Setiap hari
minggu Syeikh Abu Bakr al-Warraq mengisahkan Nabi Khidir mengunjungi Muhammad
bin Ali at-Tirmidzi dan kemudian mereka memperbincangkan berbagai persoalan.
Pada suatu
hari Muhammad bin Ali at-Tirmidzi berkata kepadaku : “Hari ini engkau hendak ku
ajak pergi ke suatu tempat.”
“Terserah
kepada guru,” jawabku.
Kami pun
berangkat. Tatkala kami sampai di sebuah padang pasir tiu aku melihat sebuah
singgasana kencana di bawah naungan sebatang pohon yang rindang di pinggir
sebuah telaga. Pada singgasana itu duduk seorang berpakaian indah. Syeikh
menghampirinya, orang itu berdiri dan memepersilahkan syeikh duduk di atas
singgasana itu. Kemudian orang-orang berdatangan dari segala penjuru dan
berkumpul di tempat itu. Semuanya berjumlah empat puluh orang. Kemudian mereka
memberi isyarat ke atas. Seketika itu juga tersajilah berbagai hidangan dan
mereka pun makan. Syeikh mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan orang itu memberi
jawaban. Tetapi bahasa yang mereka pergunakan sama sekali tidak dapat kupahami.
Beberapa lama kemudian Muhammad bin Ali at-Tirmidzi memohon diri dan
menginggalkan tempat itu.
“Mari kita
pergi,” ajak Muhammad bin Ali at-Tirmidzi kepadaku. “Engkau telah diberkahi.”
Sebentar
saja kami telah berada kembali di Tirmidzi. Aku bertanya kepada Syiekh Muhammad
bin Ali at-Tirmidzi :
“Apakah
artinya semua kejadian tadi? Temmpat apakah itu dan siapakah orang itu.?”
“Itulah
lembah pemukiman Putera-putera Israil,” jawab Muhammad bin Ali at-Tirmidzi,
“Dan orang tadi adalah Paul.”
“Bagaimana
kita dapat pulang pergi dalam waktu sesingkat ini,?” tanyaku.
“Abu Bakr,”
jawab Muhammad bin Ali at-Tirmidzi, “Jika Dia mengantarkan maka sampailah kita.
Apakah gunanya kita bertanya mengapa dan bagaimana, yang perlu engkau sampai ke
tujuan bukan untuk bertanya-tanya.”
Kemudian
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi bertutur : Betapa pun besar perjuanganku untuk
menundukkan hawa nafsu, namun aku tidak berhasil.
Di dalam
keputusasaan aku berkata : “Mungkin Allah telah menciptakan diriku ini untuk
disiksa di dalam neraka. Mengapakah diri yang terkutuk ini harus ku pelihara
lagi?.
Maka aku
pergi ke pinggir Sungai Oxus. Kepada seseorang yang berada di situ aku minta
tolong untuk mengikat kaki dan tanganku, dan setelah itu iapun pergi
meninggalkan seorang diri. Aku berguling-guling dan jatuh ke dalam air. Aku
ingin mati terbenam! Tetapi ketika terbentur permukaan air, ikatan di tanganku
terlepas dan sebuah gulungan ombak menghempaskan tubuhku ke pinggir.
Dengan putus
asa aku berseru : “Ya Allah, Maha Besar Engkau yang menciptakan seseorang yang
tak pantas diterima baik di surga maupun di neraka!.” Berkat seruan ku di dalam
keputus asaan itu terbukalah mata hatiku dan terlihatlah olehku segala sesuatu
yang harus ku lakukan.
Pada saat
itu juga terbebaslah aku dari hawa nafsu. Selama hataku, aku bersyukur terhadap
saat-saat kebebasan itu,
Abu Bakr
al-Warraq juga mengisahkan sebgaia berikut ini :
Pada suatu
hari Muhammad bin Ali at-Tirmidzi menyerahkan buku-bukunya kepadaku untuk
dibuang ke sungai Oxus. Ketika ku periksa ternyata buku-buku itu penuh dengan
seluk beluk dan kebenaran-kebenaran mistik. Aku tak tega melaksanakan perintah
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi itu dan buku-buku tersebut ku simpan di dalam
kamarku. Kemudian aku katakan kepadanya bahwa buku-buku itu telah ku lemparkan
ke dalam sungai. Tetapi Muhammad bin Ali at-Tirmidzi bertanya kepadaku :
“Apakah yang engkau saksikan setelah itu.?
“Tidak
sesuatu pun.” Jawabku.
“Kalau
begitu, engkau belum membuang buku-buku itu ke dalam sungai. Pergilah dan
buanglah buku-buku itu,” perintah Muhammad bin Ali at-Tirmidzi.
“Ada dua
persoalan,” aku berkata di dalam hati. “Yang pertama, mengapa ia ingin membuang
buku-buku ini ke dalam sungai? Yang kedua, apakah yang akan kusaksikan nanti
setelah mencampakkan buku-buku ini kdalam iar?.”
Aku terus
berjalan menuju sungai Oxus dan melemparkan buku-buku itu. Tetapi seketika itu
juga air sungai terbelah dan terlihatlah olehku sebuah peti yang terbuka
tutupnya. Buku-buku itu jatuh ke dalam peti itu, kemudian tutup peti tersebut
mengatup dan air sungai bersatu kembali. Aku terheran-heran menyaksikan
kejadian ini.
Ketika aku
kembali, Muhammad bin Ali at-Tirmidzi bertanya : “Sudahka engkau lemparkan buku
itu?.”
Aku menyahut
: “Guru, demi keagungan Allah, katakanlah kepadaku apakah rahasia di balik semua
ini?.”
Muhammad bin
Ali at-Tirmidzi menjelaskan : “Aku telah menulis buku-buku mengenai ilmu sufi
dengan keterangan-keterangan yang sulit untuk dihamai oleh manusai-manusia
biasa.
Saudara ku
Khidir meminta buku-buku itu. Peti yang engkau lihat tadi telah dibawakan oleh
seekor ikan atas permintaan Khidir, sedang Allah Yang Maha Besar memerintahkan
kepada air untuk mengatarkan peti itu kepadanya.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan