A. Pendahuluan
Tariqat adalah jalan yang ditempuh para sufi, dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’ sedangkan anak jalan disebut tariq. Tak mungkin ada jalan tanpa adanya jalan utama tempat ia berpangkal. Akan tetapi tariq atau jalan itu lebih sempit dan lebih sulit dijalani serta membawa santri – disebut salik, atau pengembara – dalam suluk melalui berbagai maqam, sampai mungkin cepat atau lambat akhirnya ia mencapai tujuannya.
Dalam ilmu Tasawuf diterangkan, bahwa arti tarikat itu ialah jalan atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, dan dikerjakan oleh sahabat-sahabat nabi, Tabiin dan Tabiin-tabiin turun-temurun sampai kepada guru-guru/ulama-ulama sambung-menyambung dan rantai-berantai sampai pada masa kita.
Ajaran dan pengalaman sebuah tarikat sufi tentunya dimaksudkan agar seorang salik lebih mendekatkan dirinya pada Allah. Cara atau upaya untuk mendekatkan diri pada Allah itu tak lain dengan jalan mengamalkan dzikir-dzikir atau wirid-wirid seraya melakukan penyucian kalbu dari berbagai penyakit ruhani secara terus-menerus. Tarikat memberi jalan yang paling mudah untuk mengenal hakikat-hakikat beragama, sehingga hubungan antara hamba dengan Allah terbuka, merdeka dan berimplikasi luas dalam kehidupan sehari-hari.
Demikianlah para shufi membuat suatu sistem “tarikat”, mengadakan latihan-latihan jiwa, membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela/mazmumah dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji / mahmudah dan memperbanyak dzikir dengan penuh ikhlas semata-mata untuk memperoleh keadaan “tajalli” yakni bertemu dengan Tuhannya sebagai bagian terakhir dan terbesar.
Tapi sayangnya istilah tarikat itu sendiri masih banyak yang samar, sehingga wajar banyak yang takut. Dan jumlah tarikat itu sendiri banyak sekali, ada yang mu’tabarah dan juga ada yang tidak. Untuk itu dalam makalah ini penulis mencoba membahas salah-satu tarikat, yaitu tarikat Ni’matullah atau Ni’matullahiyah. Apa dan bagaimana tarikat ini akan kita uraikan dalam paparan berikut.
B. Asal-usul Tarikat Ni’matullahiyah
Tariqat Ni’matullahiyah didirikan oleh Nuruddin Syah Ni’matullah Wali, dilahirkan di Aleppo pada tanggal 14 Rabi’ul Awwal 731 H (1331 M) Meninggal pada tahun 1431 M. Tariqat ini didirikan di Mahan dekat Kirman barat daya Iran. Para pengikutnya terutama di Iran dan India. Ayahnya adalah orang Arab dan ibunya orang Persia. Pendidikannya meliputi kajian tentang fiqih, retorika dan teosofi dan teologi skolastik serta karya-karya Ibnu Sina dan Ibnu Arabi.
Pada waktu berusia 24 tahun, Syah Ni’matullah bertemu dengan sufi ‘Abdullah al-Yafi’i di Mekkah. Al-Yafi’i yang termasuk anggota tarikat Syaziliyyah dan Qadiriyyah cabang Yafi’i, menerima Ni’matullah sebagai muridnya dan kemudian khalifah-nya. Kisah tentang pertemuan Syah Ni’matullah dengan Syaikh ini menyedihkan dan puitik. Dia menemui al-Yafi’i di sebuah mesjid ketika mengajarkan hadits dan dia menyadari bahwa dirinya sebagai tetesan air dan al-Yafi’i sebagai lautan. Ni’matullah mengakui Syaikh itu sebagai gurunya dan selama tujuh tahun dia belajar tasawuf dengannya.
Dari sana, dengan mengikuti tradisi yang berlaku di kalangan banyak pengumpul hadits, sufi dan ulama lainnya, untuk mengembara dalam rangka mencari pengetahuan. Syah Ni’matullah melakukan serentetan perjalanan, dengan mengunjungi Mesir, Persia, Transoksania, Samarkand, Syiraz, Kirman dan Mahan.
Di Herat dia menikah dengan cucu perempuan Amir Harawi. Dua puluh lima tahun terakhir usianya dihabiskan antara Mahan dan Kirman dan yang disebut pertama merupakan pusat pengembangan Tarikatnya dan menjadi tempat untuk menulis banyak karangannya. Ketika berkunjung ke Kirman, Syah Ni’matullah wafat setelah menunjukkan anak laki-lakinya sebagai penggantinya.Jenazahnya dibawa ke Mahan dan dimakamkan dipusat kota itu. Sebuah bangungan musoleum dibangun di atas makamnya dan akhirnya tempat itu menjadi pusat ziarah.
Tariqat Ni’matullahiyah tersebar ke India pada masa hayat Syah Ni’matullah melalui perantara cucunya, Syah Nurullah dan tak mengherankan, akhirnya sangat aktif di Iran. Sekarang khanaqah-khanaqah dari cabang tarikat tersebut terdapat di beberapa kota besar dan kecil di Amerika Serikat, Eropa Barat (termasuk Inggris), Australia dan Afrika. Karena itu tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa sekarang tarikat Ni’matullahiyah merupakan tarikat internasional yang diikuti oleh dunia internasional dari banyak bangsa.
Syah Ni’matullah menjadikan doktrin yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi sebagai ilmu terapan. Meskipun Ibnu Arabi pada dasarnya seorang pemikir dan guru, Syah Ni’matullah, pertama-tama dan terutama merupakan seorang praktisi, atau seorang Syaikh, yang peduli dengan pemberian petunjuk kepada murid-murid tarikat. Ajaran-ajaran Ibnu Arabi merupakan latar belakang teoritik bagi program latihan syah Ni’matullah.
Syah Ni’matullah tidak menganggap tasawuf terbatas pada sekelompok orang tertentu, dia membiarkan pintunya terbuka bagi semua pencari Tuhan. Dengan memberikan perintah melalui cara cinta (mahabbah) kepada semua orang yang dinilainya memiliki kerinduan akan aliran penyatuan diri dengan Tuhan (Ittihad). Syah Ni’matullah menganggap semua orang sama-sama berhak dan memerlukan aliran tasawuf. Dia mengatakan : “Semua orang yang telah ditolak oleh para wali, saya akan menerimanya dan sesuai dengan kemampuan mereka, saya akan menyempurnakan mereka.” Tarikat Ni’matullahiyah lebih menekankan pada toleransi, persaudaraan, persamaan, dan peribadatan.
C. Amalan Kerohanian dan Peribadatan Tarikat Ni’matullahiyah
1. Organisasi dan Hirarkinya
Dalam tariqat Ni’matullahiyah posisi sebagai Syaikh tidak dapat begitu saja dinyatakan. Ia harus diperoleh melalui latihan di bawah bimbingan seorang syaikh yang sempurna. Pimpinan sejati terkait dengan lingkaran syaikh-syaikh spritual yang dapat diruntut kembali sampai kepada Nabi. Syaikh itu harus sudah menjalani jalan sufi dan sudah mengenali jalan itu sebelum dia dapat membimbing orang lain menjalani jalan itu. Sejalan dengan itu posisi pemula atau pengikut mengakui di dalam hatinya kekuatan spritual syaikhnya dan segera tunduk kepadanya. Ada tata-krama atau adab bagi murid yang bersifat menyeluruh mengatur hubungan antara Syaikh dan pemula, atau antara murad dan murid; dan sifat kepatuhan yang tidak dapat dipertanyakan harus dipertunjukkan oleh pemula (murid) kepada Syaikhnya di atas paradigma khas Qur’ani yang tercermin dalam pertemuan antara Nabi Musa dan Nabi Khaidir.
Syah Ni’matullah menunjuk penggantinya, yaitu anak laki-lakinya Khalilullah, sebelum dia wafat dan yang disebut belakangan akhirnya menjadi Qutb kedua dari tarikat tersebut. Hubungan erat antara silsilah Ni’matullahiyah dan silsilah tarikat Saziliyyah sudah diketahui. Diyakini oleh sejumlah orang bahwa kedua tarikat ini termasuk di antara kelompok minoritas yang telah berkembang masuk ke Barat dalam beberapa tahun terakhir dengan cara yang autentik dan mulus. Syah Nimatullah wali bisa diruntut kembali silsilahnya melalui Syaiknya sendiri, Abdullah al-Yafi’i dan syaikhnya, Syaikh Salih al-Barbari, melalui orang-orang penting seperti Ahmad al-Ghazali, Junaid al-Bagdadi, dan al-Hasan al-Basri hingga sampai keadaan Ali bin Abi Thalib dan Nabi Muhammad sendiri. Pimpinan cabang Munisiyyah dari tarikat Ni’matullahiyah yang sekarang, Nur Ali Syah 11. Dr. Javad Nurbaksh, meruntut kembali silsilah-nya sampai kepada Syah Ni’matullah Wali dan karena itu, melalui dia, juga sampai kepada Nabi Muhammad.
Jika mesjid merupakan wakil dari aspek-aspek eksternal Islam, maka khanaqah merupakan wakil dari dimensi-dimensi batin agama yang melindungi aspek-aspek eksternal agama. Masuk dalam khanaqah harus bersifat spritual dan fisik. Fokosnya yang menyeluruh adalah cinta dalam teori Ni’matullahiyah : Jadi khanaqah adalah tempat kejujuran, di mana tidak ada satu pun dibahas kecuali yang Tercinta. Ia adalah rumah cinta tanpa pembodohan, pembedan atau tipuan. Di mana tidak ada perbedaan antara seseoang pengemis dengan seorang raja. Semua yang tetap harus ada di sana adalah keadaan spritual tanpa egoisme, cahaya Ilahi pada setiap orang. Di sana semua orang mengikuti ritual-ritual syari’ah dan mendapatkan bermacam-macam peringkat jalan atau tarikat. Kehidupan dalam khanaqah itu diawasi dan diatur dengan ketat. Ia bukan tempat untuk melakukan tindakan indisipliner dan kekacauan spritual melainkan tempat untuk belajar.
2 Upacara Peribadatan
Mendefinisikan inisiasi dengan sesuatu yang secara lahiriah merupakan suatu upacara di mana orang yang mendapatkan inspirasi / petunjuk bersumpah untuk patuh kepada Syaikh dan kemudian diterima masuk tariqat itu. Sebelum melakukan inisiasi, calon sufi harus merumuskan niat yang benar dan kemudian melakukan lima kali wudhu’ sebagai berikut; masing-masing memiliki dimensi eksoterik dan esoterik:
pertama wudhu’ taubat yang dengannya orang yang mendapatkan petunjuk bertobat atas perbuatan-perbuatan salahnya di masa lampau;
kedua wudhu’ penyerahan diri atau wudhu Islam, ini menyangkut penyerahan diri luar dalam kepada Allah;
ketiga wudhu’ kemiskinan spritual, yang di dalamnya terdapat cermin-cermin lahiriyah yang membersihkan kesucian batin.
Keempat wudhu’ ziarah (kepada Syaikh). Orang mensucikan diri dan memakai pakaian yan bersih sebelum mengunjungi Syaikh untuk menerima arahan-arahan untuk mensucikan batin dn berziarah melalui jalan sufi.
Kelima adalah wudhu pelaksanaan.
Orang yang mendapatkan inspirasi itu berdoa untuk bisa diperbolehkan mencapai maqam manusia sempurna dan kenikmatan hidup abadi di Sorga
Kemudian lima macam hadiah atau pemberian yang melambangkan kemiskinan spritual, dipersiapkan dan diberikan kepada Syaikh oleh orang yang mendapatkan petunjuk itu. Hadiah-hadiah atau pemberian-pemberian ini terdiri dari sebuah uang logam, selembar kain kafan berwarna putih, sebuah cincin, gula-gula (makanan) yang manis, dan buah pala. Benda ini memiliki kesan mistik; mata uang melambangkan kekayaan duniawi dan penyerahannya kepada Syaikh melambangkan penerimaan semangat kemiskinan secara batini. Kain kafan melambangkan penyerahan sepenuhnya kepada Allah dan penerimaan kehidupan zuhud. Cincin melambangkan ikatan hati orang yang mendapatkan petunjuk dengan Allah; gula-gula merupakan tanda kelahiran orang yang mendapatkan petunjuk untuk kedua kalinya pada saat dia memasuki dunia kemiskinan spritual. Dan buah pala melambangkan kepala orang yang mendapatkan petunjuk yang diserahkan sebagai tanda pengabdian kepada Syaikh.
Sebelum pencari jalan (sufi) memasuki apa yang diistilahkan sebagai ‘lingkaran kemiskinan spritual’, dia dituntut untuk menyatakan lima komitmen kepada Syaikh.
Dia harus:
(1) mengikuti dan mentaati syari’ah, dengan ujian, jika belum memeluk Islam sebelumnya dengan mengucapkan syahadat dan menambahnya dengan kesaksian lain bahwa “Ali adalah wali Allah”;
(2) menyatakan komitmen untuk berbuat baik kepada semua makhluk Allah;
(3) bersumpah kepada diri sendiri untuk menjaga rahasia Tarikat;
(4) setuju melayani dan mematuhi syaikh tanpa mempertanyakannya dan
(5) menyatakan dalam hati untuk berkorban dan menyiapkan makan khusus dari daging biri-biri untuk dibagi-bagikan kepada saudara sesamanya.
Proses inisiasi (upacara peribadatan) ini meliputi lima kali wudhu’, lima macam hadiah atau pemberian dan lima macam komitmen, yang berbarengan dengan lima prinsip utama yang ditetapkan oleh para pengikut Ni’matullahiyah, yang menunjukkan angka Lima merupakan angka favorit dalam tarikat itu.
Tarikat Ni’matullahiyah secara khas mengidentifikasikan lima prinsip yang harus dilaksanakan oleh setiap pengikutnya.
Prinsip-prinsip itu terdiri dari
(1) zikr,
(2) fikr,
(3) muraqabah,
(4) muhasabah, dan
(5) wirid.
Dzikir
Dzikir merupakan upaya untuk mengingat Allah dengan ungkapan tertentu secara berulang-ulang. Muhammad Rasyid Ridha menyebutkan bahwa dzikir adalah terlintasnya makna sesuatu dalam ingatan, secara khusus beliau menyebutnya dengan dzikir qalb dan jika ingatan tersebut bermakna maka disebut dzikir lisan. Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Dzikir adalah penopang yang sangat kuat atas jalan menuju Allah SWT. Sungguh, ia adalah landasan bagi tarikat itu sendiri. Tidak seorangpun dapat mencapai Allah SWT, kecuali dengan terus-menerus dzikir kepada-Nya.
Syaikh tarikat Ni’matullahiyah terdahulu, Mahzub, Ali Syah Hamadani (w. 1823) mengkhususkan 13 syarat agar dzkir itu bisa dilaksanakan dengan baik. Javad Nurbaksh menetapkan sepuluh syarat yang disebutnya adab dzikir. Ada penekanan pada kesucian ritual yang dihasilkan dari wudhu-wudhu biasa yang dilakukan oleh orang-orang mukmin sebelum melakukan shalat lima kali dalam sehari; (1) sebagai rangkaiannya perlu memakai pakaian yang bersih sebagaimana ditentukan merupakan cermin atau lambng luar dari kemurnian pikiran dan hati yang batini, (2) perlu kesucian lahir maupun batin terletak pada setiap murid adalah bau yang harum, (3)murid harus menghadap kiblat dengan posisi siap melakukan shalat, (4) kedua mata harus ditutup (5) menyejajarkan kebutuhan akan niat yang baik dalam ritual yang pokok, murid selama dzikir harus secara mental mengharapkan bantuan Syaikhnya, (6) postur khusus harus digunakan yang menekankan dalam bentuk simbolik ketiadaan sufi dan penolakkannya terhadap ego. Ini diartikulasikan dengan kuat dalam postur tubuh di mana tangan-tangan dan kaki-kaki membentuk kata Arab ‘la ( لا) yang berarti tiada atau tidak. Sekali lagi akan mendapatkan refleksi lahiriyah dari sikap batin untuk menahan diri, (7) mengosongkan pikirannya dari segala macam pikiran-pikiran duniawi dan mengisinya hanya dengan pemikiran-pemikiran tentang Allah, (8) dalam keadaan diam (9) dengan bersyukur dan (10) menerima bahwa perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman yang didapatkan selama dzikir adalah dari Allah sendiri.
Dua corak dzikir boleh diidentifikasikan : dzikir vokal atau bersuara dan dzikir diam. Meskipun dzikir vokal bisa dilaksanakan ketika Syaikh hadir selama pertemuan-pertemuan Ni’matullahiyah, atau kesempatan-kesempatan khusus, cara dzikir yang disukai dikalangan para pengikut tarikat Ni’matullahiyah adalah dzikir diam. Selain itu dzikir diam dapat dilaksanakan ditengah-tengah kegiatan sehari-hari.
Di atas dzikir ada sama’, yaitu konser mistik atau spritual. Alasan yang melandasi sama’ adalah bahwa ia menimbulkan keadaan ektasi pada pendengarnya yang dipersiapkan dengan baik.
Dalam tariqat Ni’matullahiyah, musik digunakan sejak awal sebagaimana majelis Syah Ni’matullah Wali tetapi ia disesuaikan, menurut pendapatnya dengan Syari’ah, dan mencegah adanya tarian dan gerakan memutar-mutarkan badan. Sama’ terdiri dari dzikir sederhana disertai tepukan tangan dan kadang-kadang menggunakan gendang kecil dan seruling. Para Syaikh tarikat ini kemudian hari mengembangkan seluruh peristilahan simbolik sufi yang mencakup anggur, musik, sama’, dan pertemuan-pertemuan bersama. Sama’ dirumuskan sebagai keadaan mistik yang dialami para sufi ketika terpengaruh oleh nyanyian yang merdu dan irama-irama yang menyayat hati. Dalam keadaan kosong tanpa pikiran, para sufi bisa mempertunjukkan gerakan-gerakan, seperti sejenis tarian.
Dengan mengikuti Syaikh Ruzbihan Baqli Syirazi ada tiga tipe sama’ yang diidentifikasikan ; yang sesuai untuk orang biasa, yang sesuai untuk orang pilihan dan yang sesuai untuk orang pilihan di antara orang pilihan. Al-Hujwiri menentang terlalu banyak sama’ dan menetapkan sejumlah syarat untuk melakukan sama’ dalam rangka menghindari penyalahgunaannya.
Fikir
Fikir atau tafakkur merupakan keharusan bagi setiap muslim bahkan menurut al-Ghazali berfikir atau bertafakkur itu lebih tinggi tingkatannya dibandingkan berzikir, karena berfikir pada hakikatnya adalah kegiatan untuk memperoleh pengetahuan. Para sufi mengatakan bahwa berfikir merupakan suatu jalan untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dalam arti yang hakiki.
Fikir adalah salah satu di antara lima macam peribadatan utama yang diwajibkan kepada darwisy Ni’matullahiyah. Allah adalah pusat fikir sufi yang mutlak, dengan pikiran yang sama sekali kosong dari semua hal lain. Fikir sufi ditanamkan dengan cinta dan mentransendensikan fikir tokoh atau intelektual (‘arif) yang mencoba mencapai Allah melalui perantara pengetahuan. Meskipun kontemplasi “yang rasional” terjalin di dalamnya, namun kontemplasi “yang didasarkan atas hati’ harus didapatkan. Para pengikut tarikat Ni’matullahiyah mengidentifikasikan tiga macam kontemplasi “yang didasarkan atas hati”: pertama, ada kontemplasi yang berkesinambungan dengan pencari Allah yang tidak memiliki Syaikh dan tarikat tetapi mulai memikirkan perlunya seorang pembimbing spritual; kedua, ada kontemplasi dari orang yang baru pertama kali memasuki jalan spritual di mana dia mempersepsi keindahan spritual Syaikhnya; dan, yang ketiga ada fikir yaitu kontemplasi dari ‘Sufi yang telah maju’ di mana ruhnya ‘terjun masuk ke dalam Kesatuan Tuhan’ dan akhirnya kontemplasi menjadi kebijaksanaan. Bagi pengikut tarikat Ni’matullahiyah hati menempati posisi di atas pikiran, dan bahwa cinta lebih kuat dan lebih potensial ketimbang akal.
Muraqabah
Secara ringkas muraqabah adalah awas mengawasi atau berintai-intaian. Ini dalam rangka pemantapan dari segi hakikat untuk memperoleh ma’rifat. Muraqabah adalah sikap waspada pada setiap saat, selalu mengawasi diri sendiri, menjaga diri dengan ketat agar terus menerus berada dalam garis taat dan jangan sampai menyeleweng kepada maksiat. Adapun Annemarie Schimmel menyebutkan muraqabah sebagai meditasi atau pemusatan diri pada ketenangan yang sempurna sehingga memungkinkan seseorang mengalami musyahadah (penyaksian tuhan). Tetapi penglihatan ini hanya dapat digambarkan sebagai kehadiran atau kedekatan yang disertai dengan ilm al-yakin, ain al-yakin dan pada tarap arif haq al-yaqin.
Javad Nurbaksh mengatakan muraqabah adalah dua bangsa yang satu sama lain saling memelihara dan melindungi. Para tokoh tarikat sudah mengemukakan tentang muraqabah bahwa sebagaimana Allah memelihara dan melindungi manusia, maka manusia pun dalam hatinya harus memelihara dan melindungi Allah. Selanjutnya Nurbaksh menyatakan ada dua arah muraqabah itu; dari Allah kepada makhluk dan dari makhluk kepada Allah.
Dalam menggambarkan arah pertama Nurbaksh segera mengikuti pernyataan dengan definisi dari Syaikh Ruzbihan bahwa muraqabah adalah kesadaran Ilahi terhadap setiap aspek penciptaan dari hadirat Allah sampai dengan gejala yang paling rendah, dan kemahapenglihatan-Nya dari semua sifat dengan tujuan memberikan rahmat kepada mereka.
Arah yang kedua muraqabah adalah dari makhluk kepada Allah yang terbagi menjadi arah muraqabah syari’ah, muraqabah iman, dan muraqabah Ilahiyyah, tetapi yang terakhir disebut ini diperuntukkan bagi wali Allah. Muraqabah harus ada di tempat yang kosong dan tidak ramai, dan dilaksanakan dalam keadaan tenang. Untuk menghindari segala macam gangguan pribadi tubuh kita harus bersih, menyenangkan dan bebas dari bau yang tidak sedap. Muraqabah semacam itu memiliki adab atau aturan ritual sendiri; misalnya, ia harus diawali dengan wudhu’, orang yang melakukan meditasi harus duduk di atas tanah menghadap kiblat, masih dalam keadaan mata tertutup, dan pikiran harus sepenuhnya dipusatkan pada Allah. Suatu upaya dilakukan untuk melenyapkan perasaan individu atau nafsu.
Sasaran muraqabah secara menyeluruh, tegas Nurbaksh adalah menjadi orang asing terhadap dunia ini dengan dualismenya “saya” dan “Engkau”. Allah menjadikan manusia mati terhadap dirinya dan kemudian dia hidup kembali dalam Allah.
Muhasabah
Muhasabah berarti menghitung, melakukan perhitungan. Muhasabah erat kaitannya dengan seorang sufi yang bernama Haris al-Muhasibi. Al-Muhasibi adalah seorang yang selalu menghitung dan mengintrosfeksi dirinya dan amal jeleknya dan karena ia terlalu banyak menghitung kesalahan dan dosa yang ada pada dirinya, maka dinamailah ia dengan al-Muhasibi. Beliau mengatakan muhasabah adalah membangkitkan akal untuk menjaga nafsu dari pengkhianatannya, agar kelebihannya lebih berperan daripada kekurangannya. Al-Ghazali mengingatkan agar orang jangan merasa aman oleh kerasnya hati yang disebabkan oleh dosa-dosa dan beliau memerintahkan agar merenung sambil menghitung diri. Jika merasa berdosa hendaknya bertobat, tapi jika tidak banyak dosa hendaknya bersyukur sambil memperbanyak ibadah.
Para pengikut tarikat Ni’matullahiyah menegaskan bahwa prinsip muhasabah mempunyai landasan al-Qur’an dan didukung oleh hadits. Tiga jenis muhasabah diidentifikasikan untuk pengikut Ni’matullahiyah ;
Muhasabah jiwa, yaitu sufi yang bersngkutan dinasihati untuk memeriksa kesadarannya selama beberapa menit setiap malam dan memeriksa secara rinci semua perbuatan negatif maupun positifnya pada hari yang bersangkutan.
Muhasabah Tariqat, merupakan corak pemeriksaan diri yang jauh lebih maju di mana sufi yang bersangkutan mencoba membebaskan diri dari rantai-rantai yang disebut sebagai “keserbaragaman” dan meraih kondisi yang lebih menyatu dan
Muhasabah Ilahiyyah, merupakan bentuk muhasabah tertinggi dan dianggap paling mulia bagi sufi Ni’matullahiyyah dan ini ditujukan kepada Syaikh tarikat.
Secara umum diakui bahwa langkah besar di jalan Allah, baik sufi ataupun bukan, terletak pada kesadaran terhadap jiwa dan kemampuan jiwa tersebut terhadap dosa. Muhasabah membukakan pintu-pintu menuju kepada kesadaran itu.
Wirid
Para pengikut tarikat Ni’matullahiyah membedakan antara dua tingkatan wirid: kata itu bisa menunjukkan pekerjaan harian seseorang dan juga doa harian seseorang. Pada tingkatan kedua yang lebih tinggi ia berarti pengulangan beberapa ayat al-Qur’an, hadits dan beberapa frase atau kata-kata pada saat-saat tertentu. Wirid semacam itu menuntut dua persyaratan sebelum ia dilakukan, yaitu kesucian hati dan izin dari Syaikh. Para pengikut tarikat Ni’matullahiyah mengutip etimologi kata-kata sufi dari al-Junaid, yang secara klasik diturunkan dari kata Arab suf (صوف) yang berarti bulu halus. Tetapi ditekankan bahwa ketiga huruf Arab (ص و ف ) yang membentuk kata suf itu, masing-masing memiliki makna mistik dan huruf waw ( و ) mewakili wirid dan doa pendek.
Pembacaan doa pendek secara berulang-ulang dimaksudkan untuk memusatkan diri seorang sufi seutuhnya kepada Allah, dan para pengikut tarikat Ni’matullahiyah menganggapnya pengamalan sangat penting diilhami dari al-Qur’an. Dengan demikian ia menempati peringkat kelima di antara lima prinsip utamanya.
Dalam buku petunjuk bagi para pengikut tarikat Ni’matullahiyah di Inggris, In the paradise of the Sufis, membagi wirid menjadi dua tingkatan; pertama, ada doa ritual Islam yang berbarengan dengan doa-doa lain yang disarankan; kedua, ada wirid di jalan sufi yang juga dibagi lagi menjadi dua sub-kategori; bacaan-bacaan pendek dari imam yang diikuti makmum setelah melakukan shalat lima waktu (misalnya Allahu Akbar sebanyak 33 kali), dan doa-doa khusus yang ditetapkan Syaikh tarikat.
Wirid dalam tarikat Ni’matullahiyah, dibagi menjadi dua, yaitu wirid biasa dibaca seusai shalat wajib dan wirid khusus yang diberikan guru tarikat. Di dalam jenis wirid kedua termasuk ayat-ayat al-Qur’an tertentu yang mesti dibaca berulang-ulang.
a. Wirid selepas shalat.
1. Secara berturut-turut membaca Allah Akbar 34 kali, Alhamdulillah 33 kali dan Subhanallah 33 kali
2. Setelah itu membaca laa ilaaha illallaah 3 atau 100 kali
3. Membaca ayat Kursi (QS. Al-Baqarah : 255-257)
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi tersu-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha tinggi lagi Maha Besar.
Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendenar lagi Maha Mengetahui.
Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
4. Setelah mengucapkan wirid di atas, pengikut tarikat bersujud sebagaimana bersujud waktu shalat. Seelah itu dia membaca sebanyak 3,5, atau 7 kali wirid berikut :
\Wahai Pembuka pintu kemurahan! Wahai Sumber semua keinginan! Wahai Penggerak hati dan mata! Wahai Pemelihara siang dan malam! Wahai Pengubah tenaga dan keadaan! Ubahlah kedaanku menjadi sebaik-baik keadaan!
Para penempuh jalan spritual (salik) juga dianjurkan membaca kunut setiap berakhirnya rakaat kedua shalat :
اللّهمّ نور ظاهري بطاعتك وباطني بمحبّتك وقلبي بمعرفتك وروحي بمشاهدتك وسري باستقلال اتصال حضرتك ياذاالجلال والإكرام. اللّهم اجعل قلبي نورا وبصري نورا ولساني نورا ويدي نورا ورجلي نورا وجميع جوارهني نورا يانور الأنوار. اللّهمّ أرنا الأشياء كما هي, اللّهمّ كن وجهتي فى كلّ وجه, ومقصدي فى كلّ قصد, وغايتي فى كلّ شيءٍ وملجائي وملذى فى كل شدة,ومحبّتي فى كلّ حال, وصلَّى الله على محمّد واله خير ال
Ya Allah, terangi wujud lahirku dengan ketaatan kepada-Mu, wujud batinku dengan kecintaan kepada-Mu, hatiku dengan makrifat tentang-Mu, rohku dengan penglihatan karib kepada-Mu, dan sir-ku dengan kesanggupan mencapai Arasy-Mu.
Wahai Yang Maha Besar dan Maha Agung! Ya Allah, terangi hatiku dan penglihatanku, pendengaranku, lidahku, tanganku, kakiku, dan seluruh tubuhku. Wahai cahaya segala cahaya!
Ya Allah, tunjukkan sesuatu sebagaimana adanya. Ya Allah, jadilah Engkau arahku setiap kali aku mengarah, sasaranku setiap kali aku mengincar, tujuanku dalam setiap aktivitas, tempat pelarian dan pendorongku dalam setiap kesukaran dan dukaku, kecintaanku dalam setiap situasi. Hanya dengan kemurahan dan kasih-sayang-Mu. Kekuatan-Mu dapat membimbing setiap perbuatanku. Ya Allah, li,pahkanlah shalawat dan salam atas Muhammad. Juga ataas keluarganya, sebaik-baik keluarga.
Syekh Bayazid al-Bhisthami, sufi abad ke-9 M, mengucapkan kunut yang indah dan bersahaja :
إلهي أنت أعلم ما نريد
Ya Allah, hanya Kau yang mengetahui keinginanku!
b. Wirid Khusus
Mengenai wirid khusus yang diberikan wali Tarikat Ni’matullah, di antaranya adalah :
1. Kutipan ayat al-Qur’an surah Al-Anbiya : 87, di baca 110 kali :
لاإله إلا أنت سبحانك إني كنت من الظّالمين
Tiada Tuhan selain Engkau (Allah), seluruh pujian hanya untuk-Mu, sesungguhnya aku termasuk di antara orang yang lalim.
Wirid di atas dikenal sebagai wirid Yunus. Dengan membaca wirid tersebut, Nabi Yunus a.s. dapat keluar dari perut ikan hiu.
2. Membaca 42 kali wirid berikut :
Wahai Yang Maha Hiudp dan Maha kekal! Wahai yang tiada Tuhan selain Engkau! Kepada rahmat-Mu semata aku berlindung!
3. Membaca 7 kali
سبحان الله وبحمده, سبحان الله العظيم وبحمده, أستغفر الله
MahaTerpuji dan segala puji kepada Tuhan. Maha Terpuji Allah Yang Maha Agung. Kepada Allah aku memohon ampunan.
4. Membaca 7 kali
بسم الله الرحمن الرحيم, لاحول ولا قوّة ألا باالله العليّ العظيم
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tiada kekuatan dan kuasa selain dari Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar.
5. Membaca 7 kali
Dialah Tuhan, tiada Tuhan selain Dia. Yang Maha Mengetahui yang gaib maupun yang nyata. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
6. Membaca ayat al-Qur’an surah al-Hasyr : 23-24
Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja Yang Maha Suci, Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk rupa, yang Mempunyai Nama-nama yang paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Selain itu, para Syaikh tarikat Ni’matullahiyah menganjurkan kepada ahli tarikat, khususnya dalam keadaan tertentu, seperti menghadapi bahaya dan lain-lain, untuk membaca : ayat al-Qur’an surah al-Baqarah : 163, Ali ‘Imran : 17, al- An’am : 103, al-Taubah : 129, Thaha : 7-8,98, al-Mukminun : 116, al-Naml : 26, al-Qashaa : 70, 88, al-Mu’min : 65, al-Taghabun : 13, al-Muzammil : 9. Juga dianjurkan membaca surah al-Waqi’ah dan al-Mulk.
3. Aturan Hidup
Orang yang telah melaksanakan inisiasi dan mendapat izin formal untuk masuk ke dalam khanaqah, maka kewajiban selanjutnya adalah mengikuti aturan rumah tangga dan berprilaku dengan tatacara atau adabnya. Aturan itu didasarkan atas dua pilar pertimbangan Allah dan pertimbangan untuk sesama pengikut atau anggota. Sufi-sufi dibimbing untuk berpakaian rapi, melupakan urusan duniawi pada saat masuk khanaqah, mengikuti pertemuan-pertemuan sufi pada hari Ahad dan Kamis malam, tetap diam dan memberi penghormatan ketika Syaikh hadir dan menceritakan kepadanya impian-impian mereka, mentaati perintah-perintah (Syaikh) Penasihat dan mencegah perilaku sombong, menipu dan takabur.
Aturan hidup itu diakhiri dengan perintah-perintah untuk penyelenggaraan pertemuan sufi yang dirumuskan sebgai persidangan yang diadakan ketika qutb atau Syaikh hadir. Aturan tentang sikap jasmani, yang semuanya memiliki makna simbolik, dijelaskan secara rinci dan penekanan diletakkan pada sikap diam dan berkonsentrasi kepada Allah. Beberapa ritual tertentu juga dilakukan pada waktu menggelar kain di lantai untuk makan dan makanan yang dimakan daripadanya. Bagian terakhir dari seluruh aturan adalah nasihat secara umum. Di sini sufi diingatkan akan perlunya keterbukaan dan persahabatan dengan orang-orang dari segala macam bangsa dan agama dan perlu para sufi itu memusatkan pemikirannya kepada Allah, yang Maha Dicintai
D. Analisa
Tariqat Ni’matullahiyah merupakan tarikat yang lebih banyak berkembang di Amerika Serikat, Eropa Barat (termasuk Inggris), Australia dan Afrika. Karena itu tarikat Ni’matullahiyah dikatakan sebagai tarikat internasional yang diikuti oleh dunia internasional dari banyak bangsa. Dan sepanjang pengetahuan penulis tariqat ini tidak berkembang di Indonesia, sehingga sulit untuk mengetahui silsilah dari tarikat ini secara rinci.
Adapun silsilah dari tarikat ini yang penulis ketahui adalah terdiri Syah Nimatullah Wali boleh diruntut kembali silsilahnya melalui Syaiknya sendiri, Abdullah al-Yafi’i dan syaikhnya, Syaikh Salih al-Barbari, melalui orang-orang penting seperti Ahmad al-Ghazali, Junaid al-Bagdadi, dan al-Hasan al-Basri hingga sampai keadaan Ali bin Abi Thalib dan Nabi Muhammad sendiri.
Dalam ajaran tariqat Ni’matullahiyah ini ada terdapat istilah “LIMA” yaitu lima kali wudhu’, lima macam hadiah atau pemberian dan lima macam komitmen serta lima prinsip utama. Lima prinsip utama seperti dzikir, fikir, muraqabah, muhasabah dan wirid ini merupakan satu pengertian yang mirip dengan arkan al-Islam. Namun perlu ditekankan bahwa tarikat Ni’matullahiyah sama sekali tidak menganggap kelima prinsip mereka sebagai pengganti lima arkan pokok Islam. Sebaliknya prinsip-prinsip itu adalah suplemen-suplemen spritual yang didasarkan pada al-Qur’an dan dimaksudkan untuk membimbing orang mu’min menuju pemahaman peribadatan Islam secara lebih mendalam.
Dalam tariaat Ni’matullahiyah tidak didapati ajaran-ajaran yang menolak pengamalan-pengamalan ritual pokok Islam, bahkan sebaliknya dalam tarikat ini ditegaskan akan pelaksanaan shalat lima waktu setiap hari secara teratur tanpa meninggalkannya secara syari’at Islam. Ini menunjukkan bahwa dalam mencapai tujuannya yaitu maju ke tingkat spritual yang lebih tinggi, tarikat Ni’matullahiyah ini tidak meninggalkan ketetapan-ketetapan syari’at. Dan yang paling menarik adalah bahwa adab atau tatacara dalam melaksanakan semua ajarannya (lima prinsip utama) ini melibatkan gabungan aspek jasmani dan kegiatan mental (ruhani) dan bagi sufi itu sendiri jasmani menggunakan penyerahan diri kepada jiwa melalui ritual-ritual peribadatannya dan yakin bahwa dia berada di jalan menuju Allah.
Jadi tariqat Ni’matullahiyah merupakan tarikat yang memperhatikan keseimbangan antara ruhani dan jasmani, antara dimensi batin dan dimensi lahir. Ini menunjukkan bahwa tarikat ini sesuai dengan tasawuf modern yang berusaha mencari keseimbangan di antara dunia dan akhirat. Di samping itu tarikat ini juga tidak pernah menjadi tarikat aristokratik,atau tariqat yang hanya diarahkan pada salah satu kelas masyarakat saja. Sebaliknya ia bisa terbuka untuk siapa saja. Di sini para sufi diperingatkan perlunya keterbukaan dan persahabatan dengan orang-orang dari segala macam bangsa dan agama dan perlu para sufi itu memusatkan pemikirannya kepada Allah, yang Maha Dicintai. Sehingga adalah wajar jika tarikat ini berkembang justru di kota-kota atau negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, dan sebagainya.
Walau demikian tampaknya tarikat ini bertujuan tidak hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, namun lebih jauh lagi tarikat ini berusaha untuk bisa menyatu dengan Tuhan. Hal ini dapat kita lihat, misalnya dalam kontemplasinya atau fikir dari sufinya yang telah maju di mana ruhnya terjun masuk ke dalam kesatuan Tuhan dan akhirnya kontemplasi menjadi kebijaksanaan. Bagi pengikut tarikat ini hati menempati posisi di atas fikiran, dan bahwa cinta lebih kuat dan lebih potensial ketimbang akal. Demikian pula dalam muraqabahnya, Allah menjadikan manusia mati terhadap dirinya dan kemudian dia hidup kembali dalam Allah. Adanya tujuan untuk bisa menyatu dengan Tuhan ini kelihatannya karena adanya pengaruh ajaran dari Abu Yazid al-Bisthami dengan paham ittihadnya dan juga Ibnu ‘Arabi dengan paham wihdatul wujud nya.
Ada satu hal yang perlu mendapat perhatian di dalam tariqat Ni’matullahiyah ini, yaitu bagi pencari jalan (sufi) yang ingin memasuki apa yang diistilahkan sebagai ‘lingkaran kemiskinan spritual’, sebelumnya dia dituntut untuk menyatakan lima komitmen kepada Syaikh. Dan salah satu komitmen itu adalah dia harus mengikuti dan mentaati syari’ah, dengan ujian, jika belum memeluk Islam sebelumnya dengan mengucapkan syahadat dan menambahnya dengan kesaksian lain bahwa “Ali adalah wali Allah”. Ini menunjukkan bahwa dalam tarikat Ni’matullahiyah terdapat ajaran-ajaran Syi’ah. Dan ini adalah wajar karena tarikat ini muncul dan berkembang di negara Iran, yang tentunya secara historis maupun secara kultural, aliran Syi’ah telah dan sangat eksis di negara ini dan tentunya dapat memberi pengaruh terhadap ajaran-ajaran tarikatnya.
Dalam hal ini perlu pula kita melihat pendapatnya Graham : bahwa keturunan langsung dari Syah Ni’matullah maupun Ali Hamadani berbalik kepada kelompok Syi’ah adalah sekedar refleksi dari kelenturan dan toleransi dalam hubungannya dengan bentuk-bentuk lahiriyah yang telah mereka ajarkan, di mana lingkungan sosial dan politik terpaksa dihadapkan pada tuntutan penyesuaian dengan bentuk tertentu dengan tujuan melindungi metode esensialnya yaitu menjaga dan mengamankan tarikat. Di samping itu Pourjavady dan Wilson mengatakan : karena para pengikut tarikat Ni’matullahiyah sekarang kurang lebihnya adalah tarikat Syiah maka di sana ada godaan untuk menganggap bahwa pernyataan syah Ni’matullah itu dalam kerangka doktrin Syi’ah. Namun sebenarnya adalah Syah Ni’matullah dilahirkan dan sangat boleh jadi meninggal sebagai seorang Sunni.
Tariqat Ni’matullahiyah ini tidak berkembang di Indonesia, ini mungkin dikarenakan tidak adanya guru atau Syaikh-nya yang berusaha mengembangkannya. Di samping itu mungkin pula karena ada ajaran-ajarannya yang sama dengan aliran Syi’ah sehingga tarikat ini sulit berkembang di Indonesia. Karena bagaimanapun di negara kita, aliran Syi’ah, terutama Syi’ah yang ekstrim ditolak kehadirannya. Hal ini dapat kita lihat dari hasil keputusan “Seminar Nasional Sehari tentang Syi’ah” tepatnya tangggal 21 September 1997 di Mesjid Istiqlal, Jakarta. Meskipun demikian perlu juga untuk kita ketahui bersama bahwa di negara kita ini ada saja orang yang menganut aliran Syiah terutama Syi’ah moderat dan ini telah lama ada, namun karena mereka pandai untuk menutup diri dangan ajaran taqiyahnya, sehingga sulit dan berat untuk melacak gerakan mereka.
E. Penutup
Dari uraian di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa Tariqat Ni’matullahiyah didirikan oleh Nuruddin Syah Ni’matullah Wali. Tarikat ini didirikan di Mahan dekat Kirman barat daya Iran. Para pengikutnya terutama di Iran dan India. Dan sekarang sudah berkembang sampai ke negara Amerika Serikat, Eropa Timur, Australia dan Afrika.
Syah Ni’matullah menjadikan doktrin yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi sebagai ilmu terapan dan ajaran-ajaran Ibnu Arabi merupakan latar belakang teoritik bagi program latihan syah Ni’matullah. Dalam peribadatan tarikat ini adalah istilah “inisiasi atau upacara” ini meliputi lima kali wudhu’, lima macam hadiah atau pemberian dan lima macam komitmen, yang berbarengan dengan lima prinsip utama yang ditetapkan oleh para pengikut Ni’matullahiyah, yang menunjukkan angka Lima merupakan angka favorit dalam tarikat itu.
Lima prinsip utama terdiri dari (1) zikr, (2) fikr, (3) muraqabah, (4) muhasabah, dan (5) wirid.
Meskipun ada yang menganggap tarikat Ni’matullahiyah ini sebagai tarikat Syi’ah, namun ada juga hal yang menarik di dalam ajarannya di mana tarikat Ni’matullahiyah ini lebih menekankan pada toleransi, persaudaraan, persamaan, dan peribadatan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan