Allah swt. berfirman :
“.......sedang
dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia
berkata pada sahabatnya : “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah
beserta kita.” (Qs. At-Taubah :40).
Abul Qasim al-Junayd r.a. berkata : “Ketika Allah swt. menetapkan kepada
Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai sahabt, Allah menjelaskan, bahwa Nabi saw.
menampakkan sifat kepedulian yang besar kepadanya. Dalam firman-Nya : “Di waktu
dia berkata pada sahabatnya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah
berserta kita.” Orang yang merdeka adalah senantiasa peduli atas orang yang
menjadi sahabatnya.
Riwayat dari Anas bin Malik r.a. Rasulullah saw. bersabda : “Kapankah aku
bertemu kekasih-kekasihku?” Para sahabt menjawab : “Demi ayah, engkau dan ibu
kami, apakah kami-kami ini bukan kekasihmu?” Rasul saw. besabda : “Engkau
adalah sahabt-sahabtku. Sedangkan kekasih-kekasihku adalah kaum yang belum
pernah jumpa denganku, (tetapi) beriman kepadaku. Aku lebih banyak rindu kepada
mereka.” (H.r. Abu Syeikh, dalam Bab ats-Tsawab).
Persahabatan itu ada tiga macam : 1) Bersahabt dengan orang yang lebih
atas dari Anda. Persahabatan ini pada hakikatnya lebih sebagai rasa bakti; 2).
Bersahabat dengan orang yang ada di bawah Anda. Persahabatan ini menuntut agar
Anda bersikap peduli dan kasih sayang. Sementara yang mengikuti Anda harus
selalu serasi dan bersikap hormat. 3). Bersahabt dengan mereka yang memiliki
kemampuan dan pandangan ruhani. Yaitu suatu persahabatan yang menuntut sikap
memprioriatskan sepenuhnya kepada sahabtnya itu.
Siapa yang bersahabat pada syeikh yang memiliki derajat lebih daripada
dirinya, etikanya ia harus meninggalkan sikap kontra, bersikap ramah dan
respektif kepadanya, dan mempertemukan diri dengan ihwal ruhaninya melalui
iman.
Saya mendengar Manshur bin Khalaf al-Maghriby berkata ketika ditanya oleh
sebagian murid-murid kami : “Berapa tahun Anda bersahabt kepada Sa’id bin Salam
al-Maghriby?” Beliau melirik dengan tajam kepada penanya, sembari berkata :
“Aku tak pernah bersahabat dengannya, tetapi aku berkhidmat padanya beberapa
saat.”
Apabila orang yang menyahabati Anda adalah orang yang berada di bawah
Anda, maka, suatu penghianatan dalam persahabatannya, adalah ketika Anda tidak
memperingatkannya atas kekurangan perilakunya.
Abul Khair at-Tinaty menulis surat kepada Ja’far bin Muhammad bin Nashr :
“Dosa kebodohan para fakir ditimpakan kepada Anda, karena Anda sibuk dengan
diri Anda sendiri, meninggalkan upaya mendidik mereka, sehingga mereka tetap
bodoh. Namun, apabila orang yang bersahabt dengan Anda memiliki status yang
sama, Anda harus menjaga cacatnya. Dan lebih bersikap bijak dan baik semaksimal
mungkin, dengan menafsirkan yang lebih berkenan atas tindakannya. Bila tidak
ada penafsiran positif, lebih baik Anda menyangka diri Anda telah berbohong dan
berhak mendapat celaan.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Ahmad bin Abul
Hawary berkata : “Aku bicara pada Abu Sulaiman ad-Darany : “Ada seseorang yang
tidak berkenan di hatiku!.” Lantas Abu Sulaiman menjawab : “Sama, ia juga tak
berkenan di hatiku. Tetapi, wahai Ahmad, barangkali generasi sebelum kita dulu
menganggap kita bukan tergolong orang-orang yang saleh, lalu apakah kita tidak
mencintai mereka?”
Dikisahkan bahwa ada seseorang yang bersahabat pada Ibrahim bin Adham.
Ketika orang tersebut mau berpisah, berkata pada Ibrahim : “Bila engkau melihat
diriku ada cacat, maka ingatkanlah diriku.” Ibrahim menjawab : “Aku tak pernah
melihat cacatmu, karena aku melihatmu dengan mata kecintaan, sehingga aku
selalu memandangmu dengan mata pandangan kebaikan. Tanyakan saja pada selain
diriku tentang cacatmu.”
Dalam hal ini para Sufi bersyair :
Mata pandang ridha akan suram
Dari segala cela
Namun mata pandang dendam
Tampak buruk segalanya.
Abu Ahmad al-Qaalnasy berkata : “Aku berteman dengan beberapa kaum di
Bashrah, dan mereka menghormati aku. Sekali waktu kukatakan pada mereka :
“Manakah sarungku?” Tiba-tiba sarung itu jatuh dari mata mereka.”
Seseorang berkata pada Sahl bin Abdullah : “Aku ingin berteeman denganmu
wahai Abu Muhammad.” Beliau menjawab : “Bila di antara kita ada yang mati, maka
kepada siapa salah satu di antara kita bersahabat?” Orang itu berkata : “Allah
swt.” Sahl balik menjawab : “Maka, sejak
saat ini, bersahabtlah dengan-Nya.”
Ibrahim bin Adham bekerja sebagai pengetam dan penjaga beberapa kebun,
serta pekerjaan lainnya. Hasilnya diinfakkan pada para sahabatnya (santrinya).
Dikatakan : “Ibrahim bersama suatu jamaah dari para sahabatnya (santrinya),
sedangkan dirinya bekerja di siang hari untuk diberikan kepada mereka. Mereka
berkumpul di malam hari di suatu tempat, dan pada siang hari mereka berpuasa.
Suatu ketika Ibrahim pulang terlambat dari kerja. Dan pada suatu malam mereka
berkata : “Kemarilah, kita berbuka apa adanya.” Ibrahim pulang lebih cepat
setelah peristiwa itu. Mereka akhir berbuka dan tidur nyenyak. Ketika Ibrahim
pulang, didapati para sahabtnya itu tertidur pulas. “Kasihan!” barangkali
mereka tidak menemukan makanan.” Kata Ibrahim. Lalu, Ibrahim membuat jenang
dari tepung yang ada, dan menyalakan api serta bara. Ketika mereka melihat
Ibrahim sedang meniup-niup api sambil menempelkan sisi wajahnya pada tanah,
para sahabtnya mengingatkan akan kejadian tersebut. Beliau menjawab : “Aku
katakan, barangkali kali kalian semua tidak mendapatkan makanan untuk berbuka,
sehingga kalian tertidur semua. Aku ingin membangunkan kalian nanti setelah
bara menyala.” Maka masing-masing sahabatnya itu saling berkata : “Lihatlah,
apa yang telah kita lakukan, dan lihatlah apa yang dilakukan untuk
kita........????”
Dikatakan bahwa, jika seseorang ingin bersahabt dengan Ibrahim bin Adham,
ia mensyratkan bahwa orang itu harus berbakti dan memberitahu padanya;
tangannya haurs sama dengan tangan mereka dalam hal seluruh rezeki yang telah
dibuka oleh Allah bagi mereka di dunia.
Suatu hari, salah seorang santrinya berkata pada Ibrahim bin Adham : “Aku
tidak mampu melakukan ini.” Ibrahim menjawab sambil terkejut : “Sungguh aku
kagum atas kejujuranmu.”
Yusuf ibnur Husain berkata : “Aku berkata pada Dzun Nuun al-Mishry :
“Kepada siapa aku harus bersahabat?” Dzun Nuun menjawab : “Dengan orang yang
sama sekali tidak kau sembunyikan tentang dirimu, dimana Allah swt. mengetahui
dirimu.”
Sahl bin Abdullah berkata pada seseorang : “Bila Anda termasuk orang yang
takut binatang buas, jangan berteman denganku.”
Bisyr al-Harits berkata : “Berteman dengan kejahatan akan melahirkan
sangkaan buruk dengan bebas.”
Al-Junayd berkata : “Ketika Abu Hafs masuk ke Baghdad, ia disertai
seorang yang botak bagian kepala depannya, sama sekali bungkam tak bicara.
Kemudian aku bertanya pada para sahabat Abu Hafs mengenai keadaan orang
tersebut. Mereka menjawab : “Lelaki itu telah menafkahkan seratus ribu dirham
untuk diinfakkan kepada Abu Hafs. Abu Hafs tidak memperkenankannya bicara
sekecap pun.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Janganlah bersahabat dengan Allah swt.
kecuali senantiasa dalam keselarasan; jangan pula dengan makhluk kecuali dengan
saling menasehati; jangan pula dengan nafsu kecuali dengan menentangnya; jangan
bersahabat pula dengan setan kecuali dengan memusuhi.” Seseorang bertanya
kepada Dzun Nuun : “Siapakah yang bisa kujadikan sahabat?” Beliau menjawab :
“Seseorang yang bila engkau sakit, ia menjengukmu, bila engkau berbuat dosa, ia
menganjurkan tobat padamu.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Pohon bila tumbuh
dengan sendirinya, namun tidak diolah oleh manusia, ia akan tumbuh dengan
daunnya, tetapi tidak bisa bebuah. Begitu juga seorang murid bila berkembang
tanpa guru ia akan muncul, namun tidak berbuah.” Beliau juga berkata : “Aku mendapatkan
tharikat ini dari an-Nashr Abadzy , dan Nashr Abadzy dari asy-Syibly, sedangkan
asy-Syibly dari al-Junayd, dan al-Junayd dari as-Sary, as-Sary dari Ma’ruf al-Karkhy,
Ma’ruf al-Kharkhy dari Dawud ath-Tha’y, dan dawud ath-Tha’y dari para Tai’in.”
Saya mendengar pula bahwa beliau semoga rahmat Allah swt. padanya --- berkata :
“Takpernah sekalipun aku mengikuti majelisnya Nashr Abadzy, kecuali aku selalu
mandi sebelumnya.”
Saya sendiri, tak pernah masuk ke tempat guru saya Syeikh Abu Ali pada
awal belajar saya di sana, kecuali saya selalu berpuasa dan sebelumnya saya
mandi dahulu. Padahal saya memasuki pintu madrasahnya tidak sekali. Saya selalu
kembali ke pintu itu, saya khawatir beliau marah jika memasuki pintu itu. Dan
seketika saya melintas, lalu memasukinya. Bila sampai di tengah ruang madrasah,
beliau mendekati diri saya, dan saya benar-benar terdiam senyap, Seandainya ada
jarum yang menusuk pada mulut saya pun, tak akan saya rasakan. Jika saya duduk,
dan ada suatu masalah yang mengganggu diri saya, saya tidak ingin bertanya pada
beliau, melalui ucapan saya. Dan setiap kali saya berada di majelis, beliau
selalui melalui menjelaskan persoalan saya. Tidak sekali hal-hal seperti itu
saya saksikan dengan mata kepala. Seringkali saya berpikir, seandainya Alalh
swt. mengutus seorang Rasul pada zaman saya, mungkinkah saya menambah rasa
hormat padanya dalam hati saya, lebih dari rasa hormat saya pada guru saya ---
semoga Allah swt. merahmatinya. Dan sama sekali tidak tergambarkan kemungkinan
seperti itu. Saya tidak ingat lagi, sepanjang saya mengikuti majelisnya,
kemudian kenyataan diri saya setelah mendapatkan kesinambungan jiwa, tak pernah
sekalipun terbersit untuk kontra padanya, sampai beliau wafat.”
Dikatakan Muhammad an-Nashr al-Harits, “Allah swt. mewahyukan kepada Nabi
Musa as, “Jadilah kamu orang yang bangun dan kembali, serta menjadi sahabat
bagi dirimu. Setiap sahabat yang tidak menggembirakan hatimu, maka jauhilah ia,
dan janganlah bersahabat dengannya, karena ia akan mengeraskan hatimu. Bagimu
ia menjadi musuh. Banyak-banyaklah mengingat-Ku karena akan mendatangkan rasa
syukur kepada-Ku, dan mendapatkan tambahan dari anugerah-Ku.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Bersahabtlah kalian dengan Allah swt.
Bila kalian tidak mampu, maka bersahabatlah dengan orang yang bersahabt dengan
Allah swt. karena bersahabt dengannya bisa menghubungkan kalian kepada Allah
swt. melalui berkat persahabatannya dengan Allah swt.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan