak tidak terlalu keras, tapi si Kerempeng mematung
sambil mengayunkan pedang. “Hebat Kanjeng Sunan…” si Tambun menggeleng-gelengan
kepala seraya menarik nafas dalam-dalam.
“Selamat
datang saudaraku, maafkan kelancangan prajurit Demak yang kurang memahami
sopan-santun.” Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar yang tidak bergeming.
“Tidak memilikinya sopan-santun karena keterbatasan ilmu dan kedangkalan
pengetahuan.”
“Benar,
Sunan.” tatapan Syekh Siti Jenar beradu dengan mata Sunan Kalijaga yang sejuk
dan berwibawa, lalu menembus ke dalam batin. Maka berbincanglah mereka melalui
batin.
Sejenak
keduanya saling tatap, lantas terlihat ada senyum tipis yang tersungging. Lalu
saling peluk dan saling tepuk bahu. Setelah itu terlihat gerakan tangan Sunan
Kalijaga mempersilahkan tamunya untuk menuju masjid.
Prajurit
Tambun mengerutkan dahi, “Apa yang sedang mereka bicarakan? Kenapa
berbincang-bincang tanpa suara? Mungkinkah dengan saling menatap saja bisa
berbincang-bincang?”
“Sudahlah
Saudaraku sesama muslim, kita berbicara secara lahiryah saja, sebab akan
membingungkan orang yang melihat.” ujar Sunan Kalijaga, seraya berjalan
berdampingan menuju masjid Demak.
“Baiklah,
Sunan.” Syekh Siti Jenar mengamini.
“Ilmu apa
yang mereka miliki?” si Tambun mengikuti langkah keduanya dengan tatapan mata,
hingga menghilang di balik pintu gerbang masjid Demak. Lalu tatapan matanya
berputar ke arah temannya yang baru saja bisa menggerakan tubuhnya.
“Gendut,
kenapa aku tidak bisa bergerak waktu terjadi pertemuan antara Kanjeng Sunan dan
tukang sihir.” si Kerempeng mengelus dada, sambil menyarungkan lagi pedang
ditempatnya. Kemudian duduk, setengah menjatuhkan pantatnya di atas ruput
hijau, kakinya dilentangkan, nafasnya ditarik dalam-dalam.
“Itu semua
pengaruh ilmu yang mereka miliki. Kita sebagai prajurit biasa tidak mungkin
bisa mencapai ilmu para wali. Berbincang-bincang juga cukup dengan tatapan
mata, orang lain tidak bisa mendengar apa yang sedang mereka
bicarakan. Sangat
hebat.” si Tambun garuk-garuk kepala. Otaknya tidak sanggup memikirkan, apalagi menganalisis perilaku Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.
hebat.” si Tambun garuk-garuk kepala. Otaknya tidak sanggup memikirkan, apalagi menganalisis perilaku Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.
“Gendut,
sebenarnya apa yang tadi terjadi ketika saya jadi patung?” si Kerempeng
masih belum paham. “Kenapa si tukang sihir itu disambut baik oleh Kanjeng Sunan
Kalijaga? Bukakah kita tidak boleh mempelajari apalagi mengamlakan ilmu sihir,
hukumnya
musrik!” si Kerempeng memijit-mijit keningnya.
musrik!” si Kerempeng memijit-mijit keningnya.
“Tentu saja,
sihir itu musrik dan tidak boleh dipelajari. Hanya saya tidak yakin kalau yang
dimiliki oleh Syekh Siti Jenar itu ilmu sihir.” jawab si Tambun, mencoba
memprediksi.
“Lantas ilmu
apalagi kalau bukan sihir? Lagi pula pembicaraannya melantur. Dia bilang Allah
saja punya prajurit, itu aneh. Para Wali saja tidak pernah mengajarkan.” si
Kerempeng garuk-garuk kepala.
“Sudahlah,
kita tidak boleh berburuk sangka! Mungkin ilmu yang si Tambun, seakan tidak
peduli.
***
“Silahkan
masuk saudaraku, inilah masjid tempat kami berkumpul dan beribadah.” ujar Sunan
Kalijaga, seraya mendapingi Syekh Siti Jenar memasuki masjid Demak.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan