Catatan Popular

Jumaat, 4 November 2011

IMAM AL QUSYAIRI : PENGARANG KITAB TERKENAL RISALAH QUSYAIRI


Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al Qusyairi. Nasabnya, Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad. Panggilannya Abul Qasim, sedangkan gelarnya cukup banyak, antara lain yang bisa kita sebutkan:

-Naisaburi
Dihubungkan dengan Naisabur atau Syabur, sebuah kota di Khurasan, salah satu ibu kota terbesar Negara Islam pada abad pertengahan disamping Balkh, Harrat dan Marw. Kota di mana Umar Khayyam dan penyair sufi Fariduddin ‘Atthaar lahir. Dan kota ini pernah mengalami kehancuran akibat perang dan bencana. Sementara di kota inilah hidup Maha Guru asy Syeikh al Qusyairi hingga akhir hayatnya.

-Qusyairi.
Dalam kitab al Ansaab’ disebutkan, al Qusyairy sebenarnya dihubungkan kepada Qusyair. Sementara dalam Taajul Arus disebutkan, bahwa Qusyair adalah marga dari suku Qahthaniyah yang menempati wilayah Hadhramaut. Sedangkan dalam Mu’jamu Qabailil ‘Arab disebutkan, Qusyair adalah Ibnu Ka’b bin Rabi’ah bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Mereka mempunyai beberapa cucu cicit. Keluarga besar Qusyairy ini bersemangat memasuki Islam, lantas mereka datang berbondong bondong ke Khurasan di zaman Umayah. Mereka pun ikut berperang ketika membuka wilayah Syam dan Irak. Di antara mata rantai keluarganya adalah para pemimpin di Khurasan dan Naisabur, namun ada juga yang memasuki wilayah Andalusia pada saat penyerangan di sana.
  1. Al-Istiwaiy
    Mereka yang datang ke Khurasan dari Astawa berasal dari Arab. Sebuah negeri besar di wilayah Naisabur, memiliki desa yang begitu banyak. Batas batasnya berhimpitan dengan batas wilayah Nasa. Dan dari kota itu pula para Ulama pernah lahir.
  2. Asy-Syafi’y
    Dihubungkan pada mazhab asy Syafi’y yang dilandaskan oleh Muhammad bin Idris bin Syafi’y (150 204 H./767 820 M.).
  3. Gelar Kehormatan
    Ia memiliki gelar gelar kehormatan, seperti: Al Imam, al Ustadz, asy Syeikh (Maha Guru), Zainul Islam, al jaa’mi bainas Syariah wal haqiqat (Pengintegrasi antara Syariat dan Hakikat), dan seterusnya.
Nama nama (gelar) ini diucapkan sebagai penghormatan atas kedudukannya yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan di dunia islam dan dunia tasawuf

Nasab Ibundanya:

Beliau mempunyai hubungan dari arah ibundanya pada as Sulamy. Sedangkan pamannya, Abu Uqail as Sulamy, salah seorang pemuka wilayah Astawa. Sementara nasab pada as Sulamy, terdapat beberapa pandangan. Pertama, as Sulamy adalah nasab pada Sulaim, yaitu kabilah Arab yang sangat terkenal. Nasabnya, Sulaim bin Manshur bin Ikrimah bin Khafdhah bin Qais bin Ailan bin Nashr. Kedua, as Salamy yang dihubungan pada Bani Salamah. Mereka adalah salah satu keluarga Anshar. Nisbat ini berbeda dengan kriterianya.

Kelahiran dan Wafatnya

Ketika ditanya tentang kelahirannya, al Qusyairy mengatakan, bahwa ia lahir di Astawa pada bulan Rablul Awal tahun 376 H. atau tahun 986 M. Syuja’ al Hadzaly menandaskan, beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l 073 M. Ketika itu usianya 87 tahun.
Ia dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.

Kehidupan Al-Qusyairi

Tidak banyak diketahui mengenai masa kecil al-Qusyairy, kecuali hanya sedikit sahaja.. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan padaAbul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al Qusyairy. Pada al Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra.
Para penguasa negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat.
Naisabur ketika itu merupakan ibu kota Khurasan. Seperti sebelumnya, kota ini merupakan pusat para Ulama dan memberikan peluang besar berbagai disiplin ilmu. Syeikh al Qusyairy sampal di Naisabur, dan di sanalah beliau mengenal Syeikh Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan panggilan ad-Daqqaq, seorang pemuka pada zamannya. Ketika mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan.
Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, memilih jalan Tharikat.
Ustadz asy Syeikh mengungkapkan panggilannya pada Abu Ali ad-Daqqaq dengan panggilan asy-Syahid.

Kepandaian Berkuda

Al Qusyairy dikenal sebagai penunggang kuda yang hebat, dan ia memiliki keterampilan permainan pedang serta senjata sangat mengagumkan.

Perkahwinan

Syeikh al-Qusyairy mengawini Fatimah putri gurunya, Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury (ad Daqqaq). Fatimah adalah seorang wanita yang memiliki prestasi di bidang pengetahuan sastra, dan tergolong wanita ahli ibadat di masanya, serta meriwayatkan beberapa hadis. Perkawinannya berlangsung antara tahun 405 412 H./1014-1021 M.

Putera Puterinya

Al Qusyairy berputra enam orang dan seorang putri. Putra-putranya menggunakan nama Abdu. Secara berurutan: 1) Abu Sa’id Abdullah, 2) Abu Sa’id Abdul Wahid, 3) Abu Manshur Abdurrahman, 4) Abu an Nashr Abdurrahim, yang pernah berpolemik dengan pengikut teologi Hanbaly karena berpegang pada mazhab Asy’ari. Abu an Nashr wafat tahun 514 H/1120 M. di Naisabur, 5) Abul Fath Ubaidillah, dan 6) Abul Mudzaffar Abdul Mun’im. Sedangkan seorang putrinya, bernama Amatul Karim.
Di antara salah satu cucunya adalah Abul As’ad Hibbatur-Rahman bin Abu Sa’id bin Abul Qasim al Qusyairy.

Menunaikan Haji

Maha Guru imam ini menunaikan kewajiban haji bersamaan dengan para Ulama terkenal, antara lain: 1) Syeikh Abu Muhammad Abdullah binYusuf al-Juwainy (wafat 438 H./1047 M.), salah seorang Ulama tafsir, bahasa dan fiqih, 2) Syeikh Abu Bakr Ahmad ibnul Husain al-Balhaqy (384 458 H./994 1066 M.), seorang Ulama pengarang besar, dan 3) Sejumlah besar Ulama ulama masyhur yang sangat dihormati ketika itu.

Belajar dan Mengajar

Para guru yang menjadi pembimbing Syeikh al Qusyairy tercatat:
  1. Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan nama ad-Daqqaq.
  2. Abu Abdurrahman – Muhammad ibnul Husain bin Muhammad al-Azdy as Sulamy an Naisabury (325 412 H./936 1021 M.), seorang Ulama Sufi besar, pengarang sekaligus sejarawan.
  3. Abu Bakr – Muhammad bin Abu Bakr ath-Thausy (385 460 H./995 1067 M.). Maha Guru al Qusyairy belajar bidang fiqih kepadanya. Studi itu berlangsung tahun 408 H./1017 M.
  4. Abu Bakr – Muhammad ibnul Husain bin Furak al Anshary al-Ashbahany (wafat 406 H./1015 M.), seorang Ulama ahli Ilmu Ushul. Kepadanya, beliau belajar ilmu Kalam.
  5. Abu Ishaq – Ibrahim bin Muhammad bin Mahran al Asfarayainy (wafat 418 H./1027 M.), Ulama fiqih dan ushul. Hadir di Asfarayain. Di sana (Naisabur) beliau dibangunkan sebuah madrasah yang cukup besar, dan al-Qusyairy belajar di sana. Di antara karya Abu Ishaq adalah al-jaami’ dan ar-Risalah. Ia pernah berpolemik dengan kaum Mu’tazilah. Pada syeikh inilah al-Qusyairy belajar Ushuluddin.
  6. Abul Abbas bin Syuraih. Kepadanya al-Qusyairy belajar bidang fiqih.
  7. Abu Manshur – Abdul Qahir bin Muhammad al Baghdady at-Tamimy al-Asfarayainy (wafat 429 H./1037 M.), lahir dan besar di Baghdad, kemudian menetap di Naisabur, lalu wafat di Asfarayain.
Di antara karya karyanya, Ushuluddin; Tafsiru Asmaail Husna; dan Fadhaihul Qadariyah. Kepadanya al Qusyairy belaj’ar mazhab Syafi’y.
Disiplin Ilmu Keagamaan
  • Ushuluddin: Al Qusyairy belaj’ar bidang Ushuluddin menurut mazhab Imam Abul Hasan al Asy’ary.
  • Fiqih: Al Qusyairy dikenal pula sebagai ahli fiqih mazhab Syafi’y.
  • Tasawuf: Beliau seorang Sufi yang benar benar jujur dalam ketasawufannya, ikhlas dalam mempertahankan tasawuf Komitmennya terhadap tasawuf begitu dalam. Beliau menulis buku Risalatul Qusyairiyah, sebagaimana komitmennya terhadap kebenaran teologi Asy’ary yang dipahami sebagai konteks spirit hakikat Islam. Dalam pleldoinya terhadap teologi Asy’ary, beliau menulis buku: Syakayatu Ahlis Sunnah bi Hikayati maa Naalahum minal Mihnah.
Karena itu al Qusyairy juga dikenal sebagai teolog, seorang hafidz dan ahli hadis, ahli bahasa dan sastra, seorang pengarang dan penyair, ahli dalam bidang kaligrafi, penunggang kuda yang berani. Namun dunia tasawuf lebih dominan dan lebih populer bagi kebesarannya.

Forum Imla’
Maha Guru al Qusyairy dikenal sebagai imam di zamannya. Di Baghdad misalnya, beliau mempunyai forum imla’ hadis, pada tahun 32 H./1040 M. Hal itu terlihat dalam bait bait syairnya. Kemudian forum tersebut berhenti. Namun dimulai lagi ketika kembali ke Naisabur tahun 455 H./1063 M.

Forum Muzakarah

Maha Guru al Qusyairy juga sebagai pemuka forum-forum muzakarah. Ucapan-ucapannya sangat membekas dalam jiwa ummat manusia. Abul Hasan Ali bin Hasan al-Bakhrazy menyebutkan pada tahun 462 H./1070 M dengan memujinya bahwa al-Qusyairy sangat indah nasihat-nasihatnya. “Seandainya batu itu dibelah dengan cambuk peringatannya, pasti batu itu meleleh. seandainya iblis bergabung dalam majelis pengajiannya, bisa bisa iblis bertobat. Seandainya harus dipilah mengenai keutamaan ucapannya, pasti terpuaskan.
Hal yang senada disebutkan oleh al-Khatib dalam buku sejarahnya, Ketika Maha Guru ini datang ke Baghdad, kemudian berbicara di sana, kami menulis semua ucapannya. Beliau seorang yang terpercaya, sangat hebat nasihatnya dan sangat manis isyaratnya.”
Ibnu Khalikan dalam Waftyatul Ayan, menyebutkan nada yang memujinya, begitu pula dalam Thabaqatus Syafi’iyah, karya Tajudddin as-Subky.

Murid-muridnya yang Terkenal
  • Abu Bakr – Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatib al-Baghdady (392463 H./1002 1072 M.).
  • Abu Ibrahim – Ismail bin Husain al-Husainy (wafat 531 H./l 137 M.)
  • Abu Muhammad – Ismail bin Abul Qasim al-Ghazy an-Naisabury.
  • Abul Qasim – Sulaiman bin Nashir bin Imran al-Anshary (wafat 512 H/118 M.)
  • Abu Bakr – Syah bin Ahmad asy-Syadiyakhy.
  • Abu Muhammad – Abdul Jabbar bin Muhammad bin Ahmad al-Khawary.
  • Abu Bakr bin Abdurrahman bin Abdullah al-Bahity.
  • Abu Muhammad – Abdullah bin Atha’al-Ibrahimy al-Harawy.
  • Abu Abdullah – Muhammad ibnul Fadhl bin Ahmad al-Farawy (441530 H./1050 1136 M.)
  • Abdul Wahab ibnus Syah Abul Futuh asy-Syadiyakhy an-Naisabury.
  • Abu Ali – al-Fadhl bin Muhammad bin Ali al-Qashbany (444 H/ 1052 M).
  • Abul Tath – Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Khuzaimy.
Cubaan yang Mendatang

Ketika popularitinya di Naisabur semakin meluas, Maha Guru telah mendapatkan cobaan melalui taburan kedengkian dan dendam dari jiwa para fuqaha di kota tersebut. Para fuqaha tersebut menganjurkan agar menghalangi langkah langkah popularitasnya dengan menyebar propaganda. Fitnah itu dilemparkan dengan membuat tuduhan tuduhan dusta dan kebohongan kepada orang orang di sekitar Syeikh. Dan fitnah itu benar benar berhasil dalam merekayasa mereka. Ketika itulah al Qusyairy ditimpa bencana yang begitu dahsyat, dengan berbagai ragam siksaan, cacian dan pengusiran, sebagaimana diceritakan oleh as-Subky.
Mereka yang mengecam. Al-Qusyairy rata-rata kaum Mu’tazilah dan neo-Hanbalian, yang memiliki pengaruh dalam pemerintahan Saljuk. Mereka menuntut agar sang raja menangkap al-Qusyairy, dicekal dari aktivitas dakwah dan dilaknati di berbagai masjid-masjid di negeri itu.
Akhirnya para murid muridnya bercerai-berai, orang-orang pun mulai menyingkir darinya. Sedangkan majelis-majelis dzikir yang didirikan oleh Maha Guru ini dikosongkan. Akhirnya, bencana itu sampai pada puncaknya, Maha Guru harus keluar dari Naisabur dalam keadaan terusir, hingga cobaan ini berlangsung selama limabelas tahun, yakni tahun 440 H. sampai tahun 455 H. Di selasela masa yang getir itu, beliau pergi ke Baghdad, dimana beliau dimuliakan oleh Khallfah yang berkuasa. Pada waktu waktu luangnya, beliau pergi ke Thous.
Ketika peristiwa Thurghulbeg yang tragis berakhir dan tampuk Khalifah diambil alih oleh Abu Syuja’, al-Qusyairy kembali bersama rombongan berhijrah dari Khurasan ke Naisabur, hingga sepuluh tahun di kota itu. Sebuah masa yang sangat membahagiakan dirinya, karena pengikut dan murid-muridnya bertambah banyak.


KITAB RISALAH AL QUSYAIRI PENGENALAN & BAB 1: TAUBAT
PENDAHULUAN
Al-Qusyairi menyatakan bahawa dia sangat mentakzimkan Al-Daqqaq, sehinggakan dia selalu berpuasa dan melakukan ghusl (mandi bersuci) pada hari dia akan pergi menemuinya.

Selama hidupnya, Al-Qusyairi mengkaji hadith bersama sekurang-kurangnya 17 pakar hadith dan selanjutnya mengajarkan hadith kepada 60 murid. Dari pengajian hadith, Al- Qusyairi bukan saja mendapatkan penguasaan atas Sunnah dan aplikasinya pada sufisme. Tetapi juga kaedah yang ditempuhnya dalam menulis Ar-Risalah, kumpulan hadith.
Terdapat pedoman tentang cara menempuh jalan sufi, iaitu bahagian Ar-Risalah yang menceritakan tentang ahwal (keadaan-keadaan) dan maqamat (tahap-tahap). Al-Qusyairi menggambarkan tahap-tahap sebagai hasil usaha si pencari. Sebaliknya, keadaan-keadaan datang sendiri ke hati; si penerima tidak berniat mendapatkannya. “Keadaan-keadaan diberikan (oleh Tuhan); tahap-tahap diperoleh melalui usaha."
 TAUBAT
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahawa Rasulullah saw mengatakan - ‘Orang yang bertaubat dari dosa adalah seperti orang yang tidak berdoa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, nescaya dosa tidak melekat pada dirinya.’
Ketika beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, apa tandanya taubat?”, baginda menjawab, “Menyesali kesalahan.”
Anas bin Malik meriwayatkan bahawa Rasulullah saw mengatakan, “Tiada sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah selain pemuda yang bertaubat.”
Makna taubat dalam bahasa Arab adalah kembali – ia merupakan tingkat pertama di antara tingkat-tingkat yang dialami oleh sufi, dan tahap pertama di antara tahap-tahap yang dicapai oleh salik (si penempuh jalan Allah).
Sebuah hadis mengatakan, “Juru-ingat Tuhan di dalam hati setiap insan adalah Muslim.”
Abu Hafs Al-Haddad mengatakan, “Saya meninggalkan suatu perbuatan tercela, lalu kembali kepadanya. Kemudian perbuatan itu meninggalkan saya, dan sesudah itu saya tidak kembali kepadanya.”
Syeikh Abu Ali Al-Daqqaq mengatakan, “Salah seorang murid bertaubat, kemudian menerima ujian. Dia bertanya-tanya di dalam hati, “Jika saya bertaubat, bagaimanakah keadaan saya nanti?”
Syeikh Abu Ali Al-Daqqaq pula mengatakan: Taubat dibahagikan menjadi 3 tahap: tahap awal ialah tawbah (taubat), tahap tengah adalah inabah (berpaling kepada Tuhan), dan tahap akhir adalah awbah (kembali).
Al-Junaid menyatakan, “Taubat mempunyai 3 makna. Pertama menyesali kesalahan; kedua tetap hati untuk tidak kembali kepada apa yang telah dilarang oleh Allah SWT, dan ketiga adalah menyelesaikan keluhan orang terhadap dirinya.”
Sahl Ibn Abdullah menyatakan, “Taubat adalah menghentikan sikap suka menunda-nunda.”
Al-Harith menegaskan, “Saya tidak pernah mengatakan , “Wahai Tuhanku, aku memohon ampunan-Mu.’ Saya mengatakan, ‘Kurniakan kepadaku, wahai Tuhan, kerinduan untuk bertaubat.’
Al-Junaid mengunjungi As-Sari pada suatu hari, dan mendapatinya sedang kebingungan. Dia bertanya, “Apa yang terjadi atas dirimu?”
As-Sari menjawab, “Aku bertemu dengan seorang pemuda, dan dia bertanya tentang taubat kepadaku. Ku beritahu dia – ‘Taubat adalah engkau tidak melupakan dosa-dosamu.’ Lantas dia menegurku dengan mengatakan, ‘Taubat adalah bahawa engkau benar-benar melupakan dosa-dosamu.’ Al-Junaid mengatakan bahawa yang dikatakan oleh pemuda itulah yang benar. As-Sari bertanya kepadanya mengapa dia berpendapat seperti itu. Al-Junaid menjawab, ‘Kerana apabila aku kafir dan kemudian Dia membimbingku menjadi Muslim, maka ingatan akan kekafiran dalam taubat merupakan kekafiran.’ As-Sari lalu terdiam.
Al-Junaid merujuk taubatnya orang-orang yang telah mencapai kebenaran, yang tidak ingat akan dosa-dosa mereka lagi kerana keagungan Allah SWT telah menguasai hati mereka, dan dzikr (mengingat Dia) yang terus mereka lakukan.
Menurut Ruwaym, : ia adalah taubat dari taubat.
Dzun Nun Al-Mishri memberi penjelasan, “Taubat dari kalangan orang awam adalah taubat dari dosa, dan taubat kaum terpilih adalah taubat dari kealpaan.”
Abul Hussain An-Nuri mengatakan, “Taubat adalah bahawa engkau berpaling dari segala sesuatu selain Allah SWT.”
Yahya bin Muaz berdoa, “Wahai Tuhanku, aku tidak mengatakan bahawa aku telah bertaubat. Aku tidak kembali kepada-Mu dikeranakan sesuatu yang menurutku adalah kecenderunganku, aku tidak bersumpah bahawa aku tidak akan berbuat dosa lagi, kerana aku mengetahui kelemahanku sendiri. Aku tidak mengatakan bahawa aku kembali kepada-Mu kerana boleh jadi aku mati sebelum kembali dengan sunguh-sungguh.”
Dzun Nun mengatakan, “Permohonan keampunan diajukan dengan tidak disertai warak adalah taubatnya para pendusta.”
Ketika Ibn Yazdanyar ditanya tentang prinsip-prinsip yang menjadi asas perjalanan seorang hamba menuju Tuhan, dia menjawab, “Prinsip-prinsip yang engkau maksudkan ialah bahawa dia tidak kembali kepada sesuatu yang telah dia tinggalkan, tidak meminta segala sesuatu selain Yang Esa yang kepada Nya dia menuju, dan menjaga lubuk hatinya dari menginginkan sesuatu yang darinya dia telah menjauhkan diri.”
“Taubat ialah saat di mana engkau mengingat dosa dan tidak menemukan kemanisan di dalamnya.”, kata Al-Bunsyanji.
“Perasaan taubat adalah bahawa bumi ini terlalu sempit bagimu meskipun ia luas sehingga engkau tidak menjumpai tempat untuk beristirehat. Lalu engkau merasakan jiwamu terbatas, kerana Allah SWT telah mengatakan dia dalam kitab Nya bermaksud, “Dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahawa tidak ada tempat lari dari (sika) Allah, melainkan kepada-Nya sahaja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.” (Taubah, 9:118)
Ibn Atha’ mengatakan “Terdapat dua jenis taubat: inabah (kembali) dan istijabah (menjawab atau memenuhi) Dalam inabahsang hamba bertaubat kerana takut akan hukuman; dalam istijabah dia bertaubat kerana malu akan kedermawan-Nya.
Abu Hafs mengatakan, “Seorang hamba tidak bersangkut paut dengan taubat. Taubat datang kepadanya, bukan dari dirinya.”
Abu Hafs ditanya, “Mengapa orang-orang bertaubat membenci dunia?” Dia menjawab, “Kerana ia merupakan tempat dosa-dosa dikejar.” Dan dikatakan kepadanya, “Ia juga tempat tinggal yang dijunjung tinggi oleh Tuhan dengan taubat. Dia mengatakan, “Pendosa mendapatkan keyakinan dari dosanya, tetapi mendapatkan bahaya dari penerimaan atas taubatnya.”
Diriwayatkan bahawa Allah SWT berfirman kepada Adam“Wahai Adam, Aku telah mewariskan anak cucumubeban dan penderitaan Aku juga telah mewariskan kepada mereka taubat. Aku menjawab seorang di antara mereka, yang berdoa dengan sunguh-sungguh kepada Ku sebagaimana kamu telah berdoa kepada-Ku, sama sebagaimana Aku menjawabmu. Wahai Adam, Aku akan membangkitkan orang-orang yang bertaubat dari kubur-kubur mereka dalam keadaan gembira; doa mereka akan Ku-jawab.”
Diriwayatkan seseorang telah bertanya kepada Rabiah, "Saya telah sering berbuat dosa dan menjadi semakin tidak taat. Tetapi, apabila saya bertaubat, apakah Dia akan mengampuninya?" Rabiah menjawab: 'Tidak - tetapi apabila Dia mengampunimu, maka engkau akan bertaubat.'
Adalah perbuatan Nabi Muhammad saw bertaubat terus-menerus. Beliau mengatakan, “Hatiku suram, oleh kerana itu aku memohon ampunan Allah 70 kali dalam sehari.”
Yahya bin Muaz menyatakan, “Satu penyelewangan saja sesudah taubat lebih patut ditakuti berbanding 70 penyelewengan sebelum taubat.”
وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَـٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَـٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَا‌ۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِہِنَّ‌ۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآٮِٕهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآٮِٕهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٲنِهِنَّ أَوۡ بَنِىٓ إِخۡوَٲنِهِنَّ أَوۡ بَنِىٓ أَخَوَٲتِهِنَّ أَوۡ نِسَآٮِٕهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَـٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّـٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِى ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٲتِ ٱلنِّسَآءِ‌ۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ‌ۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ 
Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman supaya menyekat pandangan mereka (daripada memandang yang haram) dan memelihara kehormatan mereka dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka kecuali yang zahir daripadanya; dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya dengan tudung kepala mereka; dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka melainkan kepada suami mereka atau bapa mereka atau bapa mertua mereka atau anak-anak mereka, atau anak-anak tiri mereka atau saudara-saudara mereka atau anak bagi saudara-saudara mereka yang lelaki atau anak bagi saudara-saudara mereka yang perempuan, atau perempuan-perempuan Islam atau hamba-hamba mereka atau orang gaji dari orang-orang lelaki yang telah tua dan tidak berkeinginan kepada perempuan atau kanak-kanak yang belum mengerti lagi tentang aurat perempuan dan janganlah mereka menghentakkan kaki untuk diketahui orang akan apa yang tersembunyi dari perhiasan mereka dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu berjaya. (An-Nur:31)
وَيَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِ‌ۖ قُلۡ هُوَ أَذً۬ى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلۡمَحِيضِ‌ۖ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَ‌ۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٲبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ

Dan mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad), mengenai (hukum) haid. Katakanlah: Darah haid itu satu benda yang (menjijikkan dan) mendatangkan mudarat. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan (jangan bersetubuh dengan isteri kamu) dalam masa datang darah haid itu dan janganlah kamu hampiri mereka (untuk bersetubuh) sebelum mereka suci. Kemudian apabila mereka sudah bersuci maka datangilah mereka menurut jalan yang diperintahkan oleh Allah kepada kamu. Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang banyak bertaubat dan mengasihi orang-orang yang sentiasa mensucikan diri. (Al-Baqarah:222)
إِنَّمَا يَسۡتَجِيبُ ٱلَّذِينَ يَسۡمَعُونَ‌ۘ وَٱلۡمَوۡتَىٰ يَبۡعَثُہُمُ ٱللَّهُ ثُمَّ إِلَيۡهِ يُرۡجَعُونَ 
Hanyasanya orang-orang yang menyahut seruanmu itu ialah mereka yang mendengar (yang mahu menurut kebenaran); sedang orang-orang yang mati Allah bangkitkan mereka semula (pada hari kiamat kelak), kemudian mereka dikembalikan kepadaNya untuk menerima balasan. (Al-An'am:36)

Tiada ulasan: