Catatan Popular

Isnin, 7 November 2011

RISALAH AL QUSYAIRI BAB 27: KEJUJURAN (SHIDQ)


Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu berada bersama-sama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 119)
 
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud bahawa Rasulullah saw menyatakan, “Jika seorang hamba tetap bertindak jujur dan berbulat hati untuk bertindak jujur, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur; dan jika ia tetap berbuat dusta dan berbulat hati untuk berbuat dusta, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.”
Kejujuran adalah tiang bagi penempuh jalan (tarekat) ini. Dengannya, kesempurnaan dalam menempuh jalan ini tercapai, dan melaluinya pula muncul ketertiban. Kejujuran menempati kedudukan setingkat di bawah kenabian, sebagaimana difirmankan Allah,
 
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡہِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّـۧنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّہَدَآءِ وَٱلصَّـٰلِحِينَۚ وَحَسُنَ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ رَفِيقً۬ا


Dan sesiapa yang taat kepada Allah dan RasulNya, maka mereka akan (ditempatkan di Syurga) bersama-sama orang-orang yang telah dikurniakan nikmat oleh Allah kepada mereka, iaitu Nabi-nabi dan orang-orang Siddiqiin dan orang-orang yang Syahid, serta orang-orang yang soleh dan amatlah eloknya mereka itu menjadi teman rakan (kepada orang-orang yang taat). (An-Nisa: 69)
 
Darjat paling rendah kejujuran adalah jika batin seseorang serasi dengan perbuatan lahirnya. Shadiq adalah orang yang benar dalam kata-katanya. Shiddiq adalah orang yang benar dalam semua kata-kata, perbuatan dan keadaan batinnya.
Ahmad bin Khadhruyah mengajarkan, “Barangsiapa yang ingin agar Allah bersamanya, hendaklah dia berpegang teguh pada kebenaran, sebab Allah SWT telah berfirman,
 
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّـٰبِرِينَ


Wahai sekalian orang-orang yang beriman! Mintalah pertolongan (untuk menghadapi susah payah dalam menyempurnakan sesuatu perintah Tuhan) dengan bersabar dan dengan (mengerjakan) sembahyang; kerana sesungguhnya Allah menyertai (menolong) orang-orang yang sabar. (Al-Baqarah: 153)
 
Al-Junaid menyatakan, “Orang yang benar berubah 40 kali dalam sehari, sedangkan orang munafik tetap berada dalam satu keadaan selama 40 tahun.”
Abu Sulaiman Ad-Darani menyatakan, “Jika orang yang benar ingin menggambarkan apa yang ada dalam hatinya, maka lidahnya tidak akan mengatakannya.” Al-Qannad menyatakan, “Sikap benar [sadiq] beerti mencegah kedua rahang [syidq] dari mengucapkan apa yang terlarang.”
Abu Sa’id Al-Qarsyi menyatakan, “Orang yang benar adalah orang yang bersikap mati dan tidak akan malu jika rahsianya diungkapkan . Allah SWT berfirman,
 
Katakanlah (wahai Muhammad kepada kaum Yahudi): Kalau Syurga negeri akhirat itu telah menjadi hak istimewa untuk kamu pada sisi hukum Allah, tidak boleh dicampuri oleh orang-orang lain (seperti yang kamu dakwakan itu), maka cita-citakanlah mati (supaya kamu dimatikan sekarang juga), jika betul kamu orang-orang yang benar. (Al-Baqarah: 94)
 
Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menuturkan, “Suatu hari Abu Ali Ats-Tsaqafi sedang memberikan kuliah ketika Abdullah bin Munazil berkata kepadanya, “Wahai Abu Ali, siapkanlah dirimu untuk mati, sebab tidak ada jalan lari darinya.” Abu Ali menjawab, “Dan engkau, wahai Abdullah, siapkanlah dirimu untuk mati, sebab tidak ada jalan lari darinya.” Maka di saat itulah Abdullah merebahkan dirinya, membentangkan kedua tangannya, menundukkan kepalanya dan mengatakan, “Aku mati sekarang.” Abu Ali terpaku bisu kerananya sebab dia tidak dapat menandingi apa yang dilakukan Abdullah, kerana Abu Ali masih terpaut pada dunia, sedangkan Abdullah telah bebas dari ikatan dunia.”
Dikatakan, “Abdul Wahid bin Zaid memandang kepada seorang pemuda di antara para sahabatnya, yang tubuhnya kurus kering, dan bertanya ekpadanya, “Nak, apakah engkau terlalu lama memanjangkan puasamu?” Pemuda itu menjawab, “Aku bukan telah memanjangkan waktu tidak berpuasaku, bukan pula berbuka.” Kemudian Abdul Wahid bertanya, “Apakah engkau telah memanjangkan waktu bangun malammu untuk solat?” Dia menjawab, “Bukan, bukan pula aku telah memanjangkan tidur.” Maka Abdul Wahid lalu bertanya, “Apa yang telah membuatmu begitu kurus?” Pemuda itu menjawab, “Hasrat yang selalu berkobar.” Abdul Wahid berseru, “Dengarlah betapa beraninya pemuda ini!” Pemuda itu lalu berdiri, maju dua langkah dan berteriak, “Ya Tuhanku, jika aku memang tulus, ambillah nyawaku sekarang juga." Lalu dia pun jatuh dan mati.”
Konon Abu Amr Az-Zajjali menuturkan, “Ibuku meninggal dan aku mewarisi sebuah rumah darinya. Aku menjualnya dengan harga 50 dinar dan berangkat menunaikan ibadah haji. Ketika aku sampai di Babylon, seorang penggali saluran air bertanya kepadaku. “Apa yang kau bawa?” Aku berkata dalam hati, “Kejujuran adalah yang terbaik”, dan aku menjawab, “Wang 50 dinar.” Dia berkata, “Serahkan kepadaku.” Maka aku pun lalu memberikan bekas wangku kepadanya. Dihitungnya wang yang ada di dalamnya, dan ternyata memang ada 50 dinar. Maka berkatalah dia, “Ambillah kembali wangmu; kejujuranmu menyentuh hatiku.” Lalu dia turun dari kudanya dan berkata, “Ambillah kudaku.” “Aku tidak menginginkan kudamu”, aku tegas menolak. Dia berkata, “Kau tidak punya pilihan,” dan memaksaku manaiki kudanya. Ketika akhirnya aku telah naik di atasnya, dia berkata: “Aku akan menyusulmu.” Setelah satu tahun, dia berhasil menyusulku - dan tinggal bersamaku hingga matinya.”
Al-Junaid berpendapat, “Inti ketulusan adalah bahawa engkau berkata benar dalam situasi di mana hanya dusta dapat menyelamatkanmu.”
Dikatakan, “Tiga hal tidak pernah lepas dari seseorang yang tulus: kehalusan perangai, kehadiran yang menggentarkan hati, dan kebaikan budi.”
 
Dikatakan pula, “Allah SWT berwahyu kepada Dawud as, “Wahai Dawud, barangsiapa yang menerima apa yang Ku-katakan sebagai benar, di dalam batinnya, nescaya Aku akan mengukuhkan sifat amanahnya di kalangan manusia di dunia.”
 
Ibrahim bin Dawhah mengabarkan, “Aku memasuki padang pasir bersama Ibrahim bin Sitanbah, yang mengatakan kepadaku, “Campakkanlah pergantungan [kepada dunia]!” Aku melemparkan segala sesuatu yang ada padaku, kecuali wang satu dinar: Lalu dia berkata, “Wahai Ibrahim, janganlah engkau membebani fikiranku! Campakkanlah pergantunganmu!” Maka dinar itu pun lalu aku lemparkan. Tapi lagi-lagi dia mengatakan, “Wahai Ibrahim, campakkanlah pergantunganmu!” Lalu aku ingat bahawa aku masih memiliki beberapa utas tali sandal gentian, yang lalu kulemparkan juga. Selanjutnya, dalam perjalananku, setiap kali aku memerlukan tali sandal, maka muncullah seutas tali sandal di hadapanku. Ibrahim bin Sitanbah menyatakan, “Inilah jalan yang ditempuh manusia yang berurusan dengan Allah secara tulus.”
Sahl bin Abdullah mengatakan, “Awal penipuan di pihak orang-orang yang tulus muncul ketika mereka berbicara dengan jiwa mereka.” Ketika ditanya tentang ketulusan, Fath Al-Maushili memasukkan tangannya ke dalam api seorang tukang besi, mengambil [dengan tangannya] sebatang besi merah membara, meletakkannya di telapak tangannya dan berkata: “Inilah ketulusan.”
Yusuf bin Asbat berkata, “Aku lebih suka menghabiskan waktu semalam bersama Allah SWT dalam ketulusan daripada berperang dengan pedangku di jalan-Nya.”
Ketika Al-Hariths Al Muhasibi ditanya tentang tanda-tanda ketulusan, dia menjawab, “Orang yang tulus adalah dia yang manakala kesejahteraan batinnya menuntut, dia tidak peduli apakah kedudukannya di kalangan manusia akan lenyap. Dia bahkan tidak menginginkan satu bahagian kecil pun dari perbuatan baiknya diketahui oleh manusia, tidak pula dia peduli jika perbuatan-perbuatan buruknya diketahui oleh mereka. Keinginan apa pun untuk dipandang baik oleh manusia bukanlah ciri ketulusan.”
Dikatakan, “Jika engkau mencari Tuhan dalam ketulusan, nescaya Dia akan memberimu cermin yang di dalamnya engkau akan melihat semua keajabain dunia dan akhirat.” Dikatakan, “Engkau harus berlaku tulus ketika engkau takut bahawa hal itu akan mencelakakanmu, sebab itu akan bermanfaat bagimu. Janganlah menipu ketika engkau mengira hal itu akan menguntungkanmu, sebab pasti ia akan merugikanmu.”
Dikatakan juga, Tiap-tiap sesuatu itu mempunyai erti, tapi persahabatan seorang pendusta tidak beerti apa-apa.”
Dikatakan, “Tanda seoran pendusta adalah keghairahannya untuk bersumpah sebelum hal itu dituntut darinya.” Ibn Sirin menyatakan, “Lingkup pembicaraan itu demikian luas hingga [sebetulnya] orang tidak perlu berdusta.”

Tiada ulasan: